Kamis, 27 Oktober 2011

Nilai, Moral, dan Norma


NILAI, MORAL, DAN NORMA
 Ummi Kalsum Khairani : 10 PEDI 1817
I.              Pendahuluan
Pengertian pendidikan secara umum adalah suatu usaha yang dilakukan secara sadar oleh seluruh unsur dalam dunia pendidikan,  hal ini tercermin dari  kesiapan tenaga kependidikan dalam pengelolaan, para pendidik dengan kapasitas ilmu yang dimilikinya,  peserta didik dengan seluruh keunikan dan cita-cita yang ingin dicapainya, dan masyarakat dengan potensi kritik yang dimilikinya dalam rangka mendukung tercapainya tujuan pendidikan secara maksimal.
Urgensi pendidikan jika dipandang dari setiap sudut atau dibahas dalam  kajian agama yang berbeda, maka jawabannya tetap sama yaitu memiliki peranan penting terhadap majunya sebuah peradaban bangsa dan dunia. Sebab peranan yang luar biasa inilah,  pendidikan terus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman, yaitu dengan mengoptimalkan seluruh potensi yang ada pada semua pelaku pendidikan.
Secara ideal, Indonesia telah memiliki rumusan Sistem Pendidikan Nasional yang terdapat dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Namun, dalam prakteknya pelaksanaan pendidikan untuk mencapai tujuan ideal ini banyak mengalami kesulitan dan permalahanan, terutama dalam menciptakan peserta didik yang beriman, bertaqwa, dan berakhlaq mulia.
Dalam bukunya yang berjudul Percikan Pemikiran Pendidikan, Al-Rasyidin menyatakan bahwa solusi untuk menyelesaikan permalahan pendidikan di Indonesia adalah dengan cara mengembangkan filsafat pendidikan Indonesia yang mampu mengintegrasikan keimanan dan intelektualitas secara harmoni dan seimbang untuk membimbing dan mengarahkan penyelenggaraan pendidikan, baik pada tataran makro maupun mikro. 1
   Paparan pendahuluan ini memberikan gambaran tentang permasalahan pendidikan terutama dalam penerapan nilai, norma, dan moral. Karena fakta di lapangan menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara pembelajaran nilai dengan
penerapan nilai. Untuk lebih jelas, permasalahan ini dibahas pada materi berikutnya.


 

1.     Al Rasyidin, Percikan Pemikiran Pendidikan, (Bandung, Cita Pustaka Media Perintis,2009), h. 22
II.        Nilai , Moral, dan Norma
A.           Pengertian Nilai, Moral dan Norma
Pada umumnya di masyarakat istilah nilai, moral, norma, bahkan etika, dan akhlaq,  dianggap memiliki pengertian yang sama dan jarang sekali untuk dibedakan dengan jelas. Tidak tertutup kemungkinan ada kesamaan makna yang disesuaikan dengan keadaan tertentu. Namun, untuk lebih jelasnya perbedaan pengertian atas lima istilah di atas, berikut ini akan diuraikan satu persatu.
1.      Nilai
Adapun pengertian nilai dapat dilihat dari beberapa pendapat ahli, yang tertera berikut ini :
a.       Frankel mendefenisikan nilai sebagai an idea – a concept – about what someone thinks is important in life.
Pengertian ini mengemukakan bahwa nilai adalah suatu gagasan atau konsep tentang segala sesuatu yang diyakini seseorang penting dalam kehidupan ini.2

b.      Milton Rokeach :
 A Value is an enduring belief that a specific mode of conduct or end-state of existence is personally or socially preferable to an opposite or converse mode of conduct or end-state of exixtence.3
Berdasarkan pengertian ini, nilai adalah suatu keyakinan yang abadi yang menjadi rujukan bagi cara bertingkah laku atau tujuan akhir eksistensi yang merupakan preferensi tentang konsepsi yang lebih baik atau konsepsi tentang segala sesuatu yang secara personal dan sosial dipandang lebih baik.

c.       Sjarkawi :
Nilai atau value (bahasa Inggris) atau Valere (bahasa Latin) berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, dan kuat. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai, dan dapat menjadi objek kepentingan 4

d.      Hodgkinson (1978 dan 1983) menyediakan sebuah kerangka yang berguna yang dengannya nilai dapat dianalisis dan ditafsirkan. Ia mendefenisikan nilai sebagai konsep tentang apa yang diinginkan dan dengan kekuatan motivasi, dan sebagai penentu penggerak penentu tingkah laku.5
2.      Al Rasyidin, Demokrasi Pendidikan Islam , (Bandung,Cita Pustaka Media Perintis,  2011), h. 16.
3.      Milton Rokeach, The Nature Of Human Value , (NewYork, The Free Press, 1973) h. 5.
4.      Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak , (Jakarta Bumi Aksara,  2006), h. 29.
5.      Cyril Poster, Gerakan Menciptakan Sekolah Unggul, (Jakarta, Lembaga Indonesia Adidaya,  2000), hl.196
Dengan pengetian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa nilai adalah suatu konsep atau sebuah keyakinan yang abadi dan dianggap sangat penting dalam kehidupan seseorang, yang dengan konsep itu seseorang dipandang baik secara personal dan sosial, bahkan merupakan kekuatan dalam melahirkan motivasi untuk menentukan tingkah laku seseorang.
Lebih luas lagi, Zaim Elmubarok dalam bukunya Membumi-kan Pendidikan Nilai, mengatakan bahwa nilai-nilai dapat menjadi milik bersama dalam satu masyarakat. Ia menguraikan jika suatu masyarakat telah mempunyai nilai yang sama tentang yang berguna dan tidak berguna, tentang yang cantik dan tidak cantik, tentang yang baik dan buruk, maka masyarakat yang seperti itu seolah-olah telah direkat oleh suatu norma yang sama, sehingga anggota masyarakat itu akan mempunyai rasa solidaritas yang tinggi. 6)
2.   Moral
Moral berasal dari bahasa Latin yaitu mos jamaknya adalah more     , yang memiliki pengertian kebiasaan, adat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tahun 1988, kata mores masih dipakai dalam arti yang sama, yaitu secara etimologi kata etika sama dengan etimologi kata moral, yang berarti adat kebiasaan. 7)
Dan Al Rasyidin (2011), menuliskan pengertian moral yaitu :
 Secara etimologi, term moral berasal dari kata mores (Latin) yang maknanya selalu mengacu pada idea of custom. Dari asal kata ini, Pojman kemudian memaknai moral sebagai… the principles of conduct of both ideal and actual, yaitu prinsip-prinsip tentang perilaku ideal dan aktual. Sedangkan Piaget, sebagaimana dikutip Djahiri, membatasi moral sebagai views about good and bad, right and wrong, what ought to or ought not to do, yakni pandangan tentang baik buruk dan benar salah suatu perilaku atau perbuatan yang ditampilkan seseorang. Karenanya, moral merupakan salah satu domain penting yang menjadi ukuran dalam menilai dan mempertimbangkan suatu perilaku, apakah ia baik atau buruk, benar atau salah, lurus atau bengkok. “ 8)


 

6.     Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai, (Bandung, Alfabeta, 2008), h. 10
7.     K. Bertens, Etika , (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004),  h 4.
8.     Lihat Al Rasyidin, Percikan Pemikiran Pendidikan,  h.72.
3.    Norma
Norma memiliki pengertian suatu ukuran, garis pengarah, atau aturan, kaidah bagi pertimbangan dan penilaian. Dengan maksud bahwa jika ada suatu nilai yang sudah tertanam secara emosional dan mendalam serta sadar bahwa nilai itu menjadi milik bersama, maka nilai itu akan menjadi suatu norma yang disepakati dalam satu masyarakat, sehingga kedudukannya menjadi kuat. Kekuatan norma akan melahirkan sanksi bagi orang yang melanggarnya, yaitu :
a.         Jika anggota masyarakat melaksanakan sesuai dengan norma yang berlaku, maka akan diberikan pujian, balas jasa, dsb, sebagai bentuk imbalan.
b.         Jika anggota masyarakat tidak melaksanakan sesuai dengan norma yang berlaku, maka hukuman yang diterima dalam bentuk celaan dan sejenisnya.
4.    Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu ethos dalam bentuk tunggal dan ta etha dalam bentuk jamak. Ethos memiliki banyak pengertian antara lain adat, akhlak, watak, sikap, dan lain-lain, sedang ta etha  memiliki arti adat kebiasaan.
Berdasarkan KBBI tahun 1998, K. Bertens menjelaskan secara rinci bahwa etika yang memiliki tiga pengertian 9, yaitu :  
a.         Etika dalam arti nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya.
b.         Etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral.
c.         Etika dalam arti ilmu tentang yang baik atau buruk.
Dan menurut Black yang dikutip oleh Sjarkawi (2006:27), etika adalah ilmu  yang mempelajari  cara manusia memperlakukan
                sesamanya dan apa arti hidup yang baik. 10
9.     Lihat K. Bertens, Etika , h. 6.
10.  Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak , ( Jakarta, Bumi Aksara,   2006) , h. 27
5.    Akhlak
Kata akhlak merupakan bentuk jama’ “khuluq”  dari bahasa Arab, yang secara etimologis berarti tabiat, kebiasaan, kesatriaan, agama 11. Dalam buku Falsafah Pendidikan Islam, Al Rasyidin, menguraikan pengertian akhlak dari beberapa pendapat sebagai berikut :
a.       Miskawaih mendefenisikan akhlaq sebagai suatu keadaan jiwa atau sikap mental yang menyebabkan individu bertindak tanpa dipikir atau dipertimbangkan secara mendalam.      
b.      Abu Hamid Al- Ghazali mendefenisikan akhlaq sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan  dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
c.       Abdul Karim Zaidan mendefenisikan akhlaq sebagai nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang menjadikan seseorang berkemampuan menilai perbuatan baik atau buruk untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya. “ 12
Pengertian – pengertian istilah yang sudah diuraikan di atas, menjelaskan bahwa tidak ada satupun istilah yang mengandung pengertian yang sama seperti yang telah disangkakan masyarakat pada umumnya, akhirnya dapat disimpulkan bahwa :
1.    Nilai adalah gagasan atau konsep yang memiliki kualitas, sehingga  menjadikan  hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai, bermuatan motivasi, dalam mencapai tujuan kehidupannya.
2.    Moral adalah pandangan tentang baik buruk dan benar salah suatu perilaku atau perbuatan yang ditampilkan seseorang.
3.    Norma adalah suatu ukuran, garis pengarah, atau aturan, kaidah bagi pertimbangan dan penilaian.
4.    Etika adalah ilmu yang mempelajari cara manusia memperlakukan sesamanya dan apa arti hidup yang baik.
5.    Akhlaq adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa

manusia yang menjadikan seseorang berkemampuan menilai perbuat
11. Din Zainuddin, Pendidikan Budi Pekerti Dalam Perspektif Islam,(Jakarta, Al-Mawardi Prima, 2004), h. 3
12. Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islam, (Bandung,Cita Pustaka Media Perintis, 2008)  h. 67
an baik atau buruk untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya.
B.            Sumber Nilai
Secara umum, nilai – nilai yang yang sudah tertanam pada diri satu orang atau kelompok masyarakat, yang dijadikan rujukan dalam hal menentukan standar, suatu prinsip sampai masalah harga, hal ini bersumber pada : (1) etika, (2) estetika, (3) estetika, (4) agama, (5) hukum, dan (6) budaya 13 , menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ke enam sumber nilai di atas memiliki pengertian :
1.        Agama yaitu ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya
2.        Etika yaitu ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang  hak dan kewajiban moral (akhlak).
3.        Estetika yaitu kepekaan terhadap seni dan keindahan
4.        Logika yaitu pengetahuan tentang kaidah berpikir.
5.        Hukum yaitu peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah
6.        Budaya yaitu sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. 14
Berikut ini adalah uraian yang menjelaskan tentang sumber – sumber nilai.
1.        Agama atau disebut juga sistem keyakinan manusia kepada Tuhan,  pada dasarnya mengatur empat hal utama, yaitu :
a.          Mengatur tata cara manusia dalam beribadah kepada Tuhan.
b.          Mengatur cara berinteraksi manusia terhadap dirinya sendiri.
c.          Mengatur cara menata pergaulan manusia dengan sesama.
d.         Mengatur cara berinteraksi antara manusia dengan alam.
        Kaidah di atas menguatkan tentang urgensi dan keutamaan agama sebagai rujukan dalam menentukan standar, prinsip, dan dalam menentukan harga.
2.        Etika
13. Lihat Al Rasyidin, Demokrasi Pendidikan Islam , h.19
14. Pusat Bahasa Dep.Pendidikan Nasional RI, “ KBBI “ , diambil dari http://pusatbahasa.diknas.go.id
Sumber nilai yang pertama ini, merujuk pada timbangan benar atau salah,   baik  atau  buruk. Manusia pada hakikatnya membawa
potensi   baik dan  buruk  dalam  dirinya,  dan  memiliki kekuasaan
terhadap tindakan yang ingin dilakukannya. Dengan etika, maka diharapkan pilihan perbuatannya lebih cenderung ke arah kebaikan dengan mengandalkan ukuran logika atau nilai-nilai intelektual serta perintah dan larangan Tuhan yang terdapat dalam kitab suci.
3.        Estetika
Estetika adalah timbangan yang berdasarkan keindahan atau sebaliknya, potensi ini juga sudah ada pada manusia dengan mengasah  perasaan  yang  dimiliki untuk mengukur keindahan da-
lam bentuk pikiran, gagasan, perilaku, atau dalam bentuk objek lain, seperti pemandangan dan alam.
4.        Logika
Logika memiliki peran dalam bentuk penalaran untuk memberikan konstribusi dasar-dasar pertimbangan dalam menentukan keputusan yang tepat dengan argumentasi kuat.
5.        Hukum
Dengan hukum manusia membuat peraturan dan undang – undang yang disepakati untuk menata kehidupan yang aman, damai, dan harmonis.
6.        Budaya
Budaya membuka peluang besar atas pewarisan nilai untuk dikembangkan pada generasi berikutnya. Dan manusia dengan potensi yang ia miliki maka sudah selayaknya berinteraksi dengan manusia yang lain untuk memperkaya khazanah atau menyatukan budaya – budaya positif yang ada.
C.           Klasifikasi Nilai dan Norma 15
Dalam pembahasan ini ada beberapa pendapat yang akan pemakalah   kemukakan,   yang   kesemuanya    bersumber    dari  buku
Demokrasi Pendidikan karangan Al-Rasyidin.
15. Lihat Al Rasyidin, Demokrasi Pendidikan Islam , h.19
1.      Klasifikasi Nilai
Menurut Shaver dan  Strong, secara umum nilai terbagi kepada :
a.          Nilai – nilai moral
Nilai – nilai moral adalah standar atau prinsip yang dibangun oleh seseorang atau kelompok untuk memberikan penilaian apakah suatu perbuatan mengandung kebaikan atau sebaliknya, dan standar atau prinsip ini juga digunakan untuk mengukur suatu kebenaran atau kesalahan dalam menilai suatu tindakan yang akan dan sudah dilakukan.
Sifat nilai-nilai moral terbagi dua yaitu : sifat moral personal dan sifat moral sosial. Sifat moral personal adalah sifat yang digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menjustifikasi perilakunya saat berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain, pengertian justifikasi dalam hal ini adalah seseorang memiliki hak untuk menjelaskan maksud pada saat ia berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang lain dengan tujuan agar tidak terjadi salah faham. Sedangkan sifat moral sosial adalah nilai kebenaran yang sesuai dengan kesucian kehidupan manusia, yaitu sifat yang secara umum diakui manusia memiliki nilai kebenaran yang tak terbantahkan
b.          Nilai – nilai non moral
Kemudian nilai – nilai non moral adalah nilai menggunakan standar atau prinsip yang sesuai dan dipengaruhi oleh nilai estetika dan penampilan, seperti menilai kecantikan, penampilan, ketrampilan dan lain – lain.
Dalam kehidupan bermasyarakat, kita selalu bersentuhan dengan nilai-nilai non moral dan karena standar penilaiannya adalah estetika, maka setiap orang memiliki hak untuk memberikan penilaian kepada orang lain. Hanya penilaian itu dibatasi dengan etika dan akhlaq, artinya pendapat yang diberikan tidak boleh disampaikan untuk menyakiti perasaan orang lain.
Nilai moral dan non moral dapat dikelompokkan pada dua bagian, yaitu ;
a.         Nilai-nilai intrinsik, yaitu nilai moral atau nilai non moral yang merujuk kepada standar atau prinsip yang disebut end value atau terminal values.
b.        Nilai-nilai instrumental, yaitu ukuran-ukuran nilai yang disusun untuk meraih standar-standar nilai yang lain.
Sedangkan Frankel mengkategorikan nilai ke dalam dua bagian utama, yaitu :
a.         Estetik :  merujuk pada telaah dan justifikasi tentang segala sesuatu yang dipertimbangkan manusia sebagai kecantikan atau  keindahan atau hal-hal lain yang bisa secara langsung dan tidak tidak langsung dapat dinikmati.
b.        Etik : merupakan telaah atau justifikasi tentang perilaku yakni bagaimana orang bertingkah laku.
2.      Klasifikasi Norma
Dalam bukunya yang berjudul Etika, K. Bertens menjelaskan pembagian norma secara umum 16, yaitu :
1.         Norma kesopanan atau etiket, yaitu norma yang mengatakan apa yang seharusnya kita lakukan. Mungkin karena alasan inilah etiket sering dicampurkan dengan etika. Tapi etiket hanya menjadi tolak ukur untuk menentukan apakah perilaku kita sopan atau tidak dan hal itu belum tentu sama dengan etis atau tidak etis.
2.         Norma hukum. Norma ini merupakan norma yang paling penting, dan secara nyata kita sering menjumpai praktek norma hukum dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat pada berbagai tempat.


 

16. Lihat  K. Bertens, Etika , h. 148.
3.         Norma moral. Sedangkan norma moral adalah norma yang paling menentukan apakah perilaku kita baik atau buruk dari sudut etis. Karena itu norma moral adalah norma tertinggi, yang tidak bisa ditaklukkan pada norma lain. Sebaliknya, norma moral menilai norma-norma yang lain.
D.           Indikator Penunjuk Nilai
Memberikan penilaian bukanlah pekerjaan yang mudah, alasannya adalah suatu nilai tidak bisa dilihat secara langsung, karena  itu penilaian memerlukan indikator atau tolok ukur, dengan tujuan penilaian yang diberikan bersifat objektif dan bukan dipengaruhi pandangan secara subjektif. Indikator atau tolok ukur ini akan menjadi instrument penunjuk nilai untuk membenarkan atau menyalahkan, yang dianut oleh seseorang atau kelompok dalam masyarakat.
Indikator yang bisa menunjukkan suatu nilai itu bisa bersumber dari apa yang dikatakan  dan dilakukan seseorang (what people say and do). Artinya, untuk mengetahui nilai-nilai yang dianut dan diyakini seseorang, maka kita dapat melihatnya dari berbagai hal yang dikatakan dan diperbuatnya. Dalam konteks ini, akan semakin jelas nilai apa yang dianut seseorang manakala apa yang dikatakannya sesuia dengan perbuatannya atau apa saja yang diperbuatnya sesuai dengan apa yang dikatakannya. “ 17
Pada pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan tentang makna nilai, yaitu nilai yang dianut atau diyakini baik secara pribadi atau kelompok dalam masyarakat adalah merupakan kumpulan dari standar atau prinsip untuk memberikan penilaian terhadap sikap yang mengandung kebaikan sehingga dapat perbuatan sesorang dianggap benar, atau keburukan yang akhirnya perbuatan seseorang dinyatakan salah. Yang menarik adalah nilai – nilai yang dianut belum tentu disemua tempat sama, hal ini didasari karena faktor sumber-sumber nilai,    karena    boleh   saja   pada    satu  tempat  sumber  nilai   sangat


 

17.  Lihat Al Rasyidin, Demokrasi Pendidikan Islam ,  h. 25.
dipengaruhi oleh agama, sementara pada tempat lain sumber nilai
dipengaruhi oleh etika. Namun, apapun sumbernya. Nilai itu menunjukkan bangunan suatu peradaban, karena tidak mungkin pribadi atau kelompok menetapkan suatu nilai untuk kemunduran. Tetapi, tidak tertutup kemungkinan bahwa nilai disuatu tempat lebih baik dari nilai pada tempat yang lain, karena berdasarkan tingkat kemampuan intelektual orang-orang yang berada di dalamnya.
Berikut akan dipaparkan beberapa contoh nilai dan cara menilainya.
1.      Konsep keadilan :
Seorang pendidik, saat ia mengajarkan tentang keadilan artinya ia telah memaparkan sebuah konsep yang bicara tentang keadilan dan sikap-sikap yang menunjukkan orang yang berlaku adil. Dan konsep ini akan lebih bernilai jika secara perilaku sang guru mengaplikasikannya dalam pergaulan pendidikan, seperti berlaku adil dalam menghadapi permasalahan siswa, memberi penghargaan bagi siswa yang berprestasi, memberi hukuman yang sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan, dan lain – lain.
2.      Konsep hidup sederhana
Seorang guru bicara tentang hidup sederhana, menanamkan perilaku rajin menabung, dan harus pandai memilih dan membeli  barang yang berguna. Konsep ini, akan bernilai jika guru langsung mencontohkan sikap hidup berhemat, tidak boros, dan tidak berlebih – lebihan, karena pembelajaran akan lebih melekat dan menghasilkan hasil yang maksimal dengan keteladanan.
3.      Konsep budaya musyawarah
Pemimpin saat terpilih untuk memimpin sebuah organisasi atau suatu kumpulan, ia menyatakan akan bekerja sama dengan bawahan, dam membudayakan musyawarah untuk menghasilkan pemikiran yang lebih baik. Konsep budaya musyawarah lebih bernilai, jika sang pemimpin bijaksana dalam memimpin rapat, yaitu mendengarkan pendapat orang lain, tidak menginterpensi kebijakan, atau memaksakan pendapat pada bawahan.
4.      Konsep menyayangi saudar
Seorang Ayah memaparkan tentang hubungan keluarga tidak sekedar hubungan darah, secara jelas ia kemukakan tentang indahnya berkasih sayang. Konsep ini lebih bernilai saat sang ayah mencontohkan cara mencintai dengan memberikan perhatian pada anaknya tanpa kecuali, dan selalu segera membantu jika anak membutuhkannya. Maka nilai-nilai ini melekat kuat untuk dijadikan sebagai teladan dalam keluarga, dengan mencintai maka kita kan memahami dan menghargai sebuah perbedaan .
Al Rasyidin menyatakan : “..., dalam konteksnya dengan kata-kata sebagai penunjuk nilai, Frankel menyatakan bahwa apa yang dikatakan seseorang bisa memberi petunjuk  mengenai apa nilai yang dianut dan diyakininya. " 18 , maka kesimpulannya adalah indikator penunjuk nilai untuk memberikan penilaian yaitu dengan melihat apa yang dikatakan dan dilakukan oleh seseorang.
E.            Karakter Nilai ( The Nature Of Values ) 19
Nilai memiliki lima karakter utama, yaitu :
1.      Nilai adalah sesuatu yang abadi ( a value an enduring)
2.      Nilai adalah keyakinan (a value is belief)
3.      Nilai digunakan untuk merujuk orang yang bertingkah laku ( a value refers to mode of conduct or end- state of exixtence )
4.      Nilai adalah sesuatu yang kita inginkan (a value is a preference as well as a conception of the preferable)
5.      Nilai adalah sesuatu yang dipandang baik secara personal maupun sosial (a value is a conception of something that is personally or socially preferable )
Milton Rokeach, memberikan penjelasan terhadap karakter nilai ini
secara rinci dalam bukunya yang berjudul The Nature Of Human Value
18.       Lihat  Al Rasyidin,  Demokrasi Pendidikan Islam.h 26.
19.       Lihat Milton Rokeach, The Nature Of Human Value , h. 5-10
1.      A value is enduring
Rokeach says :

  If values were completely stable, individual and social change would be impossible. If values were completely unstable, continuity of human. personality and society would be impossible. Any conception of human values, if it is to be fruitful, must be able to account for the enduring character of values as well as for their changing character. “

  It may be suggested  that the enduring quality  of values arises mainly from the fact that they are initially taught and learned in isolation from other values in an absolute, all-or-one manner. such and such a mode of behavior or end-state, we are taught, is always desirable. we are not taught that is desirable, for example, to be just a little bit honest or logical, or to strive for just a little bit of salvation or peace. N or are we taught that such modes or end-state are sometimes desirable and sometimes not. it is the isolated and thus the absolute learning of values that more  or less guarantees their endurance and stability. “

Pengertiannya adalah :

 Jika nilai-nilai benar-benar stabil, perubahan individu dan sosial akan menjadi mustahil. Jika nilai-nilai benar-benar tidak stabil, kontinuitas kepribadian manusia dan masyarakat tidak akan mungkin. Maka setiap konsepsi nilai-nilai manusia harus mampu menjelaskan karakter abadi dari nilai-nilai pada setiap perubahan karakter mereka. “

  Ini merupakan saran bahwa kualitas keabadian nilai muncul dilihat dari kenyataan di mana mereka pada awalnya diajarkan dan mempelajari nilai-nilai itu secara terpisah dari yang lain,  baik sebagian tentang nilai maupun keseluruhan.  Kita belajar untuk menginginkan sesuatu, bukan apa yang seharusnya kita inginkan sebagai manusia. Sebagai contoh kita menginginkan kejujuran, tapi keinginan kita tidak timbul dari diri sendiri untuk berlaku jujur maka kita tidak akan mendapat nilai kejujuran dari orang lain. Hal ini sama dengan menginginkan perdamaian, maka seharusnya kita yang memulai bersikap damai. Tidak tertutup kemungkinan kadang-kadang tidak ada yang memotivasi kita untuk memiliki keinginan. Namun, nilai-nilai yang sudah ada yang mengandung keabadian secara makna, dapat menjamin  bertahannya nilai yang dianut oleh seseorang.”


2.      A value is belief
Rokeach says :

  Three types of believe have previously been distinguished : descriptive or existential beliefs, those capable of being true or false ; evaluative beliefs, wherein the object of belief is judged to be good or bad: and prescriptive or proscriptive beliefs, wherein some means or end of action is judged ti be desirable or underisable. A value is a belief   of the third kind - a prescriptive or proscriptive belief. " a value is belief upon which a man acts by preference. “

Pengertiannya adalah :

“ Tiga jenis percaya sebelumnya telah dibedakan: keyakinan deskriptif atau eksistensial, mereka mampu menjadi benar atau salah; keyakinan evaluatif, dimana objek kepercayaan dinilai baik atau buruk: dan keyakinan preskriptif atau proscriptive, dimana beberapa cara atau akhir tindakan dinilai ti diinginkan atau underisable. Nilai adalah kepercayaan jenis ketiga - sebuah keyakinan preskriptif atau proscriptive. " Nilai adalah keyakinan yang di atasnya manusia bertindak oleh preferensi.

3.      A value referes to a mode of conduct or end –state of exixtence
Rokeach says :
  This distinction between the two kinds of values - instrumental and terminal - is an important one that we cannot afford to ignore either in our theoretical thinking or in our attempts to measure values. For one thing, the total number of terminal values is not necessarily the same as the total number of instrumental values. For another, there is a functional relationship between instrumental and terminal values that cannot be ignored. “

Pengertiannya adalah :

  Perbedaan antara dua jenis nilai - instrumen dan terminal - merupakan salah satu yang penting bahwa kita tidak bisa mengabaikan baik dalam pemikiran teoritis kita atau dalam upaya kita untuk mengukur nilai-nilai. Dalam satu sisi, jumlah total nilai terminal tidak tentu sama dengan jumlah nilai-nilai instrumental. Dan di sisi yang lain , ada hubungan fungsional antara nilai-nilai instrumental dan terminal yang tidak dapat diabaikan.

4.      A value is a preference as well as a conception of the preferable
Rokeach says :
  A value, as Kluckhohn defines it,is a conception of the desirable  and not something merely desired. this view of the nature of values suffers from the fact that it is extremely difficult to define desirable. we are no better off and no further along talking about conception of the desirable than talking about values. “

Pengertiannya adalah :

Kluckhohn  mendefinisikan nilai, adalah konsepsi yang diinginkan, dan bukan sesuatu hanya diinginkan. pandangan tentang sifat dari nilai menderita dari kenyataan bahwa sangat sulit untuk menentukan diinginkan. kita tidak lebih baik dan tidak lebih jauh berbicara tentang konsepsi diinginkan daripada berbicara tentang nilai-nilai.

5.      A value is a conception of something that is personally or Socially Preferable

Rokeach says :

   If a person's values represent  his conceptions of the desirable the question arises : desirable for whom ? for himself ? for another ? when a person tells us about his values, it cannot be assumed that he necessarily intends them to apply equally to himself and to others.  consider, for example, the meaning of that familiar expression : children should be seen and not heard. Translated into the language of values, this statement apparently means to the person asserting it : i believe it is desirable for children but not for adults to behave in certain ways. a person who informs us about his values may (or may not) intend to apply them differentially to young and old, men and woman, blacks and whites, rich and poor. and so on. “

Pengertiannya adalah :

   Jika nilai-nilai seseorang merupakan konsepsi tentang apa yang diinginkannya maka akan muncul pertanyaan: diinginkan untuk siapa? untuk dirinya sendiri? untuk orang lain? ketika seseorang menceritakan tentang nilai-nilai, hal ini tidak dapat diasumsikan bahwa dia tentu bermaksud untuk memberlakukannya untuk dirinya sendiri dan orang lain, tetapi ia lebih mempertimbangkan, misalnya, makna bahwa ekspresi akrab: bukan dengan cara mendengar tapi melihat anak-anak secara langsung. Dalam ruang lingkup nilai, maka pernyataan ini tampaknya menggambarkan bahwa seseorang percaya hal ini menjadi keinginan anak-anak, tetapi hal ini tidak berlaku untuk orang dewasa kecuali pada cara-cara tertentu. Dan orang yang memberitahu kita tentang nilai-nilai mungkin (atau tidak mungkin), dengan  berniat untuk menerapkannya secara berbeda untuk tua dan muda, pria dan wanita, kulit hitam dan putih, kaya dan miskin. dan sebagainya.

Dari kelima karakter yang telah diuraikan oleh Rokeach, telah menggambar pengertian nilai yang sudah dijelaskan sebelumnya. Sebagai analisa nilai merupakan sesuatu yang abadi hal ini mengandung pengertian bahwa secara hakikat zaman bisa saja berubah, teknologi bisa saja semakin canggih, atau pemikiran sudah semakin maju, tetapi nilai tetap mendapat tempat mulia sebagai nilai yang tak tergantikan karena perubahan-perubahan. Keyakinan manusia akan keabadian nilai , membuat pribadi dapat bertahan lama, perkembangan zaman tidak sewenang-wenang menginginkan hilangnya keadilan, kejujuran, dan nilai-nilai lain. Maka manusia yang bijak adalah manusia yang mempertahankan nilai-nilai dan yakin bahwa nilai-nilai ini yang akan membawanya menuju kebahagiaan. Nilai juga sesuatu yang harus kita inginkan, dengan keinginan ini manusia dapat mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupannya sehari-hari, di mana saja dan kapan saja. Dengan nilai seseorang bisa memberikan penilaian sekaligus dinilai oleh orang lain, tentu dengan memakai prinsip atau pertimbangan dari keenam sumber nilai, yang pada akhir penilaian, maka seseorang dapat mengukur dirinya sudah baik dipandang secara individu, atau secara social dengan apakah sudah terkategori orang baik saat bergaul dalam memainkan perannya di masyarakat.
Lima karakter di atas saling mengikat antara satu dengan yang lain, membentuk sebuah kesatuan untuk menghasilkan karakter yang diinginkan. Tidak mungkin seseorang hanya percaya nilai itu memiliki kekuatan yang abadi, jika ia tidak pernah berusaha mewujudkan nilai itu sendiri, dan tidak mungkin nilai itu terwujud tanpa disengaja. Karena nilai adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dengan alasan ini maka nilai hanya bisa terwujud dengan keinginan manusia, baik dalam skala kecil maupun besar.
F.            Sistem Nilai
Pada bahasan Summary, Rokeach menjelaskan tentang system  nilai 20 yang ia rangkum kembali dengan pengertian nilai, ia menyatakan :

  The following more extended definitions of value and a value system are offered. To say that a person has a value is to say that he has an enduring prescriptive or proscriptive belief that a specific mode of behavior or end-state of existance is preferred to an oppositive mode of behavior or end-state. This belief transcends attitudes toward objects and toward situations : it is standard that guides and determines action, attitudes toward objects and situations, ideology, presentation of self with others, and attempt to influence others. “
Pengertiannya adalah :

 Definisi yang lebih luas tentang nilai dan sistem nilai yaitu. seseorang dapat dikatakan memiliki nilai adalah apabila ia memiliki keyakinan preskriptif atau proscriptive abadi, dengan pengertian keberadaan dirinya dengan semua situasi mampu bertahan dengan baik dari awal sampai akhir. Keyakinan ini akan melewati batas dalam menyikapi obyek dan menentukan arah perilaku dalam berbagai situasi: hal ini akan menjadi standar untuk membimbing diri dan menentukan tindakan, menyikapi objek dan situasi, memiliki ideologi, mampu mempresentasi diri dengan orang lain, dan berusaha untuk mempengaruhi orang lain untuk mewujudkan nilai yang sama. “

Maka menurut Rokeach, sistem nilai adalah standard that guides and determines action, attitudes toward objects and situations, ideology, presentation of self with others, and attempt to influence others. Nilai menjadi standar untuk membimbing baik untuk diri sendiri maupun orang lain, nilai merupakan dasar penentuan langkah seseorang, nilai memberikan motivasi agar manusia dapat menyikapi obyek dengan baik dalam berbagai situasi, nilai menambah keyakinan
20.       Lihat Milton Rokeach, The Nature Of Human Value , h. 25
terhadap ideology, nilai bukan hanya mampu  mempertahankan keberadaan diri tapi juga mampu mempengaruhi orang lain untuk berlaku dan atau mewujudkan bersama nilai-nilai dalam kehidupan.
Secara khusus dalam ajaran Islam, sistem nilai dikenal sebagai kerangka acuan bahkan rujukan dalam berpikir dan berperilaku, baik secara rohani maupun jasmani. Sistem nilai diambil dari dasar ajaran agama secara menyeluruh atau totalitas, dengan maksud kedua sumber ajaran agama yaitu Al-Qur’an dan Hadits menjadi pedoman mutlak, tanpa mengambil yang satu dan meninggalkan yang lain.
Terkait dengan sistem nilai, , pakar psikologi Elizabeth Hurlock 21 dalam bukunya “ Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja” melakukan penerapan value sistem pada anak usia dini dengan mengemukakan empat hal utama yang harus dipelajari oleh seorang anak agar menjadi orang yang bermoral.
1.    Mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok sosial atau anggota keluarga.
2.    Mengembangkan hati nurani.
3.    Belajar mengalami perasaan bersalah atau rasa malu.
4.    Mempunyai kesempatan untuk berinteraksi sosial.
Miarti Yoga seorang Kepala Sekolah Zaidan Tutorial Preschool Bandung, dalam artikelnya yang berjudul “ Menerapkan Sistem Nilai pada Anak usia Dini “ menyatakan :
   Bahkan pembelajaran sistem nilai yang sesungguhnya diawali dari hal-hal yang sangat kecil. Karena itu, Anda jangan heran bila buah hati Anda dilatih sejak kecil untuk selalu minum pada gelasnya sendiri, kelak dewasa nanti ia tampil menjadi pribadi yang berhati-hati dan tidak semena-mena memperlakukan orang lain. Anda juga jangan heran bila sejak anak Anda mampu berbicara, Anda selalu mengingatkannya untuk mengatur nada suara, kelak di kemudian hari anak Anda akan berbicara dengan tertata dan tidak sembarang ucap.” 22

 

21.  Miarti Yoga, (2009),  Menerapkan Sistem Nilai pada Usia Dini, (Online), Tersedia  : http://jabar.tribunnews.com/index.php/read/artikel/12087/ ( 10 Maret 2011 )
22.  ibid
SIMPULAN DAN SARAN

A.                Simpulan
1.             Adanya perbedaan yang mendasar antara pengertian nilai, moral, norma, bahkan etika, dan akhlaq.
2.             Nilai merupakan gagasan atau konsep yang memiliki kualitas, sehingga  menjadikan  hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai, bermuatan motivasi, dalam mencapai tujuan kehidupannya,  sedangkan moral yaitu pandangan tentang baik buruk dan benar salah suatu perilaku atau perbuatan yang ditampilkan seseorang. Pengertian norma adalah suatu ukuran, garis pengarah, atau aturan, kaidah bagi pertimbangan dan penilaian, berbeda dengan etika yaitu ilmu yang mempelajari cara manusia memperlakukan sesamanya dan apa arti hidup yang baik. Istilah terakhir akhlaq yang merupakan nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang menjadikan seseorang berkemampuan menilai perbuatan baik atau buruk untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya.
3.             Nilai bersumber pada etika, estetik, logika, agama, hukum,dan budaya.
4.             Indikator petunjuk nilai dapat dilihat dari apa yang dikatakan dan dilakukan oleh seseorang sehingga bisa memberi petunjuk tentang keyakinan yang dianutnya.
B.                 Saran
Mempelajari nilai bukan sekedar untuk mengetahui teori atau konsep belaka, harapan terbesar adalah adanya perubahan sikap ataupun perilaku kita selaku orang yang sudah mengenyam pendidikan tinggi, dengan keteladanan maka kita dapat mewariskan sifat-sifat mulia pada peserta didik dan orang sekitar kita.
Tidak ada tempat kembali yang lebih baik selain kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, maka mari kita jadikan kedua sumber ini menjadi sumber utama dalam mengaplikasikan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA




Al Rasyidin, (2011), Demokrasi Pendidikan Islam, Cita Pustaka Media Perintis, Bandung.

Al Rasyidin, (2008), Falsafah Pendidikan Islam, Cita Pustaka Media Perintis, Bandung.

Al Rasyidin (2009), Percikan Pemikiran Pendidikan, Cita Pustaka Media Perintis, Bandung.

Cyril Poster, (2000), Gerakan Menciptakan Sekolah Unggul, Lembaga Indonesia Adidaya,  Jakarta.

Din Zainuddin, (2004), Pendidikan Budi Pekerti Dalam Perspektif Islam, Al-Mawardi Prima, Jakarta,.

K. Bertens, (2004),  Etika, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Milton Rokeach, (1973),  The Nature Of Human Value  The Free Press, NewYork.

Sjarkawi, (2006), Pembentukan Kepribadian Anak , Bumi Aksara,  Jakarta.

Zaim Elmubarok, (2008), Membumikan Pendidikan Nilai, Bandung, Alfabeta.

Miarti Yoga, (2009),  Menerapkan Sistem Nilai pada Usia Dini, (Online), Tersedia  : http://jabar.tribunnews.com/index.php/read/artikel/12087/ (10 Maret 2011 )

Pusat Bahasa Dep.Pendidikan Nasional RI, (2010), Kamus Besar Bahasa Indonesia  , (Online), Tersedia : http://pusatbahasa.diknas.go.id (10 Maret 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar