Selasa, 25 Oktober 2011

Pemikiran Pendidikan Islam AL-Ghazali

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM AL-GHAZALI
 Ummi Kalsum Khairani ( Nim 10 PEDI 1817)
A.                Pendahuluan.
Sebuah perjalanan panjang tentang rumusan pendidikan yang telah diberikan oleh para pemikir Islam yang luar biasa, yang bukan hanya memiliki kepribadian yang tidak diragukan lagi kesholehannya, tapi juga telah melahirkan pemikiran yang brilliant terhadap pendidikan Islam sampai saat ini.
Dimulai dari Al-Qabisi dan Ibnu Syahnun yaitu motor pertama penggerak lahirnya pemikiran tentang pendidikan, hal ini diikuti Burhanuddin Al-Zarnuji yang mengemukakan tiga belas ide pokok tentang belajar, kemudian sang dokter terkemuka yaitu Ibnu Sina juga tidak ketinggalan memberikan pemikiran pendidikan yang ia pandang secara khusus dari bidang psikologi. Berikutnya adalah Al-Ghazali yang terkenal melalui karyanya yang fenomenal yaitu karangannya yang berjudul Ihya ‘Ulumuddin, dan secara istimewa menguraikan tentang keberhasilan seorang guru dan murid apabila mereka melakukan tugas pokok seorang guru yang terbagi menjadi delapan poin dan tugas pokok sebagai murid yang terbagi menjadi sepuluh poin.
Al-Ghazali, menjelaskan pemikirannya tentang pendidikan dipengaruhi oleh kepribadiannya yang mendalami ilmu tasawuf dan berpribadi zuhud. Hal ini tercermin melalui tujuan pendidikan yang diharapkan oleh Al-Ghazali yaitu tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Walaupun telah  900 tahun Al-Ghazali meninggal dunia. Tetapi, karya besarnya sampai hari masih dipakai di belahan dunia dengan bahasa yang berbeda dan Al-Ghazali  merupakan salah satu pemikir yang telah menuliskan tinta emas dalam sejarah dunia, yang bukan saja dalam bidang pendidikan, bahkan pada bidang-bidang yang lain.

B.                 Sejarah Hidup Al-Ghazali
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Al-Ghazali, disebut al-Ghazali karena ayahnya seorang  pekerja pembuat pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar . Ada juga berpendapat bahwa dia disebut Al-Ghazali karena tempat kelahirannya di Ghazalah, sebuah desa di Thus. Beliau juga dipanggil Abu Hamid, karena ia adalah ayah dari seorang anak laki-laki yang bernama Hamid. Di belahan dunia Eropa, al-Ghazali disebut dengan Algazel, sedangkan didunia Islam, dia diberi gelar dengan sebutan Hujjatul Islam.
Sirajuddin Zar (2009) ;  Al-Ghazali diberi gelar kehormatan dengan Hujjat al-Islam (Argumentasi Islam) karena pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama kaum Bathiniyat dan kaum filosof. Karenanya statement yang dikemukakan sarjana-sarjana Eropa (juga sebagian orang Islam) bahwa ia adalah muslim terbesar sesudah Muhammad SAW, memperkuat kebesaran nama yang disandangnya. 1)

Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H/1058 M di Thus, Propinsi Khurasan, Republik Islam Iran, dan meninggal pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H / 18 Desember 1111 M  juga di Thus dalam usia 55 tahun.
Arif Munandar Riswanto (2010) : Al-Ghazali berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi, yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan shaleh. Ayahnya selalu hadir dalam majlis ilmu para ahli fiqh di kampungnya dan selalu melayani mereka. Jika mendengar nasehat dari mereka, ayah Al-Ghazali selalu menangis dan berdoa agar diberi seorang anak yang soleh. Akhirnya dia diberi dua orang anak, Ahmad dan Muhammad. 2)

Sulaiman Dunya (2002) ; Sedangkan ibu dari Hujjatul Islam (Imam Al-Ghazali) ini, sejarah sendiri tidak memberikan keterangan dan takdir telah membuatnya tidak dikenal masa. Akan tetapi, beliau (sang ibu) menyaksikan apa yang tidak disaksikan oleh suaminya (ayah Imam Al-Ghazali) ketika anaknya menjadi matahari dunia yang terbit diufuk kejayaan dan keagungannya, serta sang anak kala itu menduduki posisi yang terhormat di bidang ilmu pengetahuan. 3)

Al-Ghazali   memiliki  sosok  yang  luar  biasa, karena ia bukan hanya
1)     Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 158
2)     Arif Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam, ( Bandung, Mizan, 2010), hal 380.
3)     Sulaiman Dunya, Al-Haqiqatu fi Nazhari Al-Ghazali, Pandangan Hidup Imam Al-Ghazali, Ibnu Ali, (Surabaya, Pustaka Hikmah Perdana, 2002), h.38
seorang ulama, tapi  beliau  juga  pendidik, ahli  pikir dan pengarang yang produktif. Keistimewaannya tercermin dalam karangannya yang memiliki paparan yang bagus, gaya bahasa yang menarik, serta penyajian dalil yang
kuat pada tulisannya sehingga dapat dijadikan hujjah.
Ayah al-Ghazali meninggal semasa ia masih kecil, dan ia bersama saudaranya ahli dititipkan kepada sahabatnya seorang sufi untuk dididik dan dibimbing dengan baik, karena warisan yang dimiliki oleh Al-Ghazali dan adiknya tidak mencukupi lagi, akhirnya mereka dititipkan pada Madrasah yang menyediakan biaya hidup buat para santrinya. Di madrasah inilah Al-Ghazali memulai titik awal perkembangan keintelektualan dan potensi spiritual yang dimilikinya dengan bertemu seorang guru sufi yang bernama Yusuf Al-Nassaj.
Sejak kecil al-Ghazali telah menghafal Al-Qur’an dan mempelajari Fiqih, setelah Yusuf al-Nassaj meninggal dunia, ia berguru kepada Syaikh Ahmad ibn Muhammad al-Radzakani di Thusi.
Selanjutnya al-Ghazali pergi ke Jurjan, dan pada usia dua puluh tahun ia pergi ke Naisabur dan belajar di Madrasah Nizhamiyah (Madrasah ini didirikan pertengahan abad ke lima oleh Dinasti Saljuq ), di madrasah ini ia belajar kepada Imam al-Haramain al-Juwaini dan mengenal berbagai disiplin ilmu, seperti fiqh, ushul fiqh, mantiq, ilmu kalam dan filsafat.
Setelah al-Ghazali menamatkan pelajarannya pada tahun 470 H di Jurjan, ia pulang ke Thus dan membawa seluruh catatannya yang ia tulis selama belajar ia Madrasah Nizhamiyah. Setelah Imam Haramain meninggal dunia, al-Ghazali pergi ke suatu tempat bernama al-Mu’askar dan bertemu dengan Nizham al-Mulk yang sebelumnya beliau telah mendengar keluasan dan ketinggian ilmu al-Ghazali dan berada di sana selama enam tahun.
Thawil Akhyar Dasoeki (1993) : Dalam usia yang masih terlalu hijau (25 tahun) Al-Ghazali telah diangkat menjadi dosen di Universitas Nizhamiyah, di bawah pimpinan Guru Besarnya Imamul Haramain. Dan tiga tahun kemudian Perdana Menteri Nizhamul Mulk mengangkatnya sebagai Presiden Universitas untuk menggantikan Imamul Haramain. 4)
4)     Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, ( Semarang, CV.Toha Putra, 1993), h. 56
Pada tahun 488 H, al-Ghazali mengalami gejolak bathin dan merasakan ketidaknyamanan dengan prestasi yang telah ia capai. Akhirnya, ia meletakkan jabatannya dan menyerahkan pada adiknya Ahmad, kemudian  ia meninggalkan Baghdad dan mengembara ke Suriah. Di Suriah al-Ghazali menetap di Kota Damaskus dan menetap di Masjid Umayah, ia memiliki tempat khusus di menara Masjid yaitu duduk menyendiri di sudut sehingga sudut itu diberi panggilan sudut al-Ghazali, kemudian ia berangkat ke Baitul Maqdis, selanjutnya ke Mesir dan menetap di Alexandria. Akhirnya ia memutuskan kembali ke Thus sampai akhir hayatnya.
C.                Hasil karyanya
Hasil Karya al-Ghazali berjumlah kurang lebih 100 karangan, yang meliputi berbagai macam bidang ilmu dan pengetahuan, seperti ilmu kalam, fiqh, tasawuf, akhlaq, dan autobiografi.
Karangan al-Ghazali sebagian besar berbahasa Arab dan sebagian lagi berbahasa Persia,  ada beberapa karangan yang kurang mendapat perhatian di Indonesia, tetapi sangat dikenal di dunia Barat, seperti Maqashidul Falasifah (tujuan para ahli filsafat) dan Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan Filosof).
A.      Mustofa (1997) : “ Kitabnya yang terkenal yaitu Ihya Ululuddin, yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama, yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Syam, Yerussalem, Hijaz, dan Yus, dan yang berisi paduan indah antara fiqh, tasawuf, dan falsafat, bukan saja terkenal dikalangan kaum muslimin,
tetapi juga di dunia barat dan luar Islam.

                     Beberapa karangan Al-Ghazali yang sudah diterjemahkan adalah :
1.    Tahafut Al-Falasifah diterjemahkan oleh Carra De Vaux, De  Boer, dan Asin Palacois.
2.    Qawaid Al- ‘Aqa’id ( Die Dogmatik Al-Ghazali’s ) diterjemahkan oleh H.Bauer.
3.    Al-Munqids min Ad-Dhalalal diterjemahkan oleh Barbeir de Mirand.5)
4.    Misykat Al- Anwar diterjemahkan W.H.T. Craidner

5)         A. Mustofa, Filsafat Islam,  ( Bandung, Pustakan Setia, 1997), h. 220
5.   Ihya ‘Ulumuddin (beberapa pasal) diterjemahkan D.B. Mac Donald.
                   Adapun hasil karya Al-Ghazali beberapa di antaranya adalah :
1.    Di bidang Filsafat
a.    Maqashidu-ul Falasifah : kitab ini menerangkan soal-soal filsafat menurut semestinya dengan tidak mengemukakan suatu kritikan.
b.   Tahafut-ul Falasifah : kitab ini Al-Ghazali mengungkapkan tentang pendapat-pendapat filosof terdahulu dan menerangkan kepercayaan atau kesesatan mereka serta memberantas kesalahan-kesalahan mereka yang bertalian  dengan masalah-masalah ke –Tuhan-an.
c.    Al-Ma’riful ‘Aqliyah : Ilmu pengetahuan yang rasional.
2.    Di bidang Agama
a.    Ihya ‘Ulumuddin
b.   Al-Mungis minal Dhalal (Terlepas dari Kesesatan)
c.    Minhaj ul’Abidien (Jalan Mengabdi Tuhan)
d.   Miezan ul’ Amal (Neraca Amal)
e.    Keimiya us Da’adah ( Kimianya Kebahagiaan)
f.    Kitabul Arba’ien ( Empat puluh prinsip agama )
3.    Di bidang Kenegaraan
a.    Mustazh hiri
b.   Sirrul ‘Alamain ( Rahasia dua dunia yang berbeda )
c.    Suluk us Sulthanah (Cara menjalankan pemerintahan)
d.   Nashihat el Muluk ( Nasehat untuk kepala-kepala Negara)
e.    Dan lain – lain .
D.                Pemikiran Pendidikan Islam Al-Ghazali
Untuk mengetahui pemikiran Al-Ghazali terhadap pendidikan Islam, maka hal ini dapat kita ketahui dengan cara memahami pemikiran yang telah ia tuangkan dalam karya tulisnya, yang erat kaitannya dengan pendidikan, baik ditinjau dari aspek tujuan, kurikulum, metode pengajaran, etika guru, dan etika murid.
Namun sebelum  membahas lebih lanjut tentang pemikiran pendidikan Al-Ghazali, ada baiknya untuk diketahui tentang  pendapat Al-Ghazali mengenai akal yang terdapat dalam Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin, ia mengatakan bahwa :
Akal adalah sumber ilmu. Sabda Rasulullah SAW, yang menegaskan kemuliaannya, “ Yang pertama yang diciptakan oleh Allah adalah akal. Allah berfirman padanya, “ Menghadaplah!” Maka ia menghadap. Kemudian Dia berfirman padanya, “ Mundurlah !” Maka ia mundur. Dia berfirman, “ Demi keagungan dan kebesaran-Ku. Denganmu Aku mengambil, denganmu Aku memberi, denganmu Aku memberi pahala, dan denganmu aku memberi hukuman.

Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda : ‘ Aku bertanya pada Jibril, “ Apakah kepemimpinan itu ?” Jibril menjawab Akal.

Hakikat akal adalah insting yang disiapkan untuk mengenai informasi-informasi  nalar. Seakan-akan  ia adalah cahaya yang ditempatkan di dalam kalbu. Dengannya hati siap mengenali segala sesuatu. Kadar dari insting berbeda sesuai dengan tingkatannya. 6)

Maka pemahaman Al-Ghazali di atas, menggambarkan bahwa beliau merupakan seseorang yang meletakkan akal sebagai sesuatu yang istimewa, dan ia bukan orang yang mmembicarakan agama hanya dari  sudut pandang satu, tanpa menggunakan  akal. Dengan meletakkan fungsi akal inilah, maka pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan, akan dijelaskan secara rinci berikut ini, yang akan dimulai dari tujuan pendidikan sampai kewajiban murid.
1.    Tujuan Pendidikan
a.         Tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
b.        Kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Abidin Ibn Rusn dalam bukunya yang berjudul “ Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan “, menyebutkan bahwa tujuan yang ingin dicapai al-Ghazali melalui kegiatan pendidikan Islam, adalah :
a.       Tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan

6)         Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya ‘Ulumuddin, Mutiara Ihya ‘Ulumuddin, Irwan Kurniawan, (Bandung, Mizan, 2008), h.40
diri kepada Allah.
b.      Tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
c.       Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunnah.
d.      Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
e.       Mewujudkan profesionalisme untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
f.       Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dan kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
g.      Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama sehingga menjadi manusia yang manusiawi. 7)

2.      Kurikulum
Berhubungan dengan pembahasan ini, Ainun Mardia Harahap, dalam tesisnya yang berjudul Konsep Pendidikan Menurut Al-Ghazali dan Relevansinya Dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi, memaparkan secara rinci tentang pemikiran pendidikan Islam al-Ghazali dari berbagai sudut. Ainun mengutip pernyataan al-Ghazali dalam buku Ihya ‘Ulumuddin Jilid I terjemahan Moh. Zuhri, ia menyatakan :
“ Ketahuilah bahwa fardlu tidak berbeda dengan selainnya kecuali dengan menyebutkan bagian-bagian ilmu. Sedangkan ilmu-ilmu dengan dinisbatkan kepada fardlu yang kita hadapi adalah terbagi kepada syara’ dan bukan syara’… saya maksudkan dengan syara’ adalah sesuatu yag diambil daripada Nabi a.s. dan bukan akal menunjukkan kepadanya seperti berhitung, tidak pula percobaann seperti kedokteran, dan tidak pula pendengaran seperti bahasa,… sedangkan ilmu-ilmu bukan syara’ itu terbagi kepada sesuatu yang terpuji, sesuatu yang tercela, dan sesuatu yang boleh (mubah). Ilmu yang terpuji adalah sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan urusan-urusan dunia seperti kedokteran dan berhitung. Ilmu itu terbagi kepada sesuatu yang fardlu kifayah dan sesuatu yang fadhilah (utama) namun tidak fardlu… adapun fardlu kifayah adalah setiap ilmu yang tidak dapat dibutuhkan dalam menegakkan urusan-urusan dunia seperti kedokteran karena kedokteran itu suatu kepastian (dharuri) dalam kebutuhan dalam menjaga kekalnya tubuh. Dan seperti berhitung karena itu pasti dibutuhkan dalam pergaulang, membagi wasiat, warisan dan lain-lain.
7)         Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998), h.56.
8)         Ainun Mardia Harahap, Konsep Pendidikan Menurut elevansinya Al-Ghazali dan Relevansinya Dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi, Tesis, IAIN SU, Medan, 2010), h.25
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberikan perhatian khusus terhadap ilmu-ilmu agama dan etika, karena  nilai ini harus tetap ada. Pemikiran ini dipengaruhi pribadinya yang zuhud karena tawasuf , disamping itu, ilmu lain yang harus dipelajari adalah ilmu budaya dan pengajaran berbagai keahlian mendasar dalam  kehidupan manusia.
Dalam pandangan al-Ghazali kurikulum pendidikan terbagi dua , yaitu :
a.         Muatannya memiliki kecendrungan ke arah agama dan tasawuf. Kecendrungan memberi manfaat sebagai alat untuk mensucikan dan membersihkan diri dari pengaruh kehidupan dunia.
b.        Muatannya memiliki kecendrungan pragmatis, yaitu ilmu yang berguna dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, bagi al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari segi fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliah, dan amaliah yang disertai ilmu harus disertai dengan kesungguhan dan niat yang tulus ihklas. al-Ghazali mengungkapkan hal ini dalam kalimat berikut :


Seluruh manusia akan binasa kecuali yang berilmu, dan seluruh orang yang berilmu akan binasa kecuali orang yang beramal, seluruh orang yang beramal akan binasa kecuali orang yang ikhlash. “ 9)

Dengan ungkapan ini, memberikan gambaran bahwa Al-Ghazali memiliki paham pragmatis teologhis, yaitu pemanfaatan yang berdasarkan atas tujuan iman dan kedekatan kepada Allah SWT.
Berikut adalah pembahasan tentang pembagian ilmu pengetahuan menurut al-Ghazali, yaittu :
a.             Berdasarkan pembinaan ilmu, al-Ghazali membaginya kepada dua hal :
1)   Ilmu syari’iyyah   yaitu  ilmu  yang  dipandang  sebagai ilmu
9)     Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta, PT.RajaGrafindoPersada, 2001), h.94
terpuji, yang terdiri dari :
a)      Ilmu ushul (ilmu pokok)
Yang termasuk ilmu ushul adalah : Al-Qur’an, Hadits, perdapat sahabat, dan ijma’.
b)      Ilmu Furu’ (cabang)
Yang termasuk ilmu furu’ : Fiqh, ilmu qalbu, dan akhlak.
c)      Ilmu Mukaddimah (Pengantar)
Yang termasuk ilmu mukaddimah : bahasa dan gramatika.
d)     Ilmu Mutammimah (Pelengkap)
Yang termasuk ilmu mutammimah : qira’at, makhrij al-huruf wa al-Faz, ilmu tafsir, nasikh dan mansukh, lafaz umum dan khusus, lafaz nash dan zhohir, biografi dan sejarah perjuangan sahabat.
2)      Ilmu ghairu syari’iyyah, yang dibagi lagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
a)      Ilmu yang terpuji, seperti : ilmu kedokteran, berhitung, dan ilmu perusahaan. Dalam ilmu perusahaan, al-Ghazali membaginya pada tiga, yaitu :
i.      Perusahaan yang utama : pertanian, pertenunan, pembangunan, dan tata pemerintahan.
ii.    Perusahaan yang menunjang : pertukangan besi dan industri sandang.
iii.  Perusahaan pelengkap : pengolahan, pangan yakni pembuatan roti, dan jahit menjahit.
b)      Ilmu yang diperbolehkan atau dengan kata lain tidak merugikan untuk mempelajarinya, seperti kebudayaan, sejarah, dan sastra.
c)      Ilmu yang tercela (ilmu yang merugikan), seperti ilmu tenung, sihir, dan bahagian tertentu dari filsafat.
b.                  Berdasarkan objeknya, ilmu dibagi kepada tiga, yaitu :
1)        Ilmu-ilmu yang tercela baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu-ilmu yang tidak ada manfaatnya, baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu sihir, ilmu nujum, dan ilmu ramalan. Dengan alasan ilmu ini memberikan kemudharatan (kesusahan) bagi yang memilikinya, maupun bagi orang lain.
Al-Ghazali (2008) :
Sihir dan mantra menyebabkan berbagai kerusakan. Sementara ramalan dilarang. Rasulullah SAW. bersabda,


Jika disebutkan ramalan, diamlah. “

Beliau memerintahkan kita untuk diam, karena manusia cenderung melupakan hokum sebab akibat; yakni perantara-perantara, padahal ia adalah factor yang tak dapat diabaikan dalam menentukan suatu akibat. Sedangkan filsafat meyebabkan hal – hal yang bertentangan dengan syara’. Tidak dipungkiri bahwa perhitungan tidak dapat ditinggalkan dan di tolak, namun ia hanya merupakan pengantar apda apa yang ada di baliknya.

Maka hendaklah membatasinya sekadar keperluan.Ambillah ilmu kimia untuk kedokteran seperlunya, dan ilmu perbintangan (astronomi) untuk mengetahui posisi dan petunjuk arah kiblat. 10)

2)      Ilmu –ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, sepeti ilmu yang berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat dan dosa serta ilmu yang dapat menadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui yang baik dan melaksanakannya, ilmu-ilmu yang mengajarkan manusia tentang cara-cara mendekatkan diri kepada Allah dan melakukan sesuatu yang diridhai-Nya, serta dapat membekali hidupnya di akhirat.
3)      Ilmu-ilmu yang terpuji dalam  kadar tertentu, atau sedikit, dan
10)      Lihat Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya ‘Ulumuddin, Mutiara Ihya ‘Ulumuddin, Irwan Kurniawan,, h.40
tercela   jika  dipelajari   secara  mendalam,  contohnya  ilmu filsafat,  bagi   al-Ghazali  ilmu  filsafat  dapat   menimbulkan
kekacauan antara keyakinan dan keraguan, dan dapat menghantarkan kepada kekafiran.
c.             Berdasarkan status hukum dalam mempelajari ilmu, maka al-Ghazali membagi menjadi dua status, yaitu :
1)        Wajib ‘aini
Para Ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini , yaitu
a)        Ilmu yang wajib dipelajari itu adalah mengetahui zat dan sifat-sifat-Nya.
b)        Ilmu yang wajib adalah ilmu fiqh, sebab dengan ilmu ini seseorang akan mengetahui masalah ibadah, mengenal yang  halal  dan haram, baik yang menyangkut tingkah-laku  secara   umum, ataupun yang menyangkut bidang mua’malah.
c)        Ilmu yang wajib adalah Ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena dengan mengetahui Al-Qur’an dan As-Sunnah tersebut seseorang dapat mengenal agama dengan baik, dan dapat semakin dekat dengan Tuhan.
Sementara Al-Ghazali memandang ilmu-ilmu yang wajib ‘ain bagi setiap muslim adalah ilmu-ilmu agama dengan  segala jenisnya, seperti kitab Allah, ibadah yang pokok, dan sebagainya .   Ilmu  ini  menjelaskan tentang cara mengamalkan amalan yang wajib
2)         Fardhu kifayah ,
Semua ilmu yang mungkin diabaikan untuk kelancaran semua urusan, seperti ilmu kedokteran yang menyangkut keselamatan tubuh, ilmu hitung yang sangat diperlukan dalam hubungan mu’amalah, pembagian warisan dan wasiat, dan lain – lain.
Menurut al-Ghazali, ilmu ini jika tidak seorangpun dari suatu penduduk yang mengusainya maka berdosa seluruhnya, jadi ilmu fardhu kifayah ini adalah ilmu yang tak dapat ditinggalkan dalam kehidupan masyarakat.
d.            Berdasarkan keutamaan antara ilmu aqliyah dan ilmu amaliyah, al-Ghazali memberikan penilaian yang berbeda karena :
1)      Melihat kepada daya yang digunakan untuk menguasainya.
Al-Ghazali menilai ilmu-ilmu aqliyah lebih tinggi dibanding dengan ilmu-ilmu bahasa, karena ilmu aqliyah dicapai dengan akal sedang ilmu bahasa dicapai dengan pendengaran.
2)      Melihat kepada besar kecilnya manfaat yang di dapat menusia daripadanya. Al-Ghazali memandang ilmu pertanian lebih bermanfaat daripada ilmu pandai besi, karena pertanian sangat penting bagi kehidupan, sedang pandai besi untuk hiasan.
3)      Melihat kepada tempat mempelajarinya
Al-Ghazali menilai pandai besi lebih bernilai daripada kepandaian menyamak kulit, karena pandai besi tempatnya di toko emas sedangkan menyamak kulit tempatnya diperternakan
Maka dapat disimpulkan bahwa pandangan al-Ghazali terhadap  ilmu yang paling utama yaitu ilmu agama dengan segala cabangnya, karena ia hanya dapat dikuasai melalui akal yang sempurna dan daya tangkap yang jernih
3.             Metode Pengajaran
Al- Ghazali memberikan perhatian khusus pada metode pengajaran agama untuk anak-anak. Baginya metode keteladanan adalah metode yang terbaik dalam melakukan pembinaan budi pekerti dan mental serta penanaman sifat-sifat utama pada diri anak. Perhatian ini secara khusus ia berikan karena prinsip dasar pendidikan adalah kerja yang memerlukan hubungan erat atau kerjasama yag baik antara pribadi guru dan murid.
Berhubungan dalam masalah ini, Abuddin Nata, menyatakan betapa pentingnya keteladanan dan sikap utama yang harus dimiliki dari seorang guru, yang erat kaitannya dengan pekerjaannya sebagai seorang pendidik dan pengajar. Karena itu, mengajar adalah pekerjaan yang paling mulia dan merupakah tugas yang paling agung. Ia menyatakan “… bahwa wujud yang termulia dimuka bumi adalah manusia, dan bagian inti mausia yang termulia adalah hatinya. Guru bertugas menyempurnakan, menghias, mensucikan, dan menggiringnya mendekati Allah SWT. Dengan demikian, mengajar adalah bentuk lain pengabdian manusia kepada Tuhan dan menjunjung tinggi perintah-Nya. “ 11)
4.             Tugas Guru dan Murid
Al-Ghazali merupakan ilmuwan pertama yang menjelaskan secara rinci tentang tugas – tugas yang diemban oleh guru dan murid, yang tersusun dalam rumusan delapan tugas pokok guru untuk mencapai keberhasilannya dalam pengajaran, dan sepuluh tugas pokok murid, yang akan menghantarkannya menjadi orang yang akan berhasil dalam belajar.
a.         Guru dan kewajibannya, yang akan memaparkan delapan Tugas Pokok Guru 12)
1)        Menaruh rasa kasih sayang terhadap murid dan memperlakukan mereka seperti perlakuan terhadap anak mereka sendiri. Rasulullah SAW, bersabda :



2)        Tidak mengharapkan balas jasa atau ucapan terimakasih, tetapi bermaksud dengan mengajar itu  mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
11)      Lihat Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,  h. 95
12)      Athiyah Al Abrasyi, Attarbiyatul Islamiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Bustami A.Gani, et,al, cetakan ke – 4 ( Jakarta, Bulan Bintang, 1984), h. 150-152, Lihat juga Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya ‘Ulumuddin, Mutiara Ihya ‘Ulumuddin, Irwan Kurniawan,, h.36-37. Dan Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari Ibrah,  (Bandug,Cita Pustaka Media,  2006), h.133-136

3)        Berikanlah nasehat kepada murid pada tiap kesempatan bahwa gunakanlah setiap kesempatan  untuk menasehati dan menunjukinya.

4)        Mencegah murid dari sesuatu akhlaq yang tidak baik
dengan jalan sindiran jika mungkin dan jangan dengan cara terus terang, dengan jalan halus dan jangan mencela. Al-Ghazali menganjurkan pencegahan itu dengan isyarat atau dengan sindiran, jangan dengan terus terang sekiranya terjadi pada murid itu sesuatu yang merupakan akhlaq kurang baik.

5)        Supaya diperhatikan tingkat akal pikiran anak-anak dan berbicara dengan mereka menurut kadar akalnya dan jangan disampaikan sesuatu yang melebihi tingkat tangkapannya, agar ia tidak lari dari pelajaran , ringkasnya bicaralah dengan bahasa mereka. Ini adalah prinsip terbaik yang kini tengah dipakai.

6)        Jangan timbulkan rasa benci pada diri murid mengenai satu cabang ilmu yang lain, tapi seyogyanya dibukakan jalan bagi mereka untuk belajar cabang ilmu tersebut. Artinya si murid jangan terlalu fanatic terhadap jurusan pelajarannya saja.

7)        Seyogyanya kepada murid yang masih dibawa umur, diberikan pelajaran yang  jelas dan pantas buat dia, dan tidak perlu disebutkan kepadanya akan rahasia yang terkandung di belakang sesuatu itu hingga tidak menjadi dingin kemauannya atau gelisah fikirannya. Dimaksudkan dengan cara ini ialah memelihara standard kelemahan di pihak si murid dengan meilihkan  mata pelajaran yang mudah dan jelas dan sesuai dengan mereka. Jangan hendaknya mereka merasakan  bahwa mereka adalah lemah atau bodoh hingga tidak timbul pengaruh buruk di dalam jiwanya. Hal-hal ini tidak membaikkan bagi mereka.

8)        Sang guru harus mengamalkan ilmunya dan jangan berlain kata dengan perbuatannya.

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2) : 44 :


“ Apakah anda suruh orang yang berbuat baik dan anda lupakan diri sendiri.”
Dan QS. Ash-Shaf ayat 3 :


“ Dosa yang besar di sisi Allah ialah mengucapkan apa yang tidak anda kerjakan. ‘

Nabi Muhammad bersabda :


Siapa yang bertembah ilmunya tetapi tidak bertambah hidayahnya atau petunjuk yang diperolehnya, maka ia akan semakin jauh dari Allah. “

Beliau juga bersabda :


“ Belum dinamakan seseorang itu alim berilmu sebelum ia mengamalkan ilmunya itu. “   

b.          Murid dan kewajibannya
10 tugas pokok murid, yang akan menghantarkannya menjadi orang yang akan berhasil dalam belajar adalah :
1)        Mendahulukan kesucian jiwa daripada kejelekan akhlak, karena Sabda Nabi SAW ;


“ Islam dibangun dengan dasar kebersihan . “

Kebersihan yang dimaksud bukan dalam pakaian, melainkan dalam hati. Hal itu ditunjukkan pula dalam firman Allah SWT, Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (QS. At-Taubah (9):28), karena najis itu tidak khusus pada pakaian. Batin yang tidak bersih dari najis tidk akan dapat menerima ilmu yang bermanfaat dalam agama dan tidak akan disinari dalam cahaya ilmu.

2)        Mengurangi hubungan (keluarga) dan menjauhi kampung halamannya sehingga hatinya hanya terikat dengan pada ilmu. Sesungguhnya Allah tidak menciptakan dua hati dalam dadanya. Karena itu dikatakan bahwa ilmu tidak memberikan kepadamu sebangiannya sebelum engkau menyerahkan padanya seluruh jiwamu.
3)        Tidak bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakan yang tidak terpuji pada guru, bahkan ia harus menyerahkan segala urusannya kepadanya, seperti orang yang sakit keras menyerahkan urusannya kepada dokter tanpa memutuskan sendiri suatu keperluannya.

4)        Menjaga diri dari mendengarkan perselisihan di antara manusia. Hal itu mewariskan kebingungan, karena hal pertama yang terjadi adalah kecendrungan hati padanya, terutama pada pengabaian yang menyebabkan kemalasan.

5)        Tidak mengambil ilmu terpuji selain mendalaminya sehingga mengetahui hakikatnya. Karena, mencari dan memilih yang terpenting hanya dapat dilakukan setelah mengetahui suatu perkara secara keseluruhan.

6)        Mencurahkan perhatian pada ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat. Saya maksudkan hal itu sebagai bagian dari pergaulan (mu’amalah) dan penyingkapan (mukasyafah). Mu’amalah mendatangkan mukasyafah, dan mukasyafah adalah pengenalan terhadap Allah SWT. Hal itu adalah cahaya yang Allah pancarkan dalam hati orang yang menyucikan diri dengan ibadah dan kesungguhan (mujahadah). Itulah yang mengantarkan tingkatan iman Abu Bakar r.a. pada keutamaan, seperti disabdakan Nabi SAW. dalam sebuah haditsnya, “ Seandainya iman seluruh manusia ditimbang dengan iman Abu Bakar, niscaya iman Abu Bakar akan lebih berat. “, yaitu pada rahasia yang terpendam di dalam dadanya, bukan pada aturan dan hujjah.

7)        Hendaklah tujuan murid itu adalah untuk menghias batinnya dengan sesuatu yang menghantarkannya pada Allah SWT. Dan berdekatan dengan penghuni tertinggi dari orang-orang yang didekatkan (al-muqarrabin). Tidak dimaksudkan untuk memperoleh kekuasaan, harta, dan pangkat. 13)

8)        Hendaklah penuntut ilmu mengetahui sebab yang bisa menemukan ilmu yang paling mulia.

Yang dimaksud, adalah dua hal, yaitu ;
i.       Mulianya buah ilmu
ii.     Terpercaya dan kuatnya dalil
 

13)      Lihat al-Ghazali, Mukhtashar Ihya ‘Ulumuddin, Mutiara Ihya ‘Ulumuddin, Irwan Kurniawan,  h.32-35.
Contoh hal tersebut seperti ilmu agama dan ilmu kedokteran. Sebab, buah salah satu di antaranya adalah kehidupan abadi. Sedangkan buah ilmu yang lain, ialah kehidupan yang dapat rusak. Jadi, ilmu agama adalah lebih mulia.

Misalnya lagi : ilmu hitung dan ilmu perbintangan. Ilmu hitung lebih mulia, karena terpercaya dan kuatnya dalil-dalilnya. Tetapi jika ilmu dibandingkan dengan ilmu kedokteran, maka ilmu kedokteran lebih mulia, dengan mempertimbangkan buahnya dan  ilmu hitung lebih mulia dipandang dari segi dalil-dalilnya. Dalam  pada itu, memperhatikan buah lebih utama. Dan dari sebab itu ilmu kedokteran lebih mulia, walaupun kebanyakan hanya dengan duga-dugaan.

9)        Hendaklah maksud pelajar pada waktu belajar, adalah memperhias dan mempercantik bathinnya, dengan keutamaan-keutamaan. Juga dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, serta naik ke dekat kelompok luhur dari malaikat dan orang-orang yang dekat dengan Allah.

10)    Hendaklah penuntut ilmu mengetahui hubungan ilmu-ilmu kepada tujuan, supaya ia tidak memilih ilmu luhur yang dekat, atas ilmu yang jauh, dan yang penting atas yang tidak penting. 14)

Hasan Asari dalam bukunya “ Menguak Sejarah Mencari Ibroh “,  memberikan analisa terhadap pemikiran pendidikan Al-Ghazali, yang beliau tuangkan kepada enam  pokok pikiran, yaitu :
1.    Pemikiran Al-Ghazali jelas merupakan harta intelektual yang sangat berharga karena dihasilkan melalui proses panjang ijtihad ilmiah.

2.    Petulangan ilmiah Al-Ghazali yang demikian panjang, perlu kita ingat. Petualangan ini mengajarkan kita bahwa karir ilmiah mensyaratkan kebulatan niat, keteguhan pendirian, dan kesediaan menjalani beragam kesusahan.

3.    Pemikiran Al-Ghazali tentang sumber ilmu pengetahuan kelihatannya sangat relevan untuk dipertimbangankan dalam zaman sekarang ini.


 

14)      Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Ilmu dan Manfaatnya,  Achmad Sunarto, (Surabaya, Karya Agung, 2010) h.205-207
Keteguhan  pendiriannya bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya diperoleh manusia dari rasio semata, tetapi juga dari hati (qalb) bisa dilihat sebagai upaya mempertahankan integritas kemanusia. Bahwa manusia adalah makhluk rasional, tetapi juga memiliki kapasitas-kapasitas kemanusiaan di luarnya dan di atasnya.

4.    Klasifikasi pengetahuan Al-Ghazali yang berdasarkan pada asumsi di atas sangat bermanfaat bagi seseorang yang ingin melihat bagaimana berbagai disiplin ilmu saling berkaitan dan berhubungan.

5.    Pola interaksi ilmiah sebagaimana diajarkan al-Ghazali, jelas bermuatan cinta yang sangat kental. Hubungan antar murid, antar guru, antara guru dan murid, dan seseorang dengan ilmu pengetahuan yang ditekuninya haruslah di dasari dengan cinta.

6.    Adalah sangat relevan bahwa Al-Ghazali menempatkan Tuhan sebagai muara akhir dari rangkaian proses pendidikan. 15)

Dan senada dengan hal ini, Suwito (2005) mengungkapkan :
“ … bahwa imam Al-Ghazali adalah ulama besar yang menaruh perhatian cukup besar terhadap pendidikan, corak pendidikan yang dikembangkan tampak dipengaruhi oleh pandangannya tentang fiqih dan tasawuf, dan tidak mengherankan karena di dakam kedua bidang tersebut Al-Ghazali memperlihatkan kecendrungan yang besar. Konsep pendidikan yang dikemukakan selain sistematik dan komprehensif juga secara konsisten juga sejalan dengan sikap dan kepribadiaanya sebagai seorang sufi “. 16)

E.                 Pemikiran Pendidikan Al-Ghazali dalam buku Al-Munqidz Minadh Dhalal dan Bidayatul Hidayah.
1.      Al-Munqidz Minadh Dhalal 17)
Al-Munqidz Minadh Dhalal memiliki pengertian pembebas dari kesesatan, dalam buku ini, al-Ghazali menerangkan beberapa hal untuk menjawab permasalahan tentang hakikat dan rahasia ilmu-ilmu agama dan mazhab-mazhab yang membingungkan pikiran. Al-Ghazali memberikan jawaban sesuai dengan pengalaman, penelitian, dan penyelidikan yang ia lakukan.
Al-Ghazali menceritakan ketidakpuasannya dalam pengembaraan
15)  Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari Ibrah,  (Bandug,Cita Pustaka Media,  2006), h.137-139
16)  Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta, Kencana, 2008), h. 84
17)  Al-Ghazali, Al-Munqidz Minadh Dhalal, Rus’an, (Jakarta, 1964), h. 16-54
nya mencari ilmu, ia mengakui bahwa secara hakikat ia tidak mendapat apa-apa dengan pernyataannya semakin aku tahu, semakin aku merasa kosong, karena yang ia dapatkan hanya ilmu mahsus yaitu ilmu yang didapat dari panca indera, dan ilmu-ilmu biasa.
Menurut al-Ghazali ada empat golongan penuntut ilmu, yaitu, pertama golongan mutakallimun, ahli ilmu kalam yang menyatakan diriya adalah golongan ahli fikir. Kedua, al-Bathiniyah, yaitu ahli kebathinan yang merasa dirinya sebagai orang yang menerima pelajaran khusus dari imam yang ma’sum. Ketiga, para filosof, yang menganggap dirinya adalah ahli logika. Ke empat, golongan sufi dan mistik, yaitu mereka yang menyatakan dirinya telah mencapai mukarrabat atau kedekatan pada Allah. Dan ia menyatakan bahwa kebenaran yang hak itu tidak akan keluar dari keempat golongan ini, dengan menguraikan penjelasan sebagai berikut :
1.        Ilmu Kalam.
Maksud dan tujuan ilmu kalam adalah untuk memelihara kepercayaan golongan ahli sunnah dan untuk menjaga dari percampuraadukkan golongan bid’ah yang menyesatkan, mereka mengatur amalan-amalan dengan, mengembangkan ajaran sunnah, memelihara aqidah-aqidah asli dari ajaran Nabi. Namun, dalam melakukan amal perbuatan para ahli kalam mempergunakan pegangan pendahuluan yang mereka terima dari lawan-lawan mereka, dan memberikan penjelasan tentang terdapatya pertentangan, dengan ini mereka memberikan kritik sehat. Tetapi sayangnya cara ini kurang bermanfaat terutama bagi orang yang menerima. Kemudian al-Ghazali melihat para ahli kalam mencoba memasuki pembahasan tentang wujud, sifat kejadian, hukum-hukum alam dan sifat khasiatnya, inilah yang membuat mereka telah keluar dari ilmu semula, dan mengakibatkan mereka tidak berhasil melenyapkan kegelapan yang simpang siur ditengah perselihan paham dalam masyarakat. Karena itulah menurut al-Ghazali, ilmu kalam tidak dapat menyembuhkan penyakit ruhaniah.
2.        Filsafat
Al-Ghazali mendalami dengan sungguh-sungguh kajian ilmu filsafat ini, yang sampai pada satu titik bahwa filsafat dapat menimbulkan kufur dan ilhad yaitu ingkar pada agama. Al-Ghazali membagi filsafat dalam tiga golongan, yaitu : 1. Golongan Dahriyun (atheis), golongan ini adalah golongan terdahulu yang menyangkal adanya Tuhan Maha Pencipta. Filsafat ini dianut oleh golongan zanaqidah, yaitu orang-orang yang tidak percaya pada Tuhan. 2. Golongan Tahbi’yun (kealaman), golongan ini memusatkan perhatiannya pada alam, walaupun golongan ini suka meneliti alam, sayangnya penelitian mereka tidak sampai pada pemahaman siapa yang menciptakan alam dengan keseimbangannya. 3. Golongan Ilahiyun (Ke-Tuhan-an), termasuk di dalamnya adalah Aristoteles yang berhasil menyusun ilmu manthiq. Namun, dengan ketegasan dan kekerasan yang dimiliki oleh Aristoteles dalam mempertahankan filsafatnya. Al-Ghazali menemukan masih adanya pengaruh-pengaruh filosof lama terhadap Aristoteles, termasuk juga pengikutnya yaitu Ibnu Sina dan al-Farabi. Al-Ghazali menilai adanya kekeliruan dan membingungkan, sehingga banyak orang yang tidak memahaminya.
Kemudian yang tidak kalah penting adalah, al-Ghazali membagi cabang ilmu filsafat dan bahaya yang dikandungnya.
a.       Ilmu Riadhah (matematika), yang meliputi ilmu hitung, ilmu pasti, ilmu falaq, ilmu bumi alam. Ilmu – ilmu ini mengandung dan membawa soal-soal secara nyata. Menurut al-Ghazali, ada dua bahaya ilmu ini, yaitu : menimbulkan rasa dan keinginan yang pasti  terhadap pelajar, sehingga mereka mengaguminya karena perhitungan yang tepat dan nyata. Dan akan melahirkan perbuatan yang keliru dari orang yang merasa dirinya sudah mengenal Islam, padahal ia mengingkarinya.
b.      Ilmu Manthiq (logika). Logika adalah suatu pemikiran tentang cara-cara dan system pembuktian menurut dalil-dalil. Ilmu ini terdiri dari tashawur ( konsep soal-jawab), dan tasdiq ( jawaban yang akan dipahami dengan penjelasan dan keterangan). Menurut al-Ghazali ilmu ini berbahaya karena semua permasalahan dibahas dalam ilmu logika termasuk agama, sementara tidak semua ajaran dalam agama dapat dilogikakan.
c.       Ilmu Alam (Fisika dan Biologi). Ilmu ini meneliti tentang alam bahkan luar angkasa, baik meneliti penyebab maupun perubahan yang terjadi di dalamnya. Dalam hal ini, al-Ghazali menyatakan bahwa bahayanya ilmu ini adalah menyesampingkan bahwa Tuhan adalah sang Pengatur bagi kehidupan alam dan  membuat semua benda hidup, bukan bergerak dengan sendirinya seperti yang digambarkan oleh kebanyakan orang-orang yang mendalami ilmu ini.
d.      Ilmu Ke-Tuhanan dan Metafisika. 
Dalam masalah ini, menurut al-Ghazali banyak filosof yang membuat kesalahan yaitu mereka tidak mampu menyelesaikan dalil-dalil dan keterangan-keterangan yang menjadi syarat dalam ilmu manthiq. Permasalahan pokok yang membuat para filosof berselisih dengan umat Islam adalah :
1)      Para filosof mengatakan bahwa yang dibangkitkan di alam  mahsyar adalah ruhani saja, dan ruhanilah yang akan mendapat siksa.
2)      Para filosof mengingkari bahwa Allah SWT maha mengetahui keseluruhan dan bukan sebagian-sebagian.
3)      Para filosof bahwa dunia ini kekal, todak bermula dan tidak berakhir.
e.       Ilmu siasat/politik
Ilmu ini dapat menimbulkan bahaya karena hukum dan pemikiran-pemikiran hanya digunakan untuk kepentingan pemerintahan di dunia saja.
f.       Ethics.
Al-Ghazali melihat adanya penyimpangan yang dilakukan para filosof dengan ilmu ethics, menurutnya para filosof mengambil ilmu ini dan mencampuradukkkan dengan keterangan – keterangan mereka sendiri.
Kemudian, al-Ghazali menjelaskan sistem pelajaran guru yang ma’sum menimbulkan bahaya, ia menguraikan sistem ini dengan menggambarkan adanya penanaman bahwa seorang guru itu ma’sum yaitu orang yang terpelihara dari dosa, sehingga ketika muridnya yang merupakan para muballigh  dan para imam yang tersebar di belahan dunia, memanggil guru mereka karena kesukaran yang mereka hadapi, maka sang gurupun datang, system inilah yang dapat menimbulkan bahaya menurut al-Ghazali. Karena satu-satunya manusia yang ma’sum adalah Rasulullah.
Inilah sebagian gambaran pemikiran al-Ghazali dalam bidang pendidikan pada bukunya yang berjudul al-Munqidz Minadh Dhalal, ia ingin menyampaikan jawaban atas keresahannya berdasarkan pengalamannya sendiri dalam mencari hakikat ilmu.
2.       Bidayatul Hidayah  18)
Dalam Bidayatul Hidayah, Al-Ghazali memberikan penjelasan tentang manusia penuntut ilmu yang dibagi ke dalam tiga jenis golongan, sebagai berikut :
Pertama : Orang yang mencari ilmunya untuk dijadikan bekal perjalanan kehidupannya guna di hari  kemudian. Oleh karena itu tujuan yang ingin dicarinya ialah hanya mengaharapkan keridhaan Allah dan kebanggaan di Hari Kemudian yang kekal. Golongan yang seperti inilah yang akan memperoleh keselamatan dan kejayaan.

Kedua :   Orang - orang yang mencari ilmu untuk menolong kebutuhan
18)      Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah,  Rus’an, (Jakarta, 1964) h.91

kehidupannya di dalam dunia yang fana ini saraya mencapai kekuasaan, kemuliaan, pengaruh, kemegahan dan harta benda. Pada pokoknya waktu itu juga ia menginsyafi akan kesahalannya dan di dalam hatinya sendiri ia merasa keadaannya sama sekali tidak berharga dan tujuannya itu sangat hina. Orang yang seperti
ini, sangat berbahaya dan mengkhawatirkan karena apabila ajal yang telah ditetapkan kepadanya dengan tiba-tiba padahal ia belum sempat bertaubah, maka hidupnya akan berakhir dengan kejelekan dan tergantung kepada Allahlah tentang nasibnya kelak, tetapi manakala ia sempat bertaubat sebelum ajal baginya mendatang. Kemudian ia menyesuaikan segalamacam urusan-urusan yang telah diabaikan maka ia akan kembali termasuk ke dalamgolongan orang-orang yang beroleh keselamatan dan kejayaan di sisi Tuhan.

Ketiga :  Orang yang telah dipengaruhi oleh syetan. Ilmu yang telah diperolehnya itu, semata-mata digunakan untuk memperbesar kekayaannya, untuk meluaskan pengaruhnya, membanggakan kemegahannya, dan untuk menyombongkan dirinya bahwa ia banyak pengikutnya. 13)

Kemudian Al-Ghazali dalam bab Ta’at, beliau memaparkan bahwa waktu-waktu senggang tidak hanya digunakan untuk mengerjakan sembahyang sunnat saja, tetapi dapat di isi dengan empat hal, salah satunya adalah :
Yang Pertama : Menuntut Ilmu
Yang terbaik sisa waktu itu dipergunakan untuk menambah ilmu yang berguna dan bermanfaat. Adapun  ilmu yang berguna yang dimaksud di sini ialah : “ Ilmu Hakekat. “ Yaitu ilmu yang dapat membawa engkau kea rah taqwa kepada Allah, dan membuka kesadaranmu akan segala dosa dan kesalahanmu yang telah diperbuat kepada-Nya, dan ilmu yang telah menambah pengetahuanmu tentang Tuhanmu. Ilmu yang demikian ini akan mengurangi hasratmu yang berlebih-lebihan terhadap dunia, tetapi akan menambah hasratmu terhadap kehidupan di hari Kemudian. 19)

F.                 Pandangan Al-Ghazali Terhadap Hukuman
Menurut Al-Ghazali, seorang guru harus mengetahui psikologi peserta didik, sehingga ia memililki informasi yang sangat detail yang di antara informasi tentang penyakit yang mungkin saja di derita oleh peserta didik.

19)      Lihat Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah,  Rus’an, h.122
Dengan ini seorang guru akan tepat saat memberikan teguran kepada muridnya. Ia mengibaratkan guru adalah dokter, apabila dokter dalam mengobati semua jenis penyakit hanya dengan satu obat maka manusia akan mengalami kegagalan dalam proses penyembuhannya. Ia sampai mengkategorikan bahwa pasien bukan hanyasekedar mati, tapi lebih berbahaya dari itu adalah mengalami kebekuan hati. Karena itu setiap anak harus diberikan perhatian yang sesuai dengan mengetahui latar belakang penyebab terjadinya kesalahan dan juga jangan sampai melupakan untuk melihat usia anak yang melakukan kesalahan dan tingkat kesalahannya. Ini mengadung arti bahwa dalam memberikan hukuman itu tidak boleh sembarangan,  karena harus ada pertimbangan umur, tingkat kesalahan, serta penyebab terjadinya kesalahan. Dengan pertimbangan ini guru akan lebih bijak menganalisa dan memberikan jenis hukuman secara tepat kepada peserta didik.
Menurut Al-Ghazali, jika memberikan hukuman fisik, seorang guru harus memikirkan caranya bahwa anak tidak tersiksa dengan hukuman itu, seperti dengan menimbulkan  suara  keributan, jeritan,  dan berteriak minta tolong. sebaliknya anak menyadari mengapa ia harus menerima hukuman dan dengan hukuman itu ia termotivasi untuk tidak melakukannya lagi. Pada pola ini, Al-Ghazali ingin melatih ketahanan mental anak, karena itu ia mengatakan bahwa tahan menderita iktu adalah sifat orang jantan dan lelaki, sedang berteriak-teriak itu adalah sifat wanita dan hamba sahaya.
            Athiyah Al-Abrawi (1984), menyatakan :
Al-Ghazali tidak setuju dengan cepat-cepat menghukum seorang anak yang salah, bahkan beliau menyerukan supaya kepadanya diberian kesempatan untuk memperbaiki sendiri kesalahannya, sehingga ia menghormati dirinya dan merasakan akibat perbuatannya… semnetara itu dipuji dan disanjung pula bila ia melakukan perbuatan-perrbuatan terpuji yang harus mendapat ganjaran, puian dan rorongan. Janganlah anak-anak itu dicela, dibenatak,  dan dihardik oleh karena suatu encouragement atau dorongan akan memasukkan rasa suka ke dalam jiwa si anak, dengan mana ia akan lebih berbuat baik dan lebih bersikap maju, sedang sebaliknya celaan aakan membangkitkan suasana rusuh, takut dan kurang percaya pada diri sendiri. 20)
20)      Lihat Athiyah Al Abrasyi, Attarbiyatul Islamiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Bustami A.Gani, h. 156
KESIMPULAN

Adapun pemikiran Al-Ghazali dalam bidang pendidikan , adalah :
1.      Al-Ghazali memaparkan secara jelas tentang keutamaan ilmu, keutamaan belajar dan mengajar, serta keistimewaan akal dalam pengetahuan. Dan keutamaan ini memberikan arahan tujuan pendidikan yang begitu mulia yaitu suatu usaha untuk mencapai  kesempurnaan insani yang didasari pada  pendekatan diri kepada Allah agar mendapat kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
2.      Al-Ghazali memberikan pemahaman tentang ilmu yang boleh dipelajari dan ilmu yang tercela, bahkan ia menyatakan perbedaan ilmu yang wa jib ‘ain harus dipelajari seorang muslim yang berkenaan dengan penjelasan tentang cara mengamalkan amalan yang wajib. Sedangkan fardhu kifayah bagi ilmu-ilmu  ini jika tidak seorangpun dari suatu penduduk yang mengusainya maka berdosa seluruhnya, jadi ilmu fardhu kifayah ini adalah ilmu yang tak dapat ditinggalkan dalam kehidupan masyarakat, seperti ilmu yang mempelajari tentang kesehatan mahkluk hidup.
3.      Khusus dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberikan perhatian khusus terhadap ilmu-ilmu agam dan etika, karena  nilai ini harus tetap ada. Pemikiran ini dipengaruhi pribadinya yang zuhud karena tawasuf , disamping itu, ilmu lain yang harus dipelajari adalah ilmu budaya dan pengajaran berbagai keahlian mendasar dalam  kehidupan manusia.
4.      Kaitannya dengan guru dan murid, Al-Ghazali memberikan tugas pokok yang harus dimiliki keduanya, dan harmonisasi yang dijalin antara keduanya.
5.      Khusus masalah metode pengajaran, Al-Ghazali menitikberatkan metode yang paling baik adalah metode keteladanan, terkhusus dalam memberikan penanaman budi pekerti bagi peserta didik.
6.      Pada bab hukuman, Al-Ghazali memberikan batasan. Bahwa hukuman itu pada dasarnya tidak dianjurkan. Akan tetapi, jika itu harus terjadi maka harus memiliki banyak pertimbangan dalam menjatuhkan hukuman yang sesuai.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin Ibn Rusn, (1998), Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (2001), Jakarta, PT.RajaGrafindoPersada.

Ainun Mardia Harahap, (2010), Konsep Pendidikan Menurut elevansinya Al-Ghazali dan Relevansinya Dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi, Tesis, IAIN SU, Medan.

Al-Ghazali, (1964), Al-Munqidz Minadh Dhalal dan Bidayatul Hidayah, Rus’an, Jakarta.

Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya ‘Ulumuddin, Mutiara Ihya ‘Ulumuddin, Irwan Kurniawan, (2008), Bandung, Mizan.

Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Ilmu dan Manfaatnya,  Achmad Sunarto, (2010). Surabaya, Karya Agung.

A. Mustofa, Filsafat Islam,  (1997), Bandung, Pustakan Setia.

Arif Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam, (2010), Bandung, Mizan.

Athiyah Al Abrasyi, Attarbiyatul Islamiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Bustami A.Gani, et,al, cetakan ke – 4 (1984), Jakarta, Bulan Bintang.

Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari Ibrah,  (2006), Bandug,Cita Pustaka Media. 

Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (2009), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.

Sulaiman Dunya, Al-Haqiqatu fi Nazhari Al-Ghazali, Pandangan Hidup Imam Al-Ghazali, Ibnu Ali, (2002), Surabaya, Pustaka Hikmah Perdana.

Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (2008), Jakarta, Kencana.

Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (1993), Semarang, CV.Toha Putra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar