Selasa, 25 Oktober 2011

Hubungan Hadis Dengan Alquran

HUBUNGAN HADIS DENGAN ALQURAN
Zuraidah : Nim 10 PEDI 1817
A.      Pendahuluan
Muhammad s.a.w adalah utusan Allah s.w.t yang menjadi teladan bagi umat dan rahmat bagi seluruh alam, dalam sejarah perannya bukan hanya sebagai Rasulullah, beliau juga pemimpin masyarakat, hakim, panglima perang, bahkan kepada negara, dan di sisi lain beliau adalah seorang suami dan juga ayah.
Kehidupan Muhammad s.a.w terbatas akan ruang, waktu, dan tempat. Ia hidup di masa tertentu dan tidak semua orang dapat menemuinya. Karena itu peran para sahabat dan tabi’in, dalam memberitakan semua yang berasal dari Rasulullah, baik ucapan, perbuatan, taqrir, sifat dan keinginannya, sangat berarti untuk menjadi pedoman bagi hidup manusia.
Pada dasarnya Alquran sebagai mukjizat Muhammad s.a.w adalah kitab yang sempurna. Namun, ada ayat-ayat tertentu yang harus dijelaskan secara rinci baik makna, hukum yang terkandung di dalam, atau cara melakukannya dan lain-lain. Dan inilah peran yang diambil Rasul s.a.w melalui sunnah-sunnahnya.
Hadis memiliki peranan penting sebagai salah satu sumber hukum Islam, adapun fungsinya untuk memperkuat isi kandungan Alquran, untuk memperjelas makna kandungan Alquran yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, untuk membatasi keumuman ayat Alquran sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu, dan untuk menetapkan hukum yang tidak ditetapkan dalam Alquran. Semua fungsi di atas menempatkan kedudukan hadis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sumber hukum Islam, karena itulah tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk meninggalkan salah satunya atau hanya mengamalkan satu saja dari kedua sumber hukum tersebut.
Dalam makalah ini secara garis besar permasalahan yang dibahas adalah pengertian hadis yang meliputi hadis, sunnah, khabar, dan asar, persamaan maupun perbedaannya, dengan menguraikan contoh-contoh untuk semakin memperjelas materi. Kemudian pemakalah melanjutkan pembahasan kedudukan hadis pada Alquran dan menguraikan fungsi-fungsi hadis. Semua materi di atas akan dibahas secara tuntas pada bab selanjutnya.
B.       Hubungan Hadis dengan Alquran
1.        Pengertian Hadis, Sunnah, Khabar, dan Asar
a.         Pengertian Hadis
Kata  hadis berasal  dari akar kata  :   [1]    حدث,    يحدث,    حدوثا,     وحداثة                                                               
Secara etimologi, kata hadis (  حد يث  ) memiliki beberapa arti, yaitu :
1)        Al-khabar dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai ‘berita’ atau ‘perkataan dari seseorang yang  disampaikan kepada orang lain’.
2)        Al-jadid yang berarti ‘sesuatu yang baru’ atau ‘modern’, sebagai lawan kata dari al-qadim, yang berarti ‘sesuatu yang lama’.
3)        Al-qarib, yaitu sesuatu yang dekat atau belum lama terjadi.[2]
Sedangkan secara istilah, beberapa ulama berbeda pendapat dalam memberikan defenisi hadis, yaitu :
1)        Menurut ahli hadis, di antaranya al-Hafizh dalam Syarh al-Bukhary, al-Hafizh dari Sharkawy ialah :
أقواله صلّي الله عليه وسلّم واحواله.
“ Segala ucapan, perbuatan, dan keadaan Nabi s.a.w. ”
“ Termasuk ke dalam ‘keadaan beliau’ segala yang diriwayatkan dalam kitab sejarah, seperti kelahirannya, tempatnya dan yang bersangkut paut dengan itu, baik sebelum dibangkit sebagai rasul maupun sesudahnya.“ [3]
2)        Mahmud Ath-Thahan (guru besar Hadis di Fakultas Syari’ah dan Dirasah Islamiyah di Universitas Kuwait) mengatakan :
ماجاءعن النيّ صلّي الله عليه وسلّم سواء كان قولاً أوفعلاً أوتقرير اً.
“ Sesuatu yang datang dari Nabi s.a.w baik berupa perkataan atau perbuatan dan atau persetujuan “.[4]
3)        Al-Thibbi dan Muhammad Mahfuzh menyatakan :
إن الحديث لا يختص با لمرفوع إليه صلّي الله عليه وسلّم با جاء يا طلاقه أيضا للموقوف وهـو مــا أضيف إلى  الصحا بي من قول ونوه و المقطوع وهو ما أضيف إلى التابعــين كـــذ لك.
Hadis tidak hanya terbatas  dengan khabar marfu’ kepada Rasul, tetapi juga khabar mauquf, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan khabar maqthu’ yaitu sesuatu yang disandarkan kepada tabi’in. [5]
Pengertian di atas dijelaskan kembali oleh Ash-Shiddieqy, bahwa hadis yang dalam periwayatannya sanadnya sampai kepada Nabi s.a.w dinamakan marfu’, hadis yang hanya sampai kepada sahabat dinamakan mauquf dan yang sampai pada tabi’in saja dinamakan maqthu’.[6]
4)        Ajjaj al-Khatib menyatakan :
واذا اطلق لفظ الحد يث اريد به ما أضيف إلي الني صلّي الله عليه وسلّم من قول اوفعل اوتقـــــرير اوصفة خلقية او خلقية وقـــد يرادبه ما اضيــف إلى صحابي أوتا بعـــــي.
“ Jika dikatakan lafal hadis, maka yang dimaksud dengannya adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi s.a.w berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat tubuh ataupun akhlaknya atau sifat fisik dan terkadang dimaksudkan juga sesuatu yang disandarkan kepada sahabat atau tabi’i. “ [7]

Perbedaan para ulama di atas dalam mendefenisikan pengertian hadis disebabkan obyek kajian yang berbeda, dan jika ditemukan perbedaan pengertian dalam satu kajian, hal ini terjadi karena perbedaan pandangan dalam menentukan keluasan makna atau batasan makna yang ingin dipertegas dalam sebuah defenisi. Misalnya, ahli hadis menjadikan pribadi Rasul sebagai teladan umat merupakan obyek kajian hadis dalam semua aspek. Sedangkan obyek kajian ahli ushul adalah pribadi Rasul sebagai pengatur undang-undang dan menciptakan dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid, dan membatasi pembahasan pada hal-hal yang berkaitan dengan hukum saja.
Berdasarkan defenisi hadis yang telah dipaparkan, memberikan gambaran tentang adanya pengertian yang sangat luas terhadap maknanya seperti segala sifat maupun tabiat Rasul masuk dalam kategori hadis, dan ada juga yang memberikan batasan  dalam ruang lingkup pembahasannya yaitu yang hanya berasal dari Rasul saja, baik dalam ucapan, perbuatan, dan taqrirnya, dengan tidak memasukkan  para sahabat dan tabi’in dalam kategori hadis.
b.        Pengertian Sunnah
Menurut bahasa, sunnah memiliki pengertian :
السّــــيرة والطريقة المــــعتادة حســنة كا نت أوقبــــيحة.
“ Jalan atau kebiasaan yang baik atau yang jelek “ [8]
الطّريقــة  المســـتقيمـــه والسيرة المستمــرة, حسنة كانت أو سيّئــــة.
“ Jalan yang lurus dan berkesinambungan, yang baik atau yang buruk “ [9]
Pengertian sunnah di atas dapat ditemukan dalam Alquran surat al-Kahfi ayat 55 dan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab sahihnya, sebagai berikut :
$tBur yìuZtB }¨$¨Z9$# br& (#þqãZÏB÷sムøŒÎ) ãNèduä!%y` 3yßgø9$# (#rãÏÿøótGó¡our öNßg­/u HwÎ) br& öNåkuŽÏ?ù's? èp¨Zß tû,Î!¨rF{$# ÷rr& ãNåkuŽÏ?ù'tƒ Ü>#xyèø9$# Wxç6è% ÇÎÎÈ
“  Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia dari beriman, ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan memohon ampun kepada Tuhannya, kecuali (keinginan menanti) datangnya hukum (Allah yang telah berlaku pada)  umat-umat yang dahulu atau datangnya azab atas mereka yang nyata. “ Q.S. Al-Kahfi (18) : 55 [10]

فقال رسول الله صلّي الله عليه وسلّم من سنّ في الإسلام سنة حسنة فعمل بهــا, بعده كتب له مثل اجر من عمل بها, ولا ينقص من اجورهم شيء, ومن سنّ في الإسلام سنة سيّئة . فعمل بها بعده كتب عليه مثل وزر من عمل بها ينقض من اوزا رهم شيء.
“ Lalu Rasulullah s.a.w bersabda : ‘ Barang siapa melakukan suatu perbuatan kebaikan dalam Islam, kemudian menjadi teladan dengan diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka dicatat baginya pahala sebanyak yang didapat oleh orang-orang yang mengikutinya, tidak mengurangi sedikit pun pahala mereka. Barang siapa melakukan kejelekan dalam Islam, kemudian diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka dicatat baginya dosa sebanyak yang didapat oleh orang yang mengikutinya, tidak mengurangi sedikit pun dosa mereka. “  (HR. Muslim) [11]

Dengan demikian jelaslah bahwa sunnah menurut bahasa bermakna jalan yang dijalani, baik terpuji ataupun tidak. [12] atau dapat juga diartikan suatu tradisi yang sudah merupakan kebiasaan.
Pengertian sunnah menurut istilah terdapat beberapa pendapat yang berbeda yang juga didasari oleh perbedaan keahlian atau disiplin ilmu yang dibidangi oleh masing-masing ulama. Adapun pendapat ulama mengenai defenisi sunnah adalah:
1)        Ulama Hadis menyatakan :
“ Sunnah adalah setiap apa yang ditinggalkan (diterima) dari Rasul s.a.w. berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat fisik atau akhlak, atau perikehidupan, baik sebelum beliau diangkat menjadi Rasul, seperti tahannuts yang beliau lakukan di Gua Hira’, atau sesudah kerasulan beliau. “ [13]

Pada defenisi di atas, ulama hadis memberi pengertian yang seluas-luasnya terhadap sunnah dengan alasan bahwa Rasulullah s.a.w merupakan teladan sehingga menjadi contoh bagi kehidupan manusia, baik kehidupan yang berkaitan secara langsung ataupun tidak dengan hukum syara’.
2)        Ulama Ushul Fiqh  menyatakan :
“ Sunnah adalah seluruh yang datang dari Rasul s.a.w. selain Alquran al-Karim,    baik    berupa    perkataan,   perbuatan   atau   taqrir,    yang     dapat dijadikan sebagai dalil untuk menetapkan hukum syara’. “ [14]
Dari pengertian di  atas, ulama Uṣul Fiqh memberikan batasan istilah terhadap sunnah, dengan alasan Rasullah s.a.w adalah seseorang yang membawa hukum agama, yang bukan saja merumuskan hukum tetapi juga menyampaikannya dan menjelaskan hukum-hukum itu kepada manusia untuk menjadi pedoman dalam kehidupan.
3)        Ulama Fiqh menyatakan :
هي كل ما ثبت عن النبيّ صلّي الله عليه وسلّم ولم يكن من با ب الفرض ولا الواجب.
“ Sunnah adalah setiap yang datang dari Rasul s.a.w. yang bukan fardu dan tidak pula wajib. “

Ulama Fiqh mengemukakan defenisi seperti di atas adalah karena sasaran pembahasan mereka ialah hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yang terdiri atas, wajib, haram, mandub (sunnah), karahah, dan mubah.[15]

c.         Perbedaan Hadis dan Sunnah
M. Noor Sulaiman menjelaskan perbedaan istilah Hadits dan Sunnah yang dikemukakan oleh para ulama sebagai berikut :
1) Ibn Taimiyyah menyatakan istilah hadits adalah segala yang diriwayat-kan dari Nabi, baik perkataan, perbuatan, maupun pengakuannya. Sedangkan sunnah adalah tradisi yang berulangkali dilakukan oleh masyarakat, baik dipandang ibadah maupun tidak.
2) Dr. Tawfiq Shidqi, menyatakan hadits adalah pembicaraan yang di-riwayatkan oleh satu orang, atau dua orang, kemudian hanya mereka saja yang mengetahuinya. Sedangkan sunnah adalah suatu jalan yang dipraktekkan oleh Nabi secara terus menerus dan diikuti oleh Sahabat beliau.
3) Sulaiman al-Nadwi menyatakan hadits adalah segala peristiwa yang di-nisbahkan  kepada Nabi s.a.w. walaupun hanya satu kali saja dan walaupun hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja. Sedangkan sunnah adalah nama dari sesuatu yang kita terima dengan jalan mutawatir dari Nabi s.a.w.
4) Abdul Kadir Hasan, hadits ialah sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi berupa ilmu pengetahuan teori. Sedangkan sunnah adalah suatu tradisi yang   sudah   tetap    dikerjakan  oleh  Nabi  s.a.w.  berupa  perkara yang bersifat amalan.[16]
5)   T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan bahwa Hadis dan Sunnah adalah berbeda, kendatipun maknanya sama. Hadis adalah ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi. Sementara itu, Sunnah adalah tradisi agama yang dikerjakan oleh Nabi secara tetap dan dilanjutkan oleh sahabat dan salaf ash-Shalih. Lawan dari Sunnah adalah bid’ah. [17]

d.        Pengertian Khabar
Menurut Bahasa, khabar diartikan = ( النّـــبا  ) = berita [18]. yaitu berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain.[19] Sedangkan menurut istilah. Nawir Yuslem mengemukakan tiga pendapat, yaitu :
1)        Khabar adalah sinonim dari Hadis, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi s.a.w. dari perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat.
2)        Khabar berbeda dengan Hadis. Hadis adalah sesuatu yang datang dari Nabi s.a.w, sedangkan khabar adalah berita dari selain Nabi s.a.w.
3)        Khabar lebih umum daripada hadis. Hadis adalah sesuatu yang datang Nabi s.a.w. Sedangkan khabar adalah sesuatu yang datang dari Nabi s.a.w. atau dari selain Nabi (orang lain). [20]
Pendapat pertama yang menyatakan bahwa khabar identik dengan hadis karena khabar adalah segala berita yang datangnya dari Nabi baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, dan taqrirnya yang marfu’. mawquf, dan maqthu’. Sedangkan pendapat kedua membedakan antara khabar dan hadis, sehingga sebutan untuk ahli yang menekuni bidang hadis ataupun sunnah disebut muhaddits, sedangkan ahli yang mendalami ilmu sejarah disebut akhbari. Pada pendapat ketiga menyatakan bahwa khabar lebih umum dari hadis, dengan alasan bahwa khabar merupakan berita yang tidak hanya berasal dari Nabi melainkan juga datang dari para sahabat dan tabi’in, sedangkan hadis khusus berita yang hanya diriwayatkan oleh Nabi saja.
e.         Pengertian Asar
Asar secara etimologis berarti baqiyyat al-syay’, yaitu sisa atau peninggalan
sesuatu. [21] Atau jejak langkah seseorang juga dapat disebut asar. [22] Sedangkan secara menurut istilah, Nawir Yuslem menjelaskan ada dua pendapat, yaitu :
1)        Asar adalah sinonim dari hadis, yaitu segala sesuatu yang berasal dari Nabi s.a.w.
2)        Asar berbeda dengan hadis, asar adalah
ما أضيف إلى الصّحابة والتا بعين من أ قو ال أ فعـــــــــــــــال.
“ Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tabi’in, yang terdiri atas perkataan dan perbuatan. “ [23]
Para fuqoha memakai istilah asar untuk perkataan-perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in, dan lain lain [24]. Fuqoha Khurasan menamai perkataan-perkataan sahabat (hadis mauquf) dengan asar, dan menamai hadis nabi s.a.w. dengan khabar. Sedangkan muhadditsin umumnya menamai hadis Nabi s.a.w. dan perkataan sahabat dengan asar. [25]
2.        Hadis Ditinjau dari Sumber Berita
a)        Hadis Qudsi
Menurut bahasa kata Al-qudsi nisbah dari kata al-quds (      القد س      ) yang diartikan ‘suci’. Hadis ini dinamakan suci karena disandarkan kepada Zat Tuhan yang Maha Suci. Sedangkan menurut istilah hadis qudsi memiliki pengertian :
ما نقل  إلينا عن النّبي صلّي الله عليه وسلّم مع إسناده انّاه إلى ربّه عزّ و جـــــلّ
“ Sesuatu yang dipindahkan dari Nabi s.a.w serta penyandarannya kepada Allah s.w.t. “ [26]
Contoh hadis qudsi adalah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a dari Nabi s.a.w bahwa beliau bersabda :
قال الله تعالى : ثلاثة أ نا أخا صمهم يوم القــيامــة ومن كـــنت خصمه خـــصمته : رجل أعطى بي ثم غدر ورجل با ع خـــرّا فأكـــل ثمنه ورجـل إستــأجر أجيرا فاستوفى منه ولــم يو فـــه أجـره.
“ Allah s.w.t berfirman : Ada tiga golongan yang Aku menjadi musuh mereka kelak di hari Kiamat. Siapa yang Aku menjadi musuhnya, maka Aku akan memusuhinya. Seseorang yang memberikan (janji) kepada-Ku, lalu mengingkari. Seseorang yang menjual orang merdeka, lalu memakan hasil penjualannya. Dan seseorang yang memperkerjakan karyawan, lalu karyawan itu memenuhi tugasnya tetapi orang itu tidak memenuhi upahnya.“ [27]

Jadi, hadis qudsi disebut hadis karena datangnya dari Rasul, dan disebut qudsi karena Rasul (menyandarkannya) kepada Allah s.w.t yang Quddus. [28]
b)        Hadis Marfu’
Marfu’ menurut bahasa ‘yang diangkat’ atau ‘yang ditinggikan’. Hadis marfu’ adalah hadis yang terangkat sampai kepada Rasulullah s.a.w. Atau menunjukkan ketinggian kedudukan beliau sebagai Rasul. [29] Menurut istilah pengertian hadis marfu’ adalah :
ما أضيف إلى النّبيّ صلّي الله عليه وسلّم خا صّة من قول او فعل او تقـــريــر سواء كــــــان متّصلا او منقطعا او معضلا.
“ Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi s.a.w secara khusus, baik perkataan, perbuatan, atau taqrir, baik sanadnya itu muttashil (bersambung-sambung tiada putus-putus) maupun munqathi (hadis yang sanadnya terputus di mana saja tempatnya baik di awal, tengah, dan akhir sanad, ataupun mu’dhal (hadis yang gugur dua orang perawi atau lebih dalam sanad secara berturut-turut). “ [30]

Contoh hadis marfu’ adalah :
قال رسول الله صلّي الله عليه وسلّم انّ المـــؤمن كالـــبنيان يشـــدّ بعضـــه بعضا.            
“ Telah bersabda Rasulullah s.a.w : sesungguhnya orang yang beriman itu terhadap sesamanya sama dengan keadaan batu tembok, satu dengan yang lain saling mengikat (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i)” [31]

Hukum menggunakan hadis marfu’ dilihat pada kualitas bersambung tidaknya sanad, dengan demikian hadis marfu’ bisa berstatus dengan kualitas sahih, hasan, dan doif.
c)        Hadis Mawquf
‘Ajjaj al-Khatib mengemukakan defenisi hadis mawquf sebagai berikut :
هوما رواه عن الصّحابيّ قول له أو فعل أوتقـــرير, متّصلا كان أو منقطعا.
“ Yaitu segala yang diriwayatkan dari sahabat dalam bentuk perkataan beliau, perbuatan, atau taqrir, baik sanadnya muttashil atau munqathi’.” [32]
Adapun contoh hadis mawquf adalah :
قول البــــــخاريّ : و أم ابن عبـــاّ س وهــو متيمّـــــــم.
“ Bukhari Berkata : ‘ Dan Ibn ‘Abbas telah menjadi imam dalam shalat sedangkan dia bertayammum. “ [33]
Hukum menggunakan hadis mawquf adalah jika ia marfu’ maka kualitas hadis bisa sahih ataupun hasan. Namun, jika perbuatan dan perkataan sahabat tidak marfu’ maka terjadi perbedaan pendapat tentang masalah ini. Seperti Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Hambali, dan sebagian ulama hanafi mengatakan perkataan atau fatwa seorang sahabat adalah dalil yang sah dan harus didahulukan dari qiyas. Imam Hanafi mengatakan bahwa ijtihad seorang sahabat tidak dapat dijadikan hukum. Dan pendapat lain mengatakan apabila pendapat sahabat sejalan dengan qiyas maka dapat dijadikan sebagai dalil yang sah, begitu juga sebaliknya.
d)       Hadis Manṭuq
Secara bahasa, kata ini bermakna, ‘terputus’. Sedangkan secara istilah defenisi hadis mauquf  adalah sebagai berikut :
وهو المـــوقوف على التّابعيّ قـــولا له أو فـــــــعلا.
“ Yaitu, sesuatu yang terhenti (sampai) pada Tabi’i, baik perkataan maupun perbuatan Tabi’i tersebut. “ [34]
Contoh hadis manthuq adalah :
قول الحسن البصريّ فى الصّلاة خلف المـــــبتدع : صــــــلّ و عليه بدعـــــــــــته.
“ Perkataan Hasan Bashri mengenai shalat di belakang ahli bid’ah :               ‘ Shalatlah dan dia akan menanggung dosa atas perbuatan bid’ahnya ‘ . “  [35]
Hukum menggunakan hadis mawquf tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum karena perkataaan tabi’in sama dengan ulama.
3.        Bentuk-Bentuk Hadis
Berdasarkan pengertian hadis, maka hadis dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu : Hadis qauli (perkataan), hadis fi’li (perbuatan), dan hadis taqriri (ketetapan). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
a.         Hadis Qauli
Hadis qauli ialah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi s.a.w.[36] Dalam hal ini, yang dimaksud dengan segala perkataan Nabi s.a.w yang berkaitan erat dengan tuntunan serta petunjuk hukum syara’, semua peristiwa dan kisah baik ditinjau dari segi akidah, syari’ah, dan akhlak.
Dalam buku Ulumul Hadis, Nawir Yuslem menuliskan  yang dimaksud dengan hadis qauli adalah :
هي ألاحاديث الّتي قالها الرسول صلّي الله عليه وسلّم فى مختلف الأغراض وألمناسبات
Seluruh hadis yang diucapkan Rasul s.a.w. untuk berbagai tujuan dan dalam berbagai kesempatan. [37]
Adapun salah satu contoh hadis qauli adalah :
عن عمربن الخطّاب رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلّي الله عليه وسلّم يقول : ( إنما الا عمال بالنّيات. وإنّما لكلّ امرئ مانوى. فمن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها . أوإلى امرأة ينكحها. فهجرته إلى ما ها جر إليه).
Umar bin Al-Khaththab r.a. pernah berkata: Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda “ Segala amal perbuatan bergantung pada niat dan setiap orang akan memperoleh pahala sesuai dengan niatnya. Maka siapa saja yang berhijrah dengan niat mencari keuntungan duniawi atau untuk mengawini seorang perempuan, (pahala) hijrahnya sesuai dengan niatnya itu. (HR.Bukhari) [38]

b.        Hadis Fi’li
Hadis atau sunnah fi’li ialah perbuatan atau tindakan Rasul yang merupakan
penjelasan praktis ajaran agama, atau dengan kata lain  praktek keagamaan yang dicontohkan  oleh Rasulullah s.a.w. [39]
Pengertian hadis fi’li memberikan penjelasan bahwa setiap perbuatan Rasul dapat dijadikan teladan, dasar pengambilan hukum, dan tata cara pelaksanaan ibadah, sehingga umat dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan tuntunan.
Contoh hadis fi’li adalah :
عن عبد الله بن عمـــر رضى الله عنهمــا : أ نّ رسول الله صلّي الله عليه وسلّم كــان ير فع يديــــه حذ ومنـكبيـه, إذ افتـتــح الصّلاة, واذا كبّـرللـرّكوع, وإذ رفــع رأسه من الـــرّكوع  رفعـــهما كذلك ايضــا. وقال : (سمع الله لمن حمده, ربّنا ولك الحمد ) وكان لا يفعل ذلك في السّجود.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar : Rasulullah s.a.w. mengangkat kedua tangannya ke atas hingga sejajar dengan bahunya ketika memulai shalat (takbiratul-ihram); ketika mengucapkan takbir untuk rukuk, dan ketika bangkit dari rukuknya ia melakukan hal yang sama lalu mengucapkan sami’allahu liman hamidah, Rabbana walakal hamd. Dan Nabi s.a.w. tidak melakukan hal itu (mengangkat  kedua tangannya yang mulia) ketika sujud. (HR. Bukhari). [40]

c.         Hadis Taqriri
Hadis atau sunnah taqririyyah ialah pengakuan atau persetujuan Rasul atas perbuatan atau perkataan sahabat yang diketahuinya. Suatu perbuatan atau perkataan sahabat yang disaksikannya atau sampai beritanya kepadanya dan tidak dipersalahkannya merupakan sunnah taqririyyah. [41]
Perkataan atau perbuatan sahabat yang diakui dan disetujui oleh Rasul s.a.w, hukumnya sama dengan perkataan atau perbuatan Rasul s.a.w. itu sendiri. [42] Nawir Yuslem menuliskan pengertian taqriri adalah diamnya Rasul s.a.w dari mengingkari perkataan atau perbuatan yang dilakukan di hadapan beliau atau pada masa beliau dan hal tersebut diketahuinya. Hal tersebut adakalanya dengan pernyataan persetujuan beliau atau penilaian baik dari beliau, atau tidak adanya
pengingkaran beliau dan pengakuan beliau. [43]
Adapun contoh hadis taqririyyah ini adalah :
عن عبد الله بن عمـــر رضى الله عنهمــا قال :نادى فينا رسول الله صلّي الله عليه وسلّم يوم انصرف عن الاحزاب ان"لا يصلّين احد الطّهر الاّ فى بني قريظة" فتخوّف ناس فوق الوقت, فصلّوادون بنى قريظة, وقال اخرون : لا نصّلى الاّ حيث أمر نا رسول الله صلّي الله عليه وسلّم وان قاتنا الوقت قال : فما عنف واحدان من الفريـــقين.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar. Sepulang dari perang Ahzab, Rasulullah s.a.w. berseru kepada kami, yaitu : “ Janganlah seorangpun melakukan shalat zhuhur, kecuali telah sampai di (perkampungan) Bani Quraizhah.” Maka, sebagian orang yang takut tertinggal oleh waktu zhuhur melakukan shalat sebelum sampai di (perkampungan) Bani Quraizhah. Akan tetapi, yang lain berkata, “ Kami tidak akan melakukan shalat, kecuali di tempat yang telah diperintahkan oleh Rasulullah s.a.w. walaupun waktu shalat zhuhur telah habis.” Maka, beliau tidak mencela seorang pun dari kedua kelompok tersebut. (HR. Muslim ) [44]

Tabel 1
Perbedaan Hadis dan Sinonimnya [45]

Hadis dan Sinonimnya
Sandaran
Aspek dan Spesifikasi
Sifatnya
Hadis
Nabi
Perkataan (qawli)
Perbuatan (fi’li)
Persetujuan(taqriri)
Lebih khusus dan sekalipun dilakukan sekali
Sunnah
Nabi dan
 para sahabat
Perbuatan (fi’li)
Menjadi tradisi
Khabar
Nabi dan selainnya
Perkataan (qawli)
Perbuatan (fi’li)
Lebih umum
Aṡar
Sahabat dan tabi’in
Perkataan (qawli)
Perbuatan (fi’li)
umum

4.        Kedudukan Hadis terhadap Alquran
Seluruh umat Islam, telah sepakat bahwa hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia menempati kedudukan kedua setelah Alquran. Keharusan mengikuti hadis bagi umat Islam  baik berupa perintah maupun larangannya sama halnya dengan kewajiban mengikuti Alquran. Hal ini didasari karena Alquran merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari’at Islam dan keberadaan hadis semakin menyempurnakan kandungan makna ayat dan memperjelas suatu hukum. Maka dengan demikian, terdapat hubungan yang sangat erat antara hadis dengan Alquran. Dan sebagai pedoman atau pegangan hidup manusia, dalam pelaksanaannya  kedua sumber hukum ini tidak dapat di pisah-pisahkan atau seseorang tidak boleh mengamalkan hanya salah satu dari keduanya.
Pendapat serupa disampaikan oleh M. Syuhudi Ismail, dengan menyatakan :

“ Menurut petunjuk al-Qur’an, Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk semua umat manusia dan sebagai rahmat bagi seluruh alam. Itu berarti, kehadiran Nabi Muhammad membawa kebajikan dan rahmat bagi semua umat manusia dalam segala waktu dan tempat. Kalau begitu, hadis Nabi, yang merupakan salah satu sumber utama agama Islam disamping al-Qur’an, mengandung ajaran yang bersifat universal, temporal, dan lokal tersebut. “
“ Menurut petunjuk al-Qur’an, Nabi Muhammad selain dinyatakan sebagai Rasulullah, juga dinyatakan sebagai manusia biasa. Dalam sejarah, Nabi Muhammad berperan dalam banyak fungsi, antara lain sebagai rasulullah, kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim, dan pribadi. Kalau  begitu, hadis yang merupakan sesuatu yang berasal dari Nabi mengandung petunjuk yang pemahaman dan penerapannya perlu dikaitkan juga dengan peran Nabi tatkala hadis itu terjadi. “[46]

 Berikut dikemukakan beberapa dalil yang menjelaskan tentang kedudukan hadis sebagai sumber hukum :
a.         Dalil Alquran
Banyak sekali ayat-ayat Alquran yang berisikan perintah ta’at kepada Rasul dan mengikuti sunnahnya,  salah satu  di antaranya terdapat dalam surah Ali Imran ayat 32, sebagai berikut :
ö@è% (#qãèÏÛr& ©!$# š^qߧ9$#ur ( bÎ*sù (#öq©9uqs? ¨bÎ*sù ©!$# Ÿw =Ïtä tûï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÌËÈ
“ Katakanlah : Ta’atilah Allah dan rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir. “ [47]
Ayat tersebut menunjukkan bahwa taat kepada Allah berarti melaksanakan perintah-perintah al-Qur’an dan menjauhkan larangan-Nya. Sedang taat kepada Rasul berarti taat kepada perintah dan menjauhkan larangannya yang disebutkan dalam sunnah dan Alquran. Perintah kembali kepada Allah berarti kembali kepada Alquran sedang kembali kepada rasul berarti kembali kepada sunnah baik ketika masih hidup maupun setelah wafatnya. [48]
b.        Dalil Hadis Rasul
Kedudukan hadis sebagai sumber hukum dapat ditemukan melalui hadis-hadis Nabi. Dan dalam salah satu hadisnya mengandung pesan yang berkenaan dengan keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman hidup setelah Alquran, Rasul s.a.w bersabda sebagai berikut.
تركت فيــكم أمرين لن تضّلوا مـــاإن تمســـّكـتم بهمــــا كتــــاب الله و سنّـتــــي.
“ Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian, jika kalian berpegang kepada keduanya, niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Alquran) dan sunnah Rasul-Nya”.(H.R. al-Hakim).[49]
Hadis di atas memberikan gambaran tentang kedudukan hadis dan merupakan  pegangan hukum kepada umat Islam bahwa seorang muslim harus berpegang teguh pada keduanya dengan melaksanakan perintah yang terdapat dalam Alquran dan sunnah dan semua menjauhi larangannya, agar manusia tidak tersesat dalam menjalani kehidupan di dunia dan di akhirat.
c.         Kesepakatan ulama (ijma)
Para ulama telah sepakat bahwa sunnah sebagai salah satu hujjah[50] dalam hukum Islam setelah Alquran. Berkaitan dengan materi ini, Abdul Majid Khon menyimpulkan bahwa : Kehujahan sunnah adakalanya sebagai mubayyin    (penjelas) terhadap Alquran atau berdiri sendiri sebagai hujah untuk menambah hukum-hukum yang belum diterangkan oleh al-Qur’an. Kehujahan sunnah berdasarkan dalil-dalil yang Qath’i (pasti), baik dari ayat-ayat Alquran atau hadis Nabi dan atau rasio yang sehat maka bagi yang menolaknya dihukumi murtad. Sunnah yang dijadikan hujah tentunya sunnah yang telah memenuhi persyaratan shahih, baik mutawatir atau ahad.[51]  Seperti yang dikatakan oleh Abu Hanifah:      “Jauhilah pendapat ra‘yu tentang agama Allah SWT! Kalian harus berpegang kepada as-Sunnah. Barang siapa yang menyimpang daripadanya, niscaya ia sesat.”[52] Hal itu menggambarkan betapa tingginya apresiasi para ulama terhadap hadis sebgai sumber hukum.
5.        Fungsi Hadis terhadap Alquran
Fungsi hadis terhadap Alquran adalah untuk menjelaskan makna kandungan Alquran yang sangat dalam dan global, adapun bentuk-bentuk penjelasan yang digunakan diantaranya:
a.         Bayan taqrir
Bayan taqrir adalah hadis yang sesuai dengan nash Alquran, sehingga fungsi hadis tersebut memperkuat isi kandungan Alquran. [53] Contohnya
عن ابن عمـــر رضى الله عنهـمــا قال :قال رســـول الله صلّي الله عليــه وســلّم :       ( بني الإســــلام على خمس, سهــادة أن لاإله إلا الله و أن محمّـــــد رسول الله,     وإقـــام الصــّلاة, وإيتـاء الزكــــاة , والحـج, وصوم رمضان ).
Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar r.a : Rasulullah s.a.w pernah bersabda bahwa Islam didasarkan pada lima prinsip berikut : 1. Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah s.a.w. 2. Mendirikan shalat. 3. Menunaikan zakat. 4. Melaksanakan haji (ziarah ke tanah suci Makkah). 5. Puasa di bulan Ramadhan. ( H.R Al-Bukhari). [54]

Hadis di atas memperkuat keterangan perintah shalat dan zakat (2:83), puasa (2:183), dan perintah haji (3:97).
b.        Bayan tafsir
Bayan  tafsir  adalah penjelasan hadis terhadap ayat-ayat yang memerlukan
perincian atau penjelasan lebih lanjut. [55] Fungsi hadis dalam hal ini memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran yang masih mujmal (ringkas atau singkat), ayat yang sukar untuk difahami, memiliki makna yang banyak. [56] Contoh hadis tentang pelaksanaan shalat, sebagai berikut :
.... وصــلّوا كمـا رأيتــــــمونـي أصـلّى  ... (رواه البخــــا ري)
… Dan shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat… ( Hadis Riwayat al-Bukhari). [57]
Hadis di atas merupakan perintah untuk melaksanakan shalat seperti yang dicontohkan Rasul s.a.w, dan berdasarkan perintah Allah s.w.t dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 43, yaitu :
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
“ Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” [58]
c.         Bayan takhṣiṣ al-‘amm
Bayan takhshish al-‘amm : yaitu membatasi keumuman ayat Alquran, sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. [59] Adapun contohnya :
عن ابي هريرة رضي الله عنه أنّ رسـول الله صلّي الله عليـه وسـلّم قال : القاتل لايرث.
“ Dari Abu Hurairah, r.a, Rasulullah s.a.w bersabda, ‘ Pembunuh tidak mewarisi’. “  (H.R. Ibnu Majah)[60]
Hadis tersebut memberikan batasan tentang keumuman dari kandungan firman Allah s.w.t dalam surah an-Nisa ayat 11, sebagai berikut :
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 .....
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua anak perempuan….” [61]
d.             Bayan tasyri’i
Bayan tasyri’i yaitu penjelasan hadis yang merupakan penetapan suatu hukum atau aturan-aturan syara’ yang tidak ditetapkan dalam Alquran.[62] Seperti ketetapan Rasulullah tentang haramnya mengumpulkan ( menjadikan istri sekaligus) antara seorang wanita dengan makciknya [63], sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadis beliau:
عن ابي هريرة رضي الله عنه : انّ رسـول الله صلّي الله عليـه وســـلّم نهى اربـــع نســــوة ان يجمـــع بينهّـــــــن : المرأة وعــمّتها  والمرأة وخالتهـــــــــــا
“ Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. : Rasulullah s.a.w. melarang memadu empat wanita, yaitu seorang wanita dengan bibinya dari pihak ayah dan seorang wanita dengan bibinya dari pihak ibu. “  [64]
Ketentuan yang terdapat di dalam hadis di atas tidak ditetapkan dalam Alquran. Ketentuan yang ada haanyalah larangan terhadap suami yang memadu istrinya dengan saudara perempuan sang istri, sebagaimana yang disebut dalam firman Allah s.w.t dalam surat an-Nisa (4) ayat : 23-24.
6.        Pendapat Imam Mazhab Tentang al-Bayan
a.         Ulama ahl al-ra’y (Abu Hanifah) membagi al-Bayan kepada tiga, yaitu :
1)        Bayan Taqrir        : Keterangan yang didatangkan oleh Sunnah untuk
  memperkokoh apa yang telah diterangkan dalam Alquran.
2)        Bayan Tafsir         : Menerangkan apa yang kira-kira tidak mudah diketahui
  (tersembunyi pengertiannya).
3)        Bayan Tabdi (Naskh)  : Mengganti suatu hukum atau menghapuskannya. [65]

b.        Imam Malik berpendirian bahwa al-Bayan terbagi kepada lima bagian, yaitu :
1)        Bayan at-Taqrir   : Menetapkan dan mengokohkan hokum-hukum Alquran,
  bukan mentaudhihkan, bukan mentaqyidkan muthlaq dan
  bukan mentakhshishkan ‘aam.
2)        Bayan at-Taudhih: Menerangkan maksud-maksud ayat.
3)        Bayan at-Tafshil   : Menjelaskan mujmal Alquran.
4)        Bayan al-Basthy   : Memanjangkan keterangan bagi apa yang diringkas
   keterangannya oleh Alquran.
5)        Bayan Tasyri’       : Mewujudkan suatu hukum yang tidak tersebut dalam
   Alquran. [66]
c.         Imam Syafi’i menyebutkan bahwa al-Bayan terbagi menjadi lima macam :
1)        Alquran menjelaskan Alquran, sebagai tambahan penjelasan
2)        Hadis menjelaskan bagian-bagian yang terinci atau rincian yang tidak dijelaskan dalam Alquran.
3)        Hadis menjelaskan makna Alquran yang bersifat global.
4)        Hadis menjelaskan hukum baru yang tidak tersurat dalam Alquran.
5)        Ijtihad menjelaskan suatu hukum yang tidak tersurat dalam Alquran dan
Hadis, Namun maknanya menyerupai atau mirip dengan suatu hukum yang tersurat dalam Alquran dan hadis, inilah yang dikenal dengan qiyas. [67]

d.        Imam Hambali, menerangkan al-Bayan terbagi kepada empat bagian, yaitu :
1)        Bayan Ta’kid        : Menerangkan apa yang dimaksudkan oleh Alquran.
2)        Bayan Tafsir         : Menjelaskan sesuatu hukum dalam Alquran.
3)        Bayan Tasyri’       : Mendatangkan suatu hukum yang tidak ada hukumnya
                                      dalam Alquran.
4)        Bayan Takhsish dan Taqyid :
 Mengkhususkan Alquran dan mentaqyidkannya.[68]
7.        Perbandingan Hadis dengan Alquran
Pada penjelasan sebelumnya telah dijelaskan tentang kedudukan dan fungsi Hadis terhadap Alquran, baik Alquran maupun hadis keduanya merupakan sumber ajaran Islam, namun meskipun demikian tetap terdapat perbedaan yang jelas tentang Alquran dan Hadis, baik dari segi pengertian atau definisinya sampai pada karakteristiknya.
a.         Defenisi Alquran secara istilah, seperti yang dijelaskan oleh Shubhi Shalih, adalah  
الكلام المعجز المنزل على النّبيّ صلّي الله عليـه وســـلّم المكتوب فى المصاحف المنقول  بالتّوارترالمتعبّد بتلاوته.
“ Kalam Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w, tertulis didalam mushhaf, yang diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya merupakan ibadah.” [69]
Dan untuk definisi hadis sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.
b.        Secara karakteristiknya perbedaan antara Alquran dan hadis dapat dilihat sebagai berikut:
1)   Alquran merupakan mukjizat Rasul, yang makna dan lafalznya berasal dari Allah, sedangkan hadis bukan mukjizat.
2)   Membaca Alquran hukumnya adalah ibadah, dan sah membaca ayat-ayatnya didalam sholat, sedangkan membaca hadis tidak dinilai sebagai ibadah.
3)   Alquran seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan hadis tidak banyak diriwayatkan secara mutawatir, mayoritas hadisnya diriwayatkan secara ahad.
4)   Kebenaran ayat-ayat Alquran bersifat qath’i al-wurud (pasti atau mutlak kebenarannya dan kafir yang mengingkarinya, sedangkan kebenaran hadis kebanyakan bersifat ahad dan zhanni al-wurud (relative kebenarannya) kecuali yang mutawatir. [70]
Dengan demikian dapat disimpulkan Alquran sebagai sumber hukum pertama yang memiliki berbagai keutamaan, dan Hadis merupakan sumber hukum kedua, baik Alquran maupun hadis wajib diikuti dan dijadikan pedoman hidup bagi setiap orang Islam. 
C.      Simpulan dan Saran
Hadis adalah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi s.a.w. walaupun hanya sekali saja terjadinya dalam sepanjang hidupnya, atau  diriwayatkan hanya satu orang saja. Pengertian hadis sendiri memiliki persamaan dan perbedaan dengan sunnah, khabar, dan asar. Dan adanya perbedaan dalam hal merumuskan defenisi tersebut disebabkan perbedaan sudut pandang yang disesuaikan dengan keahlian masing-masing ulama.
Sunnah, sebenarnya sebutan bagi amaliyah yang mutawatir, yakni cara Rasul melaksanakan suatu ibadah yang diteruskan selanjutnya secara amaliyah mutawatir pula, Nabi melaksanakannya dengan para sahabat, kemudian para sahabat melaksanakannya, yang kemudian diteruskan pula oleh para tabi’in dan seterusnya hingga sampai kepada kita.
Dari segi bentuk-bentuk hadis dapat dibagi kepada
1.        Hadis Qauli, perkataan atau ucapan Rasul yang pernah disampaikannya ketika masih hidup.
2.        Hadis Fi’li, perbuatan atau tindakan Rasul yang merupakan penjelasan praktis ajaran-ajaran agama.
3.        Hadis Taqriri, pengakuan atau persetujuan Rasul atas perbuatan atau perkataan sahabat yang diketahuinya.
Berdasarkan kedudukan hadis terhadap Alquran bahwa, Alquran sebagai sumber hukum pertama yang memiliki berbagai keutamaan, dan hadis merupakan sumber hukum kedua, baik Alquran maupun hadis wajib diikuti dan dijadikan pedoman hidup bagi setiap orang Islam. Adapun  landasan penetapan hadis sebagai sumber hukum kedua setelah Alquran dapat dilihat dari keterangan tentang Mu’az ibn Jabal ketika menjadi hakim di Yaman, dijelaskan bahwa dalam menetapkan hukum terhadap suatu perkara, ia merujuk pada Alquran sebagai sumber hukum utama, dan kalau tidak didapati maka ia memutuskannya dengan merujuk pada sunnah Rasul.
Dilihat dari fungsi hadis terhadap Alquran secara umum dapat disimpulkan bahwa hadis  memegang peranan penting dalam memberikan penekanan-penekanan terhadap ketentuan yang sudah ditetapkan dalam Alquran,  melengkapi kesempurnaan kandungan makna ayat Alquran yang masih bersifat umum.






DAFTAR PUSTAKA


Abdus Salam Al-Indunisi, Ahmad Nahrawi, Ensiklopedia Imam Syafi’i : Biografi dan Pemikiran Mazhab Fiqih Terbesar Sepanjang Sejarah, terj. Usman Sya’roni, Jakarta: Hikmah: 2008.
Ismail, M. Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual : Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universitas, Temporal, dan Lokal, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Kementerian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an dan Terjemahan, Arab Saudi: Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at al-Mushhaf, 1990.
Khathib, Ajaj, Ushul al-Hadits, terj. M.Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, cet 1, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Khon,  Abdul Majid, Ulumul Hadis, cet. 4, Jakarta: Amzah, 2010.
Mundziri,  Zaki al-Din Abd Al-Azhim, Ringkasan Shahih Muslim, terj. Syinqithy Djamaluddin dan HM.Moctar Zoerni, cet 2, Bandung: Mizan, 2009.
Ramli Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang,  Kamus Lengkap Ilmu Hadis, ed. Sulidar, Medan: Perdana Publishing, 2011.
Ranuwijaya,Utang,  Ilmu Hadis, cet. 3, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Shiddieqy, T. M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,  cet.5, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010.
Sulaiman PL,  M.Noor,  Antologi Ilmu Hadits, cet.1, Jakarta: Gaung Persada Press, 2008.
Wahid, Ramli,  Abdul Sejarah Pengkajian Hadis di Indonesia, cet. 1, Medan: IAIN Press, 2010.
Wahid,  Ramli Abdul, Studi Ilmu Hadis, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2005.
Yuslem, Nawir,  Ulumul Hadis, Jakarta: PT.Mutiara Sumber Widya, 2001.
Zabidi, Imam, Ringkasan Shahih al-Bukhari, terj. Cecep Syamsul Hari dan Tholib Anis cet. 2, Bandung: Mizan, 2009.



[1] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, cet.4 (Jakarta: Amzah. 2010), h. 1
[2] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2005) h. 2-3.
[3] T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,  cet.5 (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010), h. 5.
[4] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 2.
[5] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis,  h. 4.
[6] T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 5.
Ramli Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang,  Kamus Lengkap Ilmu Hadis, ed. Sulidar             (Medan: Perdana Publishing, 2011), h. 119-120, menyatakan marfu menurut bahasa berarti sesuatu yang diangkat, yang dimajukan, yang diambil, yang dirangkaikan, yang disampaikan. Menurut terminologi ilmu hadis, yaitu hadis yang disandarkan kepada Rasulullah s.a.w sendiri baik perkataan atau perbuatan, demikian pula taqrir, baik sanadnya bersambung maupun terputus sanadnya atau terputus beberapa sanadnya menurut berturut-turut. Maqthu’ menurut bahasa bermakna terputus, dan menurut terminologi ilmu hadis sesuatu yang disandarkan kepada tabi’i atau generasi setelahnya, baik itu perkataan ataupun perbuatan.
[7] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis,  h. 4
[8] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, cet. 3 (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h.4.
[9] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: PT.Mutiara Sumber Widya, 2001), h. 38.
[10] Kementerian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an dan Terjemahan (Arab Saudi: Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at al-Mushhaf, 1990), h.452
[11] Zaki al-Din Abd Al-Azhim Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, terj. Syinqithy Djamaluddin dan HM.Moctar Zoerni, cet 2 (Bandung: Mizan, 2009), h. 1072. Lihat Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 39. kata سنة  yang terdapat dalam hadis yang diriwayatkan Muslim, Ibnu Majah dan al-Darami diartikan jalan. Lihat Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, terj. M.Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, cet 1 (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998) h, 1. Kata   سنة    diartikan suatu jalan, dan Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h, 5. Kata   سنة  yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi diartikan suatu jalan. Dalam Kamus Lengkap Ilmu Hadis yang ditulis oleh Ramli Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang pada halaman 223-224. Dinyatakan secara bahasa Sunnah mengandung beberapa arti antara lain : jalan yang ditempuh, baik itu sifat terpuji maupun jelek dan tercela. Sunnah juga berarti sesuatu yang sudah biasa dilakukan atau yang telah menjadi tradisi. Bentuk jamak sunnah adalah as-sunan.
[12] T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 6.
[13] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 41
[14] Ibid , h, 42
[15] Ibid., h, 43
[16] M.Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, cet.1 (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), h.11-12
[17] Ramli Abdul Wahid, Sejarah Pengkajian Hadis di Indonesia, cet. 1 (Medan: IAIN Press, 2010), h.19.
[18] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 9.
[19] Ramli Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap Ilmu Hadis, ed. Sulidar, h.101.
[20] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 45.
[21] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 45.
[22] Ramli Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap Ilmu Hadis, h.29
[23] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 46.
[24] T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 13.
[25] Ibid.
[26] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h.217.
[27] Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits,  h, 10.
[28] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis,  h. 22.
[29] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits,  h, 222.
[30] Ibid.
[31] Ibid, h. 223.
[32] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 284.
[33] Ibid, h. 285.
[34] Ibid, h. 292.
[35] Ibid, h. 293
[36] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis,  h.12.
[37] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 47.
[38] Imam Az-Zabidi, Ringkasan Shahih al-Bukhari, terj. Cecep Syamsul Hari dan Tholib Anis cet. 2 (Bandung: Mizan, 2009), h. 1. Lihat Zaki al-Din Abd Al-Azhim Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, h. 164.
[39] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis,  h. 15.
[40] Imam Az-Zabidi, Ringkasan Shahih al-Bukhari, h. 179.
[41] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis,  h. 17.
[42] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 50.
[43] Ibid.
[44] Zaki al-Din Abd Al-Azhim Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim,h. 665.
[45] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h.10.
[46] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual : Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universitas, Temporal, dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintang, 1994) h, 4.
[47] Kementerian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an dan Terjemahan, h. 80
[48] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h.25.
[49] Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits,  h, 28.
[50] Ramli Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap Ilmu Hadis, h.73. Hujjah menurut bahasa berarti hujah, keterangan, dan dalil. Menurut istilah hujjah adalah gelar yang diberikan kepada imam yang sanggup menghafal 300.000 hadis dengan baik dan mengetahui perihal si perawi. Akan tetapi, keluasan ilmunya tidak sampai pada tingkat al-Hakim.
[51] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h.25. dan Ramli Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap Ilmu Hadis, h. 216,174, 11. Shahih adalah hadis yang bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh periwayat adil dan dhabit (kuat hafalannya) hingga akhir sanadnya tidak ditemukan adanya kejanggalan dan cacatnya. Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang, mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk melakukan kedustaan. Dan Ahad adalah hadis yang tidak memnuhi syarat-syarat mutawatir, baik diriwayatkan oleh seorang perawi atau lebih.
[52] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis,  h.25.
[53] Ibid, h. 27.
[54] Imam Az-Zabidi, Ringkasan Shahih al-Bukhari, h. 11.
[55] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis,  h.29.
[56] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis,  h. 45.
[57] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 55.
[58] Kementerian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an dan Terjemahan, h. 16.
[59] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis,  h. 46.
[60] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 74.
[61] Kementerian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an dan Terjemahan, h. 116.
[62] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 75.
[63] Ibid,
[64] Zaki al-Din Abd Al-Azhim Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim,h. 439.
[65] M.Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, h.37-38.
[66] T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 138-140.
[67] Ahmad Nahrawi Abdus Salam Al-Indunisi, Ensiklopedia Imam Syafi’i : Biografi dan Pemikiran Mazhab Fiqih Terbesar Sepanjang Sejarah, terj. Usman Sya’roni, cet.1 (Jakarta: Hikmah: 2008), h.190.
[68] T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 141-142.
[69] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h.14.
[70] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 80-81.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar