Selasa, 11 Oktober 2011

Manusia dan Nilai

MANUSIA DAN NILAI
Zuraidah (10 PEDI 1818)
Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN-Sumatera Utara 2010/2011

A.  Pendahuluan

Melalui proses pendidikan, manusia diharapkan dapat memperoleh ‘kemanusiaannya’, sehingga dapat menyadari realitas sosial yang terjadi disekitarnya dan menyadari perannya untuk berperilaku sebagaimana mestinya atas realitas sosial tersebut, Manusia saling membutuhkan sesamanya  baik jasmaniah (segi-segi ekonomis) maupun rohaniah (sosial dan cinta),  dalam proses interaksi  inilah diperlukan nilai-nilai, yang merupakan faktor inherent  antar hubungan sosial itu.
 Dan peranan pendidikan nilai menjadi sangat vital dalam pembentukan pribadi manusia, sebab manusia yang memiliki kecerdasan intelektual setinggi apapun tidak akan bermanfaat secara positif bila tidak memiliki kecerdasan afektif secara emosional, sosial, maupun spiritual, karenanya nilai-nilai yang menjadi milik bersama dalam suatu masyarakat merupakan perekat bagi masyarakat itu sendiri.
Nilai memiliki kedudukan yang teramat penting karena memiliki muatan untuk  membimbing dan membina manusia supaya menjadi lebih luhur, lebih matang sesuai dengan martabat human-dignity, dan human dignity ini ialah tujuan itu sendiri, tujuan dan cita manusia, karenanya  Objek materil pendidikan nilai adalah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap dengan aspek-aspek kepribadiannya.
Sedikitnya  ada empat tahap perkembangan yang dilalui seseorang. Pertama, tahap anatomi yaitu tahap nilai baru merupakan potensi yang siap dikembangkan. Kedua, tahap heteronomi yaitu tahap nilai berpotensial dikembangkan melalui aturan dan pendisiplinan. Ketiga, tahap sosionomi yaitu tahap nilai berkembang di tengah teman-teman sebaya dan masyarakatnya. Keempat, tahap otonomi yaitu tahap nilai mengisi dan mengendalikan kata hati dan kemauan bebasnya tanpa tekanan dari sekeliling lingkungannya. Berkaitan dengan tahapan perkembangan itu, maka pendidikan nilai hendaklah diberikan secara dini, sekarang, dan selalu setiap waktu.
Untuk lebih meningkatkan pemahaman kita tentang  manusia  dan nilai, dalam makalah sederhana ini mencoba memaparkan pembahasan yang berkenaan dengan manusia dan nilai, sehingga pada akhirnya kita akan memiliki pemahaman yang sama tentang pentingnya pendidikan nilai dalam membentuk kepribadian manusia seutuhnya.

I.                   Dimensi kedirian manusia: perspektif agama, pendidikan, dan psikologi.
A.       Manusia dari perspektif agama
    1. Pengertian Manusia
Al Rasyidin dalam buku “ Falsafah Pendidikan Islam “, menuliskan :
Dalam Al-Qur’an, terdapat beberapa terma atau istilah yang merujuk pada kata manusia, antara lain : (1) al-Nas (            ) dan berbagai bentuk derivasinya seperti al-Insan, Al-Ins, al-Unas, Al-Nasiyya, dan al-Insyiya, (2) al-Basyar (             ), dan (3) Bani Adam (                  ) [1]

Kata Al-Nas di dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 240 kali. Namun menurut ‘Aisyah Abdurrahman, kata Al-Nas, Al-Ins, dan Al-Insan tidak pernah digunakan untuk arti  manusia secara fisik, dan Al-Nas diartikan sebagai nama jenis untuk keturunan Adam. Hal ini didasari oleh firman Allah SWT, pada surah Al-Hujurat (49) : 13. yaitu :



“ Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku – suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui  lagi Maha Mengenal. “[2]

Kemudian al-Ins memiliki persamaan arti dengan Al-Insan, karena berasal dari  akar kata yang sama, yang berarti lawan dari kebuasan, Kata al-Insan di dalam Al-Qur’an diulang sebanyak 65 kali, dan ‘Aisyah menemukan makna yang khas dari apa yang  disebutkan sebagai al-Insaniyyah. Contohnya dalam surat al-‘Alaq, kata al-Insaniyyah di ulang sampai tiga kali, ketiga hal ini merupakan gambaran umum mengenai  manusia, yaitu :
a.         Menunjukkan bahwa manusia tercipta dari segumpal darah.
b.      Bahwa manusia yang dikaruniakan ilmu.
c.       Memperingatkan manusia memiliki sifat sombong yang akan menyebabkan manusia lupa kepada Tuhannya.
Manusia disebutkan dengan al-Basyar (kulit yang tampak) disebabkan manusia memiliki kulit yang tampak jelas dilihat dan bukan seperti hewan yang kulitnya tertutup oleh bulu. Dengan pengertian bahwa al-Basyar adalah gambaran arti fisik biologis manusia yang secara nyata dapat dilihat. Hal ini senada dengan  penelitian ‘Aisyah yang menyatakan bahwa al-Basyar dalam keseluruhan Al-Qur’an mengindikasikan bahwa al-Basyariyah itu berarti dimensi material manusia, yang suka makan dan berjalan di pasar. “5)
Sedangkan bani Adam, secara etimologi adalah generasi keturunan adam, atau secara umum dapat diartikan generasi yang dibangun, diturunkan, dan kembangbiakkan dari Adam, dan hal ini menunjukkan bahwa manusia di dunia adalah manusia yang seluruhnya merupakan keturunan Adam, yang berarti memiliki persamaan hak secara, harkat, dan martabat kemanusiaan.
    1. Penciptaan manusia
Dalam Al-Qur’an banyak sekali kita temukan ayat-ayat yang berkaitan dengan penciptaan manusia, di antaranya :
A.      Q.S. Al- Mukminuun (23) : 12 – 14, yaitu :
     
     
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, dan tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka maha suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik. [3]
B.           Q.S. As-Sajdah (32) : 9, yaitu :
     

      “ Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam  (tubuh)  nya roh (ciptaan) – Nya dan Dia menjadikan bagi  kamu pendengaran, penglihatan dan hati ; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. [4]

Dari kedua ayat di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa manusia bukanlah makhluk yang diciptakan asal  jadi, tapi manusia tercipta dengan proses yang sistematis, yang di mulai dari saripati tanah sampai ditiupnya roh ke dalam diri manusia, kemudian kedua surah di atas menjelaskan dua hal yaitu : manusia adalah makhluk materi dan non materi, maksudnya adalah manusia sebagai makhluk materi atau disebut dengan jism dapat dibuktikan dengan isi Al-Qur’an surah Al-An’am :2, Al-Hijr : 26,28, Al-Mukminuum : 12, dan lain-lain, dan pada bagian ini jism merupakan ciptaan yang tidak kekal, ia dapat berubah, rusak, bahkan hancur dan musnah. Sedangkan non materi adalah ruh, dan berbeda dengan jism, ruh bersifat khald (kekal) dan akan kembali menghadap Allah SWT. Dengan ruh, manusia dapat hidup dan menjalani kehidupannya.
Menurut Nasution, baik dimensi material maupun non material manusia (al-jism wa al-ruh), keduanya memiliki energi atau daya (al’quwwah). Dimensi material manusia memiliki dua energi atau daya, yaitu : (1) daya-daya fisik atau jasmani, seperti mendengar, melihat, merasa, merada, mencium, dan (2) daya gerak, yaitu : (a) kemampuan untuk menggerakkan tangan, kepala, kaki, mata, dan sebagainya. Dan (b) kemampuan untuk berpindah tempat, seperti pindah tempat duduk, keluar rumah dan sebagainya. Sementara itu dimensi non material manusia jua memiliki dua daya, yaitu : (1) daya berpikir yang disebut ‘aql, yang berpusat di kepala dan (2) daya rasa yang disebutkan qalb yang berpusat di dada. [5]

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia secara non materi (jism), adalah hal yang tampak terlihat dengan jelas melalui melalui daya fisik dan daya gerak, sedangkan ruh adalah aql dan qalbu. Dan jika dipandang dari sudut peranannya, maka ruh memegang peranan utama disbanding dengan jism. Atlas mengatakan “ … Ketika ruh bergelut dengan sesuatu  yang berkaitan dengan intelektual dan pemahaman, ia disebut “intelek” atau “aql” amal perbuatannya; ketika mengatur tubuh ia disebuut dengan ‘jiwa’ (nafs); ketika mengalami pencerahan intuisi, ia disebut dengan ‘hati’ (qalb); dan ketika kembali kedunianya yang abstrak ia disebut ‘ruh’. [6]
Senada dengan hal ini, Al-Rasyidin mengatakan ;
“… Maka al-ruh memiliki peran yang sangat menentukan dalam mengarahkan manusia untuk memilih dan menampilkan suatu perilaku atau tindakan. Sebab al-ruh memiliki fakultas : (1) al-‘aql, yaitu entitas ruhani yang memiliki energi atau daya untuk melakukan penalaran dan pemahaman, (2) al-nafs, yaitu entitas ruhani yang memiliki energi atau daya untuk mengatur atau mengendalikan diri. Ketika an-nafs ini cenderung pada hal-hal yang bersifat material, ia disebut dengan al-nafs al-hayawaniah dan ketika cenderung kepada al-ruh disebut al-nafs muthmainnah (                     ), dan (3) al-qalb, entitas ruhani yang memiliki energi atau daya untuk melakukan pensucian dan meraih pencerahan diri. . [7]




MANUSIA










           Dimensi  Materi/ al-jism          Dimensi Non Materi/ al – Ruh









           Daya Fisik     Daya Gerak        al-‘aql        al-qalb      al-nafs

Gambar : Skema dimensi kedirian manusia[8])

    1. Sisi positif dan negatif yang dimiliki manusia
Murtadha Muthahhari dalam buku “ Manusia dan Agama “, menuliskan :
a.   Segi-segi positif manusia
1.      Manusia adalah khalifah Tuhan di bumi. ( 2:30, 6:165 )       
2.      Dibandingkan dengan makhluk yang lain,manusia mempunyai kapasitas intelegensi  yang paling tinggi. (2:31-33).
3.      Manusia mempunyai kecendrungan dekat dengan Tuhan.
Dengan kata lain, manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh di dasar sanubari mereka. Jadi segala keraguan dan keingkaran kepada Tuhan muncul ketika manusia menyimpang dari fitrah mereka sendiri. ( 7:172, 30:43 )
4.         Manusia, dalam fitrahnya, memiliki sekumpulan unsur surgawi yang luhur, yang berbeda dengan unsur-unsur badani yang ada pada binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa. Unsur-unsur itu merupakan suatu senyawa antara alam nyata dan metafisis, antara rasa dan non rasa (materi), antara jiwa dan raga. ( 3: 7-9 )
5.         Penciptaan manusia benar-benar telah diperhitungkan secara teliti ; bukan suatu kebetulan. Karena itu, manusia merupakan makhluk pilihan. ( 2:122 )
6.         Manusia bersifat bebas dan merdeka. Mereka diberi kepercayaan penuh oleh Tuhan, diberkahi dengan risalah yang diturunkan melalui para Nabi, dan karunia rasa tanggung jawab. Mereka diperintahkan untuk mencari nafkah dimuka bumi dengan inisiatif dan jerih payah atau kesengsaraan bagi dirinya. ( 33: 72, 76:2-3 ).
7.         Manusia dikaruniai pembawaan yang mulia dan martabat. Tuhan, pada kenyataannya, telah menganugerahi manusia dengan keunggulan atas makhluk-makhluk lain. Manusia akan menghargai dirinya sendiri hanya jika mereka mampu merasakan kemuliaan dan martabat tersebut, serta mau melepaskan diri mereka dari kepicikan segala jenis kerendahan budi, penghambaan, dan hawa nafsu. ( 17:70 )
8.         Manusia memiliki kesadaran moral. Mereka dapat membedakan yang baik dari yang jahat melalui inspirasi fitri yang ada pada mereka.
9.         Jiwa manusia  tidak akan pernah damai, kecuali dengan mengingat Allah. Keinginan mereka tidak terbatas, mereka              tidak pernah puas dengan apa yang mereka peroleh. Dilain pihak, mereka lebih berhasrat untuk ditinggikan ke arah perhubungan dengan Tuhan Yang Maha Abadi.
10.     Segala bentuk karunia duniawi diciptakan untuk kepentingan manusia. Jadi, manusia berhak memanfaatkan itu semua dengan cara yang sah. (2:29, 45:13),
11.     Tuhan menciptakan manusia agarmereka menyembah-Nya dan tundukpatuh kepada-Nya menjadi tanggung jawab utama mereka. (51:56)
12.     Manusia tidak dapat memahami dirinya, kecuali dalam sujudnya kepada Tuhan dan dengan mengingat-Nya. Jika mereka melupakan Tuhan, merekapun akan melupakan dirinya. Dalam keadaan demikian, mereka tidak akan tahu siapa diri mereka, untuk apa mereka ada, dan apa yang harus mereka perbuat. (59:19
13.      Setiap realitas yang tersembunyi akan dihadapkan kepada manusia semesta setelah mereka meninggal dan selubung ruh mereka disingkapkan. (50:22)
Manusia tidaklah semata-mata tersentuh oleh motivasi-motivasi duniawi saja. Dengan kata lain, kebutuhan bendawi bukanlah satu-satunya stimulus baginya; lebih dari itu, mereka selalu berupaya untuk meraih cita-cita dan aspirasi-aspirasi luhur dalam hidup  mereka. Dalam banyak hal, manusia tidak satupun mengejar tujuan kecuali mengharap keridhaan Allah. (89:72-28, 9:72) [9]

b.    Segi-segi negatif manusia
a.     Manusia memiliki sifat zholim dan amat bodoh (33:72)
b.    Manusia suka mengingkari nikmat (22:66)
c.    Manusia suka melampuai batas (96:6-7)
d.   Manusia bersifat tergesa-gesa (17:11)
e.    Manusia suka lupa kepada Allah SWT, dan kembali ke jalan kesesatan. (10:12).
f.     Manusia sangat kikir (17:100)
g.    Manusia makhluk yang paling banyak membantah (18:54)
h.    Manusia bersifat keluh kesah (70:19-21)
Paparan tentang segi positif dan negative yang dimiliki manusia,    memberi penjelasan bahwa dalam diri manusia tertanam sifat mengakui Tuhan, memiliki kebebasan, rasa percaya dan tanggung jawab terhadap diri dan lingkungannya, serta kecenderungan manusia terhadap perbuatan baik dan buruk.
Kelebihan yang dimiliki seorang manusia hingga ia sukses dalam menjalani kehidupan dunianya, tidak akan mampu mengatasi kegelisahan hatinya, jika ia tidak  menjalin kedekatan kepada Tuhannya. Hal ini menunjukkan secara naluri, manusia tidak bisa jauh dari Tuhan, dan untuk membangun motivasi hidup dijalan yang lurus , dengan keluhuran budi pekerti, meraih kesuksesan  hidup dunia dan akhirat.  hanya dapat tercapai dari faktor kedekatan manusia dengan Tuhannya.
c.             Keistimewaan Manusia
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT, yang bukan saja memiliki keistimewaan bentuk bahkan sangat istimewa jika dibandingkan dengan makhluk lain.
Adapun keistimewaan manusia, dapat digolongkan menjadi empat :
b.        Potensi naluriah atau hidayah al-ghariziyah yaitu dorongan primer yang berfungsi memelihara keutuhan dan kelanjutan hidup manusia. Dorongan ini diperoleh  tidak melalui proses belajar, karena bersifat naluri ataupun instink. Contoh naluri untuk memelihara diri yakni makan, minum, beradaptasi dengan lingkungan.
c.         Potensi indrawi atau hidayah al-hissiyah yaitu potensi yang erat kaitannya dengan kemungkinan bagi manusia untuk mengenal sesuatu di luar dari dirinya. Potensi ini lebih dominant menggunakan alat indera manusia, yaitu mata dengan  melihat, tangan dengan meraba, telinga dengan mendengar, dst.
d.        Potensi menalar atau hidayah al-‘aqliyah yaitu potensi yang memungkinkan manusia untuk mampu memahami simbol-simbol, hal yang ghaib, memberikan analisa dan perbandingan, hingga dapat mengambil keputusan secara tepat dengan pertimbangan benar atau salah, yang pada akhirnya keputusan itu akan mempengaruhi tindakan yang akan diambil manusia.
e.         Potensi beragama atau hidayah al-diniyyah yaitu potensi yang mendorong manusia untuk mengabdi pada satu Zat yang diyakini memiliki kekuatan yang sangat besar. Potensi ini merupakan potensi khusus yang diberikan Allah kepada manusia
d.            Jati diri manusia
Din Zainuddin dalam  buku “ Pendidikan Budi Pekerti “, menyatakan bqahwa “ Jati diri adalah sifat – sifat dasar manusia asli pemberian Tuhan. “[10]Adapun maksudnya sifat – sifat dasar ini merupakan sifat terpuji yang sudah dimiliki manusia, ia akan tetap tumbuh walau di lahan tandus, dengan pengertian walau lingkungan yang didiami seseorang adalah lingkungan yang rusak, jika ia mampu menjaga dan merawatnya, maka sifat  dasar ini tidak akan hilang. Sifat dasar manusia melekat dengan hati nuraninya, dan hati nurani tidak akan pernah berdusta. Allah berfirman dalam surah An-Najm ayat 11 :

“ Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. “ [11]
Namun, jika manusia tidak menjaga hati nuraninya, maka kecendrungan akan kehilangan rasa kemanusiaan dan kepekaan terhadap hidup akan terbuka lebar, yang pada akhirnya dapat mematikan hati. Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 7 :



“ Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” [12]

Menurut Din Zainuddin, sifat dasar jati diri manusia adalah :
Jujur, adil, benci keburukan, berani dalam kebenaran, sabar, keteguhan hati/komitmen, rasa bangga, toleransi/tenggang rasa, tanggung jawab, takut pada Tuhan, rasa malu,  mawas diri, kepedulian social dan kepatuhan.
1.6          Tujuan, Fungsi, dan Tugas Penciptaan Manusia.
a.             Tujuan Penciptaan Manusia
Tujuan penciptaan manusia tertuang pada QS. Adz-Dzariyat :56

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku. “[13]

b.             Fungsi Penciptaan Manusia
Manusia berfungsi sebagai makhluk ibadah yang diperintahkan untuk mengabdi secara total, dan menghambakan diri secara kontiniu dengan dasar keikhlasan hanya kepada Allah SWT.
c.             Tugas Manusia
Manusia bertugas sebagai khalifah di muka bumi. Menurut Al-Maraghi, kata khalifah memiliki dua makna, yaitu :
1.      Pengganti, yaitu pengganti Allah SWT dalam melaksanakan titah-Nya di muka bumi.
2.      Pemimpin, yaitu orang yang diserahi tugas untuk memimpin diri dan makhluk lainnya serta memakmurkan dan mendayagunakan alam semesta untuk kepentingan umat manusia.
Maka manusia jika dipandang dari prespektif agama adalah makhluk pilihan yang diciptakan Allah SWT dengan sebuah proses yang menggambarkan pelajaran tentang awal suatu kehidupan dengan ketetapan tujuan hanya untuk menyembah Allah SWT semata, dan seluruh kelebihan dan kelemahan manusia merupakan gambaran keseimbangan hidup, bahwa tiada yang sempurna selain Allah SWT.
f.      Manusia dari perspektif pendidikan
Untuk menjelaskan tentang  pribadi manusia, terdapat tiga perbedaan pendapat, yaitu :
1.                        Kelompok empirisme yang dipelopori oleh Jhon Locke dengan teori tabularasa menyatakan bahwa anak sejak lahir masih bersih seperti tabularasa, dan baru akan berisi bila ia menerima sesuatu dari luar lewat alat drianya. Pendapat yang sama dikemukakan ole J.F. Herbart dengan teori asosiasi berpendapat bahwa jiwa manusia itu sejak lahir adalah kosong. Karena  itu yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan manusia adalah lingkungannya.

2.                        Kelompok Nativisme yang dipelopori oleh Schupenhouer berpendapat bahwa faktor pembawaanlah yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pribadi manusia. Pendapat ini di dukung oleh  aliran Naturalisme yang dipimpin oleh  J.J.Rousseau yang berpendapat

bahwa  segala yang suci di tangan Tuhan rusak ditangan manusia.[14]) Jadi pribadi manusia ditentukan oleh faktor bawaan atau potensi insaniah.

3.                        Teori korvengensi yang dipelopori oleh  W.Stren, yang berpendapat bahwa kedua kekuatan itu berpadu dalam membentuk pribadi manusia. Jadi pribadi manusia dibentuk oleh dua faktor yaitu faktor bawaan dan faktor lingkungan. Adapun faktor bawaan adalah segala sesuatu yang dibawa sejak lahir, baik yang bersifat rohani dan jasmani. Sedangkan faktor lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri manusia.
Mohammad Irfan dalam buku Teologi Pendidikan menulis :
Berbeda dengan pandangan di atas, Islam menawarkan konsep yang positif-optimistik tentang manusia. Pertama, Al-Qur’an secara kategorikal mendudukkan manusia ke dalam dua fungsi pokok, yaitu sebagai ‘abd Allah (hamba Tuhan)  dan khalifat Allah fil ard ( duta Tuhan di muka bumi ). Pandangan kategorikal ini tidak mengisyaratkan suatu pengertian yang bercorak dualisme dikotomik. Dengan penyebutan kedua fungsi ini, AL-Qur’an ingin menekankan muatan fungsional yang harus diemban oleh manusia dalam melaksanakan tugas-tugas kesejarahan dalam kehidupannya di muka bumi. 15)[15]

g.     Manusia dari perspektif psikologi
Ada empat sudut pendekatan yang dilakukan untuk mengkaji psikologi manusia secara mendalam yang akan melahirkan pemahaman sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
1.        Pendekatan psikoanalisa yaitu pandangan yang menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk homovolens. Dalam prespektif ini manusia dipandang sebagai makhluk yang berkehendak, berkemauan, berkeinginan, bersyahwat atau berhawa nafsu.
Perilaku manusia digerakkan oleh keinginan-keinginan yang terpendam yang terdapat dalam tiga unsur utama :
A.           Id ( das es), artinya bagian kepribadian yang menyimpan dorongan – dorongan biologis. Id adalah pusat instink atau pusat hawa nafsu, nafsu hewani. Menurut Sigmund Freud,

tokoh pendiri psikoanalisa, ada dua instink yang dominan dalam Id, yaitu :
1)        Libido artinya dorongan untuk hidup memenuhi kenikamatan atau kepuasan, seperti seks, pemujaan Tuhan, kasih ibu dan sebagainya. Menurut teori ini, tingkah laku mausia seperti memakai baju, menyisir rambut, merapikan diri adalah termasuk dorongan Libido seks.
2)        Thonatos, dorongan untuk mati, agresif, dan destruktif, seperti mengganggu orang lain, berkelahi, berperang, anarkhis, dan sebagainya. Dengan demikian, sebenarnya dorongan-dorongan yang ada dalam diri manusia adalah merupakan gabungan instink kehidupan dan instink
kematian. Namun prinsipya tetap untuk kesenangan dan kepuasan.

B.             Super ego (uber ich) adalah kebalikan dari Id, super ego ini dapat dikatakan mewakili hal-hal yang ideal, menyerap norma-norma sosial dan cultural masyarakat. Super ego bukan hanya rasional tapi juga bekerja atas prinsip-prinsip nilai yang normative. Karena itu super ego dapat disebut sebagai hati nurani dan sebagai pengawas kepribadian manusia.

C.            Ego (das ich) adalah instink yang berfungsi menjaga keseimbangan antata dorongan-dorongan super ego, sehingga id tidak terlalu dominan dan super ego tidak terlalu berkuasa. Ego menjalankan prinsip kenyataan (realuty principle). Ego secara langsung berhubungan dengan dunia luar, karena ego itu menyesuaikan dorongan-dorongan id atau super ego dengan kenyataan dunia luar. [16]

2.        Pendekatan koginitif yaitu pandangan yang mengatakan bahwa manusia adalah homo sapiens, yang artinya bahwa manusia adalah makhluk berfikir. Manusia dengan kelebihan “berfikir” yang dimikilinya, ia akan cepat memahami  dan memberikan respon balik terhadap sesuatu. Dengan berfikir, manusia dapat menerima atau menolak sesuatu,  terpengaruh atau tidak terpengaruh. Karena itu teori kognitif adalah teori yang menepatkan manusia kembali kepada makhluk mulia yang memiliki potensi dan jati diri.
3.        Teori psikodinamik yaitu pandangan yang menyebutkan bahwa manusia adalah homo mechanius, yang berarti manusia mesin. Maksudnya adalah manusia dipandang sebagai makhluk yang potensial dalam bergerak dan menggerakkan.Teori ini disebut dengan pendekatan behaviorisme, yaitu pendekatan yang mengatakan bahwa manusia dipandang sebagai kertas putih yang dapat diwarnai dan diukir. Bagi behaviorisme persoalan yang mendasar bukanlah masalah baik atau buruk, tetapi bagaimana menciptakan lingkungan yang baik dan akhirnya akan berpengaruh kepada orang-orang yang berada di dalamnya sehingga menjadi baik.
4.        Pendekatan teori humamisme yaitu pandangan yang menyebutkan manusia adalah homo ludens, yaitu pandangan  terhadap manusia sebagai makhluk yang mengerti akan makna kehidupan, menyadari untuk apa hidup, dan cara-cara dalam menjalani kehidupan.
Menurut teori ini, manusia berorientasi terhadap konsep diri, yaitu  suatu konsep yang terbangun dengan cara pandang orang lain terhadap dirinya yang selalu berubah dan fleksibel, yang disesuaikan dengan pengalaman orang lain. Atau dengan kata lain  manusia memiliki kecendrungan untuk hidup  lebih bermakna. Contoh, seorang yang merasa dirinya manusia yang paling cantik di kelas membangun sikap sombong dihadapan teman yang berwajah biasa saja. Namun, perilaku ini akan berubah ketika ada orang lain yang lebih cantik, lebih kaya, dan lebih baik hati terhadap semua orang, termasuk terhadapnya, maka hal ini akan mempengaruhi perilakunya.

II.                Potensi afektual dalam diri manusia : emotion, feeling, taste, willing, loving,attitude, value system, belief system.
A.        Emotion
Emosi adalah perasaan kuat yang melibatkan pikiran, perubahan fisiologis, dan ekspresi pada sebuah perilaku. [17]
Beberapa teori tentang terjadinya emosi, yaitu :
1.    Teori James-Lange Theory
Teori berpendapat bahwa sebuah peristiwa menyebabkan rangsangan fisiologis terlebih dahulu dan kemudian seseorang menafsirkan rangsangan ini. Setelah interpretasi dari  rangsangan terjadi seseorang mengalami emosi.
Teori ini digambarkan sebagai berikut :
Peristiwa            menimbulkan gejala fisik               penafsiran            emosi

2.    Teori Meriam Bard
Teori ini berpendapat bahwa seseorang mengalami rangsangan fidiologis dan emosional pada saat yang sama, tetapi tidak melibatkan peran pikiran atau perilaku lahiriah.
Teori ini digambarkan sebagai berikut :
                                                                                Gejala fisik
    Peristiwa
                                                                                Emosi

3.    Teori Schachter-Singer
Menurut teori ini, suatu peristiwa pertama menyebabkan rangsangan fisiologis, kemudian seseorang harus mengidentifikasi alasan untuk stimulus ini dan kemudian ia mendapatkan pengalaman yang disebut emosi.
Teori ini digambarkan sebagai berikut :
               Peristiwa            menimbulkan gejala fisik                  alasan               emosi

4.    Teori Lazarus
Teori ini berpendapat bahwa pikiran harus dating sebelum emosi atau rangsangan fisiologis. Dengan kata lain, seseorang harus terlebih dahulu berfikir tentang situasi sebelum dia mengalami emosi.
Teori ini digambarkan sebagai berikut :
                                            Gejala fisik
    Peristiwa            Pikiran
                                                emosi
5.    Teori facial feedback (umpan balik wajah)
Menurut teori ini emosi adalah pengalaman perubahan pada otot wajah seseorang. Hal ini dapat dilihat dari senyuman atau wajah cemberut yang ditampilkan seseorang yang menggambarkan keadaan hatinya.
Teori ini digambarkan sebagai berikut :
               Peristiwa            Perubahan wajah                 emosi
           
Berikut ini adalah jenis – jenis emosi yang dimiliki manusia :
-          Bangga diri                       - Takut
-          Sedih                                 - Bahagia
-          Senang                              - Cemas
-          Marah                                - Cinta
-          Benci                                 - Cemburu
a.         Feeling
Feeling adalah perasaan  yang sangat erat kaitannya dengan penginderaan. Hal ini dapat dilihat pada saat seseorang mengarahkan pandangannya melalui indera yang ia miliki terhadap suatu objek, dan saat itu juga seseorang merasakan adanya perasaan tertentu terhadap objek, maka peristiwa ini membuktikan bahwa perasaan memiliki hubungan yang erat dengan penginderaan.
Perasaan terbagi kepada dua :
1)      Perasaan-perasaan jasmaniah
-      Perasaan sensoris :   perasaan yang berhubungan dengan stimulus terhadap indera.
-      Perasaan vital    :  perasaan yang berhubungan dengan kondisi jasmani.
2)      Perasaan-perasaan rohaniah
-          Perasaan intelektual : perasaan yang berhubungan denngan 
kesanggupan intelektual dalam mengatasi   
sesuatu masalah.
-          Perasaan etis             : perasaan yang berhubungan dengan baik dan
     buruk atau norma
-          Perasaan estetis        : perasaan yang berhubungan dengan
     penghayatan dan apresiasi tentang suatu
     yang indah dan tidak indah.
-          Perasaan sosial      :   perasaan yang cenderung untuk
     mengikatkan diri dengan orang-orang lain.
-          Perasaan harga diri :  perasaan yang berhubungan dengan
                                                                 penghargaan diri seseorang. [18]

b.         Taste
Taste ( penginderaan) terjadi apabila objek -objek eksternal berinterkasi dengan organ-organ indera.
c.         Willing
Willing atau keinginan  memiliki kaitan erat dengan perasaan, seperti perasaan senang atau tidak senang atau perasaan lainnya. Keinginan adalah kekuatan untuk mendapatkan objek yang menurut idenya menyenangkan dan menolak objek yang menurut idenya tidak menyenangkan. [19]
d.         Loving
Loving atau cinta, yaitu suatu perasaan yang terlalu sulit diungkapkan melalui kata-kata, tetapi semua makhluk dapat merasakan cinta. Karena cinta memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan terkhusus kehidupan manusia. Hal ini disebabkan cinta adalah landasan dari suatu ikatan, dan diimplementasikan dalam berbagai bentuk untuk melambangkan perasaan terhadap sesama makhluk.
e.         Attitude
Attitude atau sikap adalah pandangan atau kecendrungan mental. Menurut Bruno (1987), sikap (attitude) adalah kecendrungan yang relative menetap untuk bereaksi  dengan cara baik atau buruk  terhadap orang atau barag tertentu. [20]
f.           Value System
A set of standart that guides and determines action, attitudes toward objects and situations, ideology presentations of self to other, evaluations, jugdements, justification, comparison of self with other’s.

g.         Belief System
Milton  Rokeach dalam bukunya The Nature of Human Values, menuliskan :
Three types of beliefs have previously been distinguished : descriptive or existential belief, those capable of being true or false; evaluative beliefs, wherein the object of belief is judged to be good or bad; and prescriptive or proscriptive beliefs, wherein some means or end of action is judged to be desirable or undesireable. A value is belief of the thirs kind – a prescriptive or proscriptive belief. “ A value is a belief upon which a man acts by preference)[21]
2.                  Nilai – nilai personal dan sosial
A value is personally and social norm
Milton  Rokeach dalam bukunya The Nature of Human Values, menuliskan :
If a person’ values represent his “conception of the desirable” the question arises : desirable for whom ? for him self ? for others ? when a person tells us about his values, it cannot be assumed that he necessarily intends them to apply equally to himself and to others.
Indeed, one of the most interesting properties that values seem to have is that they can be employed with such extraordinary versasility in everyday life. They may be shared or not shared and thus employed as single or double (or even triple) standards. They may be intended to apply equally to oneself, and to others,   to oneself more than to others, or to others more than to oneself.
There are three ways in which values differ from social norms. Fisrt, a value may refer to a mode of behavior or end state of exixtence whereas a social norm refers only to a mode of behavior. Second, a values transcends specific situations; in contrast, a social norm ia a prescription or proscription to behave ia a specific way in a specific situations. Third, a value is more personal and internal, whereas a norm is concensual      and external to the person.[22])
3.                  Konflik dan perubahan nilai
a.         Konflik Nilai
Berdasarkan fenomena masyarakat saat ini, maka tidak akan sedikit kita temukan hal-hal yang bertolak belakang dengan nilai yang sudah seharusnya dimliki oleh manusia yang secara nyata memiliki hati nurani. Terlalu besar permasalahan yang kontradiktif, bahkan secara sadar hal yang kontradiktif tersebut sudah menjadi kebiasaan yang tidak ada rasa malu lagi saat melakukannya. Contohnya, jika dipandang dari prespektif nilai maka jujur adalah sifat mulia. Namun, saat ini kejujuran seperti benda asing yang tidak disukai. Ketika ujian, ada siswa yang jujur dengan tidak melihat catatan,  ditertawakan oleh rekan sekelasnya, begitu juga saat penerimaan CPNS, kejujuran tidak memiliki arti sedangkan uang dan koneksi, menjadi jalan utama untuk meraih kelulusan. Dan contoh-contoh lain yang menggambarkan terjadinya konflik terhadap nilai, sehingga antara benar dan salah, baik dan buruk, yang pada dasarnya memiliki batas yang jelas, sekarang hanya sekedar pengertian yang tertulis di atas kertas.
b.         Perubahan Nilai
Gambaran tentang konflik nilai memberikan penjelasan bahwa telah terjadi pergeseran terhadap nilai. Perubahan ini disebabkan oleh dua  faktor yaitu faktor internal dan ekstrenal baik terhadap individu ataupun masyarakat.
Namun, untuk mengatasi masalah di atas, Al Rasyidin dalam buku Percikan Pemikiran Pendidikan menuliskan langkah – langkah edukatif :
                                  i.              Menggali dan merumuskan kembali secara eksplisif prinsip-prinsip dan ajaran Islam tentang al-akhlaq al-karimah yag bersumber pada kandungan pokok Al-Qur’an dan Sunnah.
                                ii.              Kita perlu merubah kebiasaan mendidik yang terlalu menekankan aspek ingatan dan hafalan,
                              iii.              Merubah kesan dan pandangan sebagian pendidik yang beranggapan bahwa tugas dan tanggungjawab kependidikan hanyalah terbatas pada ruang kelas dan madrasah/sekolah belaka.
                              iv.              Membangun dan membangun relasi yang konkrit antara kehidupan dalam madrasah dan perguruan tinggi dengan kenyataan-kenyataan empiric di masyarakat. [23]

4.                  Peran nilai dalam kehidupan manusia.
Pendidikan nilai adalah proses pemberi bantuan kepada peserta didik agar mereka menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan kehidupanya, karenanya pengenalan terhadap nilai dan system nilai yang dianut di masyarakat  perlu di lakukan, dengan menghayati, mengapresiasi, mengklarifikasi, mensosialisasikan dan melakonkan nilai-nilai tersebut sepanjuang kehidupannya, sesuai dengan tujuan pendidikan nilai itu sendiri, yaitu : “ membantu individu-individu dalam berfikir dan merealisasikan nilai-nilai; membantu individu memahami implikasi-implikasi praktikal eksprisi nilai dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat dan dunia secara keseluruhan; membantu individu agar memiliki pemahaman, motovasi, dan tanggungjawab dalam membuat pilihan nilai personl, sosial, moral serta memahami metode-metode praktikal untuk mengembangkan dan mendalami nilai-nilai. [24]

KESIMPULAN

1. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang telah dibekali dengan potensi-potensi insaniah yang harus dikebangkan dengan cara ilmiah, sehinga tercapai tujuan penciptaan manusia itu sendiri sebagai khalifah di bumi.
2. Melalui proses pendidikan, manusia diharapkan dapat memperoleh ‘kemanusiaannya’, sehingga dapat menyadari realitas sosial yang terjadi disekitarnya dan menyadari perannya untuk berperilaku sebagaimana mestinya atas realitas sosial tersebut, Manusia saling membutuhkan sesamanya  baik jasmaniah (segi-segi ekonomis) maupun rohaniah (sosial dan cinta).
3.  Penanaman terhadap mendidikan nilai seyogyanya dilaksanakan sejak usia  dini, harapannya agar tidak timbul konflik atau pergeseran nilai yang pada akhirnya akan menimbulkan  pengaruh yang negative bagi kehidupan baik secara pribadi maupun sosial.
4.  Pentingnya penanaman pendidikan nilai bagi manusia adalah menjadi tugas semua lapisan pribadi mupun sosial untuk membantu manusia dalam memahami keistimewaan dirinya sehingga akan menciptakan pribadi yang memiliki kemulian akhlaq.


[1] Al-Rasyidin, “ Falsafah Pendidikan Islami, (Bandung, Cita Pustaka Media Perintis, 2008), h.13
[2] Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , (Arab Saudi, Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at Al-Mush-haf, 1990)  h. 527.

[3] Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , (Arab Saudi, Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at Al-Mush-haf, 1990)  h. 527.
[4] Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , (Arab Saudi, Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at Al-Mush-haf, 1990)  h. 661.
[5] Al-Rasyidin,  Falsafah Pendidikan Islami, (Bandung, Cita Pustaka Media Perintis, 2008), h.17
[6] Al-Rasyidin,  Falsafah Pendidikan Islami, (Bandung, Cita Pustaka Media Perintis, 2008), h.18
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama, , (Bandung, Mizan, 2007), h.129-133

[10] Din Zainuddin, Pendidikan Budi Pekerti, ( Jakarta, Al-Mawardi Prima, 2004),h. 115.
[11] Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan ,  h. 871.
[12] Ibid,  h. 9
[13]Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan ,  h. 862
[14] Al-Rasyidin (Ed) ,  Kepribadian & Pendidikan , (Bandung, Cita Pustaka Media Perintis, 2006), h.23-24
[15] Mohammad Irfa, et.al, Teologi Pendidikan, (Jakarta, Friska Agung Insani, 2000), h.133
[16] Al-Rasyidin (Ed) , Pendidikan Psikologi Islami , , h.255

[17] Masganti Sit , Perkembangan Peserta Didik , (Bandung, Cita Pustaka Media Perintis, 2010), h.102

[18] Wasty Soemanto , Psikologi Pendidikan , (Jakarta, Rineka Cipta, 1998), h.15
[19] Ibid, h. 37-38
[20] Muhibbn Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta, PT.Logos Wacana Ilmu, 2001) h.111
[21] Milton Rokeach, The Nature of Human Values, (New York, The Free Press, 1973) h.6
[22] Milton Rokeach, The Nature of Human Values, (New York, The Free Press, 1973) h. 10 & 18
[23] Al-Rasyidin,  Percikan Pemikiran Pendidikan , (Bandung, Cita Pustaka Media Perintis, 2009), h.102-104
[24] Ibid, 91-92

Tidak ada komentar:

Posting Komentar