Selasa, 25 Oktober 2011

Al-Azhar : Daya Tahan Sebuah Tradisi Intelektual


AL – AZHAR
DAYA TAHAN SEBUAH TRADISI INTELEKTUAL
 Zuraidah (Nim 10 Pedi 1818
A.                Pendahuluan
Jika kita telusuri sejarah, maka kita akan banyak menemukan hal yang menakjubkan untuk diambil sebagai pelajaran, motivasi hidup, dan memainkan peran yang tepat dalam berbagai dimensi pergaulan kehidupan.
Al-Azhar, bukanlah sebuah nama yang baru kita dengar. Tetapi karena kekurangan kita dalam membaca literature sejarah, menyebabkan kita kurang mengetahuinya secara mendalam.
Al-Azhar adalah nama yang diberikan kepada masjid pada masa Dinasti Fathimiyah, yang diambil dari nama putrid Rasulullah Saw yaitu Fathimah az-Zahra, yang memiliki pengertian bercahaya, bersinar dan, berkilau.
   Dinasti Fathimiyah merupakan dinasti yang menganut faham Syi’ah Ismailiah, dan mendirikan al-Azhar di kota Kairo (Al-Qahirah), dengan tujuan menyebarkan fahamnya di tengah-tengah masyarakat berfaham Sunni. Namun, alasan inilah yang menjadi penghantar gagasan untuk menjadikan al-Azhar sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan, sehingga Dinasti Fathimiyah menorehkan tinta eas sejarah peradaban, sosial, dan pendidikan Islam dengan lahirnya al-Azhar.
Al- Azhar terus mengalami perkembangan, setelah Dinasti Fathimiyah menyerah kepada Sholahuddin, Dinasti Ayyubi berkuasa di Kairo. Tetapi, sangat disayangkan karena alasan memutus faham Syi’ah Ismailiah, al-Azhar ditutup lebih kurang 100 tahun. Keadaan ini berubah setelah Dinasti Mamluk menguasai Mesir dan kembali mengukir kejayaan al-Azhar, walaupun pada masa Dinasti Ottoman, al-Azhar sempat mengalami stagnasi, bahkan mengalami kemunduran saat berada di tangan Kleber.
Itulah selintas tentang al-Azhar yang mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Akan tetapi, yang kita lihat saat ini adalah diusianya yang lebih 1000 tahun, al- Azhar banyak mengukir sejarah bagi peradaban dunia.
B.                 Sejarah Berdirinya Al-Azhar : Peran Besar Dinasti Syi’ah Fathimiyah
Sebelum lebih dalam membicarakan tentang Dinasti Fathimiya, maka perlu kiranya diuraikan sekilas tentang lintasan sejarah Kairo. Lintasan sejarah Kairo sebagai Ibu Kota Mesir dibagi kepada tiga fase sejarah, yaitu :
1.      Fase Mesir Kuno
Kota Mesir pertama sekali terletak di Heleopolis dan merupakan ibukota pertama pada tahun  4240 SM. Kota ini dulunya dikenal dengan nama Aon. Pada saat ini, kota tersebut menjadi pusat pemerintahan Mesir, dan terdapat istana negara di sana. Namun pada periode Narmer, periode ini merupakan dinasti pertama Mesir Kuno, yang disebut dengan Dinasti Menes, karena raja yang pertama bernama Menes. Ia adalah seorang raja yang dianggap berhasil mempersatukan penduduk Mesir yang tinggal di dataran tinggi dan di dataran rendah. Raja Menes memindahkan ibukota negara ke kota Memphis, dan kota ini menjadi pusat kekuasaan, kota politik baru yang mengatur segala keperluan administratif negara. Dan pada masa Ramesses II, ia membangun benteng dan memberi nama Babilonia sebagai nama ibu kota, sejak itu nama Babilonia terkenal di seluruh Mesir.
2.      Fase Pra Modern
Pada tahapan ini, Zuhairi Misrawi (2010), menuliskan :
“… Menurut Saad Eddin Ibrahim dalam Egypt, Islam, and Democracy, dapat dilihat pada empat formasi kekuasaan militer yang berhasil membentuk Kairo. Yaitu, Fustat (641 M), Askar (751 M), Qithai (870 M) dan Jawhar al-Siqilli (969 M). Salah satu corak dari ketiga kekuasaan tersebut, yang dipimpin oleh seorang militer yang mana masjid dan istana menjadi salah satu karakter yang menonjol. “ 1)

a.       Fustat
Setelah   Amr  bin  ‘Ash  menaklukkan  Mesir,  kota  ini dijadikan kota pertama bagi umat Islam. Sejarah mencatat bahwa Khalifah Umar Bin Khattab saat memerintahkan Amr bin ‘Ash untuk merebut Mesir dari tangan Byzantium yang berpusat di Alexandria, balatentara
1) Zuhairi Misrawi,  Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan “, ( Jakarta, Penerbit Buku Kompas , 2010), h. 89
Islam tidak melakukan kekerasan dan peperangan kepada orang-orang Kristen Koptik karena mereka adalah Ahlul Kitab.
                        Nama Fustat diambil dari nama kemah yang berasal dari nama perkemahan Amr bin ‘Ash dan balatentaranya, yang saat itu telah berhasil menaklukkan kekuasaan Byzantium di Alexandria. Setelah kembali dari Alexandria, ia menjadikan Fustat sebagai ibukota kekuasaan umat Islam dan membangun masjid.
                        Dalam perjalanan sejarahnya, perkembangan Fustat semakin  pesat bersamaan dengan kondisi Dinasti Islam. Dan Setelah khulafaurrasyidin, Dinasti Umayyah berkuasa penuh terhadap Fustat.
b.      Askar
Pada masa Dinasti Abbasiyah, ibu kota dipindahkan ke Askar, yaitu kawasan Timur Laut Fustat. Ada dua kemungkinan alasan perpindahan ibu kota, yaitu :
1)      Jumlah penduduk di Fustat terus mengalami kenaikan, jika ibukota tidak dipindahkan maka dikhawatirkan akan terjadi ledakan pertumbuhan jumlah penduduk.
2)      Terjadinya peralihan kekuasaan dari Dinasti Umayyah ke Dinasti Abbasiyah. Perpindahan ibukota juga merupakan perpindahan biasa bagi penguasa baru, dengan mempertimbangkan kepentingan Dinasti.
c.       Qithai
Tahap berikutnya adalah Ahmad bin Tulun, yaitu tentara asal Turki, ia tinggal di Mesopotamia dan bekerja pada Khalifah Musta’in. Ia berhasil menaklukkan dan merebutnya Mesir dari Dinasti Abbasiyah dan mendirikan Dinas Tulun, kemudian menjadikan Qithai sebagai ibukota pemerintahannya.
Ahmad bin Tulus membangun sebuah masjid yang luasnya mencapai 26.500 meter dan masjid ini adalah masjid pertama yang menyediakan fasilitas rumah sakit, pendidikan kedokteran, dan farmasi di Mesir. Dan di masa ini Mesir berada dalam puncak kejayaan karena mengalami kemajuan dibidang ekonomi dan kebudayaan.
d.      Jawhar al-Siqilli
Jawhar al-Siqilli adalah sosok yang menaklukkan Mesir, dan meminta Khalifah Al-Mu’iz dari Dinasti Fatimiyah untuk pindah ke Kairo, kemudian menjadikan Kairo menjadi pusat pemerintahan. Nama Kairo dipopulerkan oleh Dinasti Fatimiyah ini dengan nama  al-Qahirah, dan  mengukir sejarah dalam menjadikan Kairo sebagai jantung kota Mesir. Walaupun Dinasti Fatimiyah menganut faham teologi Syi’ah Ismailiah yaitu kelompok syi’ah yang mengakui Ismail menjadi pemimpin mereka setelah wafatnya Imam Ja’far Shadiq, tetapi dinasti ini adalah cikal bakal dari kebangkitan Mesir Modern
Zuhairi Misrawi (2010), menuliskan :
“ Fustat, Askas, dan Qithai, semakin tenggelam dengan kelahiran Kairo oleh Dinasti Fatimiah. Menurut Andre Raymod dalam Cairo : City of History, Dinasti Fatimiah telah mampu menyulap Kairo sebagai kota yang sebenarnya. Tidak seperti dinasti-dinasti sebelumnya hanya mengedepankan kekuasaan semata, Dinasti Fatimiyah telah meninggalkan sesuatu yang sangat berharga bagi kebangkitan Mesir. “ 2)

3.      Fase Modern
Pada Fase ini, akan diuraikan perkembangan kemajuan yang terjadi pada Mesir dari beberapa periode pemerintahan.
1)      Muhammad Ali Pasya (1805 M ) adalah pembawa obor pencerahan bagi Mesir, pada  tahap ini kota Mesir menjadi kota modern karena perubahan terjadi diberbagai sektor kehidupan,  dengan adanya jalinan hubungan diplomatik Mesir dan Perancis, khususnya dalam bidang kebudayaan.
Khedive Ismail (1863-1879), yang mendapat julukan “Paris Timur”, karena ia mendirikan bangunan menyerupai Paris dengan mendatangkan  arsitek  langsung  dari  Paris. Ia  menjadikan Kairo
Menjadi  kota  yang  sangat  luas  dan  membuka  terusan  suez.
2) Zuhairi Misrawi,  Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan, ( Jakarta, Penerbit Buku  Kompas , 2010), h.. 96
2)      Gamal Abdul Naser, pada periode ini disebut dengan era emas yang pernah dicapai Mesir, karena Gamal Abdul Naser mendorong era baru, dari era liberal menuju era sosialis. Dan ia mendirikan kawasan Nasr City, yang merupakan kawasan baru untuk para teknokrat, pengusaha dan birokrat.
3)      Anwar Sadat (1970)
Sadat membangun Mesir dengan visi Liberal dan berkiblat pada Los Angeles dan Houston dari Amerika Serikat. Ia membangun jembatan, jalan tol, hotel berbintang, dan berhasil meyakinkan para investor. Hanya kebijakan Anwar Sadat telah menimbulkan goncangan karena tidak berpihak pada rakyat dan akhirnya terjadilah revolusi.
4)      Husni Mubarak memegang tampuk kekuasaan setelah Anwar Sadat, tetapi ia tidak melakukan pembaharuan apapun dari pendahulu sebelumnya. Bahkan masalah utama Mesir tidak terpecahkan yaitu mengatasi besarnya angka kemiskinan. Dan sejarah telah mencatat ketidakberhasilan Husni Mubarak membagun Mesir, setelah 30 tahun berkuasa iapun dipaksa mundur oleh rakyat, tepatnya tanggal 11 Februari 2011, Husni Mubarak menyerahkan jabatannya dan melarikan diri ke Arab Saudi.
Pada periode pra modern telah disinggung sedikit tentang Dinasti Fatimiyah yang telah mengukir sejarah emas Kota Kairo sebagai kota ilmu.Untuk menjelaskan secara rinci tentang sejarah berdiri dan sekilas mengupas  tentang Al-Azhar, maka berikut akan dipaparkan beberapa kutipan yang berkenaan dengannnya.
            Arif Munandar Riswanto (2010) :
            Masjid Al-Azhar adalah masjid pertama yang dibangun oleh Dinasti Fathimiyah. Al-Azhar diambil dari nama Fathimah Al-Zahra, puteri Nabi Muhammad. Masjid Al-Azhar terletak ditengah kota, tepatnya daerah Husein, Kairo. Bangunannya, terutama menaranya sangat antik dan indah, disamping menara benda-benda berusia ratusan tahun lainnya adalah tiang-tiangnya yang menyejukkan dan mimbar tempat khatib berkhutbah. Disamping dan belakang masjid terdapat bangunan universitas Al-Azhar untuk bidang agama. Sekeliling masjid tersebut dihiasi dengan beberapa istana dan taman yang disebut Al-Qusar Al-Zahirah. Masjid Al-Azhar adalah sebuah masjid besar dan institusi pendidikan tertua yang kini berusia 1.000 tahun lebih.

Masjid Al-Azhar dibangun pertama kali pada 29 Jumada Al-Ula tahun 359H/970M oleh Juhar Al-Shiqilli atas perintah khalifah Mu’iz li Dinillah, khalifah daulah Fathimiyah yang berpusat di Tunisia. Masjid ini dibangun dalam waktu 26 bulan dan dibuka resmi pada 7 Ramadhan 361H, dengan menggelar shalat jum’at bersama. 3)

Universitas al-azhar berawal dari sebuah masjid besar yang dibangun oleh Dinasti Fathimiyah. Sebutan Al-Azhar berasal dari nama Fathimah Az-Zahra, putri Nabi Muhammad. Zahra berarti bercahaya, bersinar dan berkilau. Peran masjid tidak hanya terbatas kepada kegiatan ritual semata, tetapi lebih dari itu, masjid adalah sentral pemerintahan Islam, sarana pendidikan, mahkamah dan tempat mengeluarkan fatwa. 4)

M.Athiyah al-Abrasyi (1984) :

Mesjid internasional ini didirikan oleh Panglima Johar Al-Siqilli, terletak dalam kota Cairo, yaitu di zaman pemerintahan Muizzi Lidiniah Al-Fatimy. Ditegakkan pada hari Sabtu, 24 Jumadil Awal 359 H. Bertepatan dengan 970 M, dan selesai dalam tahun 361H, atau 972 M. Dalam tahun 761 H, yaitu di bawah pemerintahan Malik An-Nasir Qalawoun, di samping mesjid itu dibangun sebuah ruangan untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak yatim kaum muslimin dan bagi pelajar-pelajar yang tidak mampu disediakan makanan yang dimasakkan setiap hari. Kepada siswa tersebut diberikan pelajaran fiqih menurut mazhab Abu Hanifah, dan sekolah ini mempunyai pula harta wakaf. Pada tahun 818 H, muridnya telah mencapai 750 orang terdiri atas orang-orang Mesir, Marokko, dan orang-orang yang bukan Arab, dan bagi setiap rombongan siswa ini dibuatkan pula ruangan tempat tinggal yang dinamakan “ruqaq”, dan masing-masing “ruqaq” tersebut diberi nama sesuai dengan nama-nama negeri asal mereka. 5)

Raghib As-Siraji (2011) :

Masjid Al-Azhar di Mesir. Masjid ini selesai pembangunannya pada tahun 361 H dan menjadi pusat menuntut ilmu bagi para pelajar dari berbagai Negara Islam.  Para  khalifah  telah   mendirikan  badan  wakaf  Al - Azhar Negara Islam. Para khalifah telah   mendirikan badan wakaf Al-Azhar, menentukan guru-guru diberbagai bidang keilmuan, dan mempunyai ketenaran luar biasa yang merupakan keistimewaan Universitas Al-Azhar. Juga adanya kemudahan yang di dapati oleh para penuntut ilmu. Para penuntut ilmu datang ke Universitas ini dari berbagai negara. Sampai jumlah
3)     Arif Munandar Riswanto, “ Buku Pintar Islam “, (Bandung, Mizan, 2010) h. 632-635 
4)     Ibid, 636
5)     M.Athiyah al-Abrasyi, “ Attarbiyatul Islamiyah “ ,” Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam “, Bustami A.Gani, (Jakarta, P.T.Bulan Bintang, ,1984 ) h.  61-66
orang-orang yang menuntut ilmu di Mesjid Al- Azhar pada tahun 818 H/1415M) sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Maqrizi tercatat 750 ribu orang, antara orang-orang non Arab dan Ziyala’ah juga dari penduduk Raif Mesir. Mugharab, dan sebagian orang berada disekitarnya yang dikenal. 6)

A.    Bakir Ihsan (2005) :

Nama Al-Azhar mulai dikenal ketika Dinasti Fhatimiyah yang menganut ajaran syi’ah menguasai Mesir. Pada 24 Jumadil Awal 359 H/970 M. Khalifah al-Mu’izz Lidinillah (341H/953 M-365 H/975 M) memerintahkan Panglima Jauhar Al-Khatib as-Siqilli untuk meletakkan batu pertama bagi pembangunan Masji Jami’Al-Azhar. Setelah selesai, masjid ini diresmikan pada 7 Ramadhan 361 H/971 M. Nama pertama masjid ini adalah     Jami’ al-Qahirah, yang dinisbahkan  kepada nama ibukota tempat masjid itu didirikan. Terakhir masjid ini diberi nama Masjid al-Azhar, yang dinisbahkan kepada nama “Fatimah az-Zahra”, putri Rasulullah SAW.

Lembaga pendidikan Al-Azhar bermula ketika Al-Muidz Lidinillah pada tahun 362 H/973 M, memindahkan ibukota Dinasti Fatimiyah dari kota Qairawan di Tunisia ke Al-Qahirah (Cairo) di Mesir. Pada tahun 975 ia meresmikan al-jami’ah (universitas) al-azhar yang berdasarkan mazhab syiah ismailiyah. Tahun peresmian Universitas al-azhar ini sudah diakui secara internasional  di dunia, dengan demikian Universitas al-azhar menjadi universitas tertua di dunia. 7)

Berkey ( 1992 ) :
Al-Azhar originally constructed by fatimid caliphs as the principal mosque of the new royal city of cairo and as a center for the propagation of Isma'ili Shi'i doctrine, was largely ignored by the rigorously sunni Sultans of the ayyubi dynasty, who suspended its role as a center of friday congregational prayers for ideological reason. 8)
Al-Azhar awalnya dibangun oleh khalifah Fatimiyah sebagai masjid utama kota kerajaan Kairo dan sebagai pusat penyebaran doktrin Syi'ah Ismailiyah, Tidak mendapat perhatian secara serius oleh Sultan dari dinasti Ayyubi yang berpaham Sunni, dan tidak lagi berfungsi sebagai pusat salat Jumat karena alasan ideologis.
Berdasarkan keterangan di atas, Al-Azhar pada awalnya adalah masjid yang dibangun  pada tanggal 24 / 29  Jumadil Awal tahun 359 H / 970 M oleh
6) Raghib As-Siraji, “Madza Qaddamal Muslimuna lil’Alam Ishamaatu al-Muslimin fi al-Hadharah al-Insaniyah” .” Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia”, Sonif, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2011) h. 221
7)   A. Bakir Ihsan, “ Ensiklopedia Islam (I) “ , (Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005) h. 245
8)   Berkey, Jonathan, “ The Transmission Of Knowlegde In Medieval Cairo “, (New Jersey, Princeton University Press, 1992) h. 51
Jawhar (Johar/Jauhar) al-Siqilli, pada pemerintahan Dinasti Fatimiyah dibawah pemerintahan Khalifah al-Muidz Lidinillah,  dan pembangunannya diselesaikan selama 26 bulan  tepatnya pada tahun 361 H/972 M, kemudian diresmikan pada tanggal 7 Ramadhan 361 H/971 M.
Nama Al-Azhar diambil dari nama putri Nabi Muhammad SAW, yaitu Fathimah Az-Zahra yang berarti bercahaya, bersinar dan berkilau. Melihat tahun berdirinya Al-Azhar merupakan universitas tertua di dunia dan tetap menjadi pilihan pelajar dari berbagai penjuru dunia.
Dalam sejarah Islam, pembangunan masjid bukan hanya berfungsi untuk  tempat  ibadah saja,  tetapi  masjid juga  digunakan  untuk  pusat pertemuan, sarana pendidikan, bahkan pengumpulan pajak. Maka dengan alasan itulah masjid Al-Azhar memiliki peranan besar dalam pemerintahan Fathimiyah yang menjadi pusat aktifitas pemerintahan.
Bayard Dogde (1961) menyatakan, bahwa luas masjid al-Azhar pada awalnya sekitar 280 kaki. Sedangkan lebarnya 227 kaki. Bangunannya berbentuk persegi panjang, di tengahnya terbuka langsung menghadap ke langit. Bangunan masjid ini lebih menyerupai bangunan Masjidil Haram di Mekkah. Bedanya, jika di Masjidil Haram terdapat Ka’bah, maka di Masjid al-Azhar dibiarkan kosong. Bangunan masjid yang seperti ini merupakan model yang umum di sejumlah masjid di Kairo.  9)
Seiring waktu, Khalifah al-Muidz Lidinillah memiliki misi yang lain dibalik pembangunan masjid al-Azhar, yaitu misi penyebaran paham Syi’ah Ismailiah, dengan cara memberikan pemahaman yang komprehensif tentang Syi’ah Ismailiah, dan mempengaruhi ideologi Sunni agar tidak menimbulkan dan memperbesar perbedaan antara Syi’ah dan Sunni dan menjaga stabiltas keamanan pemerintahan.
Setelah Khalifah al-Muidz Lidinillah meninggal dunia, ia digantikan oleh putranya al-Aziz, dan pada masanya perkembangan pendidikan keagamaan di al-Azhar mengalami kemajuan, terutama perubahan dari lembaga pendidikan informal menjadi lembaga formal.
9)  Zuhairi Misrawi, “ Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan “, ( Jakarta, Penerbit Buku  Kompas , 2010), h. 128
Pada tahun 976 M, Al-Aziz membuka pengajian dalam bentuk halaqoh dengan materi tafsir Al-Qur’an dan dialog keagamaan dalam kajian ilmu fiqh. Kedua materi ini berfungsi untuk menghantarkan faham Syi’ah Ismailiyah di tengah masyarakat Kairo yang mayoritas menganut faham  Ahlusunnah wal Jamaah. Kemudian pada tahun 988 M, ia meresmikan lembaga formal dan pendidikan fiqh, ilmu filsafat, dan teologi fathimiyah,  dengan menyiapkan 30 ulama penyebar faham Syi’ah Ismailiah, dan dua orang guru utama khusus untuk fiqh Syi’ah Ismailiah, yaitu Abul al-Hasan Ali bin Nu’man dan Abu Ya’qub Ibnu Killis.
Pendidikan di masjid Al-Azhar meliputi empat materi utama :
1.         Doktrin tentang imamah
2.         Hak mendapat  seperlima harta rampasan karena adanya faktor keturunan Nabi Muhammad SAW.
3.         Doktrin bahwa imam tidak mungkin berbuat kesalahan dan kekeliruan.
4.         Filsafat dan Metafisika.
Setelah Al-Aziz meninggal dunia, iapun digantikan oleh putranya al-Hakim, dan di masa al-Hakim, perkembangan al-Azhar terus mengalami peningkatan , hal ini disebabkan perhatian al-Hakim terhadap pendidikan sangat besar. Namun,  kondisi ini berbanding terbalik  dengan jumlah penganut Syi’ah yang semakin berkurang. Karena itu al-Hakim mendirikan Masjid al-Hakimi untuk tetap  bisa mengambangkan ajaran Syi’ah Ismailiah.
Dan setelah al-Hakim meninggal dunia, Dinasti Fathimiyah mengalami kemunduran, karena tidak sanggup menghadapi tantangan dari internal dan eksternal. Pada perkembangan berikutnya Dinasti Fathimiyah terus mengalami kemunduran, walaupun dinasti ini tetap memberikan perhatian pada Al-Azhar. Salah satu penyebab jatuhnya Dinasti Fahimiyah adalah karena krisis kepemimpinan, dan Al-Adid sebagai pemimpin terakhir tercatat tidak memiliki keturunan untuk melanjutkan kekuasaan.
C.                Perkembangan Al-Azhar : Benteng Peradaban Sunni
1.      Dinasti Ayyubiyah
Sholahuddin Al-Ayyubi berhasil menguasai Mesir pada tanggal 10 September 1171, dan hanya dalam dua tahun ia telah menguasai Dinasti Fathimiyah dan menegakkan kembali kejayaan Abbasiyah.
Karena perhatian Sholahuddin terhadap pendidikan dan keulamaan sangat besar, ia sangat prihatin dengan kondisi yang terjadi pada masyarakat yang sudah terpengaruh dengan faham Syi’ah Ismailiah, Dan untuk  mengembalikan faham Sunni di masyarakat Mesir, Sholahuddin melakukan beberapa tindakan diantara yaitu melarang pembelajaran buku – buku yang digunakan oleh Dinasti Fathimiyah, dan menutup Masjid al- Azhar dari seluruh kegiatan bahkan shalat Jum’at juga tidak dibolehkan dilaksanakan di Masjid al-Azhar selama hampir 100 tahun.
Hanun Asrohah (2001), menyatakan : “ Sayang sekali, kegiatan keilmuan di al-Azhar terhenti setelah Shalah al-Din al-Ayyubi berhasil menguasai Mesir dan menjatuhkan Daulah Fathimiyah. Karena Al-Azhar dijadikan sebagai media utama mempropaganda paham Syi’ah oleh Daulah Fatimiyah, Shalah al-Din menganut paham Sunni, menutup al-Azhar baik untuk shalat Jum’at maupun sebagai Universitas. Al-Azhar tidak lagi menjadi penyelenggara pendidikan Islam yang membanggakan. Penyelenggaraan pendidikan Islam berlangsung di madrasah-madrasah dan lembaga semacam kulliyah yang setingkat dengan universitas. Hasan Langgulung, mengutip dari seorang ahlli sejarah, mencatat tidak kurang dari 25 kulliyah di Kairo. 10)
Sejarah mencatat, bahwa Sholahuddin lebih memusatkan perhatiannya  untuk melawan tentara Salib, begitu juga putra yang menggantikannya yaitu Kamil Muhammad yang mengikuti jejak ayahnya dengan mendedikasikan diri  untuk melanjutkan perjuangan ayahnya.
Dinasti Ayyubiyah kurang memberikan perhatian terhadap al-Azhar baik sebagai masjid maupun universitas. Para pemimpinnya lebih memilih untuk mendirikan lembaga pendidikan formal di luar al-Azhar untuk menghidupkan kembali faham Sunni.
10)  Hanun Asrohah, “ Sejarah Pendidikan Islam “, ( Jakarta, PT. Logos  Wacana Ilmu, 2001), h. 61
Dengan demikian, Dinasti Ayyubiyah adalah dinasti pertama yang kembali merintis menanamkan faham Sunni di Mesir, dan gerakan ini merupakan gerakan awal untuk menjadikan al-Azhar sebagai benteng untuk faham Sunni.
2.      Dinasti Mamluk
Tahun 1250 M, Izzuddin Aybak dapat menguasai Mesir dan merupakan pemimpin dari Dinasti Mamluk. Dan dalam catatan sejarah, dinasti ini yang membangkitkan kembali kejayaan al-Azhar dan menjadikannya sebagai benteng bagi faham Sunni
Ada tiga alasan utama, mengapa Dinasti Mamluk memberikan yang besar terhadap Al-Azhar, dan perhatian ini jauh melebihi Dinasti Ayyubi. Adapun tiga alasan itu adalah :
a.       Komitmen untuk mempertahankan  Bahasa  Arab  sebagai  bahasa  resmi  kekuasaan  dan  warga Mesir.
b.      Komitmen untuk menegakkan hukum Islam
c.       Komitmen untuk menggalakkan etika dan nilai-nilai yang berlandaskan Al-Qur’an.
Ketiga alasan ini memiliki dasar pikir yang penuh dengan pertimbangan, seperti alasan pertama menjadikan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi karena penduduk Mesir berbahasa Arab, sementara Dinasti Mamluk berasal dari Turki dan seluruh orang-orang yang berada di istananya dan bala tentaranya menggunakan Bahasa Turki, karena itulah al-Azhar menjadi digunakan sebagai pusat pengembangan bahasa, walaupun para pejabat istana belajar membaca dan menulis di lakukan di tempat tinggal sendiri. Kemudian komitmen untuk menegakkan hukum Islam disebabkan banyaknya perkara yang diselesaikan tanpa merujuk ke  sumber hukum Islam, jika ini terus berlangsung maka akan bertentangan dengan situasi sosial politik di Mesir, dan alasan inilah menjadikan pendidikan hukum Islam salah satu hal yang diajarkan di al-Azhar. Dan komitmen ketiga berguna untuk menjaga dan menyeimbangan nilai-nilai sehingga  al-Azhar dapat menjadi  benteng  moral  dan tegaknya keadilan.
Pada tahun 1266 M, Malik al-Zahir Baybars menjadi orang yang paling berjasa terhadap terbukanya kembali pintu al-Azhar setelah hampir satu abad ditutup di masa Dinasti ayyubiyah dengan dilakukannya shalat Jum’at untuk pertama kalinya.
Baybars menunjukkan Aydamir sebagai penanggungjawab al-Azhar dengan misi menghidupkan kembali fungsi al-Azhar sebagai pusat pendidikan keagamaan di Mesir. Dan aktifitas pendidikan dimulai dengan pengajaran Al-Qur’an dan fiqh Mazhab Syafi’i.
Setelah terjadi gempa bumi yang menyebabkan kerusakan yang cukup parah pada bangunan Masjid al-Azhar, maka dilakukan renovasi besar-besaran sehingga Masjid al-Azhar kelihatan sangat indah, selama masa renovasi dibangun pula Madrasah Taybarsiah di samping al-Azhar. Perkembangan selanjutnya dalam renovasi di masa Dinasti Mamluk adalah berdirinya rumah Bashir Gamdar di samping  al-Azhar, kemudian ruangan khusus yang dibangun oleh Sultan Malik Al-Hasan Qalawun, membangun menara dan tempat wudhu’,  serta tempat tinggal untuk para palajar asing yang berasal dari luar Mesir.
Misrawi, Zuhairi (2010) : Al-Maqrizi menggambarkan al-Azhar pada masa itu sebagai pusat dari aktivitas umat, yang mana tidak hanya difungsikan sebagai tempat ibadah dan pengembangan pendidikan, tetapi pusat penempaan buat orang-orang shaleh, tempat bagi orang-orang yang hendak melaksanakan ibadah haji, penampungan bagi orang-orang miskin, dan pertemuan bagi kalangan sufi. Al-Azhar menjadi salah satu tempat yang sangat dekat dengan umat, karena seluruh aktivitasnya dalam rangka melayani umat. 11)
Al-Azhar pada masa Dinasti Mamluk merupakan sebuah lembaga yang hidup dengan berkembangnya gairah intelektual, karena didukung sepenuhnya oleh pemerintah. Tercatat bahwa Ibnu Khaldun merupakan guru di al-Azhar yang mengajar hadits dan fiqh Imam Maliki, kemudian

11)  Zuhairi Misrawi,  Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan “, ( Jakarta, Penerbit Buku  Kompas , 2010), h. 160
bukan hanya bidang studi keagamaan saja yang dijumpai di al-Azhar, akan tetapi ilmu pendidikan umum juga dikembangakan, seperti matematika, biologi, kedokteran, geneologi, dan lain-lain.
Dan seiring waktu berjalan Dinasti Mamluk pun mengalami masa sulit dalam hal keuangan, situasi ini juga mempengaruhi aktivitas keilmuan di al-Azhar, ketidakmampuan mengelola keuangan telah menempatkan dinasti ini diambang kejatuhan. Di sisi lain, adanya ancaman dari dinasti lain, sehingga mereka tidak sanggup mempertahankan kekuasaanya dan akhirnya pada tahun 1517 M, Dinasti Mamluk harus menyerahkan kalah dari serangan Dinasti Ottoman.
3.      Dinasti Ottoman
Sultan Salim dari Dinasti Ottoman berhasil mengalahkan Sultan Bay dari Dinasti Mamluk dan mengambil alih Mesir pada tahun 1517 M. Saat penaklukan kota Mesir, hanya al-Azharlah satu-satunya tempat yang selamat dari invasi sementara tempat lain berubah menjadi tempat yang sangat menakutkan karena ribuan orang tewas dan banyaknya bangunan yang dibakar. Tetapi ketika memasuki al-Azhar, mereka menghormatinya sebagai lembaga keilmuan yang bermartabat bagi umat Islam, mereka tidak mengambil harta wakafnya, tetapi menangkap sejumlah ulama, pakar hukum, budayawan, yang hamper mencapai 1800 orang dan membawanya ke Istambul untuk memperkuat Dinasti Ottoman. Akibatnya Mesir mengalami kemunduran intelektual, dalam situasi ini dan para ulama pun lebih memilih bekerja pada penguasa daripada berkarya. Apalagi di masa-masa awal Dinasti Ottoman tidak tertarik memperhatikan dan mengembangkan pendidikan.
Namun, terjadi perubahan terhadap pengembangan pendidikan setelah Dinasti Ottoman melihat peran besar yang dilakukan oleh al-Azhar terutama dalam penguatan tradisi Sunni, di samping adanya kekhawatiran akan timbulnya gejolak yang akan menuai protes dari penduduk Mesir, maka Dinasti Ottoman mulai memberikan perhatian yang serius terhadap al-Azhar, dengan mulai melakukan renovasi terhadap bangunan, lantai, dan atap al-Azhar, dan tetap mengayomi orang-orang miskin yang tinggal di sekitar al- Azhar Dan mengangkat dari kalangan ulama bukan politisi untuk bertanggung jawab terhadap al- Azhar yang digelar dengan Syaikh al-Azhar. Kemudian karena minat yang tinggi dari pelajar di luar Mesir maka Dinasti Ottoman juga membangun asrama serta tempat khusus bagi tuna netra.
Syaikh Muhammad Al-Khurashi, seorang ulama yang bermazhab Maliki, adalah syaikh pertama yang diangkat sebagai Syaikh al-Azhar. Namun, pengangkatan Syaikh al-Azhar bukanlah mudah dan tanpa masalah, bahkan tidak jarang posisi ini menjadi rebutan dengan alasan lagi-lagi masalah perbedaan faham
Ustman Katkhuda (1715 M) adalah seorang dermawan dari Dinasti Ottoman yang mendermakan hartanya bagi mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan al-Azhar, dan memperbesar tempat shalat dan istirahat, sehingga dapat menampung jumlah pelajar yang lebih banyak. Langkah ini diikuti oleh puteranya yang bernama  Abdurrahman Katkhuda (1742 M), Ia melakukan perluasan mesjid dengan menambah lebih kurang 50 pilar penyangga di dalam masjid. Abdurrahman Katkhuda digelar dengan sebutan “ Bapak Pembangunan “, karena ia membangun sejumlah masjid di Mesir serta asrama sendiri yang memiliki fasilitas lengkap, seperti : tempat cuci pakaian, dapur, dan perpustakaan.
Abdurrahman Katkhuta telah memberikan teladan bagi penduduk Mesir, sehingga merekapun termotivasi untuk memberikan donasi dan pelayanan terbaik untuk al-Azhar, mereka meyakini bahwa dengan membantu al-Azhar berarti membantu lahirnya suatu generasi Muslim yang memiliki wawasan luas dan mendalam dalam bidang keagamaan.
Dinasti Ottoman menjadi pemegang resmi atas al-Azhar selama kurang lebih dari tiga abad,  dan mempertahankan faham Sunni sebagai  bagian terpenting dalam mengembangkan peradaban manusia. Dan menjelang berakhirnya Dinasti Ottomaan, al-Azhar telah membuktikan sebagai pusat pemersatu dan kekuatan masyarakat sipil. Karena ulama tidak bisa berdiam
4.      Pasaca Dinasti Ottoman
Setelah Napoleon Bonaparte berhasil menguasai Mesir dan meluluh-lantakkan Dinasti Ottoman, maka berkeinginan pulan untuk menguasai al-Azhar sebagai salah satu kekuatan spiritual, keilmuan dan pemersatu rakyat Mesir. Pada awalnya Napolen Bonaparte meminta kepada Syaikh al-Azhar untuk membentuk dewan tinggi yang terdiri dari 10 ulama besar. Dan Syaikh Abdullah Syarkawi yang merupakan Syaikh al-Azhar akan ditunjuk menjadi pemimpin dewan tinggi untuk melahirkan dan membentuk suatu konstitusi baru bagi Mesir.
Keinginan ini ditolak oleh para ulama, bahkan para ulama adalah orang-orang yang berada dibarisan paling depan untuk melawan penjajah dari Perancis ini. Karena tidak disambut dengan baik, maka terjadilah peperangan yang mengakibatkan banyaknya para ulama ditangkap dan ditembak mati.
Sebagian ulama ada yang memilih patuh pada Dinasti Mamluk yang dulu pernah terbukti membangun al-Azhar dan menjaga kelestarian faham Sunni, dan sebagian lagi memilih untuk menerima kehadiran Napoleon Bonaparte.
Napoleon Bonaparte meyakinkan para ulama bahwa kehadiran mereka di Kairo adalah karena memebawa segudang ilmu untuk diajarkan di al-Azhar, yang akan memperkuat keilmuan di al-Azhar. Namun, Perancis meminta balas jasa dengan cara para ulama mempelajari kebudayaan Perancis. Pada tahun 1834, saat itu Syaikh al-Azhar yang bernama Syaikh Hasan al-Attar juga mempelajari bahasa Perancis, akhirnya terjadilah pertukaran kebudayaan antara Mesir dan Perancis.
 Sikap ulama yang pada awalnya konfrontasi berubah menjadi dialog dan akomodasi, tidak terlepas dari menjaga kehidupan pendidikan al-Azhar. Dengan konfrontasi dikhawatirkan al-Azhar akan mengalami kerugian dan dengan dialog serta menjalin kerjasama maka al-Azhar akan bertahan. Adanya kerjasama dapat dilihat dari dibukanya pembelajaran Bahasa Perancis bagi ulama dan para pelajar.
Perubahan berikutnya terjadi ketika kepemimpinan politik di Mesir dari Napoleon Bonaparte berpindah ke Kleber karena pasukan Dinasti Ottoman berhasil memukul mundur pasukan Napoleon di Palestina. Dan hal ini menjadikan terjadinya pergolakan kembali di al-Azhar, bahkan ketika Dinasti Ottoman kalah dalam menghadapi pasukan Kleber, yang menyebabkan ribuan pasukan di tangkap dan ulama yang berpihak kepada Donasti Ottoman ditangkap dan dicambuk. Perlakuan Kleber yang tidak manusiawi ini menyebabkan al-Azhar ditutup selama satu tahun.
Pada tahun 1801, pasukan Perancis mengalami kekalahan dan dapat ditaklukkan oleh Dinasti Ottoman dengan bantuan Inggris. Kemudian Inggris yang tidak tertarik untuk menguasai Mesir, menyerahkan kepemimpinan pada Dinasti Ottoman yang memiliki jejak sejarah dengan al-Azhar dan Mesir. Dan pada tahun yang sama di bulan Juni, al-Azhar dibuka kembali untuk shalat Jum’at setelah ditutup selama satu tahun.
D.                Pembaharuan dalam Al-Azhar
Al- Azhar dalam perjalanannya sebagai lembaga pusat pendidikan keagamaan terus mengalami pasang-surut dalam perkembangannya, pembaharuan demi pembaharuan terus dilakukan, adapun tokoh pembaharuan serta ide yang mereka tawarkan dan lakukan, beberapa di antaranya :
1.      Muhammad Ali yang merupakan penguasa Mesir dengan dukungan penuh dari para ulama al-Azhar. Adapun reformasi yang dilakukan Muhammad Ali antara lain :
a.       Setiap pelajar yang akan memasuki al-Azhar harus mendaftar dan mengikuti ujian seleksi.
b.      Setiap tingkatan memiliki kurikulum dan system yang jelas.
c.       Mendirikan sejumlah kelas untuk pendidikan umum, seperti kedokteran dan teknik.
d.      Mengirim pelajar untuk belajar ke Eropa dan setelah lulus mengabdikan diri untuk mengembangkan ilmu di al-Azhar.
e.       Adanya dewan tinggi dalam rangka memaksimalkan kualitas pendidikan di al-Azhar.
f.       Memberikan ijazah kepada lulusan al-Azhar.
Muhammad Ali melakukan pembaharuan terhadap al-Azhar, dengan dua cara, yaitu :
a.          Jangka pendek, yaitu memegang kendali kebijakan al-Azhar.
Meskipun al-Azhar dipimpin oleh Grand Syaikh dan dikoordinasikan dengan Dewan Tinggi al-Azhar, tetapi dalam penunjukan Grand Syaikh, Muhammad Ali memegang otoritas tertinggi.
b.         Jangka Panjang, Muhammad Ali menggalakkan pengiriman para ulama ke Perancis untuk belajar, hal ini dimaksudkan agar para ulama dapat mensintesiskan antara kultur pendidikan al-Azhar dan pendidikan Barat.
2.      Ismail cucu dari Muhammad Ali. Ia memberikan  kebebasan kepada kalangan Katolik dan Protestan untuk mengembangkan pendidikan, kemudian mendirikan Dar Ulum tahun 1872 M, dengan tujuan melatih para guru dan hakim.
Tahun 1873 M, tenaga guru mencapai 314 dan jumlah pelajar 9.441 orang. Jumlah pelajar terus mengalami peningkatan sampai 10.780 orang dengan rincian 5.651 orang berafiliasi mazhab Syafi’i, 3.826 orang berafiliasi mazhab Maliki,  1.278 berafiliasi mazhab hanafi, dan 25 orang berafiliasi mazhab Hambali. Jumlah ini terdapat pada tahun 1876 M.
Sejak tahun 1872, al-Azhar telah memperhitungkan kualitas dan kelayakan bagi guru ingin mengajar di al-Azhar, dengan memberikan sertifikasi bagi mereka yang lulus fit and proper test, dan berhak untuk mengajar di al-Azhar.
3.      Kemudian Abbas Ilmi pada tahun  1892 membangun kelas khusus dilantai bawah untuk ruangan ujian, menata kembali perpustakaan,dan membangun rumah sakit di al-Azhar.
4.      Muhammad Abduh, ia adalah Grand Mufti Mesir. Ia menyampaikan lima proposal reformasi di dalam al-Azhar, yaitu :
a.       Mengubah sistem halaqoh menuju system kelas yang terjadual
b.      Melaksanakan ujian yang rutin dalam rangka mengukur kemampuan akademis setiap pelajar.
c.       Menggunakan buku-buku primer yang ditulis para ulama yang mempunyai otoritas dalam bidangnya, daripada buku-buku sekunder yang ditulis sebagian guru.
d.      Memperkaya kurikulum dengan materi-materi baru, bahkan hal-hal yang tidak ada dalam khazanah keilmuan al-Azhar.
e.       Sentralisasi perpustakaan.
Kerjasama yang dilakukan oleh Muhammad Abduh sebagai Grand Mufti dan Syaikh Hassunah al-Nawawi sebagai Grand Syaikh al-Azhar, mempunyai dampak yang sangat besar terhadap reformasi al-Azhar.
Suwito (2008) : Membahas tentang reformasi pendidikan di al-Azhar, Muhammad Abduh adalah salah satu tokoh reformis yang lahir pada tahun 1849 M di Mahallat Nasr sebuah desa di Mesir. Di antara pemikirannya yang berkaitan dengan reformasi system pendidikan di al-Azhar adalah :
1.      Ia menentang pengkafiran terhadap segala sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan. Seperti membaca buku geografi, ilmu alam, atau filsafat adalah haram, memakai sepatu adalah bid’ah.
2.      Materi pelajaran yang diberikan al-Azhar tidak hanya terbatas kepada ilmu-ilmu agama an sich, tetapi juga memperkenalkan sekaligus mengajarkan filsafat, sejarah dan peradaban Eropa, teologi, serta logika.
3.      Ia tidak setuju dengan metode pengajaran di al-Azhar yang lebih menekankan kepada aspek penghafalan, tetapi ia lebih menekankan kepada mahasiswa untuk dididik berfikir. 12)

5.      Kemudian pada tahun 1895 M, dibentuk satu lembaga yang diberi nama  Majlis al-Iradah atau Dewan Administratif. Dewan ini terdiri dari Grand Syaikh al-Azhar, empat ulama representative dari empat mazhab fiqh dan dua orang dari pemerintah. Dewan ini melakukan pembaharuan di antaranya :
a.       Standarisasi pelajar yang dapat menimba ilmu di al-Azhar ;
12)  Suwito,  Sejarah Sosial Pendidikan Islam, ( Jakarta, Kencana , 2008), h. 186
Keharusan menghafal 15 juz Al-Qur’an pada pelajar yang berusia 15 tahun.
b.      Perubahan kurikulum ;
1)        Al-Maqashid : Materi inti dari pendidikan keagamaan
Seperti : Aqidah, Akhlak, Fiqh, Ushul Fiqh, Hadits dan Tafsir
2)        Al-Wasail : Materi yang penting untuk dipelajari oleh pelajar,
Seperti : Bahasa Arab dan Ilmu Hadits.
                        Bayard Dodge (1961) :
            During the year, moreover, so many people desired to have modern subject included in the curriculum, that they asked the Rector of al-Azhar to give a legal decision concerning the matter. After consulting the Mufti and other authotities he pronounced that, “ It is right to teach the mathematical sciences like arithmetic and geometry, as well as geography, because they do not contradict truth. Anything contributed by then spiritual endeavor is needed, just as medicine is necessary. “ Then a reference is made to al-Gahzzali, after which it is explained that certain aspects of astronomy and astrology are not legitimate. The natural sciences are permitted, if studied in accordance with the (Shari’ah) law, but forbidden if approached fram the point of view of metaphysics. Alchemy is prohibited, but chemical experiments are allowed, provided they do not contradict the doctrines af Islam. 13)

The curriculum, moreover, omitted subject like this biography of the Prophet, religious ethics, technical term for the tradition, calligrafhy, composition, the art of debate and calculation of the times of worship. The shaykhs believed that’s a students mind could be so well trained by mastering the traditional studies, that when be fit for any position to which he might be appointed. 14)

Selama tahun 1888, banyak orang yang mengiginkan agar materi modern masuk ke dalam kurikulum, terkhusus adanya permintaan agar rektor al-Azhar memberikan keputusan hukum tentang masalah tersebut. setelah berkonsultasi dengan Mufti dan para pakar lain ia menyatakan bahwa, " Suatu tindakan yang benar untuk mengajarkan ilmu matematika seperti aritmatika dan geometri, serta geografi, karena ilmu ini tidak bertentangan dengan kebenaran, karena merupakan pengetahuan yang diperlukanal-Ghazali berpendapat  bahwa ilmu pada  aspek tertentu dari astronomi dan astrology tidak

13)   Bayard Dodge,  Al-Azhar A Millennium of Muslim Learning,  ( Washington, D.C, The Middle East Institute , 1961), h. 132
14)    Ibid, h. 133
boleh dipelajari. Sedangkan mempelajari ilmu-ilmu alam diperbolehkan, dengan dasar hukum (syari'ah), tetapi dilarang jika didekati dari sudut pandang metafisika, Alchemy dilarang, tetapi eksperimen kimia yang diizinkan, asalkan tidak bertentangan dengan doktrin Islam.

Kurikulum, materi seperti biografi nabi, etika agama, istilah teknis untuk tradisi, kaligrafi, komposisi, seni perdebatan dan perhitungan waktu ibadah dihilangkan. Karena para syekh percaya bahwa pikiran siswa bisa begitu terlatih dengan menguasai penelitian tradisional, bahwa ia akan cocok dengan posisi apapun setelah ia lulus.
c.       Pembagian Jenjang Pendidikan :
1)      Pendidikan 8 tahun : pelajar yang menyelesaikan pendidikan dalam waktu 8 tahun akan diberi ijazah al-Syahadah al-Ahliyyah, dan diperkenankan menjadi imam masjid dan khatib.
2)      Pendidikan 12 tahun : pelajar yang menyelesaikan pendidikan dalam  waktu  12  tahun  akan  diberi  ijazah  al - Syahadah  al-‘Alamiyyah, mereka yang lulus pada jenjang ini hamper dipastikan menguasai bidang kajiannya, yang memadukan antara kemampuan hafalan dan pemahaman. Gelar ini adalah gelar tertinggi karena  lulusannya harus hafal seluruh Al-Qur’an.
Berkaitan dengan pembaharuan ini Zuhairi Misrawi (2010) menuliskan ;
Menurut Khafagi ada tiga sosok penting  dalam menjeput era baru di al-Azhar, terutama dalam rangka menjaga keseimbangan antara modernisasi, reformasi, dan kemerdekaan politik. Pertama Rifa’ah Tahtawi. Ia adalah sosok ulama modern yang berjasa dalam pengembangan bahasa dan sastra di al-Azhar ….
Kedua, Abdullah bin al-Nadim dan Ahmad Urabi. Al-Nadim seseorang yang menggalang kekuatan di kalangan Budayawan untuk mengobarkan api revolusi dan reformasi. Untuk mencapai misinya, ia mendirikan sebuah lembaga yang sangat popular, yaitu Jam’iyyah al-Kahiriyyah al-Islamiyah. Sedangkan Urabi adalah seorang agitator yang dapat membakar spirit orang-orang Mesir untuk menyalakan api revolusi. Bahkan, al-Azhar turut serta dalam revolusi yang dipimpin oleh Urabi, yang kemudian dikenal dengan revolusi Urabi.
Ketiga, Muhammad Abduh, Ia dikenal sebagai salah satu murid Jamaluddin al-Afghani, yang melanjutkan pemikiran progesif dan menuju modernisasi yang sesungguhnya. Ia menggabungkan antara kekuatan aktivitasme  dan intelektualisme. Sebuah gerakan reformasi yang hampir dikatakan  sempurna. 15)

Setelah beberapa tahun kemudian, muncullah ide untuk menjadikan al-Azhar sebagai universitas, tetapi inisiatif ini ditolak pemerintah dengan mendirikan universitas tandingan pada tahun 1908 yang diberi nama Universitas Kairo, ada anggapan bahwa sikap pemerintah ini adalah untuk meminimalisir peran sosial al-Azhar. Namun hal ini tidak mengurangi kepribadiaan al-Azhar sebagai pusat pendidikan keagamaan, bahkan perannya secara nasional, regional, dan internasional semakin meningkat.
Sidi Gazalba (2001) :
                                    Setelah  sepuluh abad perkembangan madrasah, tahun 1911 ia diresmikan   sebagai Universitas Agama.
“… Al Azhar telah dibagi menjadi dua jurusan, jurusan umum yang meneruskan cara lama dan jurusan khusus yang terdiri dari ilmu kalam, hukum dan bahasa Arab: dan tiap-tiap fakultas mempunyai beberapa sekolah rendah dan menengah. Pada jurusan khusus mahasiswa dikuliahi pelajaran-pelajaran modern dengan rencana pelajaran-pelajaran yang terakhir, diberi ujian-ujian tahun; diwajibkan spesialisasi dengan mengajukan desertasi serta diberi gelar akademi…“16)

Pada tahun 1930, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.49 yang mengatur pendidikan al-Azhar, yang dimulai dari pendidikan dasar sampai ke perguruan tinggi, dan Universitas al-Azhar terbagi menjadi tiga fakultas, yaitu : Syari’ah, Ushuluddin, dan Bahasa Arab. Dan sampai saat ini, Universitas al-Azhar tidak hanya memiliki fakultas-fakultas keislaman, tetapi juga fakultas-fakultas umum, seperti : Tarbiyah, Kedokteran, Farmasi, Sosial Politik dan Ekonomi, Perdagangan, Sains dan fakultas khusus perempuan yang dikenal dengan Kuliyyah Al-Banat.
15)   Zuhairi Misrawi,  Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan “, ( Jakarta, Penerbit Buku   Kompas , 2010), h. 200
16)   Sidi,Gazalba, “ Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam “,  ( Jakarta, PT. Al-Husna Zikra , 2001), h. 215
Secara  nasional  peran  al-Azhar  tidak  diragukan lagi karena mampu
mereformasi diri dan menjemput modernisasi, di ranah regional merupakan satu-satunya pendidikan tinggi yang diperhitungkan, dan di taraf internasional, namanya semakin harum dengan bertambahnya jumlah mahasiswa asing yang belajar di dalamnya.
E.                 Peranan Al-Azhar dalam Dunia Islam
1.      Al-Azhar sebagai Kiblat Keulamaan
Ka’bah adalah kiblat shalat bagi umat Islam, maka al-Azhar adalah kiblat keulamaan, ungkapan ini bukan pendapat yang tidak bisa dibuktikan dengan sejarah, faktanya al-Azhar tetap berkiprah ditengah usianya yang sudah mencapai 1000 tahun. Perkembangannya terus mengalami pasang surut, dan menjadi saksi sejarah terhadap pergantian periode dinasti, bahkan sampai masa penjajah dan revolusi.
Al-Azhar diakui secara internasional adalah lembaga pendidikan yang mencetak para ulama yang memiliki karakter yaitu kritisme, dan ulama yang selalu merujuk pada sumber primer yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
Abad 9 H/15 M adalah masa keemasan bagi al-Azhar, karena pada saat itu banyak ilmuan yang muncul, seperti : Ibnu Khaldun, Al-Farisi, Al-Suyuthi, Al-Maqrizi, dan lainnya. Kemudian banyak juga ulama kontemporer yang merupakan lulusan al-Azhar, antara lain : Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Yusuf Qardhawi, Quraish Shihab.
Misrawi Zuhairi (2010), menyatakan :
Dalam hal ini, terdapat dua kelompok ulama yang berjasa besar dalam menjaga eksistensi al-Azhar sebagai benteng peradaban Sunni. Pertama, para ulama yang dipilih sebagai Grand Syaikh al-Azhar. Mereka mempunyai jasa besar, karena di tangan merekalah segala urusan yang berkaitan dengan al-Azhar dikendalikan untuk kemaslahatan umat.

Kedua, para ulama yang menghabiskan waktu untuk mengajar dan menelurkan pemikiran –pemikiran keagamaan cemerlang di al-Azhar. Dedikasi dan karya mereka ditulis dengan tinta emas sebagai sebuah pembuktian. Bahwa al-Azhar telah memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk berkarya untuk tumbuhnya pemikiran keagamaan yang membawa harapan tentang kemajuan dan kebangkitan.
Kedua kelompok ulama tersebut telah menjadikan al-Azhar sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai kedudukan penting di hati umat Islam. Dalam usianya yang lebih dari 1.000 tahun, al-Azhar telah membuktikan dirinya sebagai salah satu model pendidikan yang patut diacungkan jempol dengan catatan ulama yang telah lahir dari rahim al-Azhar. 17)

Senada dengan pendapat di atas, Bayard Dodge (1961) menyatakan :

In conclusion Dr. al-Bahay says that “The readjustment of al-azhar consists in bearing in mind the accomplishment of a mission, which is the understanding of Islam and making it know more perfectly"."It ia an individual mission, which no other educational institution can undertake “ ." Islam in the future will have a strong or weak influence, as al-azhar is strong or weak. " 18)

Kesimpulannya adalah Dr. al-Bahay mengatakan “ al-Azhar berdiri dengan komitmen membawa misi yang kuat, menanamkan pemahaman keislaman dan pengetahuan yang sempurna. “ Ini adalah misi yang besar dan belum ada lembaga lain yang dapat melakukannya. “ .“ Kuat atau lemahnya masa depan Islam akan berpengaruh terhadap al-Azhar

Selain sebagai institusi pendidikan, Al-Azhar juga memiliki lembaga-lembaga lain, yaitu :
1)   Lembaga Pendidikan Dasar dan Menengah (Al-Ma’ahid Al Azhariyyin)
2)                Lembaga Riset Islami (Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyah)
3)   Biro Kebudayaan dan Misi Islam (Idarah Al-Tsaqafah wa Al-Bu’uts Al-Islamiyah)
4)                Majelis Tinggi Al-Azhar (Al-Majlis Al-‘Ala li Al-Azhar).
5)                Dewan Tinggi Ulama (Hai’ah Kibar Al-‘Ulama).
2.    Azhar dan Peradaban
Al-Azhar mendirikan ikatan alumni skala internasional yang dikenal dengan The World Association for al-Azhar Graduates, yang disingkat dengan WAAG. Forum ini bertujuan untuk mempererat solidaritas  antar alumni  dan  untuk  menyuarakan  pesan  moral   kepada
dunia. Forum WAAG dikeluarkan sejumlah rekomendasi, antara lain :
17)  Zuhairi Misrawi,  Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan “, ( Jakarta, Penerbit Buku   Kompas , 2010), h. 200
18)   Bayard Dodge,  Al-Azhar A Millennium of Muslim Learning,  ( Washington, D.C, The Middle East Institute , 1961), h. 186
a)      Al- Azhar merupakan menara ilmu yang sudah membuktikan eksistensi nya lebih dari 1000 tahun sebagai rujukan utama Islam moderat yang menegaskan pentingnya toleransi dan keseimbangan.
b)      Perbedaan dala ranah teologi dan pemikiran merupakan sunnatullah.
c)    Peradaban manusia dala sejarahnya mempunyai nilai tentang kemajuan material dan spiritual, keterbukaan terhadap agama-agama lain, serta interaksi buah pikiran.
d)   Toleransi dan kerjasama di antara agama-agama samawi merupakan keniscayaan dalam rangka menghadapi tantangan yang diciptakan ideology-ideologi politik ekstrimis yang kerapkali menghegemoni agama-agama dalam menjalankan misinya.
e)    Dialog antar peradaban hanya menjadi sekadar slogan belaka, dan belum menjdai sebuah metodologi akademik yang dapat mendorong persuasi di antara peradaban.
f)    Perlu dibentuk ketentuan dan kerangka dialog yang dapat mengakselerasikan perjumpaan yang dapat menguatkan iman, serta membangun etika ilmu, politik, dan ekonomi.
g)   Dialog yang bertujuan untuk kemenangan sebuah kelompok dan dominasi sebuah kelompok atas kelompok lainnya, sehingga menghilangkan kesetaraan bukanlah tujuan dari dialog.
h)   Salah satu hambatan dalam membangun dialog antar peradaban, yaitu munculnya kebijakan-kebijakan politik yang bernuasa otoritariamisme.
i)     Negara-negara Barat telah lama melalui masa-masa mispersepsi terhadap Islam, sehingga hal tersebut menyebabkan permusuhan.
j)     Ruang titik temu antar agama jauh lebih luas daripada titik perpecahan.
k)      Perlu lingkungan yang kondusif untuk membangun perdamaian.
Sungguh hal yang tak dapat dipungkiri terhadap keistimewaan yang dimiliki al-Azhar, dimulai dari masa berdirinya, perkembangannya yang tidak terlepas dari berbagai hambatan dan tantangan, mengalami peningkatan kemajuan, sampai pada lulusan yang tidak diragukan lagi kualitasnya.
Al-Azhar membangun peradaban dengan perannya sebagai pusat lembaga keilmuan, dan tidak berhenti mulai dari masa lalu sampai saat inipun nama al-Azhar tercium harum. Bahkan, para alumninya melalui WAAG turut aktif dalam membangun peradaban dunia.
Keikut sertaan al-Azhar dalam kancah penyelesaian konflik yang tajam antar agama, disambut oleh pakar dunia. Karen Amstrong mengajak al-Azhar terlibat dalam gerakan global untuk menyerukan semua agama untuk menggali dan menyebarkan energy kasih saying, karena menurutnya bahwa perdamaian itu terwujud bukan karena perintah Tuhan, tetapi karena kita memperjuangkannya agar terwujud dala kehidupan.
Hubungan antar manusia tidak akan terjindar dari gesekan, yang disebabkan adanya perbedaan-perbedaan yang tidak akan mungkin dipersatukan. Ideologi menjadi batu sandungan untuk menyayangi sesame. Bahkan, menjadi dasar terjadinya ketegangan dan perpecahan, padahal situasi ini bukanlah kemauan ideologi.
Karena itulah, peran al-Azhar dalam membangun peradaban dan melahirkan manusia-manusia yang, beradab sangat diperlukan. Dengan beberapa alasan sebagai berikut :
1.         Ulama adalah manusia yang dekat kepada Allah Swt, kedekatan ini membuat ia bisa menentramkan hati saudaranya agar dapat mengendalikan diri.
2.         Ulama adalah orang yang memahami dasar-dasar agama dengan kepahaman yang baik, maka seharusnya ia mampu memberikan penjelasan dan meluruskan pemahaman yang salah untuk semua hal.
F.                 Grand  Syaikh Al-Azhar
Universitas al-Azhar memiliki 45 orang Grand Syekh, yaitu ulama yang pernah memimpin al-Azhar. Para ulama ini memiliki latar belakang yang berbeda-beda terutama dalam mazhab yang dianutnya. Namun, hal ini tidak menjadi persoalan besar dalam tubuh al-Azhar. Para ulama yang pernah menjabat sebagai Grand Syaikh al-Azhar, antara lain adalah sebagai berikut :
1.      Syaikh Muhammad al-Khurasyi, ia adalah  syaikh pertama dan salah satu
ulama Mazhab Maliki.
2.      Syaikh Ahmad al-Damhuji, diangkat pada tahun 1830 M, seorang ulama yang dikenal memiliki charisma dan menjadi jembatan yang baik antar al-Azhar dengan penguasa, dan menganut Mazhab Syafi’i.
3.      Syaikh Hasan al-Quwaysani, diangkat pada tahun 1834 M, seorang ulama yang istimewa karena tunanetra dan menganut Mazhab Syafi’i.
4.      Syaikh Hasunah al-Nawawi, diangkat pada tahun 1896 M, seorang ulama yang memulai reformasi al-Azhar memasukkan materi-materi non agama dalam al-Azhar, mendirikan perpustakaan khusus al-Azhar , dan Riwaq Abbasi dan  menganut Mazhab Hanafi.
5.      Syaikh Musthafa al-Maraghi, diangkat pada tahun 1928 M, pada masa jabatannya al-Azhar mendirikan tiga fakultas.
Muhammad Sa’id Mursi (2009) :
Namanya  Muhammad  Mushtafa   Muhammad  Maraghi,    panggilannya
Abu Abdullah Maraghi dilahirkan di desa Maraghah Jaraja sebuah perkampungan di Mesir pada tahun 1881 M. Dia telah menghafal Al-Qur’an sejak tinggal di kampungnya, menimba ilmu dari bapaknya kemudian masuk al-Azhar. Belajar juga kepada Muhammad Abduh sehingga menguasai benar metodologi islahnya. Dia meraih sertifikat internasional pada tahun 1904 M dan termasuk mahasiswa termuda pada levelnya. Ditunjuk sebagai ketua Pengadilan Tinggi Syari’ah, kemudian menjadi Hakim Agung di Sudan setelah menguasai bahasa Inggris. 19)
6.      Syaikh Abdurrahman Taj, diangkat pada tahun 1954 M, seorang ulama yang menggantikan Syaikh Muhammad Khadr Husein, dan mengeluarkan kebijakan wajib militer kepada mahasiswa al-Azhar melawan Israil. Dan tahun 1955 memenuhi undangan Soekarna dating ke Indonesia
7.      Syaikh Mahmud Syaltut, diangkat pada tahun 1957 M, seorang ulama mengumandangkan  persatuan  antar Islam, dan  memulai perlunya dialog
antar mazhab khususnya antara Sunni dan Syi’ah.
19)  Muhammad Sa’id Mursi, “ Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah “,  ( Jakarta, Pustka Al-Kautsar,  2005), h. 389
8.      Syaikh Abdul  Halim  Mahmud,  diangkat  pada  tahun  1973 M,   seorang ulama  yang  ensiklopedis   karena   wawasan   keIslamannya,    memiliki pengalaman dalam birokrasi pemerintah, dan pernah dipercaya sebagai Menteri Waqf pada tahun yang sama.
Muhammad Sa’id Mursi (2009) :
Abdul Halim Mahmud dilahirkan di kota Bilbis propinsi Mesir Timur pada tahun 1910 M. Dia memperoleh ijazah internasional dari al-Azhar pada tahun 1940 M, di Perancis, kemudian menjadi dosen fakultas Ushuluddin dan diangkat menjadi sekan fakultas yang sama pada tahun 1964 M. Pada saat itu ia mewajibkan mahasiswanya untuk menghafal Al-Qur’an. 20)

9.      Syaikh Gad al-Haq Ali Gad al-Haq, diangkat pada tahun 1982 M, seorang ulama ahli hukum Islam, dan terleibat dalam forum-forum internasional.
10.  Syaikh Ahmad Tateb, diangkat pada tahun 2009 M sampai saat ini, seorang ulama yang mempunyai pengalaman pendidikan di Sorboni, Perancis. Memiliki komitmen melanjutkan pemikiran Syaikh Tantawi dalam mendorong spirit kebangsaan.
Itulah para Grand Syaikh atau Imam Akbar , yang telah berjasa dalam mengembangkan paham Sunni, berkenaan dengan para ulama dan peranannya dalam mengembangkan al-Azhar.
Hasan Asari (2007) memberi pendapat :
“ Posisi penting ulama Mesir berkaitan dengan keberadaan Al-Azhar. Lembaga keagamaan yang didukung oleh system waqf yang sangat besar ini bertahan sejak zaman klasik Islam dan telah menjadi  bagian dari identitas Mesir. Meski setelah penaklukannya di awal abad ke – 16, kerajaan Ustmani melikuidasi sebagian besar waqf lembaga keagamaanMesir, Al-Azhar merupakan pengecualian yang bahkan mendapat dukungan dari penguasa tersebut. Lembaga ini berfungsi sebagai pusat revitalisasi pendidikan islam (khususnya dalam kajian hadits dan tasawuf), di samping memberi peluang pertukaran informasi antar berbagai penjuru dunia Islam. Keberadaannya mengundang kehadiran sejumlah ulama besar yang sekaligus menjadi dasar kosmopolitanisme kegiatan ilmiah muslim. Sejumlah ulama terkenal didaerah lain, semacam India atau Indonesia mempunyai hubungan erat denga para ulama Al-Azhar di Kairo

20)  Muhammad Sa’id Mursi, “ Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah “,  ( Jakarta, Pustka Al-Kautsar, 2005), h. 392
Hubungan antara ulama dan penguasa Mesir mengalami pasang surut, sesuai dengan besarnya kekuasaan yang mereka miliki. Ulama cenderung memiliki kekuatan dan prestise yang tinggi bila pemerintah pusat lemah dan tidak mampu mengendalikan rakyat secara efektif. Kekuranggannya kendali politik memberi kesempatan bagi ulama untuk berkolaborasi dengan penguasa, dan dengan demikian dapat mengumpulkan kekuasaan dan kekayaan. Namun demikian sebagai pengayom umat Islam, ulama akan menentang penguasa yang tiran terhadap rakyat. Sebaliknya, dibawah penguasa yang kuat, yang pemerintahannya ditandai dengan pemerintahan pusat yang efektif, otoritas ulama cenderung kehilangan kekuatannya.21)

G.                Rasyid Ridha dan Kritiknya Terhadap Pengajaran Al-Azhar
Rasyid Ridha memberikan pernyataan keras terhadap al-Azhar yang dikutip  pada  majalah  Al - Manar edisi  42  bulan  Januari  tahun 1899 M. Ia menyatakan : “ Bagaimana mugkin reformasi umat ini bisa diharapkan terjadi jika ulamanya meyakini bahwa reformasi itu mustahil terjadi ?... dan bahwa upaya mengembalikan kemuliaan agama itu hanya sia-sia belaka dan tidak ada gunanya  ; karena zaman telah rusak dan Kiamat sudah dekat ? … dan bahwa ilmu-ilmu kekinian, termasuk matematika dan sejarah, itu sesat dan menyimpang dari garis kebenaran yang bisa menyebabkan mereka diharamkan dari kebahagiaan ? … apakah di antara umat Islam itu ada yang runtuh agama dan akalnya dengan meyakini pendapat-pendapat seperti ini ? 22)
Beberapa hal yang dikritik Rasyid Ridho, yaitu :
1.             Pengajaran keagamaan ; menurutnya jarang sekali ditemukan dialog dan diskusi yang terjadi antara guru dan murid. Sehingga banyak persoalan yang tidak tuntas.
2.             Kitab-kitab fiqh hanya berkisah masalah yang berisi persoalan-persoalan khilafiyah saja. Menurut Rasyid Ridho, seharusnya disusun satu atau beberapa kitab khusus yang memuat pendapat-pendapat shahih bagi kepentingan umat.
3.             Dalam masalah ilmu kalam masih jauh dari kebutuhan-kebutuhan pemikiran saat itu. Seharusnya masalah ilmu kalam difokuskan pada problem-problem filsafat.
21)  Hasan asari, “Modernisasi Islam, tokoh, gagasan dan gerakan”,(Citapustaka Media, Bandung, 2007)h.51-52
22) Said Ismail Ali, “ Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh “,  (Jakarta, Pustka Al-Kautsar, 2010), h.   215
4.         Kitab nahwu yang gagal untuk mengoreksi ungkapan yang keliru dan menggunakan bahasa ilmiah.
5.         Adanya jurang pemisah terhadap ilmu-ilmu modern, karena itu seharusnya tidak ada jarak untuk memisahkan ilmu modern dalam pembelajaran di al-Azhar.

































SIMPULAN
Al-Mu’iz Dinillah, pemimpin Dinasti Fathimiyah adalah orang yang paling berjasa dalam membangun gagasan pendirian Masjid al-Azhar sebagai pusat pemerintahan dan penyebaran faham Syi’ah Ismailiyah.
Al-Azhar dalam perkembangannya, bukan saja sebagai tempat untuk mendalami ilmu agama atau penampungan bagi orang-orang miskin, bahkan al-Azhar juga merupakan tempat pemersatu umat dalam perjuangan membebaskan Mesir dari penjajahan Negara Perancis.
Keistimewaan al-Azhar, tidak hanya piawai dalam melahirkan ulama-ulama yang berkualitas, akan tetapi ia juga membangun peradaban dunia melalui dua cara, yaitu dengan kepribadian yangn dimiliki oleh al-Azhar sendiri, dan melalui lulusan-lulusannya yang membawa perubahan terhadap masyarakat dunia.
Tak ada gading yang tak retak, peribahasa ini mengungkapkan bahwa tidak ada yang sempurna termasuk al-Azhar sebagai lembaga pendidikan. Dalam memainkan peranannya tentu ada kekurangan-kekurangan yang tidak akan dapat dihindari. Namun, karena perubahan adalah sesuatu yang sunnatullah, al-Azhar terus mengalami peningkatan kemajuan dari zaman ke zaman.
Sungguh, al-Azhar adalah sejarah yang berjalan, selama 1000 tahun ia menjadi saksi atas perubahan – perubahan sistem pemerintahan, pengalihan kekuasaan, saksi akan kelahiran para ulama, ilmuan, dan filosof yang terkenal sampai sekarang, dan diusianya yang sangat tua, ia tetap menjadi idola untuk mendalami ilmu agama.
45 orang Grand Syaikh, cukuplah menjadi bukti akan daya tahan sebuah tradisi intelektual yang dimiliki al-Azhar. Walaupun memiliki keahlian dan mazhab yang berbeda, para Grand Syaikh menjunjung tinggi tujuan yang sama, yaitu  menghidupkan al-Azhar sebagai pusat dari lembaga keilmuan agama dan umum untuk seluruh penduduk dunia.
Al-Azhar tidak hanya menjadi sejarah, tetapi menyaksikan dan mengukir sejarah dalam keajaiban dunia pendidikan dan peradaban. Dan keberadaan al-Azhar bukti nyata bahwa Islam adalah agama yang peduli terhadap pendidikan, kesehatan, kesenian, serta ilmu pengetahuan umum lainnya.
DAFTAR PUSTAKA


A.      Bakir Ihsan, Ensiklopedia Islam (I), (2005), Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve.

Arif Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam, (2010), Bandung, Mizan.

Bayard Dodge,  Al-Azhar A Millennium of Muslim Learning,  (1961),  Washington, D.C, The Middle East Institute.

Berkey, Jonathan, The Transmission Of Knowlegde In Medieval Cairo , (1992), New Jersey, Princeton University Press.

Hanun Asrohah, “ Sejarah Pendidikan Islam “, (2001), Jakarta, PT. Logos  Wacana Ilmu.

Hasan asari, Modernisasi Islam, tokoh, gagasan dan gerakan ,( 2007), Citapustaka Media, Bandung,

M.Athiyah al-Abrasyi, Attarbiyatul Islamiyah  , Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam , Bustami A.Gani, (1984 ), Jakarta, P.T.Bulan Bintang,.

Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah,  (2005), Jakarta, Pustka Al-Kautsar.

Raghib As-Siraji, Madza Qaddamal Muslimuna lil’Alam Ishamaatu al-Muslimin fi al-Hadharah al-Insaniyah . Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, Sonif, (2011), Jakarta, Pustaka Al-Kautsar.

Said Ismail Ali, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh ,  (2010), Jakarta, Pustaka Al-Kautsar,

Sidi,Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam ,  (2001), Jakarta, PT. Al- Husna Zikra.

Suwito,  Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (2008), Jakarta, Kencana ,

Zuhairi Misrawi,  Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan, (2010) Jakarta, Penerbit Buku Kompas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar