Selasa, 25 Oktober 2011

Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh


PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
MUHAMMAD ABDUH
 Zuraidah (Nim 10 PEDI 1818)

A.                Pendahuluan
Muhammad Abduh adalah seorang reformis, ia lahir di lingkungan keluarga petani yang hidup sederhana, taat dan cinta ilmu pengetahuan.  Ayahnya bernama Muhammad ‘Abduh ibn Hasan Khairullah, ia bukan seorang bangsawan yang kaya tetapi cukup berwibawa dan terhormat. Ibunya keturunan Arab yang silsilah sampai kepada Umar ibn Khathab.
Guru pertamanya adalah sang ayah, yang mengajarinya membaca, menulis, dan menghafal Al-Quran. Hanya dalam jangka waktu 2 tahun diumur 12 tahun. Ia telah menghafal seluruh ayat Al-qur’an.
Sejarah mencatat perjalanan panjang pendidikannya, saat ia menemukan kekurangan dan merasakan putus asa, ia bertemu dengan orang yang tepat yaitu Syekh Darwiys Khadr, sebelum ia berangkat ke Kairo, dan bertemu dengan Jamaluddin al-Afghani, setelah ia belajar di al-Azhar.
Muhammad Abduh dalam sejarah pendidikan, termasuk salah satu pembaharu yang harum namanya dan memiliki pengaruh besar di dunia Islam karena reformasi pendidikan yang dilakukannya. Bukan saja melahirkan ide-ide cemerlang dalam dunia pendidikan, Muhammad Abduh juga dikenal pembaharu agama yang menyerukan umat Islam untuk kembali kepada Al Quran dan As- Sunnah, dan pembaharu pergerakan, bersama Jamaludin al-Afgani menerbitkan majalah al’Urwatul Wutsqa di Paris yang makalah-makalahnya menghembuskan semangat nasionalisme pada rakyat Mesir dan dunia Islam pada umumnya.
Rintangan dan hambatan bukanlah halangan baginya untuk menghantarkan pembaharuan pemikiran dalam pendidikan Islam pada tempat yang layak, dan pada makalah ini akan diuraikan tentang perjalanan hidup seorang Muhammad Abduh dari seorang biasa dalam belajar sampai mendapat gelar Mufti di Mesir, dengan segala kesulitan yang ia temukan dan sampai keberhasilan yang diperolehnya.
B.                 Sejarah Hidup Muhammad Abduh dan Pemikirannya
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1848 M/ 1265 H disebuah desa di Propinsi  Gharbiyyah Mesir  Hilir. Ayahnya bernama Muhammad ‘Abduh ibn Hasan Khairullah. Abduh lahir dillingkungan keluarga petani yang hidup sederhana, taat dan cinta ilmu pengetahuan. Orang tuanya berasal dari kota Mahallaj Nashr. 1  Ayahnya bukan seorang bangsawan yang kaya tetapi cukup berwibawa dan terhormat. Ibunya keturunan Arab yang silsilah sampai kepada Umar ibn Khathab. Kakek Muhammad Abduh diketahui turut menentang pemerintahan Muhammad Ali. Kenyataan itu dituduhkan pula kepada Abdul Khairullah, ayah Muhammad Abduh. Karena tuduhan itu ayahnya sempat dipenjara untuk beberapa lama, sebelum ia menetap di al-Gharibiah dan mengikat tali perkawinan dengan ibu Muhammad Abduh. 2
Abduh mengawali pendidikannya dengan berguru pada ayahnya di rumah. Pelajaran pertama yang diperolehnya adalah membaca, menulis, dan menghafal Al-Quran. Hanya dalam jangka waktu 2 tahun. Ia telah menghafal seluruh ayat Al-qur’an. Kemudian, pada usia 14 tahun ia dikirim ayah ke Tanta untuk belajar di mesjid al-Ahmadi fikih. 3  
Di tempat ini ia mengikuti pelajaran yang diberikan dengan rasa tidak puas, bahkan membawanya pada rasa putus asa untuk mendapatkan ilmu. Ia tidak puas dengan metode pengajaran yang diterapkan yang mementingkan hafalan tanpa pengertian bahkan ia berpikir lebih baik tidak belajar dari pada menghabiskan waktu menghafal istilah-istilah nahu dan fikih yang tidak dipahaminya, sehingga ia kembali ke Mahallat nashr ( kampungnya ) dan hidup sebagai petani serta melangsungkan pernikahan dalam usia 16 tahun. 4
Keputusan Muhammad Abduh untuk meninggalkan dunia pendidikan tidak disetujui oleh orangtuanya. Maka dengan terpaksa ia kembali ke Thanta. Namun, dalam di tengah perjalanannya ia merubah arah tujuannya.  Ia bukannya ke Thanta, melainkan  ke sebuah desa yang bernama Kanisah
1       Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam:Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia,  (Jakarta, Kencana, 2009) h .240
2       Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, (Bandung, Citapustaka Media Perintis, 2008) h. 124
3       A. Bakir Ihsan, Ensiklopedia Islam Jilid I, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005) h.13
4       Lihat Samsul Nizar, h. 240.
Urin, di sana tinggal pamannya yang bernama Syekh Darwisy Khadr. Syekh
Darwiys Khadr adalah seorang alim yang banyak melakukan perjalanan ke luar Mesir, belajar berbagai macam ilmu agama, dan sangat perhatian dengan bidang tafsir Al-Qur’an.
         Darwisy Khadr berhasil memotivasi Muhammad Abduh kembali membaca buku. Ia berusaha membantu Muhammad Abduh memahami apa-apa yang dibaacanya. Atas bantuan pamannya itu, ia akhirnya mengerti apa yang dibaca. Sejak saat itulah minat bacanya mulai tumbuh dan ia berusaha membaca buku-buku secara mendiri. Istilah-istilah yang tidak dipahaminya ia tanyakan kepada Darwisy Khadr. Dengan demikian dapatlah ditegaskan bahwa sebab utama ia meninggalkan pelajaran pada waktu sebelumnya  adalah karena rendahnya minat untuk belajar. 5
Setelah ia mengalami banyak perubahan dan kemajuan dalam pemahaman, di samping itu Muhammad Abduh menjadi tempat bertanya bagi teman-temannya. Ia tertarik untuk mengadakan perjalanan dalam rangka meningkatkan keilmuannya, dengan cara meninggalkan Thanta dan menuju Kairo pada tahun 1866.
Akan tetapi kondisi al-Azhar pada saat itu, terbelakang dan jumud. Karena segala sesuatu yang berlawanan dengan kebiasaan al-Azhar adalah perbuatan kafir, seperti membaca buku geografi, filsafat, dan jenis-jenis buku umum hukumnya haram, bahkan memakai sepatu merupakan bid’ah. Kemudian ia juga menemukan metode yang sama dengan Thanta, yang membuat Muhammad Abduh kembali kecewa.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Muhammad Abduh mempelajari ilmu filsafat, ilmu ukur, soal-soal dunia dan politik dari seorang intelektual bernama Hasan Tawil. Tetapi pelajaran yang diberikan Hasan Tawil pun kurang memuaskan diriya. Pelajaran yang diterimanya di al-Azhar juga kurang menarik perhatiannya. Ia lebih suka membaca buku di perpustakaan al-Azhar. Kepuasan Muhammad Abduh mempelajari matematika, etika, politik, filsafat, ia peroleh dari Jamaluddin al-Afghani.
5       Lihat Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah,  h. 125
Pada tahun 1877 ia menempuh ujian untuk mencapai gelar al-Alim. Ia lulus dengan predikat baik. Setelah lulus ia mengajar di al-Azhar, di Dar al-Ulum dan rumahnya sendiri. 6
Ketika pada 1296 H/1879 M, Jamaluddin Al-Afghani dideportasi dari Mesir, Muhammad Abduh dipecat dari jabatannya sebagai guru. Abduh pun memutuskan untuk kembali ke desanya. Hingga akhirnya Riyadh Pasha mengeluarkan surat yang berisi tentang kebersihan Muhammad Abduh. Setelah itu Muhammad Abduh menjadi pemimpin redaksi surat kabar Al-Waqai Al-Mishriyyah. Di dalam surat kabar itulah Muhammad Abduh menyebarkan pemikiran-pemikirannya. 7
Muhammad Abduh, atas pengaruh gurunya Jamaluddin Al-Afghani  juga terlibat dalam kegiatan politik paktis. Ia pernah terlibat dalam peristiwa “Urabi tahun 1881”. Peristiwa itu mengakibatkan ia tertangkap pada tahun 1882 ia dibuang ke Syiria. Di masa pengasingan itu, Afghani mengundang Abduh untuk datang ke Paris dan di sinilah Afghani dan Abduh menyusun gerakan al-Urwat al-Wutsqa, yakni gerakan kesadaran umat Islam sedunia. Tujuan gerakan ini adalah untuk membangkitkan semangat perjuangan seluruh umat Islam dalam menentang ekspansi Eropa ke dunia Islam. 8 Karena dianggap berbahaya, majalah ini hanya sampai 18 nomor penerbitan saja  dan untuk berikutnya majalah ini dilarang terbit oleh Pemerintah Prancis.
Setelah majalah al-‘Urwah al-Wutsqa tidak terbit lagi, Muhammad Abduh mulai bosan dengan gerakan politik. Dia pun mulai memiliki keinginan untuk melakukan perubahan melalui pendidikan dan pembaruan pemikiran umat Islam. Abduh pun meninggalkan Al-Afghani dan kembali ke Beirut sebagai guru Madrasah Sulthaniyyah. Dia pun menjadi penafsir Al-Qur’an di Masjid Umari, penulis, dan editor (muhaqqiq), dan buku-buku Turats.
Di sinilah  titik  awal  perubahan  Muhammad   Abduh,  ia memilih
memusatkan   perhatiannya  pada  pembaharuan  melalui  pemikiran  dan

6       Lihat Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah,  h. 126
7       Arif Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam,  (Bandung, Mizan Media Utama, 2010) h .335
8       Lihat Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, h. 126
pendidikan, sedangkan gurunya  Jamaluddin al-Afghani tetap fokus pada pembaharuan melalui pergerakan politik.
         Pada tahun 1306 H/1889 M, Muhammad Abduh kembali lagi ke Mesir dan sibuk di pengadilan. Pada tahun 1891, Muhamad Abduh bekerja sebagai konsultan (mustasyar) di pengadilan banding (mahkamah isti’naf). Kemudian, dia menduduki jabatan mufti Mesir pada 1317 H.1899 M. Lalu pada 1318 H/1900 M. dia mendirikan Jam’iyyah Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyyah. 9
Pembaharuan yang kedua yang dilakukannya sebagai mufti di tahun 1899 menggantikan Syekh Hasanuddin al-Nadawi. Usaha yang pertama yang dilakukannya di sini adalah memperbaiki pandangan masyarakat bahkan pandangan mufti sendiri tentang kedudukan mereka sebagai hakim. Mufti-mufti sebelumnya berpandangan, sebagai mufti bertugas sebagai penasehat hukum bagi kepentingan Negara. Di luar itu seakan melepaskan diri dari orang yang mencari kepastian hukum. Mufti baginya bukan hanya berkhidmat kepada Negara, tetap juga pada masyarakat luas. Dengan demikian, kehadiran Muhammad Abduh tidak hanya dibutuhkan oleh Negara tetapi juga oleh masyarakat luas. 10
Pembaharuan yang ketiga yang dilakukannya ialah dibuktikan dengan dididirikannya organisasi sosial yang bernama al-Jami’at al-Khairiyyah  al-Islamiyyah pada tahun 1892. Organisasi ini bertujuan untuk menyantuni fakir miskin dan anak yang tidak mampu dibiayai oleh orangtuanya. Wakaf merupakan salah satu institusi yang tidak luput dari perhatiannya, sehingga ia membentuk majelis administrasi wakaf sehingga ia berhasil memperbaiki perangkat masjid. 11
Para pemerhati sejarah menyatakan ada beberapa corak pemikiran Muhammad Abduh yang menjadi dasar baginya dalam melakukan pembaharuan, terkhusus di bidang pendidikan.
1.       Modernisasi  12
9.     Lihat Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam,  h .336
10.  Lihat Samsul Nizar, h. 243
11.  Lihat Samsul Nizar, h. 244
12.  Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1989) h. 172
Dalam pembahasan sebelumnya telah dinyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada Abduh tidak lain adalah karena pengaruh besar dari seorang al-Afghani, ia berusaha untuk menarik benang merah penyesuaian antara ajaran Islam dengan tuntutan zaman, seperti penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Gagasan penyesuaian ini disebut dengan modernisasi yang juga berperan untuk menjauhkan pengaruh taqlid. Menurut Muhammad Abduh, Al-Qur’an  memerintahkan kepada ummatnya untuk menggunakan akal sehat mereka, serta melarangnya mengikuti pendapat-pendapat terdahulu tanpa mengikuti secara pasti hujjah-hujhah yang menguatkan pendapat tersebut. Dalam hal ini, Abduh menetapkan tiga hal yang menjadi kriteria perbuatan taqlid ini, yaitu, pertama, sikap yang sangat  berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan para leluhur dan para guru. Kedua, Mengiktikadkan  keagungam para pemuka agama di masa silam, yang seolah-olah mereka telah mencapai kesempurnaan. Ketiga, Perasaan takut dibenci orang dan dikritik bila ia melepaskan fikirannya serta melatih dirinya untuk berpegang kepada apa yang dianggap benar secara mutlak.
Muhammad Abduh menyikapi peradaban Barat modern dengan selektif dan kritis. Dia senantiasa menggunakan prinsip ijtihad sebagai metode utama untuk meretas kebekuan pemikiran kaum muslimin. Abduh tidak pernah berfikir, apalagi berusaha untuk mengambil alih secara utuh segala yang datang dari dunia Barat. Karena ia beranggapan apa bila itu dilakukan berarti mengubah taqlid yang lama dengan taqlid yang baru, juga karena hal tersebut tidak akan berguna, disebabkan adanya perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial masyarakat masing-masing daerah. Islam menurut Abduh harus mampu meluruskan kepincangan-kepincangan perbedaan barat serta membersihkan dari segi-segi negatif yang menyertainya. Dengan demikian, perbedaan tersebut pada akhirnya, akan menjadi pendukung terkuat ajaran Islam, sesaat setelah ia mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam 13
13.  M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994). h.20
2.      Reformis
Muhammad Abduh Adalah seorang pembaharu yang corak pembaharuannya bersifat reformistik-rekonsturktif. Ini dikarenakan Muhammad Abduh senantiasa melihat tradisi dengan perpektif membangun kembali. Agar tradisi suatu masyarakat dapat survive dan terus diterima, ia harus dibangun kembali. Pembangunan kembali ini tentunya dengan kerangka modern dan prasyarat rasional. Pemikiran pembaharuan yang bercorak reformistik dalam bentuknya yang pertama secara filosofis.

3.      Konservatif
Gerakan pembaharuan yang diinagurasikan Muhammad Abduh bersifat konservatif, hal ini terlihat dari sikap Muhammad Abduh yang tidak bermaksud mengubah potret diri Islam. Risalah Tauhid merupakan bukti dari pemikiran ini. Muhammad Abduh dalam karya ini berupaya menegaskan kembali potret diri Islam yang telah mencapai finalitas dan keunggulan. 14

Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa pada corak pertama pemikiran Muhammad Abduh, ia lebih menekankan pada aspek slektifitas dan sikap kritis dalam menyikapi dan memandang peradaban barat, pemikiran yang kedua menggambarkan upaya Abduh dalam membangun kembali tradisi Islam secara rekonstruktif, sedangkan pemikiran yang ketiga, Abduh memfokuskan kepada upaya membela Islam melalui finalitas dan keunggulan Islam.
Hasan Asari dalam bukunya Modernisasi Islam : Tokoh, Gagasan, dan Gerakan, menuliskan; kesadaran akan kemunduran internal, serta komitmen yang tinggi terhadap pentingnya pembaharuan internal adalah fondasi pemikiran Muhammad Abduh. Baginya kemunduran Umat Islam disebabkan, terutama dalam kejumudan dalam berfikir. Paham kejumudan ini mematikan kegiatan berfikir, mengekang keratifitas, dan menganjurkan kepatuhan mutlak pada penafsiran tradisional (taqlid). Di samping itu juga ia menyerang berbagai kepercayaan dan praktek keagamaan yang  menurutnya menyimpang dari keaslian Islam, seperti kepasifan dan fatalisme, atau berbagai praktek sebagian pengikut sufi. Masalah ini hanya dapat diselesai
kan dengan penafsiran kembali Islam serta penerapannya melalui pendidik
14.  Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta, Arruzz, 2006) ,h. 265-266
an dan reformasi sosial. 15
         Sejarah kehidupan Muhammad Abduh, menarik untuk di analisa. Di mulai sejak pendidikan awal saat ia berguru langsung pada ayahnya, dan ia dapat menghafal seluruh ayat Al-Qur’an dalam masa dua tahun. Namun, ayahnya tidak serta merta menganggap bahwa ia berhasil mengajar anaknya, akan tetapi ayahnya mengirim Muhammad Abduh belajar di masjid  al-Ahmadi Thanta, salah satu pelajarannya adalah memperbaiki bacaan Al-Qur’an yaitu belajar tajwid. 
Yang menarik saat Muhammad Abduh belajar di Thanta, diperkirakan sekitar tahun 1860 M. Ia sudah merasakan kebosanan terhadap metode hafalan yang ia terima. Sampai-sampai ia berfikir lebih baik tidak belajar daripada menghafal istilah-istilah nahwu dan fiqh, yang tidak ia mengerti. Hal ini disebabkan, sistem pengajaran saat itu menggunakan metode menghafal, dengan tidak memberikan penjelasan terhadap apa yang mereka hafal, bahkan yang lebih menyedihkan adalah sikap para guru terkesan tidak mau tahu, apakah pelajar mengerti atau tidak mengerti.
Muhammad Abduh mengambil langkah berani, yaitu meninggalkan lembaga pendidikan yang tidak sesuai dengan harapannya dan kembali ke kampung halamannya, kemudian ia menikah lalu menggarap lahan pertanian. Melihat langkah yang ia ambil, sepertinya Muhammad Abduh menganggap lebih baik menggarap pertanian dan menghasilkan sesuatu daripada belajar tapi dengan cara yang membosankan.
Tetapi, karena lingkungan keluarga yang cinta terhadap ilmu, membuat Muhammad Abduh tidak dapat menolak keinginan orangtuanya untuk kembali belajar ke Thanta. Di sinilah takdir Allah Swt berlaku, kisah perjalanan yang mulanya harus ke Thanta, tetapi berbelok ke sebuah desa yang bernama Kanisah Urin, dan bertemu dengan pamannya yang bernama Syekh Darwisy Khadr. Motivasi dari Syekh Darwisy Khadr membangkitkan semangat belajarnya, dan ia pun melangkah maju dengan tujuan menimba ilmu, Muhammad Abduh pun berangkat ke Kairo dan belajar di al-Azhar.
15    Hasan Asari, Modernisasi Islam : Tokoh, Gagasan, dan Gerakan (Bandung, Citapustaka Media, 2007)  h.73
         Muhammad Abduh merasakan kekecewaan yang sama saat ia belajar di Thanta dan ia temukan metode yang sama di al-Azhar, bahkan yang paling ia tidak terima adalah segala sesuatu yang berada di luar kebiasaan al-Azhar adalah kekafiran, seperti membaca buku geografi, filsafat, dan jenis-jenis buku umum adalah haram, bahkan memakai sepatu merupakan bid’ah.
Kemudian Muhammad Abduh belajar dengan Hasan Tawil, ia seorang intelektual. Lalu pada akhirnya dan kepuasaannnya dalam belajar dapat ia rasakan setelah bertemu dengan Jamaluddin al-Afghani, karena metode yang digunakan oleh Jamaluddin al-Afghani adalah diskusi, dengan diskusi Muhammad Abduh lebih memahami ilmu-ilmu yang ia pelajari.
Jamaluddin al-Afghani bukan hanya guru bagi Muhammad Abduh, hal ini terlihat jelas banyaknya kemiripan langkah yang ditempuh oleh Muhammad Abduh dalam pergerakannya, walaupun pada akhirnya Muhammad Abduh lebih memilih untuk melakukan pembaharuan dalam pemikiran dan pendidikan.
Perjuangan Muhammad Abduh untuk melakukan pembaharuan dalam pemikiran dan pendidikan tidak lah mudah, ia menerima banyak hambatan terkhusus dari al-Azhar. Namun setelah ia menjadi Mufti Mesir pada tahun 1899 M, ia melakukan terobosan dalam beberapa hal di al-Azhar dengan mengajukan proposal perubahan. Pada tanggal 8 Jumadil Awal 1323 H/11 Juli 1905 M, Muhamad Abduh meninggal dunia disebabkan sakit, dan beliau dikebumikan di pemakaman negara kota Kairo.
Semangat juang Muhammad tertuang dalam sumpah jihadnya, yang antara lain berbunyi :
 Saya bersumpah atas nama kepada  Allah, bahwa saya akan berpegang teguh kepada Kitab Allah (Al-Qur’an) dalam segala amal bakti dan sikap moral saya tanpa penyimpangan dan penyesatan…

Saya akan senantiasa siap memperkenankan panggilan Tuhan dalam bentuk   perintah atau larangan-Nya dan akan berdakwah sepanjang hayatku tanpa pamrih…

Saya bersumpah atas nama Allah yang memiliki roh dan harta benda saya, yang menggenggam nyawa serta mengendalikan segenap perasaan saya…: bahwa saya akan rela mengorbankan apa yang ada pada diri saya. Untuk menghidupkan rasa solidaritas Islam (ukhuwah Islamiyah) yang mendalam.

Saya bersumpah atas nama kehebatan dan kekuasaan Allah, bahwa saya tidak akan mendahulukan kecuali apa yang diprioritaskan oleh agama Allah, dan tidak mentakhirkan kecuali apa yang dikemudiankan oleh agama, dan tidak akan melangkahkan sesuatu langkah kalau akan membawa kerugian pada agama, sedikit ataupun banyak…
Dan saya berjanji kepada Allah, bahwa saya akan selalu berdaya upaya mencari segala jalan atau peluang untuk kekuatan Islam dan kaum muslimin… “ 16
           
Setelah Muhammad Abduh meninggal dunia, Seorang alim Kristen bangsa Inggris menulis surat kepada adik Muhammad Abduh, yang antara lain menyatakan :
“ Selama umur saya, sudah bayak negeri dan bangsa saya lihat. Tetapi belum pernah saya melihat seorang juga seperti almarhum itu, baik di Timur maupun di Barat. Karena tidak ada bandingannya dalam ilmu pengetahuan, dalam kesalehan, ketajaman pikiran, kejauhan pandangan, kedalaman pengertian tentag sesuatu. Tidak saja mengenai lahir, tapi juga mengenai batin. Tiada bandingannya dalam kesabaran, kejujuran, kepandaian berbicara, gemar beramal dan berbuat kebaikan, takut kepada Tuhan dan senantiasa berjuang di jalan-Nya, pecinta ilmu dan tempat berlindung orang-orang fakir dan miskin. “ 17

Mukti Ali menjelaskan inti dari pemikiran Muhammad Abduh dalam bukunya yang berjudul “ Alam Pemikiran Islam Modern Timur Tengah, yaitu
1.         Membebaskan pikiran dari ikatan taqlid dan memahami agama seperti kaum salaf sebelum timbulnya pertentangan-pertentangan dan kembali dalam mencari pengetahuan agama kepada sumbernya yang pertama dan mempertimbangkan dalam lingkungan timbangan akal yang diberikan Allah SWT untuk mencari keseimbangan dan mengurangi kecampuradukan dan kesalahan. Dengan cara ini orang dianggap sebagai sahabat ilmu yang bergerak untuk meneliti rahasia-rahasia alam, mengajak menghormati kebenaran dan untuk berpegang kepada pendidikan jiwa dan perbaikan amal.
2.         Memperbaiki bahasa arab dan susunan kata, baik dalam percakapan resmi atau dalam surat menyurat antar manusia.
3.         Pembaharuan di bidang politik, ini dilakukannya di Majlis  Syura sejak ia dipilih menjadi anggota majelis itu. 18
16.  Muhammad Abduh, Risalat’ut Tauhid, Risalah Tauhid, Firdaus AN, (Jakarta, PT.Bulan Bintang, 1992) h.x
17.  Ibid, h. xiii
18.  Mukti Ali, Alam Pemikiran Islam Modern Timur Tengah, (Jakarta, Djambatan, 1995), h. 487-488
Dari pemaparan pembahasan, telah memberikan gambaran tentang Muhammad Abduh, sejarah hidup dan pemikirannya. Muhammad Abduh melakukan pembaharusan karena menyadari bahwa telah terjadi kerusakan dalam banyak bidang terkhusus aqidah umat Islam yang disebabkan salahnya pendidikan. Karena itu, ia berusaha melakukan perubahan pada bidang pendidikan Islam.
C.                Karya – Karya Muhammad Abduh
1.      Tafsir Al-Qur’an Al-Karim (Tidak ditamatkan/Tidak selesai)
2.      Risalah Al-Tauhid
Muhammad Abduh dalam bukunya yang berjudul Risalah Tauhid menjelaskan bahwa manusia hidup menurut akidahnya. Bila akidahnya benar, maka akan benar pulalah perjalanan hidupnya. Dan akidah itu bisa betul, apabila orang yang mempelajarinya dengan cara yang betul pula. Pendirian inilah yang mendorong Abduh untuk menegakkan tauhid dan berjuang untuk itu dalam hidupnya. Ia mengajar dan menulis tentang tauhid untuk umum dan untuk mahasiswa. Dan buku ini berasal dari diktat-diktat kuliah beliau pada Universitas al-Azhar yang kemudian untuk keperluan pengajaran ilmu tauhid, sengaja dibukukan oleh pengarang. 19
3.      Al-Radd ‘ala Hanutu
4.      Risalah Al-Waridat
5.      Hasyiyah ‘ala Syarh Al-Dawani li Al-‘Aqa’id Al-Adhudiyyah
6.      Syarh Najh Al-Balaghah
7.      Syarh Muqamat Al-Badi Al-Hamdzani
8.      Al-Islam wa Al-Radd ‘ala Muntaqidih
9.      Al-Ialam wa Al-Nashraniyyah ma’a Al-‘ilm wa Al-Madaniyyah
10.  Al-Tsaurah Al-‘Arabiyyah
11.  Al-Radd ‘ala Al-Dahriyyin
D.                Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh .
Suwito, dalam bukunya yang berjudul Sejarah Sosial Pendidikan Islam,
19.  Muhammad Abduh, Risalat’ut Tauhid, Risalah Tauhid, Firdaus AN,  h.xi
mengatakan  bahwa  bagi Muhammad Abduh, yang harus diperjuangkan dalam satu system pendidikan adalah pendidikan yang fungsional, yang meliputi pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semuanya harus mempunyai dasar membaca, menulis, berhitung dan harus mendapatkan pendidikan agama. Isi dan lama pendidikan haruslah beragam, sesuai dengan tujuan dan profesi yang dikehendaki pelajar. Abduh percaya bahwa anak petani dan tukang harus mendapatkan pendidikan umum, agar mereka dapat meneruskan jejak ayah mereka.
Dalam pendidikan Abduh, siswa sekolah menengah haruslah mereka yang ingin mempelajari syariat, milliter, kedokteran, atau ingin bekerja pada pemerintah, kurikulumnya meliputi Pengantar Pengetahuan, Seni Logika, Prinsip Penalaran, Teks tentang Dalil Rasional, serta Teks Sejarah yang meliputi berbagai penaklukan dan penyebaran Islam. 20
Latar belakang lahirnya ide-ide pendidikan Muhammad Abduh disebabkan oleh faktor situasi sosial keagaman dan situasi pendidikan yang ada pada saat itu. Karena Muhammad Abduh beranggapan bahwa kejumudan   pemikiran telah merasuki berbagai bidang kehidupan seperti bahasa, syari’ah, akidah, dan sistem masyarakat. Menurutnya salah satu penyebab hal ini terjadi adalah karena faham dari akidah jabariah.  Ajarannya jabariyah memiliki kecenderungan untuk bersikap sikap fasif dan kepercayaan kepada kasih sayang Tuhan, sehingga terjadinya penyimpangan dan  mempermudah manusia melanggar perintah Tuhan.
Dan faktor lain adalah sistem pendidikan yang ada pada saat itu merupakan sistem yang dibangun oleh Muhammad Ali pada abad ke sembilanbelas sebagai pembaharu awal pendidikan di Mesir. Ia menilai bahwa pembaharuan itu tidak seimbang, karena hanya menekankan perkembangan aspek intelek. Akibatnya sistem ini mewariskan dua  tipe pendidikan pada abad ke duapuluh yaitu: Tipe pertama adalah sekolah-sekolah agama dengan al-Azhar sebagai lembaga pendidikan yang tertinggi. Sedangkan tipe kedua adalah sekolah-sekolah modern, baik yang dibangun
20        Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta, Kencana, 2008) h. 174-175
oleh pemerintah Mesir, maupun yang didirikan oleh bangsa asing. Kedua tipe sekolah tersebut tidak mempunyai hubungan antara satu dengan lainnya, masing-masing berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan pendidikannya.
Ilmu-ilmu Barat tidak dibenarkan di sekolah-sekolah agama. Dengan demikian pendidikan agama kala itu tidak mementingkan perkembangan intelektual, padahal Islam mengajarkan untuk mengembangkan aspek jiwa tersebut sejaar dengan perkembangan aspek jiwa yang lain. Dari itulah agaknya pemikiran yang statis tetap mendominasi corak pemikiran guru dan murid pada saat itu, bukan hanya dalam tingkat awal dan menengah, tetapi juga dalam kalangan al-Azhar sendiri. 21
Selain terjadinya kasus-kasus yang demikian, dualisme pendidikan yang demikian melahirkan dua kelas sosial dengan spirit yang berbeda. Tipe sekolah yang pertama memproduksi para ulama serta tokoh masyarakat yang enggan menerima perubahan dan cenderung untuk mempertahankan tradisi. Tipe sekolah yang kedua melahirkan kelas elite generasi muda, hasil pendidikan yang mulai pada abad ke sembilanbelas. Dengan ilmu-ilmu Barat yang mereka peroleh mereka dapat menerima ide-ide yang datang dari Barat. Muhammad Abduh melihat segi-segi negative dari kedua bentuk pemikiran yang demikian. Ia memandang bahwa pemikiran yang pertama   tidak dapat dipertahankan lagi. Usaha-usaha untuk mepertahankan pemikiran yang demikian hanya akan menyebabkan umat Islam tertinggal jauh, terdesak oleh arus kehidupan dan pemikiran modern. Sedangkan pemikiran kedua ia melihat bahaya yang mengancam sendi-sendi agama dan moral yang akan tergoyahkan oleh pemikiran modern yang mereka serap. Dari itulah Muhammad Abduh melihat pentingnya mengadakan perbaikan di dua institusi tersebut, sehingga jurang yang terbuka lebar dapat dipersempit. 22
Latar belakang inilah yang akhirnya melahirkan pemikiran Muhammad  Abduh  dalam  bidang  pemikiran   pendidikan  formal   dan nonformal,
dengan  bertujuan  untuk  menghapus  dualisme   pendidikan.
21    – 22 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu Studi Perbandingan, (Jakarta, PT.Bulan  
        Bintang, 1993) h.194 - 195, Lihat juga Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, h.248
Dalam bidang pendidikan formal Muhammad Abduh mengarahkan pemikirannya kepada empat hal, yaitu tujuan, kurikulum, metode pengajaran, dan pemberian pendidikan terhadap wanita.
Arbiyah Lubis memaparkan ke empat hal itu dengan jelas dalam bukunya Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu Studi Perbandingan, sebagai berikut :
a.      Tujuan Pendidikan ;
Muhammad Abduh merumuskan tujuan pendidikan, yaitu :
Tujuan pendidikan ialah mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang mencapai kebahagian hidup dunia dan akhirat.”
Dari rumusan tujuan pendidikan yang deikian dapat dipahami, bahwa tujuan pendidikan yang ingin dicapai Muhammad Abduh adalah tujuan yang luas, mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek spiritual (afektif). Dengan tujuan yang demikian pula ia mengingkan terbentuknya pribadi yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya menekankan perkembangan akal, tetapi juga perkembangan spiritual. Tujuan Muhammad Abduh yang demikian jelas bertentangan dengan tujuan pendidikan saat itu yang hanya mementingkan salah satu aspek dan mengabaikan aspek yang lainnya.
Pusat perhatian Muhammad Abduh dalam pendidikan dan pengajaran, yang ternyata juga merupakan tujuan hidupnya. Muhammad Abduh menuliskan bahwa tujuan hidupnya adalah :
a.        Membebaskan pemikiran dari belenggu taklid dan memahami ajaran agama sesuai dengan jalan yang ditempuh ulama zaman klasik (salaf), yaitu zaman sebelum timbulnya perbedaan paham, yang kembali kepada sumber-sumber utama, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist.

b.       Memperbaiki bahasa Arab yang dipakai, baik oleh instans pemerintahan maupun surat-surat kabar dan masyarakat pada umumnya, dalam surat menyurat mereka. 23

23.  Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, ( Jakarta, UI-Press, 1987) h. 24.
Pendidikan akal ditujukan sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berfikir dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dengan menanamkan kebiasaan berfikir, Muhammad Abduh berharap kebekuan intelektual yang melanda kaum muslimin saat itu dapat dicairkan dan dengan pendidikan spiritual diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak hanya mampu berfikir kritis, juga memiliki akhalk mulia dan jiwa yang bersih. Dengan demikian kedua aspek, akal spiritual, menjadi sasaran utmaa pendidikan Muhammad abduh. Ia berkeyakinan bila kedua aspek tersebut dididik dan dikembangkan, dalam arti akal dicerdaskan dan jiwa dididik dengan akhlak agama, maka umat Islam akan dapat berpacu dengan barat dalam menemukan ilmu pengetahuan baru dan dapat mengibangi mereka dalam kebudayaan. 24   
b.      Kurikulum Pendidikan
Kurikulum yang dimaksudkannya adalah :
1)    Tingkat Sekolah Dasar
a)        Membaca
b)        Menulis
c)        Berhitung sampai dengan tingkat tertentu
d)       Pelajaran agama dengan bahan-bahan : akidah menurut versi Ahl al-Sunnah, serta fikih dan akhlaq yang berkaitan dengan hal dan hara, perbuatan-perbuatan bid’ah serta bahayanya dalam masyarakat. Pelajaran akhlak mencakup perbuatan dan sifat-sifat yang baik dan buruk.
e)        Sejarah, yang mencakup sejarah Nabi dan para sahabat, akhlak mereka yang mulia, serta jasa mereka terhadap agama. Diperkenalkan juga sebab-sebab Islam dapat berkuasa dalam waktu yang relative singkat, sejarah Nabi dan sahabat ditambah dengan uraian-uraian tentang Khalifah Usmaniah, yang kesemuanya diberikan dengan secara ringkas.
24.  Lihat Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu Studi Perbandingan, h.420

2)     Tingkat Menengah
a)        Manthiq atau logika dan dasar-dasar penalaran
b)        Akidah yang dikemukan dengan pembuktian akal dan dalil-dalil yang pasti. Pada tingkat ini pelajaran yang diberikan belum menjangkau perbedaan pendapat. Di samping itu dijelaskan fungsi aqidah dalam kehidupan.
c)        Fikih dan akhlak. Pada tingkat ini pelajaran fikih dan akhlak hanya memperluas bahan yang diberikan pada tingkat dasar. Pelajaran lebih ditekakan pada sebab, kegunaan dan pengaruh, terutama dalam mmasalah akhlak. Misalnya kegunaan berakhlak baik dan pengaruhnya dalam kehidupan bermasyarakat. Pelajaran fikih lebih ditekankan pada hukum-hukum agama dan kegunaannya dalam kehidupan bermasyarakat. Semua pelajaran tersebut diberikan dengan landasan dalil-dalil yang shahih dan praktek dari masa al-salaf al-shahih dengan landasan dalil-dalil yang shahih dan praktek dari masa al-salaf al-shahih.
d)       Sejarah Islam, yang menyan gkut dengan sejarah Nabi, sahabat dan penaklukan-penaklukan yang terjadi dalam beberapa abad sampai pada penaklukan pada masa kerajaan Usmaniah. Semua penaklukan tersebut, menurut Muhammad Abduh, dipandang dari aspek agama, sekiranya pun motif politik dikemukakan juga, tetapi motif politik dibelakang motif agama.
Murid-murid di sekolah menengah ini dipersiapkan untuk menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan. Dari itu mereka harus memiliki pengetahuan yang demikian.  
3)    Tingkat Atas
Pelajaran agama ditingkat ini adalah untuk golongan mereka yang akan menjadi pendidik yang disebutnya sebagai golongan yang arif (‘urafa’ al-ummat). Pelajaran yang diberikan kepada mereka mencakup:
a)        Tafsir
b)        Hadits
c)        Bahasa Arab dengan segala cabangnnya
d)       Akhlak dengan pembahasan yang terinci sebagai yang diuraikan oleh al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulu al-Din.
e)        Ushul fikih
f)         Sejarah yang termasuk di dalamnya sejarah Nabi dan sahabat yang diuraikan secara terinci. Sejarah peralihan penguasa-penguasa islam, sejarah kerajaan Usmaniah dan sejarah jatuhnya kerajaan-kerajaan islam ke tangan penguasa lain dengan menerangkan sebab-sebabnya.
g)        Retorika dan dasar-dasar berdiskusi
h)        Ilmu kalam. Pada tingkat ini ilmu kalam diberikan dengan menerangkan aliran-aliran yang terdapat dalam ilmu kalam dengan menjelaskan dalil-dalil yang menopang pendapat setiap aliran. Pada tingkat ini pelajaran ilmu kalam tidak ditujukan untuk memperteguh akidah, tetapi untuk memperluas cakrawala pemikiran.
Ketiga paket kurikulum di atas merupakan gambaran umum dari kurikulum pelajaran agama yang diberikan dalam setiap tingkat. Dalam hal ini Muhammad Abduh tidak memasukkan ilmu-ilmu Barat ke dalam kurikulum yang direncanakannya. Menurutnya ilmu-ilmu tersebut, seperti ilmu pasti, ilmu bahasa, ilmu sosial dan sebagainya dipelajari bersama-sama dengan ilmu-ilmu dalam kurikulum yang dikemukakan di atas. Ia tidak merincinya, karena masing-masing sekolah ataupun jurusan mempunyai pandangan yang sendiri tentang ilmu apa yang lebih ditekankannya untuk dipelajari pada jurusan atau sekolah tertentu. Dengan demikian dalam bidang pendidikan formal Muhammad Abduh menekankan pemberian pengetahuan yang pokok, yaitu, akidah, fikih, sejarah islam,  akhlak, dan bahasa.
c.       Metode Pengajaran
Dalam  bidang  metode  pengajaran  ia pun membawa cara baru
dalam dunia pendidikan saat itu. Ia mengeritik degan tajam penerapan metode hafalan tanpa pengertian yang umumnya dipraktekkan di sekolah-sekolah saat itu. Terutama sekolah-sekolah agama. Ia tidak menjelaskan dalam tulisan-tulisannya metode apa yang sebaiknya diterapkan, tetapi apa yang dipraktekkannya ketika ia mengajar di al-Azhar tampaklah bahwa ia menerapkan metode diskusi untuk memberikan pengertian yang mendalam kepada murid.
Muhammad Abduh mengubah cara memperoleh ilmu dari metode hafalan dengan metode rational dan pemahaman. Siswa disamping menghafal sesuatu juga harus memahami tentang materi yang dihafalnya. Ia juga mnghidupkan kembali metode munazharah dalam memahami pengetahuan dan menjauhkan metode taklid buta teahadap para ulama. Ia juga mengembangkan kebebasan ilmiah dikalangan mahasiswa al-Azhar. Ia juga menjadikan bahasa Arab yang selama ini hanya merupakan ilmu yang tidak berkembang menjadi ilmu yang berkembang yang dapat diperg unakan untuk menterjemahkan teks-teks pengetahuan modern kedalam bahasa Arab. 25
Said Ismail Ali dalam bukunya Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, menambahkan : Bagaimana metode pengajaran yag dominan digunakan di al-Azhar saat itu tidak menjelaskan dan membentangkan persoalan sebagaimana mestinya. Kerancuan dan keambiguan selalu menyertai materi pelajaran yang disampaikan. Anak-anak didik tidak menemukan jalan lain di hadapannya kecuali menghafal tanpa dibarengi dengan pemahaman dan kesabaran. Akhirnya, terjadi keterputusan antara pengetahuan dan perilaku. Di sini Abduh merasakan akan urgensitas metode pengajaran. Berangkat dari sini, Abduh menekankan metode pengajaran kepada para tenaga guru pendidik di al- Azhar. Yang seharusnya lebih diperhatikan adalah “ Bagaimana cara kita mengetahui ? “ dan bukan “ Apa yang akan kita ketahui ? “ Pasalnya, melatih anak didik tentang cara memperoleh ilmu pengetahuan bisa
25.  Ramayulis & Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Jakarta:Quantum teaching, 2005), h. 48
menuntun mereka pada perangkat utama dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Jadi ketika mereka merasa memerlukan satu pengetahuan tertentu maka mereka bisa mencari dan memperolehnya sendiri. 26
Selain itu Abduh juga membuat sebuah metode yang sistematis dalam menafsirkan al-Qur’an yang didasarkan pada lima prinsip, yaitu:
a.               Menyesuaikan peristiwa-peristiwa yang ada pada masanya dengan nash-nash al-Qur’an.
b.      Menjadikan al-Qur’an sebagai sebuah kesatuan.
c.       Menjadikan surat sebagai dasar untuk memahami ayat.
d.      Menyederhanakan bahasa dalam penafsiran
e.             Tidak melalaikan peristiwa-peristiwa sejarah untuk menafsirkan ayat-ayat pada waktu itu. 27
Kemudian dalam bidang pendidikan nonformal,  Muhammad Abduh menyebutkan sebagai Islah (usaha perbaikan). Dalam penyelengaraan pendidikan ini ia melihat perlunya campur tangan pemerintah, terutama dalam mempersiapkan para pendakwah.
Muhammad Abduh menekankan mereka dari golongan yang terdidik yang telah mendapat pendidikan dengan kurikulum pendidikan tingkat  atas . Tugas mereka terutama adalah :
1.      Menyampaikan kewajiban dan pentingnya belajar
2.      Mendidik mererka dengan memberikan pelajaran tentang apa yang mereka lupakan atau belum mereka ketahui.
3.      Meniupkan ke dalam jiwa mereka cinta pada Negara, tanah air dan pemimpin.
Harapan Muhammad Abduh untuk menghapus dualisme pendidikan, dengan alasan semua ilmu pada hakikatnya adalah satu, terutama di universitas al-Azhar. Belum sepenuhnya berhasil, akan tetapi beberapa hal sudah terjadi perubahan, terkhusus masuknya pelajaran umum pada kurikulum al-Azhar seperti matematika, aljabar, ilmu ukur
dan geografi.
26.     Said Ismail, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, (Jakarta, Pustka Al-Kautsar, 2010) , h. 164
27.    Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah,  h. 65.
Reformasi pemikiran pendidikan oleh Muhammad Abduh, tidak hanya berlangsung di Mesir saja, tapi pada saat ia diasingkan di Beirut yang masih berada di bawah kekuasaan Turki Ustmani. Muhammad Abduh memberikan konsepsi untuk reformasi pendidikan di Turki Ustmani, yaitu  akidah yang shahih dan sama di dalam akal umat, dan pendidikan yang bisa memudahkan yang sulit dan menjelaskan yang susah.
d.      Pendidikan Wanita.
Menurutnya wanita haruslah mendapat pendidikan yang sama dengan lelaki. Mereka, lelaki dan wanita, mendapat hak yang sama dari Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 228, yaitu :

“ … Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf…”  28
Dan Firman Allah Swt dalam QS. Al-Ahzab ayat 35, yang artinya :
“ Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar “  . 29

Dalam pandangan Muhammad Abduh ayat-ayat tersebut mensejajarkan lelaki dan wanita dalam hal memndapatkan keampunan dan pahala yang diberikan Allah atas perbuatan yang sama, baik dalam hal yag bersifat keduniaan, maupun dalam hal agama. Dari sini ia bertolak bahwa wanita berrhak mendapatkan pendidikan seperti hak yang didapatkan lelaki. “wanita” katanya, “ harus dilepaskan dari rantai kebodohan “, dan yang demikian hanya mungkin dengan memberi
mereka pendidikan. 30
28.     -   29  Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , (Arab Saudi, Mujamma’ Al-Malik Fahd Li
          Thiba’at  Al-Mush-haf, 1990)  h. 55 &. 673
30.  Lihat Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu Studi Perbandingan, h.156-159
E.                 Agenda pembaharuan Muhammad Abduh 31
Muhammad Abduh  dan gerakan pembaharuan yang dilakukan tidak terlepas dari karakter dan wataknya yang mencintai ilmu pengetahuan. Dalam buku Modern Trends in Islam karya Gibb,  ia menyebutkan empat agenda pembaharuan Muhammad Abduh, yaitu:
1.      Purifikasi yang memiliki arti pemurnian ajaran Islam,  mendapat perhatian serius dari Muhammad Abduh. Hal ini berkaitan dengan munculnya bid’ah dan khurafah yang mempengaruhi kehidupan beragama umat Islam. Sesuai dengan QS. 6 : 79, Muhammad Abduh menyatakan bahwa umat Islam tidak perlu mempercayai adanya karamah yang dimiliki para wali atau kemampuan mereka sebagai perantara (wasilah) kepada Allah karena perbuatan tersebut merupakan salah satu bentuk kesyirikan.
2.      Reformasi, pada bagian ini Muhammad Abduh memfokuskan reformasi pendidikan tinggi Islam pada universitas almamaternya, yaitu al-Azhar. Bagi Muhammad Abduh, kewajiban untuk mempelajari ilmu tidak hanya terbatas pada materi yang  bersumber dari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu kalam untuk membela islam. Tetapi juga, ilmu pengetahuan yang mempelajari sains-sains modern, sejarah dan agama Eropa, dengan tujuan untuk mengetahui sebab-sebab kemajuan yang telah dicapai oleh dunia Eropa.
3.      Pembelaan Islam. Dalam buku Risalah Al-Tauhidnya, Muhammad Abduh mempertahankan Identitas Islam dengan seluruh kemurnian ajarannya . Adapun bukti pembelaan Islam yang dilakukan oleh Muhammad Abduh adalah dengan tidak pernah menaruh perhatian terhadap paham-paham filsafat anti agama yang marak di Eropa, dan  lebih fokus  untuk mengatasi serangan-serangan terhadap Islam dari sudut keilmuan.
4.      Reformulasi,  yaitu  Muhammad  Abduh  membuka kembali pintu
31.  Lihat Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam:Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia,  h .246-248
Ijtihad dengan alasan bahwa  umat Islam mengalami kemunduran  disebabkan oleh dua faktor,  yaitu internal dan eksternal. Tujuan reformulasi yang dilakukan oleh Muhammad Abduh adalah untuk  menegaskan bahwa umat Islam harus bangkit dari tidur panjangnya dengan memaksimalkan fungsi akal pikirannya.
Lebih lanjut, Wahyuddin Nur Nasution dalam tulisannya yang berjudul Muhammad Abduh dan Pembaharuan Pendidikan, ia mengungkapkan bahwa pembaharuan dalam bidang pendidikan ini, terutama diarahkan kepada al-Azhar yang merupakan jantung intelektual umat Islam khususnya Mesir, yang pada waktu itu secara umum sedang dilanda taklid, jumud, dan khurafat.  Selagi  menjalankan  tugasnya  sebagai hakim,  ia berusaha sungguh-sungguh membawa perbaikan di Universitas al- azhar yang sejak lama telah menjadi idamannya.32
Kemudian menurut Hasan Asari dalam bukunya yang berjudul Modernisasi Islam : Tokoh, Gagasan, dan Gerakan, beliau menambahkan :
Dalam pandangan Muhammad Abduh, kurikulum al-Azhar mem-butuhkan reformasi mendasar yang setidaknya melibatkan dua aspek :
a.              Perlu mengganti buku-buku pegangan: kitab-kitab komentar (syarh) harus diganti dengan karya-karya yang lebih awal dan orisinal, semacam muqaddimah. Kajian-kajian Islam klasik yang terabaikan-seperti etika, sejarah, dan geografi- perlu diperkenalkan kembali. Hal ini ditujukan untuk menghidupkan kembali intelektualisme Islam seperti zaman klasik.
b.             Memasukkan ilmu-ilmu modern ke dalam kurikulum untuk menjamin bahwa al-Azhar tidak terus menerus menjadi “ lembaga yang aneh atau Museum Zaman Pertengahan Islam “.33
Zuhairi Misrawi dalam bukunya Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan, mengungkapkan bahwa Muhammad Abduh menyampai lima proposal reformasi dalam al- Alzar. Pertama, mengubah dari system halqoh menuju system kelas yang terjadwal. Kedua, melaksanakan
32.  Lihat Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah,  h. 130
33.  Lihat Hasan Asari, Modernisasi Islam : Tokoh, Gagasan, dan Gerakan, h.79
ujian yang rutin dalam rangka mengukur kemampuan akademis setiap pelajar. Ketiga, menggunakan buku-buku primer yang ditulis para ulama yang mempunyai otoritas dalam bidangnya, daripada menggunakan buku-buku sekunder yang ditulis oleh sebagian guru. Keempat, memperkaya kurikulum dengan materi-materi baru, bahkan hal-hal yang tidak ada dalam khazanah keilmuan al-Azhar. Kelima, sentralisasi perpustakaan. 34
Dari segi kurikulum ada dua katagori yang diajarkan di al-Azhar pada masa itu, seperti yang dinyatakan oleh Bayard Dodge dalam bukunya al-Azhar, A Millennium of Muslim Learning. This same law divided the coursesbof study into the following catagories. In the first place there were the Objects of Study, or al-maqasid, which included theology, religious ethics, legal studies, the origins of the law, commentary and tradition. The second category was the Means of Study, or al-wasail, including the two kinds of grammar called al-nahw and al-sarf, the three kinds of thretoric known as al-ma’ani, al-bayan and al-badi’, logic, the technical terms of tradition called mustalah al-hadith, arithmetic, algebra, prosody, or al-arud, and rhyme known as al-qawafi. Students were also entitled to study other courses, such as Islamic history, composition, elocution, language and literature, and elementary geometry. 35
F.                 Perhatian Muhammad Abduh terhadap Al-Qur’an
Seperti para pembaharu lain, Qur’an mendapat  perhatian besar Muhammad Abduh, terutama dalam hubungan perlu penafsiran baru yang tak ada sekedar mengulangi apa yang dikemukakan mufassir klasik. Tafsir baru ini harus mempertimbangkan kondisi kontemporer dan disajikan dalam bahasa dan metode yang mudah dimengerti oleh masyarakat Muslim sekarang. Dalam kaitan dengan Qur’an, Muhammad Abduh menegaskan hal-hal berikut:
1)        Maksud utama Al-Qur’an adalah menegaskan tauhid, yaitu keesaan Allah, dan segenap doktrin yang mengakui tindakan Allah menurunkan
wahyu, mengutus para Nabi, dan realitas kebangkitan serta balasan bagi
34.   Zuhairi Misrawi, Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan, (Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2010) h. 202-203.
35.   Bayard Dodge, AL-Azhar, A Millennium of Muslim Learning, The Middle East Institute, (Washington, D.C, 1961), h. 135
manusia.
2)        Al-Qur’an merupakan wahyu yang lengkap, kaum mukmin tak boleh memilih bagian yang disukainya saja.
3)        Al-Qur’an merupakan sumber utama untuk membuat undang-undang bagi masyarakat. Kehidupan social haruslah ditata dengan ajaran Al-Qur’an.
4)        Kaum Muslim tak boleh menerima begitu saja leluhur mereka dalam menafsirkan Al-Qur’an, namun harus otentik dan setia dengan pemahaman mereka sendiri .
5)        Akal dan nalar haruslah digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Hasan Asari (2009) : Selanjutnya ia menekankan bahwa Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber dasar islam, memberikan petunjuk umum dalam hal mu’amalah (hubungan antar manusia). Hal ini dapat menimbulkan ketidak jelasan. Ada beberapa kemungkinan lain di mana Qur’an atau sunnah tidak memberi petunjuk yang jelas: jika teks Qur’an masuk dalam kategori mutasyabih (tidak tegas atau bermakna ganda) dan jika keshalihan sebuah hadits diragukan.  Di sinilah ijtihad mutlak dibutuhkan. Para ulama harus melakukan ijtihad guna memperoleh rumusan y0ang tepat bagi masyarakat islam sesuai dengan konteks tempat dan waktu. Kebebasan menggunakan akal dalam ijtihad ini tetap berada dalam ruang lingkup batasan umum yang diberikan Qur’an dan sunnah secara jelas.
Bagaimanapun pentingnya, hanya orang-orang yang mempunyai dasar-dasar pengetahuan dan kecerdasan berpikir yang boleh melakukan ijtihad. Muslim awam mengikuti pandangan ulama yang paling mereka yakini. Dalam anjuran berijtihad ini terkandung keyakinan Muhammad Abduh yang cukup tinggi terhadap kemampuan akal manusia. Hal ini sesuai dengan Qur’an di mana banyak dijumpai ayat-ayat yang menganjurkan manusia memanfaatkan akalnya semaksimal mungkin. 36
Demikianlah penjelasan tentang sejarah hidup dan pemikiran pendidikan Islam Muhammad Abduh serta gerakan pembaruannya.
36.  Lihat Hasan Asari, Modernisasi Islam : Tokoh, Gagasan, dan Gerakan, h.76-77
SIMPULAN

            Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu, yang terlahir dari sejarah panjang perjalanan pendidikan yang ia peroleh dan membentuk kepribadian tersendiri, sehingga ia bukan hanya mampu merasakan kekurangan pendidikan, akan tetapi melakukan usaha penuh untuk melakukan pembaharuan.
            Muhammad Abduh berguru kepada Jamaluddin al- Afghani, seorang yang dikenal dalam dunia Islam sebagai mujahid dan mujaddid, ia juga ulama yang alim. Muhammad Abduh mengagumi ilmu dan cara berfikir  Jamaluddin yang modern, sehingga ia belajar padanya, bahkan saat pengasingannya di Beirut, Jamaluddin mengundang Muhammad Abduh untuk bersamanya berjuang di Perancis, menyebarkan semangat perjuangan dan pembaharuan melalui penerbitan majalah. Walaupun pada akhirnya penerbitan itu ditutup oleh Pemerintah Perancis karena dianggap berbahaya. Dan sikap berani Muhammad Abduh untuk lebih konsentrasi pada pembaharuan pendidikan, membuatnya namanya dikenal sampai saat ini.
            Pembaharuan pendidikan yang dilakukannya meliputi tujuan pendidikan yang berorientasi pada pembentukan kepribadian, moral agama, yang dengannya diharapkan mampu menumbuhkan sikap politik, sikap sosial, jiwa gotong royong, dan semangat ekonomis. Selanjutnya di dalam sekolah agama harus diajarkan pengetahuan  modern, dengan menggunakan metode pengajaran yang membuat murid tidak sekedar ingat tetapi juga memahami apa yang diajarkan dan tentu saja pembelajaran berlangsung dengan mempergunakan bahasa yang mudah dimengerti, di samping itu dengan pengelolaan wakaf, Muhammad Abduh mampu menggaji guru dengan gaji dan layak. Kemudian khusus untuk al- Azhar, perubahan ditemukan dengan adanya peraturan yang memperpanjang masa belajar dan memperpendek masa libur.
            Dengan reformasi yang telah dilakukan Muhammad Abduh, Fazlur Rahman menggelarnya dengan sebutan “ Reformer al-Azhar Terbesar “.



DAFTAR PUSTAKA


A. Bakir Ihsan, (2005), Ensiklopedia Islam Jilid I, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.

Asnil Aida Ritonga (Editor) , (2008), Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, Bandung, Citapustaka Media Perintis.

Arbiyah Lubis, (1993), Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu Studi Perbandingan, Jakarta, PT.Bulan Bintang.

Arif Munandar Riswanto, (2010), Buku Pintar Islam,  Bandung, Mizan Media Utama.

Bayard Dodge, (1961), AL-Azhar, A Millennium of Muslim Learning, The Middle East Institute, Washington, D.C.

Harun Nasution, (1987), Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah,  Jakarta, UI-Press.

Hasan Asari, (2007), Modernisasi Islam : Tokoh, Gagasan, dan Gerakan , Bandung, Citapustaka Media.

Kementrian Urusan Agama Islam, (1990),  Al-Qur’an Dan Terjemahan , Arab Saudi, Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at Al-Mush-haf,.

Muhammad Abduh, ( 1992), Risalat’ut Tauhid, Risalah Tauhid, Firdaus AN, Jakarta, PT. Bulan Bintang.

Mukti Ali, (1995), Alam Pemikiran Islam Modern Timur Tengah, Jakarta, Djambatan,

M. Quraish Shihab, (1994),  Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha, Bandung: Pustaka Hidayah.

Nurcholis Madjid, (1989), Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung, Mizan.

Said Ismail, (2010),  Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, Jakarta, Pustka Al-Kautsar.

Samsul Nizar, (2007), Sejarah Pendidikan Islam:Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia,  Jakarta, Kencana.

Suwito, (2008), Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana.

Toto Suharto, (2006), Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta, Arruzz.

Zuhairi Misrawi, (2010), Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan, Jakarta, Penerbit Buku Kompas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar