Kamis, 27 Oktober 2011

Book Report : Percikan Pemikiran Pendidikan

BOOK REPORT
PENDIDIKAN NILAI
 Ummi Kalsum Khairani : 10 PEDI 1817
A.                Book Description
Nama Pengarang         : Dr. Al Rasyidin, M.Ag
            Judul Buku                  : Percikan Pemikiran Pendidikan ;
                                                  Dari Filsafat Hingga Praktik Pendidikan
            Tempat Terbit              : Bandung
            Penerbit                       : Citapustaka Media Perintis
            Tahun Terbit                : 2009
            Jumlah halaman           : 229 halaman
            Tebal Buku                  : 16 x 24,5 cm
            ISBN                           : 978-602-8208-58-1
            Daftar Isi Buku           :
            Pengantar Penulis
            Bab I   : Membincangkan Kembali Filsafat Pendidikan Kita
A.    Falsafah Pendidikan Islam : Implikasi Esensi Manusia terhadap Pendidikan Islam
B.     Rekonstruksi Filsafat Pendidikan Indonesia : Sebuah Pengantar Untuk Wacana Filsafat Pendidikan Indonesia
C.     Rekonstruksi Bangunan Keilmuan Perguruan Tinggi Agama Islam : Presfektif Pendidikan Islami
            Bab II  : Pendidikan, Kepribadian, Dan Moral Akademik
A.    Pendidikan dan Pengembangan Kepribadian
B.     Kepribadian Muslim : Prespektif Pendidikan Islami
C.     Penegakan Moral Akdemik : Upaya Mengembangkan Budaya Akademik Ilmiah
            Bab III: Gagasan Tentang Pendidikan Nilai
A.    Mendidikkan Nilai : Mata Rantai Terputus Pendidikan Kita
B.     Pendidikan Nilai : Menegakkan Kembali Pendidikan Akhlaq
C.     Pendekatan dan Strategi Pendidikan Nilai
Bab IV: Guru, Intitusi dan Praktek Pendidikan
A.    Memaknai Kembali Eksistensi dan Tugas Guru
B.     Pendidikan Agama dalam Keluarga : Peranan Orangtua
C.     Kurikulum Berbasis Kompetensi : Implementasi dalam Kegitan Pembelajaran.
D.    Pendidikan Islam dalam Konteks Otonomi Daerah.
Bab V  : Isu – Isu Krusial dan Peran Pendidikan dalam Menyiasati Perubahan Global.
A.    Isu-Isu Krusial dalam Pendidikan Nasional : Belajar Memetakan Masalah
B.     Globalisasi dan Pendidikan : Pendekatan dan Peran Pendidikan dalam Menyiasati Perubahan Global.
            Dafar Pustaka
            Tentang Penulis
B.                 Interpretation
1.      Bab I : Membincangkan Kembali Filsafat Pendidikan Kita
Sebagai pembuka, penulis mengangkat judul yang menarik yaitu Membincangkan Kembali Filsafat Pendidikan Kita. Di awali dengan sub materi tentang Falsafah Pendidikan Islam : Implikasi Esensi Manusia Terhadap Pendidikan Islam. Kalimat pertama yang dikutif oleh penulis dari Omar Mohammad al-Thoumy al-Syaibany, ia mengatakan bahwa falsafah pendidikan Islam adalah aplikasi pandangan falsafah dan kaidah Islam dalam bidang pengalaman manusia Muslim yang disebut pendidikan.  Pandangan ini adalah hasil kontemplasi, sistematis, universal, dan reflektif mengenai pendidikan Islam yang merujuk pada nilai-nilai ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Maka sudah seharusnya falsafah pendidikan Islam dijadikan sebagai landasan bagi pelaksanaan dan pengembangan pendidikan Islam. Namun dalam buku ini ada pertanyaan yaitu benarkah falsafah pendidikan Islam telah menjadi panduan atau landasan bagi pelaksanaan dan pengembangan pendidikan Islam ? pertanyaan ini sangat penting untuk dijawab, karena pembicaraan permasalahan pendidikan Islam lebih banyak didominasi persoalan umum  yang hanya bersifat tehnikal, atau hanya menyentuh kulit luarnyasaja, bahkan banyak ditemukan pendidik Muslim yang jarang melakukan tindakan berdasarkan falsafah pendidikan Islam, sehingga dasar-dasar konseptual dimensi filosofi pendidikan Islam terabaikan. Inilah latar belakang perlunya membincangkan kembali pendidikan Islam dari prespektif filosofinya.
Adapun urgensi falsafah adalah : (1) memberikan landasan berfikir mendalam, sistematis, dan universal dalam memahami esensi pendidikan, untuk apa pendidikan, dan bagaimana idealnya pendidikan itu dilaksanakan. (2) memahami esensi pendidikan melalui pencarian an penelaahan terhadap konsep-konsep filosofis ajaran Islam – al – Qur’an dan Hadits yang pada gilirannya akan melahirkan teori-teori atau kerangka konseptual bagi pelaksaaan dan pengembangan pendidikan Islam. (3) memberikan landasan berfikir mendalam kepada pendidik dalam menganalisa secara kritis berbagai aspek atau komponen yang terkait dengan pendidikan Islam.
Falsafah pendidikan Islam memainkan peranan penting bagi seorang pendidik, karena dengan falsafah pendidikan Islam pendidik dalam memahami esensi manusia, yaitu apa tujuan, fungsi, dan tugas penciptaan manusia. Dalam prespektif falsafah pendidikan Islam manusia terdiri dari dua unsure utama, yaitu dimensi materi dan non materi. Adapun tujuan penciptaan manusia adalah untuk bersyahadah kepada Allah,  dan fungsinya untuk beribadah kepada Allah SWT dengan tunduk dan patuh atas segala perintah-Nya , serta ikhlas semata  hanya karna Allah Swt. Kemudian tugas manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah.
Implikasi konsep falsafah tentang manusia terhadaap praktik pendidikan Islam dapat dilihat dari tiga konteks, yaitu (1) berdasarkan tujuan penciptaan manusia, maka pendidikan haruslah merupakan suatu proses pemberian bantuan kemudahan atau bimbingan bagi seseorang untuk mengenali dan meneguhkan kembali syahadahnya kepada Allah Swt, (2) berdasarkan fungsi penciptaan adalah suatu upaya memberikan bantuan kemudahan kepada peserta didik dalam mengaktualisasikan daya jasmani dan rohaninya kea rah ketundukan dan kepatuhan sepenuhnya kepada Allah Swt, (3) berdasarkan tugas penciptaan, praktik pendidikan Islam menghendaki perlunya pendidikan kepada manusia untuk menambah ilmu pengetahuan, keterampilan, adab, nilai-nilai atau sikap mental terpuji
Rekonstruksi filsafat pendidikan yang dimaksud penulis di sini adalah  mengandung makna ‘pengantar’ bagi pengembangan wacana filsafat pendidikan Indonesia, mengandung makna ‘stimulan’ untuk orang-orang yang konsen dalam pendidikan nasional, mengandung makna ‘follow up’ yang lebih positif untuk kemajuan peradaban bangsa.
Perlunya filsafat pendidikan untuk melahirkan perubahan yang signifikan dalam dunia pendidikan. Penulis memberi penjelasan  bahwa secara teoritik, pelaksanaan pendidikan suatu bangsa umumnya dilandasi oleh filsafat pendidikan yang sesuai dengan ideology dan tujuan nasional bangsa tersebut. Namun, sayangnya sampai saat ini penyelenggaraan pendidikan di Indonesia belum memiliki filsafat pendidikan yang benar-benar mapan untuk memandu pendidikan dan dalam menghasilkan output yang memililki kualitas intelektual dan keimanan yang kokoh. Penulis memberikan  tawaran dalam hal membangun wacana filsafat pendidikan di Indonesia, haruslah dibangun berdasarkan central of ideas, yaitu gagasan-gagasan sentral yang terbentuk dari serangkaian  nilai-nilai, sikap, pemikiran, perilaku masyarakat dan bangsa Indonesia yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang relative panjang.
Dalam bab ini, penulis mengatakan bahwa dalam peradaban Barat telah berlaku adagium Intellectus Quaerens Fides, yang artinya intelektual atau rasionalitas lebih dikedepankan daripada agama, moral, dan keimanan. Dan ini sangat bertolak belakang dengan dunia Timur yang menganut adagium Fides Intellectus Quaerens, yang berarti bahwa keimanan, keyakinan, nilai-nilai moral dan agama menempati kedudukan yang lebih penting dan utama daripada intelektualitas atau rasio. Lalu bagaimana paradigma berfikir bangsa Indonesia ? penulis menjawab bahwa bangsa Indonesia cenderung juxta position, yaitu posisi yang memandang bahwa keimanan dan intelektualitas berada dalam kedudukan yang parallel. Yang jadi tugas utama kita adalah membangun paradigma baru filsafat pendidikan Indonesia, dan menurut penulis kita perlu mengembangkan filsafat pendidikan Indonesia yang mampu mengintegrasikan keimanan dan intelektualitas secara harmoni dan seimbang untuk membimbing dan mengarahkan penyelenggaraan pendidikan, baik pada tataran makro maupun mikro. Rekonstruksi filsafat pendidikan dapat dilakukan dengan meminjam sejumlah prinsip dari beberapa aliran filsafat, antara lain adalah : (a) prinsip bahwa pendidikan itu harus mempunyai tujuan (perenialism), (b) prinsip kesinambungan pengalaman kebudayaan (essentialism), dan  (c) prinsip bahwa proses  perubahan itu dimungkinkan oleh tindakan “intelligence reflective thingking” dan harus merupakan bagian integral dari proses pendidikan dan proses perubahan sosial (progressivism).
Buku ini juga menawarkan tentang rekonstruksi bangunan keilmuan PTAI, hal ini harus dilakukan karena menurut penulis, PTAI dalam kurun waktu yang panjang hanyalah lembaga yang berfungsi sebagai tempat proses transformasi ilmu-ilmu agama, dan akhirnya hanya melahirkan  lulusan yang ‘ahli-ahli’ agama sebatas menjadi ustadz, guru mengaji, muallim kampung, guru agama, petugas agama di instansi pemerintahan, bahkan sebagian berpendapat lulusan PTAI, hanya pandai mengaji dan berdo’a saja.
Upaya untuk memperbaiki kondisi ini sebenarnya sudah dilakukan, yaitu dengan membuka program studi umum, seperti Tadris IPA, Matematika, dan lain-lain. Namun karena kelembagaan PTAI berbentuk institut, maka upaya ini terbentur dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional, karena undang-undang hanya membenarkan institute atau sekolah tinggi mengembangkan kajian dalam satu rumpun ilmu sejenis.
Sebelum menjelaskan terlalu jauh, langkah awal kita adalah merenungkan kembali apa makna sesungguhnya dari pendidikan Islam ? Sebagian besar kalangan Muslim memaknai pendidikan adalah proses pengembangan potensi peserta didik secara maksimal menuju kesempurnaan. Pengertian ini bagi penulis tidaklah salah. Namun, yang harus dibangun adalah menyangkut makna esensi/dasar pengembangan potensi jism dan ruh manusia, yang harus diarahkan pada pengenalan dan peneguhan kembali perjanjiannya kepada Allah Swt. Maka, pendidikan yang benar dalam lingkup keIslaman adalah proses pengembangan fakultas jismiyah dan ruhiyah secara berkesinambungan untuk mengingatkan dan meneguhkan kembali perjanjian manusia kepada Allah Swt.
Lalu, Bagaimana implikasinya terhadap bangunan keilmuan PTAI ? Penulis menjawab. Pertama, ilmu adalah kesadaran tentang realitas, dan hakikat realitas itu adalah Allah Swt. Kedua, panca indera, akal, dan hati merupakan perangkat atau instrument yang dengannya ilmu pengetahuan dapat didekati dn dikonstruksi manusia lewat metodologi empiric, rasional, dan metafisik Ketiga, objek ilmu pengetahuan adalah seluruh fenomeno (fisik) dan noumena (non fisik). Keempat, berdasarkan objek, pendekatan, dan metodologi kajian, ilmu pengetahuan bisa diklasifikasikan kepada ilmu-ilmu kewahyuan dan kealaman, ilmu naqliyah dan naqliyah, ilmu-ilmu abadi dan perolehan.
Implikasi di atas diharapkan dapat merubah potret bangunan keilmuan lembaga-lembaga pendidikan Islam selama ini. Karena sampai saat ini telah terbentang jurang pemisah antara pendidikan Islam dan pendidikan umum, atau yang sering disebut dengan dikotomi pendidikan. Dan permasalahan ini merupakan permasalahan besar, maka tugas untuk melakukan perubahan ini adalah tugas umat Islam terkhusus para cendikiawan muslim, yang harus merumuskan kembali dan mengrekonstruksi ulang bangunan keilmuan Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, sehingga  paraadigma keilmuan memungkinkan bagi umat Islam untuk memahami realitas diri dan keberadaannya.
Di akhir bab penulis mengatakan bahwa perubahan tidak dapat dilakukan dengan hanya memiliki keilmuan yang terbatas karena itu seharusnya tidak ada dikotomi dalam pendidikan. Maka, umat Islam dengan kecerdasan yang dimilikinya harus merumuskan kembali pandangan Islam tentang tujuan, fungsi dan tugas penciptannya di alam semesta yang berhubungan erat dengan kebutuhannya terhadap pendidikan, sebagai upaya untuk merealisasikan tujuan, fungsinya, dan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi Allah.
2.      Bab II : Pendidikan, Kepribadian, dan Moral Akademik
Bab II ini, dibuka penulis dengan menyampaikan kerpihatinannya terhadap pandangan dari beberapa kalangan yang menyatakan bahwa pendidikan kita gagal dalam membentuk anak didik menjadi manusia yang berkepribadian sehat. Pernyataan ini berdasarkan fenomena yang terjadi di masyarakat, di antaranya adalah pelanggaran disiplin, tawuran, pemerkosaan, terlibat naarkoba, dan lain-lain.
Solusi yang ditawarkan oleh penulis adalah pendidikan harus mempersiapkan anak didik menjadi manusia yang berkepribadian sehat, karena pendidikan bukan hanya sekedar proses trasformasi pengetahuan dan keterampilan, tetapi suatu proses dimana pribadi manusia ditumbuh-kembangkan menjadi manusia yang berkepribadian sehat. Maka muncullah pertanyaan  apa kaitan pendidikan dengann pengembangan kepribadian ? Penulis menjawab dengan mengutarakan UU No.20 Tahun 2009 tentang Sisdiknas, dan menarik kesimpulan sebagai berikut : bahwa pendidikan adalah usaha yang terencana, konsep kuncinya adalah dengan menciptakan suasana belajar dan upaya pembelajaran, diarahkan untuk mengembangkan potensi diri peserta didik, aspek/dimensi potensi peserta didik meliputi: spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia, dan ketrampilan praktis. Kemudian penulis juga menguraikan tentang fungsi dan tujuan pendidikan yang terdapat pada pasal 3 UU No.20 Tahun 2009, ia menyimpulkan, bahwa fungsi pendidikan Nasional adalah (1) mengembangkan kemampuan bangsa, (2) membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan dalam konteks tujuan pendidikan, terbagi dua, yaitu tujuan umum mengembangkan potensi diri manusia, dan tujuan khusus, menciptakan manusia yang memiliki cirri : beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga  negara yang demokratis serta bertanggunjawab.
Maka berdasarkan penjelasan di atas, penulis menyimpulkan hubungan yang sangat erat antara pendidikan dan pengembangan kepribadian. Penulis menguraikan dari sisi defenisi, pendidikan dikonsepsikan sebaga usaha mewujudkan suasana dan proses pembelajaran untuk mengembangkan potensi dan kepribadian peserta didik, dari segi fungsi, membentuk kepribadian bangsa agar memiliki kapasitas, watak, dan peradaban yang bermartabat sebagai bangsa yang cerdas. Dan dari segi tujuan adalah mengembangkan totalitas kepribadian peserta didik, baik menyangkut dimensi spiritual, etikal, fisikal, intelektual, attitudinal, dan skill. Lalu dengan landasan yang sudah dimiliki. Apakah praktik pendidikan  kita saat ini, sudah memasukkan dimensi kepribadian atau belum ? Penulis memberikan jawaban dengan mengutip pernyataan Buchori bahwa satu kelemahan praktik pendidikan kita saat ini adalah tidak menyentuh persoalan paling mendasar dalam kehidupan, yakni menyangkut makna hidup. Pendidikan lebih banyak mementingkan peningkatan dimensi intelektualitas peserta didik semata. Penulis menguraikan beberapa penyebab. Pertama, pendidik jarang bahkan terkesan tidak pernah membimbing peserta didik untuk mengenali konsep dirinya sendiri. Kedua, ketidakmampuan institusi pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang berkepribadian sehat yang disebabkan kelemahan metodologi, pengetahuan, dan ketrampilan yang ditransformasikan tidak memiliki muatan nilai-nilai. Ketiga, secara praktik pembelajaran yang memberi muatan nilai hanya diajarkan oleh bidang studi tertentu, dan bidang studi inipun memiliki kelemahan, karena dalam pembelajaran nilai-nilai terkesan hanya bersifat kognisi saja.
Dalam bab ini, penulis menerangkan makna dan konsep pengembangan. Menurut Hurlock bahwa kepribadian sebenarnya tersusun dari suatu inti atau pusat gravitasi yang disebut dengan konsep diri dan system terpadu dari respon-respon yang dipelajari yag disebut dengan sifat-sifat.  Dan apakah kepribadian bisa dibentuk dan dikembangkan ? penulis menguraikan jawaban menjadi tiga teori besar, yaitu (1) Early Formation Theory, bahwa kepribadian telah dibentuk sejak awal kehidupan manusia. (2) Stage Theory, kepribadian seseorang terbentuk melalui serangkaian tahapan atau periode, dimana antara satu tahapan dengan tahapan lainnya saling berkaitan  dan menentukan perkembangan berikutnya. (3) Dialectical Theory, bahwa perkembangan kepribadian terbentuk melalui sebuah tegangan yang berlangsung antara berpasang-pasangan tujuan yang saling berlawanan, seperti keterbukaan-ketertutupan, stabilitas-perubahan, harmoni-konflik, kompetisi-agresi, dan lain-lain. Maka sudah jelas betapa besar  peran pendidikan  dalam  mengembangkan kepribadian yang sehat.  Dengan syarat yang disampaikan oleh penulis, bahwa pendidikan harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu untuk dapat mengembangkan kepribadian secara optimal.
Dalam prespektif Islam, kepribadian seorang Muslim harus mengacu kepada konsepsi Islam tentang manusia. Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa manusia terdiri dari dua unsur yaitu materi dan non materi, atau unsure jasad dan ruh. Jasad merupakan wahana bagi ruh untuk mengaktualisasikan seluruh keinginan dan kehendaknya, sedangkan ruh memiliki peran yang sangat menentukan dalam membentuk kepribadian, karena ruh yang mengarahkan manusia untuk memilih dan melakukan suatu perilaku atau tindakan. Dan Rasulullah selain mencontohkan kepribadian Islami, beliau juga berhasil dalam membentuk, membina, dan mengembangkan kepribadian Islami melalui pendidikan. Rasulullah menjadi pendidik yang langsung men-tarbiyah umatnya, menjadikan masjid dan rumah sebagai tempat melaksanakan pendidikan, dan tidak kalah penting beliau memberikan materi tentang keimanan, akhlaq, ibadah, dan muamalah.
Namun, kembali keluar kalimat keprihatinan, bahwa ketika Islam datang dengan ajaran yang sempurna dan disampaikan oleh seorang Rasul yang memiliki akhlaq yang juga sempurna, tidak menjamin pemeluknya dapat menegakkan moral yang sesuai dengan aturan agama. Karena itu penulis mengutip pernyataan Amin Rais bahwa keberilmuan tidak selalu menjamin penegakan moral.
Di perguruaan tinggi harus segera dilakukan upaya untuk mengembangkan budaya akademik-ilmiah, dengan mengedepankan urgennya moral akademik, adapun sebabnya antara lain adalah karena pendidikan bukan sebatas tranformasi ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga internalisasi nilai dan pembentukan watak serta kepribadian bangsa, serta penegakan moral akademik diperguruan tinggi akan memprotect civitas akademika dalam merespon berbagai isu yang terjadi dan membantu mereka dalam mengarahkan masyarakat kea rah yang lebih baik. Maka upaya yang utama adalah dengan menjadikan moral akademik sebagai landasan kehidupan di perguruan tinggi. Di samping harus memenuhi standar-standar tertentu untuk menciptakan suasana akademik yang kondusif.
Sebagai pentup pada bab II, penulis mengatakan bahwa untuk mengetahui moral akademik yang Islami maka kita berkaca pada pribadi Rasulullah. Karena moral akademik yang ditampilkan Rasulullah dapat dijadikan sebagai kerangka konseptual dan praktikal dalam penegakan moral akademik di berbagai perguruan tinggi Islam.
3.      Bab III : Gagasan Tentang Pendidikan Nilai
Pada bab ini, penulis memaparkan tentang gagasan untuk menjadikan nilai menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan, sehingga menjadi satu konsep yang harus disampaikan atau diajarkan dalam bentuk materi pendidikan nilai.
Fenomena dalam kehidupan bermasyarakat bila dicermati akan terlihat dengan jelas telah  terjadi desonansi moral, yaitu melemahnya nilai moral secara kualitatif, dimana peristiwa ini berbanding terbalik dengan kemajuan sains dan teknologi. Bahkan, hal ini juga mewarnai dunia pendidikan, yaitu dengan ditemukannya kasus kekerasan, pelacuran intelektual, korupsi, kecurangan dalam ujian, dan kasus-kasus lain, yang melibatkan orang-orang yang dididik secara formal.
Dengan fenomena ini, penulis bertanya : apa kiranya yang salah atau keliru dari praktek pendidikan kita selama ini ? Bukankah pendidikan merupakan proses pemanusiaan manusia agar ia bisa memilih hidup mulia, memuliakan kehidupan, mengembangkan kehidupan yang penuh dengan nilai dan makna ? Kemudian di bab ini, penulis memaparkan tentang kebiasaan yang berubah dari mendidik menjadi mengajar, dari praktik menjadi hafalan. Dan walaupun kurikulum kita ‘gemuk’ dalam pendidikan formal, dari mulai pra sekolah sampai perguruan tinggi, yang seharusnya merupakan tempat bagi anak mengenal dirinya berubah menjadi ‘pendidikan akademis’. Anak hanya mengenal konsep benar dan salah, baik dan buruk, terpuji dan tercela, dan tidak mampu menangkap nilai-nilai esensi dari pengetahuan yang ia miliki. Padahal, seharusnya nilai-nilai itu include, bahkan inheren dalam setiap disiplin ilmu yang dipelajari. Terputusnya mata rantai pendidikan nilai yang akhirnya menyebabkan ketidakberhasilan pendidikan dalam mendidikkan nilai-nilai, secara umum disebabkan oleh proses pembelajaran yang hanya sekedar verbalisme dan formalitas. Maka sudah waktunya kita menyadari dan segera melakukan perubahan, di antaranya dengan merubah pendekatan yang selama ini hanya bersifat kognisi, menjadi kognisi-afektif. Kemudian dalam proses, peserta didik dilatih untuk kritis, mengidentifikasi dan mengenali nilai-nilai, mengklarifikasi nilai-nilai, memilih dan mempertimbangkan efek-efeknya, memilih yang terbaik untuk dilakoni, dan melakukan berbagai penyesuaian yang diperlukan. Dalam prespektif Islam, pendidikan nilai adalah upaya menegakkan kembali pendidikan akhlaq. Karena kemajuan  sains dan teknologi mempermudah  manusia untuk dapat saling berinteraksi tanpa mengenal jarak dan tanpa batas. Karena itulah pendidikan nilai sangat dibutuhkan sebagai upaya memprotect peserta didik dari dampak  negatif kemajuan zaman. Permasalahan selanjutnya adalah peserta didik secara langsung merasakan terjadinya konflik nilai, yaitu saat orangtua dan guru mengajarkan ‘begini’, namun di sisi lain, realitas kehidupan menunjukkan ‘begitu’. Dengan kata lain, saat anak dididik dengan nilai-nilai religious, di sisi lain dalam masyarakat maupun  media massa, mereka menyaksikan berbagai perilaku yang justru kontradiktif, akhirnya terjadilah konflik nilai dalam diri peserta didik. Lalu bagaimana memperkuat pendidikan akhlaq, sehingga konflik nilai tidak menjadi beban besar ? maka penulis menjawab persoalan ini dengan bercermin pada praktek pendidikan Rasul. Karena sejarah telah membuktikan keberhasilan yang telah dicapai Rasul dalam mencontohkan dan mendidikan nilai pada sahabat dan ummat. Dalam proses pendidikan Rasul memulai dengan mensucikan jiwa, akal, dan jism, selanjutnya mendidikkan nilai ke dalam diri manusia  yang disertai dengan keteladanan.
Penulis menawarkan langkah-langkah edukatif dalam memperkuat pendidikan akhlaq, yaitu (1) menggali dan merumuskan kembali  secara eksplisif prinsip-prinsip dan ajaran Islam tentang akhlaqul karimah yang bersumber pada kandungan Al-Qur’an dan Hadits. (2) Kita perlu merubah kebiasaan mendidik yang terlaku menekankan aspek ingatan dan hafalan. (3) merubah kesan dan pandangan sebagian pendidik yang beranggapan bahwa  tugas dan tanggungjawab pendidikan hanya sebatas pada ruang kelas dan sekolah belaka. (4) membangun dan mengembangkan relasi yang konkrit antara kehidupan di dalam madrasah dan perguruan tinggi dengan kenyataan-kenyataan empiric di masyarakat.
Penulis juga menguraikan tentang pendekatan dan strategi pendidikan nilai yang diawali dari pengertian nilai. Penulis mengutip pernyataan Frankel yang mendefenisikan bahwa nilai adalah suatu gagasan atau konsep tetang segala sesuatu yang diyakini seorang penting dalam kehidupan ini. Kemudian Shaver dan Strong mengklasifikasikan nilai pada dua kategori utama, yaitu : (1) nilai-nilai moral,  yaitu standar-standar atau prinsip-prinsip yang digunakan seseorang untuk menilai baik atau buruk, benar atau salah suatu tujuan atau perilaku, dan (2) nilai-nilai non moral adalah standar atau prinsip-prinsip yang digunakan yang sesuai dan dipengaruhi oleh nilai-nilai estetika atau penampilan. Dan kedua nilai ini dapat dikelompokkan ke dalam : (1)  nilai-nilai instrinsik yaitu nilai yang merujuk kepada standar-standar yang disebut dengan terminal values, dan (2) nilai-nilai instrumental yaitu ukuran-ukuran nilai yang disusun untuk meraih standar-standar nilai yang lain. Adapun pendekatan pendidikan nilai, di antaranya adalah pendekatan penanaman nilai, sosialisasi moral, utilitianisme rasional, perkembangan moral kognitif, klarifikasi nilai, dan pembelajaran berbuat. Selanjutnya terdapat banyak strategi yang dapat digunakan untuk mendidikkan nilai, namun pendidikan harus dapat memilih strategi yang tepat dalam pelaksanaannya, seperti strategi project, tutorial, atau open/distance learning digunakan pada kelas yang hanya terdiri dari 5 orang peserta didik, dan strategi lainnya seperti seminar, workshop, gaming, brainstorming, buzzgroup, filed trip, role play, ice breaker, simulation, dan case study lebih tepat pada kelas yang terdiri dari 5 sampai 20 orang peserta didik, dan kelas yang lebih dari 20 orang sebaiknya menggunakan strategi kuliah, demonstrasi, team  teaching, diskusi, debate, tanya jawab dan video.
Strategi dan pendekatan yang dilakukan haruslah sesuai dengan keinginan dan kondisi peserta didik, di sisi lain pendidik harus mempertimbangkan karakteristik peserta didik yang dihadapinya serta sarana dan fasilitas yang tersedia.
Sebagai penutup bab III, penulis kembali memaparkan tentang nilai yang sebenarnya sudah dikandung oleh mata pelajaran tertentu. Namun, karena proses pembelajarannya lebih mementingkan peningkatan dimensi intelektualitas, maka target dan sasaran yang diinginkan tidak tercapai. Hal inilah yang menyebabkan kegagalan pendidik dalam meningkatkan kualitas moral peserta didik.
Penulis mengharapkan agar pendidikan nilai dapat berfungsi sebagai pendorong bagi mengembangkan kebisaan dan perilaku yang baik, menyalurkan miat dan bakat, memperbaiki kesalahan, memperkecil kekurangan dan kelemahan, mencegah perilaku negative, mensucikan jiwa, menyaring nilai-nilai budaya bangsa sendiri dan bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya bangsa.
Bagi penulis melakukan perubahan ini bukanlah hal yang mudah, akan tetapi ketika semua pihak mau bekerjasama dengan segala kesadaran bahwa mendidik generasi bangsa adalah tanggungjawab semua pihak. Maka semua kesulitan dapat diatasi.
4.      Bab IV :  Guru, Institusi, dan Praktik Pendidikan.
Pada bab IV, penulis secara khusus membahas tentang guru. Pertanyaan awal yang dihantarkan penulis adalah Apakah sebenarnya tugas guru mendidik atau  mengajar ?, selanjutnya penulis memaparkan perjelasan untuk menjawab pertanyaan ini.
Menurut penulis, kita tidak dapat menutup bahwa tidak sedikit guru yang mereduksi tugas-tugasnya hanya sebatas mengajarkan pengetahuan, itupun dominan berada pada tataran kognitif. Bagi sebagian guru, mengajar adalah sebuah rutinitas melaksanakan kewajiban, bukan membelajarkan, dan bukan pula pelaksanaan tugas yang merupakan panggilan jiwa, apalagi panggilan agama.
Menurut penulis, tugas seorang guru adalah : (1) pendidik berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis, (2) mempunyai komitmen secara professional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan (3) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Dalam prespektif pendidikan Islam, guru disebut sebagai mu’allim, murabbi, atau muaddib. Sebagai muallim, guru adalah sosok pendidik yang memiliki ilmu pengetahuan  dan ia sendiri hidup dengan ilmu pengetahuan yang diketahuinya itu. Sebagai murabbi, guru adalah sosok pendidik yang memiliki sifat-sifat rabbaniyah, yakni meneladani sifat-sifat al-Rabb yang tersimpul dalam al-asmaul al-husna dalam diri dan kepribadiannya, sedangkan sebagai muaddib, guru merupakan sosok pendidik yang beradab, yang dengan adab tersebut ia mampu mendisiplinkan jiwa, hati, pemikiran, dan jasmaninya. Karena itulah, dalam prespektif pendidikan Islami, ilmu pengetahuan, sifat-sifat rabbaniyyah, dan adab merupakan syarat-syarat personalitas yang harus dimilliki dan menjadi kepribadian  seorang pendidik. Tanpa syarat itu, seseorang tidak layak mengklaim dirinya sebagai guru/pendidik.
Lalu bagaimana peran orang tua dalam pendidikan agama di lingkungan keluarga ? Kembali penulis memberikan penjelasan, ia mulai dengan perbincangan tentang potret keluarga masa kini.
Menurut penulis, dalam Islam keluarga ideal adalah keluarga yang tidak hanya diikat oleh hubungan denealogis atau keturunan semata. Sebab hubungan darah atau keturunan tidak dapat menjamin eksistensi dan kontiunitas bangunan sebuah keluarga. Lebih luas lagi, jika ditinjau dari prespektif Islam, sebuah keluarga yang ideal diikat oleh tiga hal, yaitu ; kesamaan keyakinan dan aqidah, kesamaan visi, dan cita-cita, dan kesamaan gairah dalam beraktivitas dan beramal shalih.
Keluarga adalah pusat dan lingkungan yang paling strategis untuk mendidik orang-orang yang ada di dalamnya. Maka, keluarga memiliki multi fungsi, seperti ekonomis, sosial, edukatif, protektif, religious, rekreatif, dan afektif.
Namun, dari penjelasan di atas dapat dinyatakan bahwa menemukan keluarga seperti dimaksud dalam masyarakat dewasa ini, terasa agak sulit menemukannya, yaitu yang sesuai dengan profil keluarga ideal. Potret keluarga dewasa ini, pada umumnya sebatas ikatan yang diikat oleh hubungan darah saja. Walaupun tinggal satu atap, akan tetapi visi, cita-cita, dan aktivitas amal mereka semua berbeda. Bahkan, tidak jarang dijumpai terdapat perbedaan aqidah dikalangan anggota keluarga.
Kondisi ini terjadi disebabkan semua anggota keluarga tenggelam dalam kesibukan masing-masing, mereka seperti tidak punya waktu untuk berkumpul, bercengkrama, saling berbagi cerita sesame anggota keluarga. Padahal di luar mereka adalah orang yang selalu siap membantu, mendengar, berbagi suka, punya kesempatan dan waktu luang untuk berinteraksi dengan orang lain.
Menurut penulis, memberikan pendidikan agama adalah tanggung jawab orangtua yang tidak dapat diwakilkan. Dalam bab ini, penulis memaparkan tujuh kewajiban orangtua terhadap anaknya, yaitu : (1) memberi nafkah yang halal, (2) mencintai dan menyayangi anak, (3) mendoakan anaak dengan doa yang baik, (4) mendidik anak mengerjakan shalat, (5) bersikap hati-hati terhadap anak, (6) mendidik anak agar berbakti kepada ibu-bapak, (7) berupaya memelihara anak dari api neraka.
Anak adalah amanah dari Allah Swt, yang harus dijaga, dipelihara, dan dididik sesuai dengan kehendak Allah Swt. Dan di sisi lain, anak adalah fitnah, yang dapat menghantarkan orangtuanya hidup bahagia di surge dan dapat menyebabkan orangtuanya harus tinggal di neraka. Maka sebagai orangtua yang arif, mereka harus dapat men-tarbiyah, men-ta’lim, dan men-ta’dib anaknya sesuai dengan tanggungjawab yang diembannya, karena memberikan pendidikan agama pada anak tidak dapat diwakilkan kepada orang atau institusi
Penulis mengatakan ada beberapa hal pokok yang harus dididikkan orangtua ke dalam diri dan jiwa anak-anaknya, yaitu : a) menananmkan aqidah atau keimanan dalam diri anak, b) membentuk dan membina kepribadian anak sesuai dengan akhlaqul karimah, c) melatih dan membiasakan anak melaksanakan ibadah, d) memelihara dan menjauhkan anak dari azab, siksa, dan penderitaan.
Dan nilai-nilai yang harus diinternalisasikan orangtua kepada anaknya adalah nilai Ilahiyah dan nilai Insaniyah. Penjelasannya adalah, hal hal yang berkaitan dengan nilai-nilai Ilahiyah sebagai berikut : iman, Islam, ihsan, taqwa, ikhlash, tawakkal, syukr, shabar. Sedangkan dimensi insyaniyah, sebagai berikut : cinta kasih kepada sesame manusia, semangat persaudaraan, persamaan, adil, sikap penuh baik sangka kepada sesame manusia, tawadhu’, tepat janji, lapang dada, amanah, sikap penuh harga diri, hemat dan dermawan. Dan selain sikap ini, penulis menambahkan bahwa orangtua harus menanamkan nilai-nilai positif ke dalam diri anak, seperti ; menumbuhkan sikap mencintai alam semesta, menanamkan tekad dan kegemaran untuk memelihara alam, menumbuhkan sikap dan kesediaan memanfaatkan alam untuk kepentingan umat, dan menanamkan sikap sedia untuk memakmurkan bumi dan menjaga keseimbangan alam.
Gambaran tantangan masa depan dalam  melaksanakan pendidikan agama adalah kurangnya ilmu agama dan ketrampilan yang dimiliki orangtua untuk mendidik anaknya dalam menghadapi perkembangan sains dan teknologi, beberapa keluarga Muslim telah terinfeksi dengan virus budaya modernitas dalam kehidupan, masih banyaknya umat Islam yang tidak sejahtera dalam bidang ekonomi, tidak ada protect terhadap perkembangan sains dan teknologi, sehingga generasi muslim larut dengan menu-menu keduniaan, dan hilangnya kepedulian terhadap permasalahan yang ada di sekitar lingkungan.
Kemudian, penulis mengatakan bahwa rendahnya kualitas output yang dihasilkan oleh pendidikan kita dipengaruhi oleh banyak factor, di antaranya adalah kurikulum pendidikan, hal ini mendorong banyak kalangan untuk menelaah kembali system pendidikan nasional yang dikembangkan selama ini. Ada sebagian kalangan menyebut kurikulum pendidikan dengan sebutan kurikulum pabrik, dengan alasan muatannya terlalu padat, dan menyebabkan beban terhadap siswa. Karena dalam praktik pembelajarannya guru berusaha menyelesaikan materi yang tertera di dalam kurikulum dan tidak punya waktu untuk mengidentifikasi perkembangan dan mengakomodasi kebutuhan peserta didik. Alasan inilah yang melatarbelakangi  gagaasan untuk melakukan rekonseptualisasi kurikulum pendidikan nasional agar sesuai dengan tuntutan kebutuhan siswa,  masyarakat, lingkungan, dan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi. Upaya ini merekomendasi pengembangan K        urikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
KBK memiliki pengertian seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai oleh siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah.
Implikasi KBK dalam proses pembelajaran adalah suatu upaya  untuk membantu siswa menguasai kompetensi tertentu, baik berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap atau nilai-nilai agar mereka memiliki kapasitas dalam  menghadapai berbagai persoalan kehidupannya kelak secara mandiri, cerdas, kritis, rasional, dan kreatif.
Tujuan utamanya adalah menciptakan output yag kompeten dan cerdas dalam membangun identitas diri dan budaya bangsanya dalam suasana perubahan, pertentangan, ketidakpastian, dan berbagai kerumitan dalam kehidupan.
Perkembangan selanjutnya adalah perubahan system pemerintahan, yang sebelumnya berpusat pada ibukota berubah menjadi adanya keinginan untuk memberikan peluang lebih luas kepada daerah untuk mengatur diri dari rumah tangganya sendiri, dan akhirnya pemerintah mengakomodasi keinginan ini dengan memberlakukan kebijakan otonomi daerah. Dan konsep dasar otonomi adalah pemberian wewenang untuk melaksanakan secara mandiri berbagai urusan yang menyangkut individu, masyarakat, dan institusi.
Arah kebijakan nasional untuk memberikan otonomi yang lebih besar kepada daerah ternyata dilakukan juga pada sector pendidikan. Dan tujuan pemberian  otonomi tersebut adalah pemberdayaan daerah dalam menyelenggarakan pendidikan agar lebih efesien, efektif,dan bermutu.
Pada bagian ini, penulis banyak menguraikan tentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang erat kaitannya dengan dunia pendidikan.
Bagaimana kesiapan pendidikan Islam terhadap pemberlakuan otonomi daerah ?  jawaban singkat penulis adalah bila kita mau memberdayakan pendidikan Islam agar sesuai dengan semangat daerah, maka tiga persoalan  utama yaitu menyangkut manajemen, pembiayaan, dan mutu atau kualitas pendidikan, adalah persoalan pokok yang harus diselesaikan.
Sebelum menutup bab IV ini, penulis menyampaikan suatu jalan keluar terhadap permasalahan yang dihadapi oleh pendidikan Islam, menurut penulis, lembaga pendidikan Islam  harus mencari alternative lain dalam hal pembiayaan dan mulai secara bertahap melepasakan diri dari ketergantungannya pada pendanaan yang berasal dari pemerintah.
Penulis memberi alternative dalam bentuk strategi pendanaan mandiri yang bisa ditempuh, yaitu pemberdayaan zakat produktif, pemberdayaan waqf, dan penerapan konsep land grand madrasah dan land grand university.
5.      Bab 5 : Isu-Isu Krusial dan Peran Pendidikan Dalam Menyiasati Perubahan Global.
Dalam bab ini, penulis mengajak kita untuk belajar memetakan masalah. Menurut penulis, setiap upaya mencari solusi terhadap berbagai masalah pendidikan nasional harus dimulai dengan pengenalan dan identifikasi masalah terlebih dahulu.
Dalam bab ini, penulis memaparkan beberapa isu yang mengintari dunia pendidikan beserta solusinya. Adapun isu-isunya sebagai berikut : (1) kekerasan dan kemiskinan, (2) keragaman dan potensi perpecahan, (3) kegagalan dalam menciptakan moralitas anak bangsa, (4). Kuantitas versus kualitas, (5) masalah pengangguran terdidik.
Solusi untuk mengatasi permalahan di atas, menurut penulis ; pendidikan agama dan moral di masa depan harus memberikan kemampuan kepada peserta didik untuk dapat memaknai dan memuliakan hidup, serta berani hidup sebagai manusia beradab, pendidikan harus menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, pendidikan harus berasaskan ideology yang memuat kemajemukan sehingga mengakomodasi nilai-nilai yang berakar pada agama dan budaya bangsa, pendidikan harus mengakomodasi prinsip-prinsip demokratis dan elagitarian, merekonstruksi visi dan misi pendidikan nasional sehingga tidak mengabaikan dimensi akhlak dan moral, dan pendidikan harus mampu menumbuhkan dan mengembangkan  kemandirian dan mental entrepreneurship di kalangan peserta didik.
Pendekatan dan peran pendidikan dalam menyiasati perubahan global, pada bab ini, penulis menerangkan tentang peran strategis dunia pendidikan sebagai institusi yang amat penting dalam mempersiapkan wwarga dunia, baik dalam konteksnya dengan menyikapi berbagai perubahan global yang terjadi, maupun dalam rangka mempersiapkan mereka untuk tetap eksis dan kompetitif di era global.
Globalisasi dapat menembus batas-batas space, times, dan distance, melalui tiga kekuatan pokok yaitu teknologi, pasar modal, dan manajemen. Pengaruh globalisasi ini akan tercermin dalam kehidupan masyarakat yang akan mempraktikkan nilai-nilai inti universal dari suatu budaya yang disebut dengan budaya global. Bagi  masyarakat yang dapat mengakomodasi budaya ini, maka masyarakat ini akan maju dalam peradaban daripada masyarakat lain. Menurut penulis, salah satu kunci penting bagi kemampuan suatu masyarakat dan bangsa untuk beralih dari budaya tradisional ke budaya global yang progresif, serta mengakomodasi dan mempraktikkan universal core values dalam kehidupannya adalah ilmu pengetahuan.
Maka peran pendidikan  harus bisa mengembangkan kompetensi, kemauan keras, dan kesadaran dalam diri setiap peserta didik. Bila ketiga kompetensi ini dapat dilakukan oleh setiap orang, maka akan lahir manusia-manusia yang cerdas secara intelektual, terampil dalam melakukan aktivitas kehidupan, memiliki sikap dan kesadaran moral yang tinggi, serta yang paling penting mampu mengambil peran dalam percaturan kehidupan global. Dan ada beberapa pendekatan dalam menyiasati perubahan global yang diakomodasi dalam bentuk sikap, penuh mengklasifikasi sikap ini menjadi tiga, yaitu (1) Tranmissive, yaitu komunitas yang tetap meneruskan cara-cara dari tradisi dan budaya leluhur dalam menyikapi berbagai perubahan yang terjadi. (2) Moderative, yaitu kelompok masyri budaya luhur masyarakat yang masih meneruskan unsure-unsur positif dari budaya leluhur, mereka juga membuka diri untuk mengambil nilai-nilai baru yang positif dari suatu proses perubahan. (3) Innovative,  yaitu kelompok masyarakat dan bangsa yang praktis meninggalkan semua cara dan nilai-nilai lama untuk kemudian menggantinya dengan cara dan nilai-nilai baru yang dibawa oleh suatu perubahan.
Sebagai penutup, penulis mengatakan, bagaimanapun baiknya sebuah pendekatan, implikasi hasil-hasilnya sangat tergantung pada bagaimana setiap orang memahami, menilai, memaknai, dan menggunakan pendekatan tersebut dalam kehidupannya. Seseorang tidak akan bisa mengikuti suatu perubahan, jika ia tidak berusaha secara sungguh-sungguh untuk merubah diri dan lingkungannya.
C.    Evaluation
Setelah membaca buku ini, saya menyarankan buku untuk dibaca para pendidik dan orang-orang yang peduli dengan pendidikan. Menurut saya buku ini ditulis dengan kategori bahasa Ilmiah, hal ini mungkin dilatarbelakangi dengan judul buku yang juga berkaitan erat dengan pemikiran dan filsafat.
Jika dilihat dari daftar isi, penulis sangat berusaha mengajikan isi buku dalam satu kesatuan utuh, yaitu setiap tema saling berkaitan dan saling berhubungan. Di mulai dari membincangkan kembali filsafat pendidikan kita, di sini penulis mengajak para pemikir pendidikan untuk merekonstruksi ulang atau memikirkan kembali bangunan pendidikan nasional kita, dengan landasan falsafah yang benar, maksudnya adalah landasan yang berdasarkan ideology dan tujuan nasional bangsa Indonesia 
Penulis memaparkan potret pendidikan di Indonesia yang terjadi dari dulu sampai saat ini, yaitu adanya dikotomi atau jurang pemisah antara pendidikan umum dan pendidikan agama,  dan memang sudah seharusnya ini tidak boleh terjadi, karena untuk dapat menggali ilmu dari alam semesta ini diperlukan kedua ilmu tersebut.
Menurut saya, gagasan  untuk membincangkan kembali filsafat pendidikan kita, adalah hal yang harus dipertimbangkan. Karena jika kita terus membicarakan penyebab atau terus mencari kelemahan dan kesalahan kenapa semua ini terjadi ? , kita tidak akan pernah mendapatkan solusi yang tepat. Dengan gagasan ini, mungkin akan lebih memudahkan bagi kita untuk memutuskan tujuan pendidikan yang sesuai dengan kepribadian bangsa.
Saya melihat hubungan tema pertama dengan tema  kedua yang berbunyi pendidikan, kepribadian, dan moral akademik. Menurut penulis, jika kita sudah tepat menemukan konsep terbaik bagi pendidikan kita, maka tentu akan memberi pengaruh basar pada kualitas pendidikan, pembentukan kepribadiaan insan kamil, dan terbangunnya moral akademik yang beradab.
Dalam bab ini, saya melihat keresahan penulis yang melihat bahwa pada praktik pendidikan yang berlansung selama ini telah mengabaikan dimensi kepribadian, dan ia telah menguraikan banyak sebab kenapa ini terjadi. Tapi, lagi-lagi penulis tetap memberikan solusi yang harus dilakukan oleh pendidik.
Namun, saya menemukan materi yang bisa dikatakan berulang, walaupun disajikan dalam penjabaran yang berbeda, seperti pada halaman 68, ada judul yang berbunyi : proses pembentukan kepribadian; praktik pendidikan Rasululah, hampir senada dengan halaman 78 yang judulnya berbunyi : moral akademik Islami; berkaca pada pribadi Rasulullah, dan halaman 100, yang berjudul memperkuat pendidikan akhlaq : bercermin pada praktik pendidikan Rasulullah. Walaupun  kesemua materi di atas penting, tidaklah salah jika saya menyarankan kepada penulis untuk tidak mengulang atau memberikan informasi yang hampir sama, atau lebih bijak lagi menggantinya dengan  judul yang lebih tepat.
Kemudian, pada halaman 180, ada sub judul kecil yang berbunyi : Jalan Keluar … ? , saya  berpendapat bahwa sub judul ini melahirkan banyak arti. Mungkin artinya tawaran solusi terhadap permasalahan, atau pertanyaan apakah solusi yang ditawarkan merupakan jalan keluar atau tidak, atau tidak perlu terlalu diterjemahkan. Maka menurut saya, sub judul ini kurang tepat menggambarkan isi materinya, saya menyarankan jika dilakukan revisi, sub judul ini diganti dengan kalimat yang lain atau dengan menghilang tanda tanya dan menambah kata yang lain.
Saya memberi apresiasi terhadap buku ini karena penulis secara bertanggungjawab memberikan gagasan untuk melakukan perubahan dalam system pendidikan nasional lengkap dengan latar belakang munculnya ide yang ingin beliau sampaikan, termasuk menulis rangkaian tema demi tema untuk memberikan pembelajaran kepada para pelaku pendidikan. Ini menunjukkan kesiapan penulis untuk melakukan perubahan secara personal, kelompok, bahkan dalam skala yang lebih besar.
Saya juga memberikan apresiasi bahwa dalam penulisan buku ini, sang penulis telah menunjukkan kepribadiannya, karena buku sarat dengan  muatan agama, padahal jika dilihat dari judul buku, maka buku ini bersifat umum. Tapi, penulis mengkemasnya dalam  wadah yang tidak lepas dari nilai-nilai agama.Pada bab terakhir penulis menjelaskan berbagai isu dan cara kita memetakan masalah, agar solusi yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan dalam dunia pendidikan.
D.    Recommendation
Saya sebagai salah seorang pelaku pendidikan, menyarankan buku ini untuk dibaca dan dapat menjadi rujukan dalam  rangka  memahami dan membangun konsep nilai. Buku ini bukan hanya memberikan paparan, penjelasan, keresahan,  sikap menghadapi kemajuan zaman, bahkan dalam buku ini penulis melahirkan  ide/gagasan, serta memberi motivasi untuk melakukan perubahan dalam skala kecil atau besar, individu dan kelompok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar