Selasa, 25 Oktober 2011

Waqf dan Pendidikan Islam Klasik

WAQF DAN PENDIDIKAN ISLAM KLASIK
 Ummi Kalsum Khairani (Nim 10 Pedi 1817)

A.           Pendahuluan
Perkembangan pendidikan Islam saat ini tidak lepas dari pengaruh sejarah, sejarah berbicara perjalanan yang ditempuh pendidikan dengan segala perubahannya dari waktu ke waktu. Saat ini, kita bukan hanya mengenal kurikulum, atau klasifikasi ilmu, bahkan kita sudah diajarkan ilmu-ilmu baru dengan segala pendekatannya yang bertujuan meningkatkan, mengembangkan pemikiran para pelajar untuk melahirkan peradaban baru yang lebih baik.
Waqf, pada masa Islam klasik, memegang peranan penting dan berpengaruh besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, walau pada dasarnya waqf tidak ada perintah dalam Al-Qur’an, tetapi Rasulullah dan para sahabat melakukannya demi kepentingan dan kemaslahatan umat. Maka para ulamapun sepakat untuk menjadikan waqf sebagai ibadah yang memiliki nilai yang sama dengan shadaqah jariyah. Namun, memiliki karakteristik khusus yaitu benda yang kekal karena zatnya. Peranan waqf, berdampak luar biasa terhadap kelahiran para ilmuan handal di masa itu. Hal ini tidak terlepas dari peran para penguasa dan orang-orang kaya yang dermawan, sehingga mereka mewaqfkan hartanya untuk perkembangan pendidikan. Para pengajar dan pelajar, hanya memusatkan perhatiannya untuk belajar saja, sedangkan kebutuhan dan tempat tinggalnya sudah tersedia, bahkan para pelajar diberikan beasiswa dan begitu juga dengan pengajar  mendapatkan gaji setiap bulannya.
Pada dasarnya tujuan pemberian waqf oleh wakif adalah rangka untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, sebagai tanda kesyukuran atas limpahan rezeki yang telah dikaruniakan Allah Swt kepadanya. Namun, tidak tertutup kemungkinan adanya niat lain di luar karena kemurnian dan  keta’atan kepada Allah Swt, seperti keinginan mendapatkan popularitas, rasa penghormatan yang berlebihan, melindungi harta dari kecurigaan dan penyitaan, dan niat-niat tercela lainnya, yang akan membuat perbuatan baik manusia menjadi sia-sia. Makalah ini selanjutnya mencoba membahas secara sederhana tentang permasalahan waqf dan kaitannya dengan pendidikan Islam klasik.
B.            Hukum Waqf
Sebelum membahas dasar hukum waqf, sebaiknya akan dijelaskan terlebih dahulu pengertian waqf secara bahasa dan istilah, sebagai berikut :
Secara bahasa kata wakaf (waqf) berarti habs ‘menahan’. Hal ini sebagaimana perkataan seseorang : waqafa yaqitu waqfan, artinya habasa yahbisu-habsan. Sedangkan secara syara’ bahwa wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah. 1  Lajnah Ilmiyyah bi Ma’had al-Aimmah wa al-Khutaba dalam kitabnya  Al-Fiqhu al-Muyassar menuliskan bahwa : Secara bahasa, ‘waqaf’ adalah akar dari kata ‘waqafa’, jamaknya adalah ‘auqaaf. Maknanya ialah menahan. Sedang secara istilah, ‘waqaf’ ialah mempertahankan asal dan manfaat sesuatu. 2
          Mundzir Qahaf dalam buku karangannya yang berjudul Manajemen Wakaf  Produktif. Ia menuliskan adapun pengertian wakaf secara terminologis yaitu para ahli fikih menggunakan dua kata: habas dan wakaf. Kata habasa atau ahbasa atau awqafa adalah kata yang menyatakan kata kerja, sedangkan wakaf dan habas adalah kata benda yang bentuk jamaknya adalah awqaf, ahbas, dan mahbus. Dalam kamus Al-Wasith dinyatakan bahwa al-habsu artinya al-man’u (mencegah atau melarang) dan al-imsak (menahan) seperti dalam kalimat habsu as-syai’ (menahan sesuatu). Disebut menahan karena wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan dan semua tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf, dan juga karena manfaat dan hasilnya ditahan dan dilarang bagi siapapun selain dari orang-orang yang termasuk atas wakaf tersebut. 3
          Dari pengertian di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa pengertian wakaf secara bahasa adalah menahan, sedangkan secara istilah adalah menahan harta atau mempertahankan asal dan memanfaatkannya di jalan Allah.
          Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat yang menjelaskan pengertian waqf  :
1.      Imam Nawawi ; ulama yang bermazhab Syafi’i menyatakan :
1           Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Fiqih Sunnah, Nur Hasanuddin, (Jakarta, Pena Pundi Aksara, 2007) h.423.
2           Lajnah Ilmiyyah bi Ma’had al-Aimmah wa al-Khutaba, Al-Fihu al-Muyyassar, Fiqih Praktis, Nabhani Idris, ( Jakarta, WAMY, 1998 ) h.105
3           Mundzir Qahaf, Al-Waqf Al-Islami:  Tathawwuruhu Idaaratuhu wa Tanmiyyatuhu, Manajemen Wakaf Produktif, Muhyidin Mas Rido, (Jakarta, Khalifa, 2008). h.44
Wakaf adalah penahanan harta yang bisa dimanfaatkan dengan tetap menjaga keutuhan barangnya, terlepas dari campur tangan wakif atau lainnya, dan hasilnya disalurkan untuk kebaikan semata-mata untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. 4
Pada defenisi ini, mazhab Syafi’i memberi ketegasan tentang makna keabadian dan terlepasnya harta dari kepemilikan wakif.
2.      Ibnu Arafah Al-Maliki ; ulama bermazhab Maliki menyatakan :
Wakaf adalah memberikan manfaat sesuatu ketika sesuatu itu ada dan bersifat lazim (harus) dalam kepemilikan pemberinya sekalipun hanya bersifat simbolis. 5
Definisi yang disampaikan Ibnu Arafah mempertegas bahwa harta wakaf tetap menjadi kepemilikan wakif dengan syarat tertentu ketika benda itu ada.
3.      Imam Hanafi : Wakaf adalah menahan suatu harta di tangan pemilikan wakaf dan penghasilan suatu barang itu untuk tujuan amal saleh. 6
4.      Rumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 215 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 menyatakan :
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. 7
          Para  ulama  sepakat  bahwa  waqf merupakan salah satu ajaran dalam
Islam  dan  juga bagian dari ibadah yang hampir memiliki kesamaan dengan
infaq dan  shadaqoh. Dan pelaksanaan waqf adalah salah satu corak sosial ekonomi yang sudah mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat di berbagai negara,  serta merupakan sebuah tradisi yang sudah disyari’atkan.
 Selanjutnya melangkah pada dasar hukum penegakan syari’at terhadap
waqf  yaitu bahwa di  dalam  Al-Qur’an, ayat  yang  membicarakan secara jelas
4  Lihat Mundzir Qahaf, Al-Waqf Al-Islami: Tathawwuruhu Idaaratuhu wa Tanmiyyatuhu, Manajemen Wakaf Produktif , h. 48
5  Ibid, h. 49
6  Siah Khosyi’ah, Wakaf & Hibah: Prespektif Ulama Fiqh dan Perkembangannya di Indonesia,  (Bandung,  CV. Pustaka Setia, 2010 ) h.18
7  Ibid, h. 22
8  Lihat Mundzir Qahaf, Al-Waqf Al-Islami:  Tathawwuruhu Idaaratuhu wa Tanmiyyatuhu, Manajemen Wakaf Produktif  , h. 106
tentang waqf pada dasarnya tidak ada. Namun demikian , para ulama mengemukakan beberapa ayat dan hadits yang dijadikan landasan hukum waqf. Antara lain :
1.      Firman Allah SWT dalam surat al-Hajj ayat 77:



Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. 9

2.      Firman Allah SWT dalam surat  Ali Imran ayat 92 :


Kamu sekali-kali tidak sampai pada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. 10

Dan Rasulullah SAW bersabda :
1.      HR. Muslim Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i 11



 “ Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw, Bersabda : Bila manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang mendo’akan (orangtuanya) kepadanya. “

2.      HR. Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i.




“ Riwayat dari Anas r.a bahwa ketika Rasulullah saw, dating ke Madinah dan memerintahkan membangun masjid, beliau berkata, ‘Wahai Bani Najar, apakah engkau hendak menjual kebunmu ini ?’ Mereka menjawab,  ‘Demi Allah, kami tidak meminta harganya kecuali pada Allah.” Maksudnya agar Rasulullah mengambil dan menjadikannya sebagai masjid.” 12
9           Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , (Arab Saudi, Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at Al-Mush-haf, 1990)  h. 1079
10        Ibid. h. 91
11        Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Nur Hasanuddin, (Jakarta, Pena Pundi Aksara, 2007) h.423.
12        Ibid, h. 424
          Dari dalil – dalil di atas, maka dapat dipahami bahwa waqf memiliki landasan atau dasar hukum yang kuat. Hal ini telah disepakati oleh ahli hadits dan ahli fiqh, yang memberikan pengertian sama antara waqf dengan shadaqah jariyah. Dengan alasan bahwa shadaqah jariyah adalah amal yang pahalanya terus mengalir begitu juga dengan amalan waqf. Dalam kajian fiqh, kedudukan hukum waqf dalam agama adalah mandub atau sunnat.
          Dan hadits lain yang masyhur, yang dijadikan dasar hukum atas wakaf oleh para ulama adalah hadits Ibn Umar 13 sebagai berikut :








Diriwayatkan dari Ibn Umar r.a :’Umar r.a pernah mendapatkan bagian kebun (dari hasil rampasan perang) di Khaibar. Lalu Dia menghadap Nabi Saw. Untuk memohon fatwa terhadap kebun itu. Dia berkata, “ Wahai Rasulullah, saya mendapatkan bagian kebun di Khaibar, yang belum pernah saya mendapatkan suatu harta yang lebih berharga daripada kebun itu. Maka, apakah yang saya harus lakukan terhadap kebun itu ? “ Beliau bersabda, “ Jika kamu mau, wakafkanlah kebun itu dan sedekahkanlah hasilnya !” Kemudian ‘Umar menyedekahkan hasil kebun itu, sedangkan kebunnya tidak dijual, tidak dibeli, tidak diwariskan, dan tidak dihibahkan. Selanjutnya, dia berkata, “ Umar menyedekahkan hasil kebun itu kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak, sabilillah (di jalan Allah), Ibn Sabil (musafir), dan tamu. Tiada berdosa orang yang mengurusinya untuk memakan sebagian dari penghasilan wakaf itu dengan cara baik atau memberi makan kawannya tanpa menganggapnya sebagai harta miliknya sendiri (tidak sewenang-wenang mempergunakannya seperti miliknya sendiri).” (5:74-S.M.)

                   Siah Khosyi’ah, dalam bukunya Wakaf dan Hibah, mengatakan : Para
13        Zaki al-Din, Mukhtashar Shahih Muslim,  Ringkasan Shahih Muslim, Syinqithy Djamaluddin, (Bandung,  Mizan Media Utama , 2009 ) h.539
ulama salaf bersepakat bahwa wakaf sah adanya dan wakaf Umar di Khaibar adalah wakaf pertama terjadi dalam Islam. Menurut Imam At-Tirmidzi, hadis ini diamalkan oleh para ilmu dari para sahabat Nabi SAW. dan orang-orang sesudah mereka. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dari seorangpun di antara orang-orang terdahulu dari mereka. Menurut Sayyid Sabiq, inilah wakaf pertama dalam Islam. Menurut Zainuddin Al-Malibary, Uma r.a. adalah orang pertama berwakaf dalam Islam, sedangkan Ibn Hajar dalam Fath Al-Bariy, menyatakan bahwa hadis Umar merupakan asal mula syariat wakaf. 14
                   Nur Ahmad Fadhil Lubis dalam tulisannya yang berjudul Wakaf: Beberapa Catatan Historis, menyatakan : Dalam sejarah Islam, waqf keagamaan yang pertama adalah masjid Quba’ di Madinah. Masjid ini dibangun ketika kedatangan Nabi Muhammad SAW pada 622 M. 15  Menurutnya hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW ingin membeli lahan dari Banu al-Najar untuk membangun masjid. Mereka enggan menerimanya, namun mereka rela memberikan lahan tersebut demi untuk fisabilillah. Yang kedua adalah wakaf philanthropic yaitu wakaf yang ditujukan untuk kepentingan umum secara menyeluruh disemua bidang kehidupan, di samping berfungsi untuk kaum miskin. Waqf ini dilakukan oleh seorang Yahudi yang bernama Muhayriq, ia mencantumkan dalam wasiatnya bahwa jika ia meninggal dunia, tujuh lahan kebunnya di Madinah akan diberikan kepada Rasulullah, kemudian Nabi SAW pun mewaqfkan untuk kebaikan kaum fakir miskin. Kemudian dilanjutkan oleh Umar bin Khattab dengan mewaqfkan kebunnya di Khaibar.
C.           Motivasi dalam Pemberian Waqf
Berdasarkan pengertian dan dasar hukum yang sudah dikemukakan, maka pada dasarnya tujuan waqf adalah untuk mempertahankan suatu benda yang kekal zatnya dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk kebaikan. Adapun maksud mempertahankan benda yang kekal zatnya adalah setiap benda yang
sudah diwaqfkan oleh pemiliknya, maka benda itu selamanya akan kekal
14        Lihat Siah Khosyi’ah, Wakaf & Hibah: Prespektif Ulama Fiqh dan Perkembangannya di Indonesia,  h.25
15        Azhari Akmal Tarigan & Agustianto (Ed), Wakaf Peoduktif: Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Medan, IAIN-Press , 2004)h. 42
sebagai waqf dan tidak boleh dialihkan, dirusak, dijual, diwariskan, atau tindakan-tindakan lain yang tidak sesuai dengan tujuan waqf. Atau dalam pengertian lain waqf itu adalah memanfaatkan harta, yang hasilnya dapat berguna untuk sampai kepada tujuan waqf, namun zatnya tetap kekal. Misalnya seseorang yang mewaqfkan tanahnya untuk pembangunan masjid, jika masjid belum dapat dibangun karena masalah pembiayaan, maka tanah itu dapat dimanfaatkan sementara dengan tujuan menghasilkan uang dalam rangka untuk pembangunan masjid,
Sebuah prinsip yang harus diyakini oleh seorang wakif  adalah karena waqf merupakan shadaqah jariyah, maka tujuan utama pemberian waqf adalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan melakukan suatu perbuatan  yang  mulia  sebagai  tanda  kesyukuran  atas  rezeki  yang telah
dikaruniakan Allah Swt terhadapnya.
Namun, tidaklah dipungkiri bahwa masih ada wakif memiliki tujuan lain
dalam mewaqfkan hartanya, hal ini dijelaskan oleh Hasan Langgulung bahwa
selain tujuan taqarrub ilallah, pemberian wakaf juga syarat dengan tujuan mencari kehormatan, popularitas dalam masyarakat, atau untuk anak yang takut karena dijual sesudah wafatnya atau takut dihalangi daripadanya dan dijual untuk membayar hutang atau memberi wakaf karena riya. Dalam hal terakhir ini semua wakaf itu tidak ada pahalanya sebab ia menuntut kerelaan Allah Swt. 16
Dalam bukunya yang berjudul  al-Fiqh ‘ala al-Mazhabib al- Khamsah atau Fiqh Lima Mazhab, Muhammad Jawad Mughniyah menuliskan bahwa terdapat perbedaan pendapat tentang niat untuk taqarrub 17. Yaitu mereka mempermasalahkan apakah niat untuk taqarrub merupakan syarat seperti halnya berakal dan baligh ? atau apakah jika niatnya untuk tujuan duniawi maka wakafnya tidak sah ? Para ulama mazhab menjawab :
Imam Hanafi mengatakan mendekatkan diri kepada Tuhan, baik langsung maupun tidak, merupakan syarat bagi sahnya wakaf. Imam Malik dan Imam Syafi’I mengatakan bahwa wakaf tidak disyaratkan harus untuk taqarrub
16        Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, (Bandung, Citapustaka Media Perintis, 2008) h. 38
kepada Allah, sedangkan Imam Hambali mengatakan bahwa wakaf disyaratkan harus untuk kebaikan dari taqarrub.
Masih berkaitan dengan tujuan waqf, Makdisi menambahkan adanya tujuan lain seorang wakif, pendapat ini terdapat dalam bukunya The Rise of College, yaitu “ The chief motive for establishing a waqf was qurba, drawing  near to God, the desire to perform good work and to a legacy of such good works pleasing in the eyes of God who would not fail to reward the giver ”. 18
          Dengan demikian, motivasi dalam pemberian waqf bukan saja murni karena ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt yang didasari kesadaran atas nikmat dan rasa syukur yang mendalam, tetapi juga karena untuk mencari kehormatan dan popularitas. Dan Makdisi juga menambahkan bahwa wakif pada masa Islam klasik menggunakan waqf untuk melindungi harta dari kecurigaan pemerintah atau melepaskan diri dari pajak dan penyitaan. Hal ini terjadi disebabkan adanya praktek-praktek penyitaan yang dilakukan oleh para penguasa pada saat itu. Dari paparan di atas, maka sudah selayaknya sebagai manusia yang memiliki akal pikiran, jangan sampai terjebak untuk mengikuti
langkah-langkah syaithan, dalam arti memiliki tujuan wakaf bukan untuk kebaikan atau kemaslahatan umat, hingga pada akhirnya akan menghantarkan
perbuatan mulia ini menjadi sia-sia Uraian tentang motivasi dalam pemberian waqf di atas jika dihubungkan dengan praktek-praktek waqf yang dilakukan pada masa Islam klasik, maka motivasi itu sudah lazim dilakukan atas nama agama, dan di sisi lain waqf adalah salah satu cara untuk menyelamatkan harta mereka dari tuntutan-tuntutan penguasa. Namun, apapun tujuan para wakif, sejarah telah mencatat bahwa lembaga ini memberikan konstribusi besar terhadap kemajuan peradaban Islam di masa itu.
D.           Waqf Sebagai Pendukung Finansial Pelaksanaan Pendidikan Islam Klasik
Dalam tulisannya yang berjudul Wakaf dan Pendidikan Islam Klasik,
Sugianto mengutip pendapat Makdisi yang mengatakan : Berdasarkan hukum
17        Muhammad Jawad Mughniyah,  al-Fiqh ‘ala al-Mazhabib al- Khamsah atau Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta, Lentera, 2010) h. 644
18        Goerge Makdisi, The Rise of Colleges:Institutions of Learnng in Islam and the West. (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981) h. 39
Pengertianya adalah selain dari tujuan-tujuan qurba (pendekatan diri kepada Tuhan) pada level lain, yang mungkin lebih manusiawi, wakaf dapat digunakan untuk melindungi harta dari kecurigaan pemerintah atau melepaskan diri dari pajak dan penyitaan
wakaf, seseorang dapat membentuk satu wakaf yang assetnya akan mendukung lembaga yang ia pilih. Muslim yang sholeh melakukan hal itu sebagai kedermawanan dan tanda syukur. Menyumbangkan materi untuk kepentingan umum adalah satu perbuatan yang sangat mulia yang diperuntukkan bagi orang-orang miskin dan pengembangan agama Islam. Pendidikan jelas termasuk pada ketegori kedua, dan mereka yang membantu pendidikan dengan material sangat dihormati. Pada masa awal-awal Islam, bagi hartawan mulim memberikan bantuan  material kepada usaha-usaha memenuhi kebutuhan
masyarakat merupakan perbuatan yang sangat mulia dan dihormati. 19
Pada sistem pendidikan Islam masa klasik, antara pendidikan Islam dan waqf memiliki hubungan yang sangat erat. Kedudukan waqf sebagai lembaga adalah sumber keuangan bagi terlaksananya kegiatan pendidikan Islam secara baik. Sistem waqf sendiri adalah salah satu bagian dari sistem ekonomi Islam karena adanya hubungan antara ekonomi dengan akidah dan syari’ah Islam, dan dengan terciptanya keseimbangan ekonomi untuk kemaslahatan umat, maka akan melahirkan kesejahteraan. Mensejahterakan umat dalam aktivitas ekonomi merupakan ibadah.
Selanjutnya berkenaan dengan masalah waqf sebagai pendukung finansial pelaksanaan pendidikan Islam klasik, Sugianto juga mengutip pernyataan dari Stanton, yaitu : Sistem wakaf mencapai zaman kegemilangannya pada zaman keemasan Islam. Pada masa ini banyak sekali wakaf-wakaf yang diserahkan, seperti tanah-tanah pertanian, toko-toko, kantor-kantor, perpustakaan, dan sarana-sarana publik lainnya seperti rumah sakit, mesjid, dan jembatan. Harta-harta wakaf biasanya diserahkan secara tertulis
dalam bentuk dokumen dengan didampingi oleh saksi. Dokumen tersebut menggambarkan materi kekayaan yang menjadi wakaf dan menerangkan ketentuan-ketentuan untuk mengelola harta wakaf serta untuk apa uang hasil wakaf atau benda wakaf dimanfaatkan. Selain itu dalam dokumen yang dijelaskan siapa yang akan mengawasi dan mengelola harta wakaf. 20
Penjelasan di atas, yang menguraikan kedudukan waqf yang berfungsi
19        Lihat Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, h. 39
20        Ibid, h. 40
sebagai pendukung finansial, terhadap pelaksanaan pendidikan pada masa Islam klasik terlihat adanya hubungan yang sangat jelas. Kebutuhan dalam dunia pendidikan pada masa itu, terpenuhi secara baik oleh waqf. Kebutuhan yang dipenuhi meliputi seluruh unsur pendidikan, baik itu pengadaan gedung pendidikan, fasilitas lain yang mendukung majunya pengetahuan, seperti perpustakaan, gaji bagi pengajar dan beasiswa bagi pelajar, sampai kepada penyediaan asrama bagi pelajar dari luar daerah. Gambaran yang luar biasa pada masa ini adalah para pelajar mendapat hak istimewa, yaitu mereka hanya fokus belajar saja  tanpa  memikirkan  biayanya,  bahkan para pelajar diberi
beasiswa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bangunan sistem waqf yang ditujukan pada bidang pendidikan, telah sukses menghasilkan para ilmuan dan cendikiawan, dalam membangun peradaban Islam. M   aka dengan ini dapat disimpulkan bahwa waqf memiliki andil dalam sejarah pemikiran, sejarah peradaban, dan sejarah sosial pendidikan Islam.
E.            Pengelolaan Waqf Sebagai Pembiayaan Pendidikan Islam Klasik
Pengelolaan harta waqf menurut hukum Islam, waqf dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, waqf ahli (dzurri) yaitu waqf yang hasilnya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, yang umumnya terdiri dari keluarga dan keturunan wakif. Kedua, waqf umum (khairi), yaitu waqf yang ditujukan untuk kepentingan umum atau kemaslahatan umat.
Dan untuk mengurus serta mengelola harta waqf maka ditunjuklah seorang nazir, yang dapat berbentuk individu ataupun kelompok yang berbadan hukum. Pendapat Muhammad Daud Ali yang dikutip oleh Sugianto mengatakan : Pada dasarnya wakif berhak menunjuk siapa saja yang diiginkannya untuk menjadi nazir asal mempunyai kecakapan yang diperlukan dan mampu mengurus harta wakaaf sesuai dengan tujuannya. 21
Pada pembahasan ini penjelasan lebih dalam, dikemukakan oleh Sugianto  masih dalam judul Wakaf dan Pendidikan Islam Klasik, ia menuliskan beberapa pendapat, yaitu :
1.             Hanun Asrohah mengatakan :


 

21.       Lihat Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, h. 36
 Rasa cinta umat Islam akan ilmu pengetahuan, yang didorong dengan motivasi agama yang memberikan tempat terhormat, menimbulkan kebutuhan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan mendirikan institusi-institusi pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan. Dengan dukungan penguasa-penguasa Islam yang cinta ilmu seperti Harun al-Rasyid dan al Makmun, kegiatan ilmu meningkat sehingga didirikanlah Bait al-Hikmah. Pada perkembangan selanjutnya, kebutuhan akan lembaga pendidikan melahirkan ide tentang perlunya lembaga wakaf yang bertujuan sebagai sumber keuangan bagi institusi-institusi pendidikan.

2.             Menurut Syalabi ( dikutip oleh Hanun )
Khalifah Makmun  adalah  orang  yang  pertama  kali mengemukakan pendapat tentang pembentukan badan wakaf. Ia berpendapat bahwa kelangsungan kegiatan keilmuan tidak tergantung pada subsidi dari pemerintah dan kedermawanan penguasa-penguasa, tetapi juga membutuhkan kesadaran masyarakat untuk bersama-sama dengan negara menanggung biaya pelaksanaan pendidikan.

3.             Hasan Langgulung dan pendapat yang senada dari Stanton
Sudah menjadi kebiasaan para sultan ketika mendirikan sekolah atau kantor kemudian diberinya wakaf yang banyak untuk kelangsungan sekolah tersebut. Para guru dan murid diberikan fasilitas yang penuh, bukan hanya pendidikan gratis, tetapi makan-minun dan sarana tempat tinggal juga disediakan. Tidak hanya itu, mereka juga mendapat gaji setiap bulannya da mendapatkan pakaian-pakaian untuk musim perayaan seperti pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Hal ini dilakukan agar para guru dan murid dapat bekerja dan belajar dengan sepenuh waktu tanpa harus memikirkan kebutuhannya.

4.             Stanton berpendapat :
Adanya konsep yang diterima secara umum oleh patron-patron hartawan yang mendukung institusi-institusi pendidikan, menyebabkan berkembangannya pengkajian-pengkajian yang dilakukan dengan sokongan dana dari lembaga-lembaga wakaf. Pada abad ke-10, seorang bangsawan kaya raya Badr ibn Hasanawayh al-Kurni (w.1015), yang mempunyai reputasi melegenda, karena bantuan-bantuannya keapda lembaga pendidikan. Ia membantu para ilmuan dan membangun masjid akademis, dan mendirikan asrama untuk para mahasiswa. Ia juga telah mendirikan 3000 masjid akademis yang masing-masing memiliki asrama.

5.             Hasan Langgulung, mengatakan :
 Beberapa fakta sejarah yang dapat kita temukan tentang peranan wakaf dalam pendidikan adalah dokumen wakaf sultan Muayyid Syaykh untuk guru mazhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, Hambali. Dalam dokumen itu dinyatakan bahwa tiap-tiap guru mazhab adalah orang yang ahli ilmu dan taqwa dan mahir dalam mazhab masing-masing. Dalam dokumen itu juga disebutkan gaji yang mereka dapatkan. Seperti guru mazhab Syafi’i misalnya, mendapat gaji 150 potong perak putih setiap bulannya, sedangkan para murid mendapat 40 potong perak putih dan mendapat empat kati roti bulat setiap hari. Guru mazhab Hambali mendapat 100 potong perak putih setiap bulan dan 40 potong perak putih untuk para murid setiap bulannya dan mendapat empat kati roti bulat setiap hari. Untuk menyimpan buku-buku  misalnya, mendapat 200 dirham setiap bulan atau seharga dengan itu dan mendapat dua kati roti setiap hari.”

Pemberian wakaf bukan hanya dilakukan oleh orang-orang bangsawan,
tetapi juga para ulama, yang banyaj memberikan harta mereka kepada lembaga-lembaga pendidikan dan pengkajian ilmiah seperi kuttab, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Seperti Syaykh Ali Sulaiman al-Absyadi misalnya, mewakafkan kepada ruwaq riyafah di Jam’I al-Azhar sebuah perpustakaan yang lengkap yang memuat 600 buah buku dalam berbagai cabang pengetahuan yang doajarkan di al-Azhar. Ahmad bin Ibrahim bi Nasrullah al-Askallani al-Qohiri al-Azhari, mendirikan masjid, sekolah, rumah tetamu dan tanki air minum di Syubra. Dan masih banyak lagi nama-nama  yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. 22

Kemudian Hasan Asari dalam bukunya Menyingkap Zaman Keemasan Islam, menuliskan : Secara sederhana, inovasi yang terjadi melibatkan dua sisi penting: a) sistem wakaf dengan implikasi sistem kontrol atas operasi madrasah; dan b) terpenuhinya kebutuhan mahasiswa akan fasilitas pendidikan yang lebih baik. 23  Penjelasannya pada point a) adalah yang dimaksud dengan inovasi yang terjadi adalah terjadinya evolusi lembaga pendidikan mulai dari masjid ke masjid-khan, lalu berubah menjadi madrasah. Untuk fungsi masjid dan masjid khan sebagai rumah ibadah, sepenuhnya berada di bawah kekuasaan penguasa, dengan pengertian segala hal yang menyangkut masalah pembangunan, pengangkatan staf yang bertanggungjawab terhadap masjid, dan dukungan secara finansial berasal dari agen pemerintah. Sedangkan madrasah, fungsi kontrol untuk melaksanakan seluruh kegiatan, sepenuhnya berada dalam pengaruh pemberi wakaf, walaupun pemberi wakaf itu sendiri tidak tertutup kemungkinan berasal dari kalangan elit penguasa. Dan pada point b) Makdisi
memberi penjelasan dalam bukunya The Rise Colleges,  menuliskan : “  The
22.       Lihat Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, h. 40-42
23.       Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, (Bandung, Citapustaka Media Perintis, 2007) h. 74
 development of the college in Islam went, therefore, from the masjid-inn complex, to the madrasa and ather like institutions. At some point in the second/eighth century or earlier, the masjid had become a college providing salaries for its staff, and gratuitous tuition for student. The masjid-inn complex went a step further and provided the student with lodging and perhaps food.
Finally, the madrasa provided him with all his essential needs for learning.” 24 
Selanjutnya Hasan Asari dalam bukunya Modernisasi Islam; Tokoh, Gagasan, dan Gerakan, memberikan informasi tentang Al-Azhar sejak zaman Islam klasik sudah didukung oleh waqf, dengan mengatakan “ Posisi penting ulama di Mesir berkaitan dengan al- Azhar. Lembaga keagamaan yang didukung oleh sistem waqf yang sangat besar ini bertahan sejak zaman kalsik Islam dan telah menjadi bagian identitas Mesir. Meski setelah penaklukannya  di awal abad ke -16, Kerajaan Ustmani melikuidasi sebagian besar waqf lembaga keagamaan Mesir, Al-Azhar merupakan pengecualian yang bahkan mendapat dukungan dari penguasa baru tersebut... “ 25
Berdasarkan seluruh pendapat yang sudah dikemukakan di atas, pendidikan klasik banyak melahirkan ilmuan, ulama, dan pemikir, tidak terlepas dari peran-peran hebat para penguasa yang mencintai ilmu pengetahuan. Para penguasa melakukan banyak hal untuk mewujudkan sebuah peradaban hingga sampai kepada puncaknya bahwa Islam berada di zaman keemasan atau dalam istilah lain the golden age. Walaupun sejarah tidak mencatat seluruh penguasa atau khalifah memiliki jasa atau peran dalam lahirnya sebuah peradaban dalam kajian pengembangan keilmuan, akan tetapi bukan berarti keberadaan mereka tidak memiliki makna. Pada masanya ada penguasa ataupun khalifah yang memfokuskan kekuasaannya hanya kepada perluasan wilayah, ada juga yang disibukkan dengan urusan perang salib, dan ada yang memusatkan perhatian dengan perkembangan keilmuan. Namun,
apapun yang mereka lakukan, terlepas dari permasalahan perebutan kekuasan,
24.  Makdisi, The Rise College h. 32 ( Lihat juga Hasan Asari : memberi pengertian ; Dengan demikian, perkembangan lembaga pendidikan tinggi (college) dalam Islam adalah dari masjid, ke masjid khan, ke madrasah atau lembaga sejenisnya. Pada abadke-2/8, atau lebih awal, masjid telah menjadi lembaga pendidikan tinggi yang menyediakan gaji untuk staffnya, serta biaya pendidikan bagi mahasiswanya. Masjid khan mengambil satu langkah maju dengan menyediakan bagi mahasiswa penginapan dan kemungkinan juga makanan. Akhirnya,  madrasah menyediakan bagi mahasiswa seluruh kebutuhan utamanya dalam belajar. )
25.  Hasan Asari, Modernisasi Islam: Tokoh, Gagasan, dan Gerakan, (Bandung, Citapustaka Media, 2007)h. 52
mereka sudah menorehkan sejarah perjalanan panjang peradaban Islam.
Fakta sejarah juga memberikan bukti yang kuat tentang peranan waqf dalam pendidikan. Hal luar biasa yang ditemukan di masa Islam klasik adalah dengan waqf para penguasa dan orang-orang kaya, kenikmatan belajar dirasakan kuat oleh para pelajar, hal ini disebabkan pendidikan yang tidak memungut bayaran, pelajar diberikan beasiswa, makanan, dan tempat tinggal. Dengan pelayanan ini, maka para pengajar dan pelajar dapat belajar secara total, konsentrasi, dan dapat memanfaat waktu, tanpa harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Depag RI, dalam buku Fiqh Wakaf, menuliskan : Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan, dan membayar gaji para stafnya, gajipara guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswanya. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian Negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas social dan ekonomi masyarakat. 26
Senada dengan hal ini, Achmad Djunaidi dalam bukunya yang berjudul Menuju Era Wakaf Produktif, ia mengatakan : Secara histories, anjuran dan misi wakaf untuk menciptakan kesejahteraan sosial sebenarnya telah dicontohkan di zaman kejayaan Islam di masa lalu. Di masa Dinasti Abbasiyah, wakaf telah dikembangakan sedemikan rupa sehingga menjadi sumber pendapatan Negara. Ketika itu wakaf yang pada awalnya meliputi berbagai asset semacam masjid, mushala, sekolah,tanah pertanian, rumah, toko, kebun, pabrik roti, kantor, gedung pertemuan, tempat perniagaan, pasar, tempat pemandian, gudang beras, dan lain-lain pada akhirnya bisa diambil manfaatnya sebagai instrument pendapatan Negara. 27

26.       Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Fiqih Wakaf, (Jakarta, Depag RI, 2007)h. 7
27.       Achmad Djunaidi et.all, Menuju Era Wakaf Produktif, (Depok, Mumtaz Publishing, 2007) h.31
F.            Contoh Pengelolaan Waqf  Sebagai Pembiayaan Pendidikan Islam Klasik
Dalam pembahasan ini, pemakalah akan memaparkan penjelasan dengan meramu tiga sumber buku utama yaitu :
1.      Sejarah Pendidikan Islam 28 karangan Ahmad Syalabi
2.      The Rise Of College: Institutions Of Learning In Islam and The West 29 karangan George Makdisi
3.      Konstruksi Pendidikan Islam : Belajar Dari Kejayaan Madrasah Nizhamiyah Dinasti Saljuq 30 , karangan Abdul Mukti.
Dan untuk mengkonversikan uang dalam bentuk dinar dan dirham kepada rupiah, pemakalah mengambil dua konversi yang mungkin dapat diperbandingkan yaitu : 1) Artikel yang  menarik yang berasal dari Zaim Saidi31 , dengan judul Stabilitas Harga dalam Dinar dan Dirham. 2) Outlet Dinar 32, dengan judul Rasio Perbandingan Dinar dan Dirham,  dan akan dikombinasikan dengan penjelasan dari Prof. Dr. Hasan Asari, MA, pada perkuliahan tanggal 30 Mei 2011 dengan materi Perpustakaan Dalam Peradaban Islam. Menurut Outlet Dinar, perbandingan dinar ke dirham adalah 1 : 10, dan keterangan dari Prof. Dr. Hasan Asari, MA, yaitu : 1 dirham = 15 poundsterling dan 1 dinar = 150 poundsterling. Menurut d’ Neiell 33 , Saat ini 1 poundsterling inggris berkisar Rp. 14.262,20 untuk setiap GBP 1,00 yang berlaku mulai tanggal 02-05-2011 sampai dengan 08-05-2011. Maka dapat disimpulkan 1 dirham = 15 poundsterling = Rp. 213.933 dan 1 dinar = 150 poundsterling = Rp. 2.139.330.
Pada konversi pertama akan diberi tanda bintang (*) dan pada konversi kedua akan diberi tanda koma di atas (‘), dan keduanya merupakan lampiran pada halaman belakang makalah ini.
28.       Ahmad Syalabi, Tarikh Tarbiyah Islamiyah , Sejarah Pendidikan Islam, Mukhtar Yahya dan Sanusi Latif,   ( Jakarta, Bulan Bintang, 1973) h. 229-239, 377-383, 395-396.
29.       Makdisi, The Rise College h. 162-165
30.       Abdul Mukti, Konstruksi Pendidikan Islam; Belajar dari Kejayaan Madrsah izhamiyah Dinasti Saljuq, (Bandung, Cita Pustaka Media, 2007) h. 181
31.       Zaim Saidi , (2007), dengan judul Stabilitas Harga dalam Dinar dan Dirham, (Online), Tersedia :
32.       Out Dinar, (2011), Rasio Perbandingan Dinar dan Dirham, (Online), Tersedia :
33.       D’niell, (2001), 1 poundsterling berapa rupiah, (Online), Tersedia : http://d-niell.blogspot.com/2011/05/1-poundsterling-berapa-rupiah.html, (01 Juli 2011)
Ahmad Syalabi  menjelaskan tentang wakaf-wakaf untuk pendidikan di Mesir, menurutnya sejak tahun 378 H/999 M pada pemerintahan al-Aziz Billah,  jauh sebelum Nizamul Mulk dan Nuruddin. Al-Azhar telah menjadi lembaga ilmiah, dan seorang wazir yang bernama Ja’qub Ibnu Killis memohon pada Khalifah  al-Aziz Billah untuk  memberikan tunjangan hidup bagi sejumlah ulama. Maka khalifah memberi mereka biaya yang cukup dan mendirikan sebuah gedung di samping Masjid Jami’ al-Azhar. Adapun jumlah yang dikeluarkan oleh Wazir Ibnu Killis atas perintah Khalifah adalah adalah sebanyak 1000 dirham setiap bulannya ( Rp.30.000.000,*/ Rp.213.933.000’) untuk sejumlah sarjana – sarjana, pembuat-pembuat kertas dan tukang-tukang jilid.
Kemudian Syalabi memaparkan tentang wakaf pada sekolah Asy-Syamiyyah Al-Zhawaniyyah. Sekolah ini telah runtuh. Namun, masih terdapat peninggalannya yaitu pintu masuk yang masih dipakai oleh pemiliknya, di pintu itu terdapat tulisan catatan wakaf atau piagam wakaf yang tertulis secara rinci, baik tentang pembelanjaan wakaf, dan keuntungan-keuntungan yang dihasilkan oleh wakaf tersebut. Syalabi mendapatkan informasi ini dari buku Sejarah Sekolah-Sekolah di Damaskus, karangan An-Nua’aimy, sekolah ini  terdapat pada tahun 628 H/ 1249 M. Antara lain isi dari piagam wakaf itu adalah untuk guru-guru , dibagikan sekarung gandum hinthan, sekarung gandum sya’ir, dan uang perak Nasyiriah sejumlah 130 dirham (Rp.3.900.000*/Rp.64.179.900’). Yang menarik dalam wakaf ini, pemberi wakaf memberi syarat yaitu para fuqoha, pelajar, guru, muazzin, dan pelayan, haruslah orang baik, teguh beragama, shaleh, suci hati, berkelakukan baik,  memiliki kepercayaan yang bersih, dan menganut aliran ahlu sunnah wal jama’ah, dan jumlahnya tidak lebih dari dua puluh orang.
Pada bab situasi  keuangan guru, Syalabi menjelaskan tentang perbedaan gaji-gaji yang diterima guru baik pada tingkat anak-anak, muaddib, maupun guru yang mengajar di sekolah-sekolah. Syalabi menuliskan setelah sekolah-sekolah dibangun dan guru-gurunya diangkat, maka guru-guru ini mendapat gaji bulanan yang teratur, yang diambil dari kantor pembendaharaan umum, atau dari badan-badan wakaf, yang biasa diberi tugas untuk membiayai lembaga-lembaga tersebut. Gaji guru-guru tersebut berbeda menurut tingkatan mereka , dan juga tergantung pada hasil yang diperoleh oleh badaan wakaf. Akan tetapi pada umumnya gaji tersebut adalah tinggi.
Ketika Imam Syafi’i berkunjung ke Mesir, ia disambut dengan hormat oleh Khalifah Ibnu Abdul Hakam. Ia memberi Imam Syafi’i uang sebesar 3000 dinar  (Rp.4.500.000.000*/Rp. 6.417.990.000’). Uang yang diberikannya tidak dijelaskan oleh Syalabi apakah dari wakaf atau tidak, akan tetapi jumlah uang yang besar memberikan gambaran terhadap penghormatan Imam Syafi’i sebagai guru. Kemudian Az-Zajjaj tahun 310 H/ 931 M, ia mendapatkann penghasilannya sebagai guru sebesar 300 dinar  (Rp.450.000.000* /Rp.641.799.000’) setiap bulannya.
Catatan berikut berupa keterangan tentang gaji yang diterima setiap bulannya oleh para pembesar, guru, pejabat-pejabat pada masa Dinasti Fathimiyah, yaitu :
No
Jabatan
Jumlah
Dinar
Konversi 1
Konversi 2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Menteri
Anak Menteri
Sekretaris
Ajudan
Qadhi
Da’i    
Guru Senior
Kepala Baitul Mal
Deputi
Pemimpin Arsip
Penyimpan Pedang
Penyimpan Tombak
Ka. Dewan                    
Dokter Pribadi
Ka. Dewan Peneliti Ka. Dewan Majlis
Khatib Masjid
Penyair Khalifah        
Dokter Lain di Istana   
5000
200
150
120
100
100
100
100
100
100
70
70
70
50
50
50
10 - 20
10 - 20
10
Rp.7.500.000.000
Rp.  300.000.000
Rp   225.000.000
Rp.  180.000.000
Rp.  150.000.000
Rp.  150.000.000
Rp.  150.000.000
Rp.  150.000.000
Rp.  150.000.000
Rp.  150.000.000
Rp.  105.000.000
Rp.  105.000.000
Rp.  105.000.000
Rp.     75.000.000
Rp.     75.000.000
Rp.     75.000.000
Rp.   15 – 30 Juta
Rp.   15 – 30 Juta
Rp.     15.000.000
Rp.10.696.650.000
Rp.    427.866.000
Rp.    320.899.500
Rp.    256.719.600
Rp.    213.933.000
Rp.    213.933.000
Rp.    213.933.000
Rp.    213.933.000
Rp.    213.933.000
Rp.    213.933.000
Rp.    149.753.100
Rp.    149.753.100
Rp.    149.753.100
Rp.    106.966.500.
Rp.    106.966.500.
Rp.    106.966.500
Rp.      20– 40 Juta
Rp.      20– 40 Juta
Rp.      21.393.300

Namun pada masa pemerintahan Bani Ayyubiyah, pemberian gaji secara teratur seperti di atas tidak lagi dijumpai, hal ini dikarenakan pemberian besar –kecilnya gaji dipengaruhi beberapa hal seperti besar kecilnya jumlah wakaf yang diberikan untuk sekolah-sekolah, serta kedudukan dan kemasyhuran guru dalam masyarakat, di sisi lain pemberian gaji juga tergantung kebaikan dari penguasa sendiri. Walaupun pendapatan wakaf besar, apabila penguasa orang kikir dan serakah maka serta  merta gaji yang diberikanpun kecil dan tidak memandang syarat dari wakif ataupun kemasyhuran seorang guru.
Shalahuddin membangun sekolah di dekat makan Syafi’i, sekolah itu diberi nama Ash-Shalihiyah, dan Syekh Najmuddin al-Khabusjani ditunjuk untuk memberikan pelajaran dan mengawasi wakaf sekolah tersebut, dan Shalahuddin mengatakan siapa saja yang akan memegang jabatan untuk mengelola sekolah Ash-Shalahiyah maka baginya : uang sebesar 40 dinar (Rp. 60.000.000*/ Rp. 85.573.200’)  setiap bulannya sebagai gaji pengajar, uang 10 dinar (Rp.15.000.000*/ Rp. 21.393.300’)  sebagai gaji pengawas wakaf, roti sebanyak 50 kati Mesir, dan air sebanyak 2 tempayan yang akan diambilkan setiap harinya dari sungai nil.
Selanjutnya, Syalabi menjelaskan keistimewaan lain dari pendidikan di masa klasik ini adalah tentang Sekolah Mushtanshiriyyah, sekolah ini memiliki asrama yang sangat megah. Guru dan pelajar tinggal di sana, semua orang yang berada di dalam benar-benar menikmati kedermawanan Khalifah.  Ibnul ‘Ibry mengatakan bahwa sekolah al- Mushtanshiriyyah adalah sekolah yang sangat makmur dan tidak ada yang dapat menandingi kemakmurannya, banyak sekali ahli fiqihnya dan banyak sekali wakaf-wakafnya. Digambar bahwa sekolah itu memiliki empat orang guru, jadi masing-masing mazhab hanya memiliki  satu orang guru, dan tiap-tiap mazhab memiliki 75 orang ahli fiqh, kesemuanya berjumlah 300 ahli fiqh. Mereka mendapat subsidi bulanan, makanan, dan pelayanan kesehatan. Di sekolah itu dibangun kamar mandi khusus, ruang penyimpanan makanan dan minuman.
Untuk contoh pengelolaan dan pendistubisiannya, Makdisi menguraikan penjelasan mengenai hal ini dalam bukunya The Rise College :
The Shamiya College of Law Intra-Muros

The waqf instument of this Shafi'i madrasa instructed the mutawalli to distribute the income by seeing first to the needs of the college: oil, lamps, carpets, rugs, trellises, candles, and whatever else was necessary. the remainder of the income had to be devided among the stipendiaries each according to his worth as determined at the discretion of the mutawalli after he allotted himself ten percent, and after 500 (dirhems) were set aside annually for apricots, watermelon, sweetmeats for the night of mid-ramadan. he could further increase the number of shafi'i working (mushtaghilun) fellows and scholars, or decrease them in accordance with the increase or decrease of the endowment income. when the endowment income increased, the mutawalli had the option of increasing the number of these scholars and fellows, or of distributing the increase among those entitled to receive the income. therefore the number of students was not a constant in this institution, but rather depended on the revenues and on the discretion of the mutawalli.

Makdisi menyatakan distribusi wakaf pada Madrasah Syafi'i yang pertama harus melihat kebutuhan perguruan tinggi, seperti : minyak, lampu, karpet, permadani, teralis, lilin, dan apa pun yang diperlukan. 500 dirham         ( Rp.15.000.000*/Rp. 106.966.500’) yang disisihkan setiap tahun untuk aprikot, semangka, jalebi untuk malam pertengahan ramadhan, dan kemudian dibagi kepada orang yang sesuai dengan kelayakannya sebagaimana yang ditentukan oleh mutawalli. Seorang mutawalli berhak meningkatkan bahkan menurunkan pendapatan semua, tergantung hasil wakaf.
Kemudian,  Makdisi menguraikan pembagian gaji di Universitas Qur’an Hadits Tankiziya, yaitu ; Professor of Koranic Science and Imam : 120 dirham (Rp.3.600.000*/Rp.25.671.960’). Professors of Hadith  : 50 dirham (Rp. 1.500.000*/Rp.10.696.650), Students of the Koran and Students of hadith : 7-50 dirham (Rp. 210.000-Rp.1.500.000.*/ Rp.1.497.531-Rp.10.696.650’),  Attendance Keeper : 10 dirham (Rp.300.000*/Rp.2.139.330.’) , The Muazzin- The Gatekeeper - The Supervisor of Finances - The Bookkeeper – and Superintendent -  The Deputy-Mutawalli: masing-masing 40 dirham (Rp.1.200.000*/Rp.8.557.320’), The Custodian : 30 dirham (Rp. 900.000*/Rp.6.417.990’), The Collector of Revenues : 50 dirham (Rp. 1.500.000*/Rp.10.696.650’), The Notary of the Construction Contract -  the Foreman of Construction : 20 dirham (Rp. 600.000*/Rp.4.278.660’), the Master-Masons : 15 dirham (Rp. 450.000*/Rp.3.208.995), The Mutawalli : 100 dirham (Rp. 3.000.000*/Rp.21.393.300’)
Abdul Mukti (2007:181) menuliskan :
Pembangunan Madrasah Nizhamiyah menelan dana dalam jumlah cukup besar. Muhammad Abduh, tokoh pembaharuan pendidikan Islam berkebangsaan Mesir, mencatat bahwa  Nizham al-Mulk telah menghabiskan dana sebanyak  200.000 dinar ( 3 Triliyun */ Rp. 42.786.600.000.’) untuk biaya pembangunan Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang keseluruhannya berasal dari pembendaharaan negara. Ia menambahkan bahwa Nizham al-Mulk juga telah memberikan wakaf yang menghasilkan 15.000 dinar setiap tahunnya yang digunakan untuk kepentingan biaya operasional pendidikannya yang jumlah keseluruhannya mencapai 60.000 dinar pertahun. Kekurangannya diambil dari anggaran belanja pendidikan. Adapun jumlah total dana yang dikeluarkan Menteri Nizham al-Mulk untuk biaya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran semua Madrasah Nizhamiyah sebesar 600.000 ribu dinar ( 9 Triliyun */ Rp. 128.359.800.000.’) pertahunnya.
G.           Prospek Waqf dalam Pendidikan Islam Modern
Pada pembahasan sebelumnya, kita sudah menguraikan hubungan erat
dan tak terpisahkan antara pendidikan Islam di masa klasik dari mulai berdirinya sampai mengalami perkembangan yang luar biasa dengan keberadaan waqf, di mana waqf memiliki kedudukan yang sangat penting untuk mendukung perkembangan ilmu pengetahuan , terkhusus dalam bidang pendidikan. Sejarah juga membuktikan banyaknya lembaga pendidikan dan instituti yang hidup dari sokongan dana waqf, jumlah dana waqf ini sangat menakjubkan  karena  mampu membiayai  seluruh  beban  pendidikan,  bahkan
Menggaji   pengajar  dan   memberikan   beasiswa   kepada   pelajar,  selain itu
terpenuhi kebutuhan hidup dan tempat tinggal. Akhirnya para pengajar dan pelajar dapat melakukan kegiatan pembelajaran dengan penuh konsentrasi, tanpa harus disibukkan dengan pemikiran terhadap pemenuhan kebutuhan hidup, dan hal ini menghantarkan pendidikan pada puncaknya yaitu lahirnya para ilmuan yang handal.
Bagaimana prospek waqf dalam pendidikan Islam modern ? maka cara menjawab yang tepat adalah kita harus mengetahui bentuk waqf apa yang dapat secara langsung menyentuh pendidikan, atau dengan kata lain bentuk waqf apa yang tepat sasaran untuk mendukung pendidikan ?
Sugianto dalam tulisannya Wakaf dan Pendidikan Islam Klasik, mengatakan : Masa depan pendidikan Islam disadari atau tidak, sangat bergantung pada kekuatan ekonomi yang melingkarinya, karena tidak dapat disangkal bahwa aktivitas pendidikan tidak lepas dari sokongan dana yang memadai untuk melakukan pengkajian dan penyelidikan ilmu pengetahuan. Bahkan kemerosotan pendidikan Islam yang saat ini sedang kita rasakan, diduga keras bahkan mungkin pasti karena kurangnya dana yang diberikan. 34
Lebih lanjut Sugianto mengatakan : Kalau kita cermati, sebenarnya perkembangan dan kemajuan pendidikan pada masa kejayaan Islam bukanlah berkat dukungan dana yang sangat besar dari pemerintah, tetapi kemajuan itu dikarenakan besarnya partisipasi masyarakat dalam mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam hal pendanaan. Dukungan pendanaan ini mereka wujudkan dalam bentuk wakaf. Wakaf inilah yang digunakan
kemudian untuk seluruh pembiayaan bagi kepentingan pengembangan dan kemajuan pendidikan di masa itu. 35
Kembali pada pertanyaan terhadap bentuk waqf yang produktif bagi perkembangan pendidikan. Maka sebelum menjawabnya akan diuraikan terlebih dahulu macam-macam wakaf. Mundzir Qahaf menerangkan bahwa waqf menjadi beberapa macam berdasarkan tujuan, batasan waktu, dan penggunaan barangnya 36. Penjelasannya sebagai berikut :
1.        Berdasarkan tujuannya, terbagi menjadi tiga macam :
a.       Wakaf sosial untuk kebaikan masyarakat (khairi), yaitu apabila tujuan wakafnya untuk kepentingan umum.
b.      Wakaf kluarga (dzurri) : yaitu apabila tujuan wakaf untuk memberi manfaat kepada wakif, keluarganya, keturunannya, dan orang-orang tertentu, tanpa melihat apakah kaya atau miskin, sakit atau sehat, dan tua atau muda.
34.  Lihat Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, h. 42
35.  Lihat Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, h. 43
36.  Lihat Mundzir Qahaf, Al-Waqf Al-Islami:  Tathawwuruhu Idaaratuhu wa Tanmiyyatuhu, Manajemen Wakaf Produktif  , h. 24-30
c.       Wakaf gabungan (musytarak), yaitu apabila tujuan wakafnya untuk umum dan keluarga secara bersamaan.
2.   Berdasarkan batasan waktunya, terbagi menjadi dua macam, yaitu :
a.       Wakaf abadi : apabila wakafnya berbentuk barang yang bersifat abadi, seperti tanah dan bangunan dengan tanahnya, atau barang yang brgerak yang ditentukan oleh wakif sebagai wakaf abadi dan produktif.
b.      Wakaf sementara : apabila barang yang diwakafkan berupa barang yang mudah rusak ketika dipergunakan tanpa memberi syarat untuk mengganti bagian yang rusak.
3.        Berdasarkan penggunaannya, wakaf dapat dibagi menjadi dua macam :
1.      Wakaf langsung, yaitu wakaf yag pokok barangnya digunakan untuk mencapai tujuannya, seperti masjid untuk shalat. Dll.
2.      Wakaf produktif, yaitu wakaf dan pokok barangnya digunakan untuk kegiatan produksi dan hasilnya diberikan untuk tujuan wakaf.

Dari penjelasan di atas, kita menemukan bahwa wakaf produktif adalah salah satu wakaf yang dilakukan berdasarkan penggunaannya dan kecendrungannya wakaf produktif lebih dekat kepada wakaf benda bergerak. Dengan alasan yang didasarkan kepada tabiat benda, yaitu  rusak dan punah.
Dalam hal ini Mazhab Syafi’i, memberikan pendapat bahwa wakaf bangunan, binatang, perabot rumah tangga dan senjata, hukumnya sah. Dan Mazhab Hanafi,  membolehkan  barang  bergerak boleh diwakafkan apabila
menyatu dengan tanah, dan hukumnya sah jika barangnya termasuk yang
dikenal dan dipergunakan manusia. Berkaitan dengan hal ini Direktorat Pemberdayaan Wakaf, menuliskan tentang benda-benda yang bergerak, yaitu :
1.      Wakaf hewan untuk diambil manfaatnya, antara lain :
a.       Kuda yang digunakan oleh para mujahidin untuk berjihad ; jika dianalogikan dengan masa sekarang adalah kenderaan yang diwakafkan
untuk kepentingan dakwah/pendidikan/umum.
b.        Sapi, diwakafkan untuk pelajar agar dapat dimanfaatkan seperti meminum susunya ataupun menjual anaknya untuk keperluan asrama.
c.         Domba, dapat diambil wall-nya.
d.        Ayam, burung, bebek, untuk diambil telurnya. Dan
e.         Hewan jantan, untuk pengembangbiakan melalui perkawinan hewan.
2.      Perlengkapan rumah ibadah
3.      Senjata
4.      Pakaian
5.      Buku
6.      Mushaf
7.      Uang, saham atau surat berharga lainnya
Dari keseluruhan benda waqf yang bergerak, waqf yang paling produktif adalah waqf dalam bentuk uang. Hal ini berdasarkan pemanfaatannya dapat dirasakan secara langsung serta digunakan dalam banyak hal, dan akhir-akhir ini di Indonesia sedang menggema dalam upaya menggalakkan bentuk wakaf baru dengan nama Wakaf Tunai (Cash Waqf). Sebenarnya,inti persoalan dalam Wakaf Tunai terletak pada objek wakafnya, yaitu uang. Karena itu terjemahannya yang lebih tepat adalah Wakaf Uang. Namun, masalah ini menimbulkan beberapa pendapat, yaitu :
a.       Az-Zhuhri (wafat tahun 124 H). Imam Bukhari (wafat tahun 252 H) menyebutkan bahwa Imam Az-Zuhri berpendapat boleh mewakafkan dinar dan dirham. Caranya ialah menjadikan dinar dan dirham tersebut sebagai modal usaha (dagang), kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.
b.      Dr. Az-Zuhaili juga menyebutkan bahwa mazhab Hanafi memperbolehkannya sebagai pengecualian karena sudah banyak dilakukan masyarakat.
c.       Al-Bakri mengemukakan pendapat mazhab Syafi’i tentang wakaf uang, yaitu tidak boleh. Karena dinar dan dirham akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada wujudnya. 37
Dalam hal ini, permasalahan yang sebenarnya adalah masalah wujud uang itu   setelah   digunakan   apakah   masih   seperti   semula,   terpelihara,    dan menghasilkan lagi dalam masa yang lama ? Maka jawaban disampaikan menurut perhitungan dan perkiraan ekonomi, sebaiknya wakaf uang dilakukan dengan cara menjadikannya sebagai modal usaha, sehingga wujud uang dapat terpelihara dan tersimpan di lembaga Syari’ah, dan keuntungannya dapat disalurkan sebagai wakaf.
32.       Lihat Direktorat Pemberdayaan Wakaf, h. 42-45
Dari paparan di atas, salah satu bentuk waqf yang produktif saat ini dan diperlukan adalah Wakaf Uang, hal ini sudah dilakukan oleh ahli ekonomi Islam Bangladesh, Prof . Abdul Mannan, ia mendirikan Islamic Social Investment Bank of Bangladesh. Dengan wakaf tunai , ia dapat menghimpun dana dalam jumlah besar  digunakan untuk investasi, dalam proyek komersial dan sosial, seperti sekolah, rumah sakit,dan panti asuhan.
Sugianto kembali memberikan pernyataan : Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim, yang jumlahnya tidak kurang dari 190 juta umat Islam. Kalau 10 juta orang dari jumlah ini mau berwakaf masing-masing 200 ribu/tahun, maka tidak kurang 2 triliun dana akan terkumpul dalam satu tahun. Dana ini kemudian dikelola dengan professional, didepositokan disalah satu bank misalnya dengan bagi hasil 9 persen, maka tahun kedua dana tersebut akan bertambah senilai 180 milyar. Dengan demikian dua tahun pertama akan terkumpul dana wakaf tidak kurang dari 4,2 triliun, dan ini merupakan potensi yang luar biasa bagi umat Islam Indonesia yang seharusnya respond an dikembangkan. Hal ini dapat terwujud jika kita mampu mengatur dan mengkondisikan lembaga-lembaga ini serta mendorong masyarakat, khususnya para dermawan dan orang-orang kaya di negeri ini untuk mengeluarkan harta mereka bukan hanya untuk kepentingan peribadahan tetapi juga untuk pendanaan pendidikan. 38
Apa yang dinyatakan oleh Sugianto, bisa terwujud jika pengetahuan masyarakat tentang wakaf dan fungsinya lebih baik dari saat ini. Karena selama ini, masyarakat hanya membatasi diri dengan mewakafkan hartanya untuk kepentingan peribadatan dan fasilitas sosial saja, sementara untuk masalah pendidikan kurang mendapat perhatian.
M. Yasir Nasution dalam tulisannya Rekonstruksi Fiqh Waqf Berwawasan Ekonomi Syari’ah, beliau mengatakan ; Wakaf dalam bentuk uang tunai memiliki beberapa keuntungan; antara lain terbukanya secara luas kesempatan berwakaf kepada semua orang sesuai dengan kemampuan dan keikhlasannya.   Seseorang   tidak   harus  mempunyai sebidang tanah atau
38.       Lihat Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, h. 43
sejumlah modal mendirikan bangunan untuk bisa berwakaf. Di samping itu ada keleluasaan dalam akumulasi harta wakaf dan dalam pilihan penggunaan yang lebih sesuai dengan kebutuhan real ummat. Namun demikian sifat keabadian  status tetap menjadi karakteristik wakaf yang tidak dapat di obah, karena telah ditegaskan bahwa harta wakaf tidak boleh diperjualbelikan, dihibahkan,dan diwariskan. 39
Maka sebenarnya prospek waqf dalam pendidikan Islam, adalah sangat positif, dan tentulah harus dikelola secara professional untuk peningkatan kualitas dan kemajuan pendidikan Islam di masa depan.
Untuk itu, M. Dawam Rahardjo dalam tulisannya, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produktif, ia mengungkapkan : Salah satu gagasan yang muncul akhir-akhir ini adalah membentuk dua lembaga nasional, yaitu pertama Institute Wakaf Indonesia (IWI) dan kedua, Lembaga Wakaf Nasional (LWN). IWI berfungsi  mengembangkan konsep-konsep wakaf dalam system ekonomi syari’ah, dan penyiapan SDM dan pengembangan (realisasi) wakaf itu sendiri dalam masyarakat. Sedangkan LWN adalah pusat pengelolaan wakaf dengan cabang-cabangnya di tingkat kabupaten dan desa… LWN ini perlu didukung oleh sebiah bank kustodian, yang merupakan bank syari’ah, misalnya ditunjuk Bank Muamalat Indonesia (BMI) . 40
Di akhir tulisan ini, ada hal yang sangat menarik yang terdapat dalam bukunya Mundzir Qahaf, ia menuliskan tentang wakaf baru yang muncul karena tujuan tertentu, yang terbagi kepada empat macam 41, yaitu :
a.         Bertujuan mengembangkan modal wakaf
Apabila wakif ingin mengembangkan harta terlebih dahulu sebelum menyalurkan hasilnya kepada orang-orang yang berhak atas wakaf, maka dalamakta wakafnya wakif menyatakan bahwa hasil investasi wakafnya tidak diambil selama beberapa tahun dan disatukan dengan modal. Dalam hal ini, pengembangan modal disatukan dengan tujuan kebaikan lainnya dalam hal menyalurkan hasil dari wakaf tersebut setelah satu tahun pertama.
 

39.  Lihat Azhari Akmal Tarigan & Agustianto (Ed), Wakaf Produktif: Pemberdayaan Ekonomi Umat, h. 78
40.  Ibid, h. 66
41.  Lihat Mundzir Qahaf, Al-Waqf Al-Islami:  Tathawwuruhu Idaaratuhu wa Tanmiyyatuhu, Manajemen Wakaf Produktif  , h. 212-215
b.        Wakaf jaminan pendapatan berkala bagi yang berhak atas wakaf jangka waktu tertentu.

Wakaf ini bertujuan untuk menambah jumlah tertentu terhadap harta dalam jangka waktu tertentu. Hal ini bisa dilakukan dengan cara wakif membuat pernyataan bahwa ia memberikan hasil pokok investasi atau produksinya sebagai wakaf dalam jangka waktu tertentu, setelah itu harta menjadi milik wakif.

c.         Bertujuan untuk melakukan pembayaran yang sama dalam waktu jangka tertentu.
Wakaf ini bertujuan untuk menjamin pembayaran yang sama bagi orang-orang yang berhak atas manfaat wakaf dan berakhir dengan kerusakan yang terjadi pada wakaf.

d.        Wakaf hari tua dan warisan.
Banyaknya berbagai macam pajak dan ketatnya hukum pajak, melahirkan berbagai bentuk wakaf keluarga yang sengaja dibentuk untuk menghindari beban pajak, melalui perencanaan keuangan yang matang dan sesuai.  Maka tujuan dari wakaf ini adalah jaminan pendapatan yang layak di hari tua dan kemungkinan dapat ditinggalkan sebagai warisan bagi keturunan selanjutnya.

                                                                 



















SIMPULAN


            Waqf adalah menahan suatu benda yang kekal zat nya dan dapat diambil manfaatnya,  diberikan untuk kemaslahatan umat dan digunakan untuk kebaikan. Walaupun wakaf tidak terdapat secara jelas dalam Al-Qur’an, akan tetapi  para ulama sepakat untuk memberikan pengertian yang sama antara waqf dan shadaqah jariyah, dengan mengemukakan nash Al-Qur’an dan hadist.
            Pengelolaan waqf dilakukan oleh seorang nazir. Nazir bertugas sebagai penanggungjawab terhadap pengelolaan dan pemeliharaan waqf yang boleh diangkat langsung oleh wakif atau hakim jika wakif tidak menentukannya, untuk memenuhi kebutuhannyaa, nazir dibolehkan untuk mengambil manfaat dari harta waqf sesuai dengan ketentuan dari wakif atau hakim.
            Motivasi dalam pemberian waqf bukan saja murni karena ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt yang didasari kesadaran atas nikmat dan rasa syukur yang mendalam, tetapi juga karena untuk mencari kehormatan dan popularitas, pada masa Islam klasik terdapat motivasi lain seperti untuk melindungi harta dari kecurigaan pemerintah atau melepaskan diri dari pajak dan penyitaan.
Selanjutnya berkenaan dengan masalah waqf sebagai pendukung finansial pelaksanaan pendidikan Islam klasik, menempatkan peran besar waqf yang berfungsi sebagai pendukung finansial, terhadap pelaksanaan pendidikan pada masa Islam klasik terlihat adanya hubungan yang sangat jelas. Kebutuhan dalam dunia pendidikan pada masa itu, terpenuhi secara baik oleh waqf. Kebutuhan yang dipenuhi meliputi seluruh unsur pendidikan, baik itu pengadaan gedung pendidikan, fasilitas lain yang mendukung majunya pengetahuan, seperti perpustakaan, gaji bagi pengajar dan beasiswa bagi pelajar, sampai kepada penyediaan asrama bagi pelajar dari luar daerah. Gambaran yang luar biasa pada masa ini adalah para pelajar mendapat hak istimewa, yaitu mereka hanya fokus belajar saja  tanpa  memikirkan  biayanya, 
Prospek waqf dalam pendidikan Islam, adalah sangat positif, apabila masyarakat mendukung dengan terjadinya perubahan pola piker terhadap fungsi waqf yang selama ini hanya terbatas pada masalah peribadatan saja. dan harus dikelola secara professional dalam rangka kemajuan pendidikan Islam di masa depan
Lampiran  1  :
Depok, 07 April 2009

Stabilitas Harga Dalam Dinar Dirham
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara

Dengan sering terjadinya transaksi dengan dinar emas atau dirham perak timbul persoalan cara penetapan harga barang dan jasa. Untuk sementara nilai yang tak bulat selisihnya dibayar dengan rupiah.

Dalam masa transisi saat ini, dengan berlakunya dua jenis alat tukar, yakni mata uang kertas dan dinar dirham, secara spontan kita memang masih akan berpikir dalam kaca mata uang kertas. Dalam menakar harga atau nilai suatu barang dan jasa pertama-tama kita masih akan merujuk kepada harga dan nilainya dalam rupiah (atau mata uang kertas lainnya), baru dikonversi ke dalam nilai dinar atau dirham. Maka, angkanya tidak selalu pas bulat, tapi berselisih. Sebagai contoh harga tiga loyang kue yang harganya @ Rp 50.000/loyang bila dibayar dengan khamsa (dengan nilai tukar saat ini sekitar Rp 146.000) perlu ditambah dengan uang kertas Rp 4.000. Begitu sebaliknya, bila harganya di bawah nilai dinar atau dirham, maka diberikan kembalian dalam uang kertas.

Dengan berlalunya waktu dan semakin terbiasanya kita bertransaksi dalam dinar atau dirham dengan sendirinya cara penetapan nilai akan langsung dikaitkan dengan dinar dan dirham. Inilah cara yang sesuai dengan fitrah, ketika nilai dan harga barang serta jasa, didasarkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, pertemuan pasokan dan permintaan. Dengan uang kertas hukum pasar tidak berjalan, karena nilai sesuatu telah dirusak oleh nilai nominal uang kertas, yang dipaksakan oleh hukum negara. Dengan dinar dan dirham maka pertukaran barang atau jasa akan terjadi bersesuaian dengan nilai tukar suatu komoditas (atau jasa) tersebut dengan nilai tukar komoditas lain yang digunakan sebagai alat tukar, dalam hal ini (dinar) emas dan (dirham) perak. Sambil kita berproses kembali menuju mekanisme fitrah ini, ada baiknya kita merujuk kembali pada pengalaman empiris di berbagai tempat dan waktu, dengan sejumlah contoh komoditas dan jasa dalam ukuran dinar emas atau dirham perak. Contoh dan bukti paling otentik yang bisa kita temukan, tentu saja, adalah dari hadits Rasulullah SAW sendiri, yang menginformasikan pada kita bahwa harga seekor kambing di Madinah, di abad ke 7 M, adalah 0.5-1 dinar. Dari riwayat lain, dari Umar bin Khattab, kita mengetahui bahwa harga seekor ayam, juga di Madinah, adalah 1 dirham. Informasi lain yang bisa didapat adalah Khalifah Umar bin Khatab memberikan upah seorang guru, di Madinah, sebesar 4 dinar/bulan.

Bagaimana dengan barang atau jasa yang lain, di tempat berbeda, di masa-masa sesudahnya? Semakin banyak dokumen sejarah yang kita buka akan semakin banyak pula informasi yang dapat kita peroleh dalam soal nilai tukar dinar dan dirham ini. Sekadar sebagai contoh di sini disajikan beberapa jenis komoditas dan jasa dalam dua rentang waktu berbeda, yakni di zaman Mamluk (abak ke-14 M) dan zaman Utsmani pertengahan (abad ke-16 M). Di zaman Mamluk, di ibukota Kairo, misalnya, pada tahun 1382 M, harga 1 irdabb (96 mud, 24 gantang, sekitar 49 liter) kacang polong adalah 22 dirham, 1 irdabb tepung terigu adalah 30 dirham, 1 ratl (sekitar 0.5 kg) roti adalah 0.5 dirham, dan 1 ratl daging sapi adalah 4/5 - 2 dirham.

Kita beralih ke Damaskus dan wilayah Utsmani lainnya, pada tahun 1539, untuk tingkat upah beberapa jenis jasa. Upah seorang teknisi dengan pekerjaan merawat saluran dan kran-kran air adalah 3 dirham/hari. Upah seorang guru sekolah kanak-kanak adalah 5 dirham/hari. Pegawai klerikal rendahan, seperti sekretaris atau kasir, mendapatkan upah 2 dirham/hari, tingkat upah yang sama dengan yang diterima oleh asisten juru masak, petugas gudang, dan muazin. Seorang kuli pengangkut barang-barang di madrasah dibayar 1 dirham/hari. Para khatib dan imam di masjid-masjid mendapat imbalan setara dengan seorang guru sekolah dasar, yakni 5 dirham/hari. Beberapa pegawai klerikal menengah, seperti sekretaris tinggi dan petugas pengelola wakaf, memperoleh upah sebesar 6 dirham/hari.
Tabel 1. Informasi Harga Barang dan Jasa dalam Dinar dan Dirham
Tempat
Waktu
Barang/Jasa
Nilai
Konversi
(Rp/ Maret09)
Madinah
630-640-an M
Kambing

Ayam
Upah Guru
0.5-1 dinar

1 dirham
4 dinar/bulan
Rp 0.75 juta  
Rp 1.5 juta
Rp 30.000
Rp 6 juta
Kairo
1382 M
Kacang Polong
Tepung Terigu
Roti
Daging Sapi
0.45 dirham/liter
0.6 dirham/liter
0.5 dirham/0.5 kg
4/5-2 dirham/0.5kg
Rp 12.500
Rp 17.500
Rp 15.000
Rp 22.500 –
Rp 56.000
Damas-kus
1539
Teknisi
Pegawai menengah
Guru, Imam, Khatib
Kuli
3 dirham/hari

2 dirham/hari

5 dirham/hari
1 dirham/hari
Rp 90.000

Rp 60.000

Rp 150.000
Rp 30.000

Dari data-data di atas dapat kita perkirakan bahwa upah rata-rata pegawai menengah pada abad ke -16 di Damaskus adalah 2 dirham, atau setara Rp 60.000 per hari, setara sekitar Rp 1.8 juta/bulan, hampir dua kali lipat rata-rata UMR (Upah Minimum Regional) di Jabodetabek saat ini. Sementara upah guru di Madinah adalah 4 dinar setara Rp 6 juta saat ini, atau 5 dirham di Damaskus setara Rp 150.000/hari, atau Rp 4.5 juta per bulan. Daging sapi di Kairo 4/5-2 dirham/0.5 kg, setara Rp 45.000-Rp 110.000/kg.

Lampiran 2 :

Artikel

 

Rasio Perbandingan Dinar dan Dirham

http://outletdinar.com/artikel/rasio-perbandingan-dinar-dan-dirham.html

 

Khamsa Dirham Perak

Untuk memberikan gambaran dari sisi lain terkait rasio perbandingan emas dan perak, maka kami juga mencoba menguraikan rasio (nisbah) perbandingan nilai dinar dan dirham sejak masa rasulullah sampai hari ini.

Seperti yang kita ketahui, dinar dan dirham dihadirkan berpasangan sebagai penakar nilai yang adil dan stabil. Dalam banyak riwayat kita mengetahui bahwa di zaman rasulullah seekor kambing yang baik dapat dibeli dengan 1 dinar, pun sampai hari ini 1 dinar (sekitar 1.8jt pada 16/4/11) tetap mampu digunakan untuk membeli seekor kambing yang baik.

Dalam riwayat yang lain, kita juga mengetahui bahwa di zaman rasulullah 1 dirham mampu untuk membeli seekor ayam yang baik, begitupun sampai hari ini dengan 1 dirham (72rb) kita masih mampu membeli ayam yang baik.

Secara syar’i nisbahnya juga telah ditetapkan pada angka 7:10 dalam berat; yakni 4.25gr untuk dinar emas dan 2.975gr untuk dirham perak. Lalu, bagaimana dengan rasio dinar dan dirham dalam nilai? Tidak ada ketentuan yang menetapkannya, bergantung pada permintaan dan penawaran pasar. Namun kita bisa mencoba menelisik pada sejarahnya.

Pada zaman ketika rasululullah SAW masih hidup, perbandingan dinar dan dirham adalah 1:10. Rasio ini juga dipakai sebagai rasio nisab zakat, yakni 20 dinar dan 200 dirham. Rasio nisab zakat ini tidak berubah sampai sekarang, meskipun rasio nilai dinar dan dirham berubah-ubah.

Imam Malik, dalam kitabnya Al Muwatta, menyebutkan rasio dinar dan dirham berubah sampai angka 1:12. Pada abad ke 14, rasio ini juga berubah menjadi 1:24.
Dan jika berhitung pada hari ini, rasio dinar dan dirham terentang pada angka 1:34 s/d 1:26. Alhamdulillah rasio angkanya makin mengecil, meskipun masih jauh dari rasio yang pernah ditetapkan pada masa hidup rasulullah.

Terus apa makna dari rasio nilai dinar dan dirham yang masih cukup besar hari ini? Agak jelas menunjukkan bahwa dirham perak masih mengalami under value. Jika menilik sejarah dan fitrahnya, maka rasio nilai dinar emas dan dirham perak ini akan terus mengecil, yang berarti nilai dirham perak akan terus membesar mengejar ketertinggalannya terhadap dinar emas.

Hal ini juga sesuai fitrahnya di alam, bahwa emas dan perak ditemukan secara bersamaan dengan kadar sekitar 1:12. Maka sungguh luar biasa ketika rasulullah SAW menetapkan nisbah nisab zakat dinar dan dirham pada angka 1:10, angka perbandingan yang tidak jauh dari fitrahnya penemuan emas dan perak di alam raya.
Jadi dengan menelaah sejarah angka-angka rasio perbandingan nilai dinar dan dirham serta kemudian membandingkannya dengan fakta angka rasio hari ini, maka insyaAllah rasio nilai dinar dan dirham ini akan terus mengecil yang berarti nilai dirham perak akan terus membesar. Wallahu’alam.



































DAFTAR PUSTAKA


Abdul Mukti, (2007), Konstruksi Pendidikan Islam; Belajar dari Kejayaan Madrasah Nizhamiyah Dinasti Saljuq, Bandung, Cita Pustaka Media.

Achmad Djunaidi et.all, (2007), Menuju Era Wakaf Produktif, Depok, Mumtaz Publishing.

Ahmad Syalabi, (1973), Tarikh Tarbiyah Islamiyah , Sejarah Pendidikan Islam, Mukhtar Yahya dan Sanusi Latif,   Jakarta, Bulan Bintang.

Asnil Aida Ritonga (Editor) , (2008), Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, Bandung, Citapustaka Media Perintis.

Azhari Akmal Tarigan & Agustianto (Ed), (2004), Wakaf Peoduktif: Pemberdayaan Ekonomi Umat, Medan, IAIN-Press.

Direktorat Pemberdayaan Wakaf, (2007), Fiqih Wakaf, Jakarta, Depag RI.

Goerge Makdisi, (1981), The Rise of Colleges:Institutions of Learnng in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Hasan Asari, (2007), Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Bandung, Citapustaka Media Perintis.

Hasan Asari, (2007), Modernisasi Islam: Tokoh, Gagasan, dan Gerakan, Bandung, Citapustaka Media.

Kementrian Urusan Agama Islam, (1990), Al-Qur’an Dan Terjemahan , Arab Saudi, Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at Al-Mush-haf.

Lajnah Ilmiyyah bi Ma’had al-Aimmah wa al-Khutaba, (1998), Al-Fihu al-Muyyassar, Fiqih Praktis, Nabhani Idris, Jakarta, WAMY.

Muhammad Jawad Mughniyah,  (2010), al-Fiqh ‘ala al-Mazhabib al- Khamsah atau Fiqh Lima Mazhab, Jakarta, Lentera.

Mundzir Qahaf, (2008), Al-Waqf Al-Islami:  Tathawwuruhu Idaaratuhu wa Tanmiyyatuhu, Manajemen Wakaf Produktif, Muhyidin Mas Rido, Jakarta, Khalifa.

Sayyid Sabiq, (2007), Fiqhus Sunnah, Fiqih Sunnah, Nur Hasanuddin, Jakarta, Pena Pundi Aksara..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar