PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
MUHAMMAD ABDUH
Zuraidah (Nim 10 PEDI 1818)
A.
Pendahuluan
Muhammad Abduh adalah seorang reformis, ia
lahir di lingkungan keluarga petani yang hidup sederhana, taat dan cinta ilmu
pengetahuan. Ayahnya bernama Muhammad
‘Abduh ibn Hasan Khairullah, ia bukan seorang bangsawan yang kaya tetapi cukup berwibawa dan
terhormat. Ibunya keturunan Arab yang silsilah sampai kepada Umar ibn
Khathab.
Guru pertamanya adalah sang ayah, yang
mengajarinya membaca, menulis, dan menghafal Al-Quran. Hanya dalam jangka waktu
2 tahun diumur 12 tahun. Ia telah menghafal seluruh ayat Al-qur’an.
Sejarah mencatat perjalanan panjang
pendidikannya, saat ia menemukan kekurangan dan merasakan putus asa, ia bertemu
dengan orang yang tepat yaitu Syekh Darwiys Khadr, sebelum ia berangkat ke Kairo, dan bertemu
dengan Jamaluddin al-Afghani, setelah ia belajar di al-Azhar.
Muhammad Abduh dalam sejarah pendidikan, termasuk salah satu pembaharu
yang harum namanya dan memiliki pengaruh besar di dunia Islam karena reformasi
pendidikan yang dilakukannya. Bukan saja melahirkan ide-ide cemerlang dalam
dunia pendidikan, Muhammad Abduh juga dikenal pembaharu agama yang menyerukan
umat
Islam untuk kembali kepada Al Quran dan As- Sunnah, dan pembaharu pergerakan,
bersama Jamaludin al-Afgani menerbitkan majalah al’Urwatul Wutsqa di Paris yang
makalah-makalahnya menghembuskan semangat nasionalisme pada rakyat Mesir dan
dunia Islam pada umumnya.
Rintangan dan hambatan bukanlah halangan
baginya untuk menghantarkan pembaharuan pemikiran dalam pendidikan Islam pada
tempat yang layak, dan pada makalah ini akan diuraikan tentang perjalanan hidup
seorang Muhammad Abduh dari seorang biasa dalam belajar sampai mendapat gelar
Mufti di Mesir, dengan segala kesulitan yang ia temukan dan sampai keberhasilan
yang diperolehnya.
B.
Sejarah
Hidup Muhammad Abduh dan Pemikirannya
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1848 M/
1265 H disebuah desa di Propinsi
Gharbiyyah Mesir Hilir. Ayahnya
bernama Muhammad ‘Abduh ibn Hasan Khairullah. Abduh lahir dillingkungan
keluarga petani yang hidup sederhana, taat dan cinta ilmu pengetahuan. Orang
tuanya berasal dari kota Mahallaj Nashr. 1
Ayahnya bukan seorang bangsawan yang kaya tetapi cukup berwibawa dan
terhormat. Ibunya keturunan Arab yang silsilah sampai
kepada Umar ibn Khathab. Kakek Muhammad Abduh diketahui turut menentang
pemerintahan Muhammad Ali. Kenyataan itu dituduhkan pula kepada Abdul
Khairullah, ayah Muhammad Abduh. Karena tuduhan itu ayahnya sempat dipenjara
untuk beberapa lama, sebelum ia menetap di al-Gharibiah dan mengikat tali
perkawinan dengan ibu Muhammad Abduh. 2
Abduh mengawali pendidikannya dengan
berguru pada ayahnya di rumah. Pelajaran pertama yang diperolehnya adalah
membaca, menulis, dan menghafal Al-Quran. Hanya dalam jangka waktu 2 tahun. Ia
telah menghafal seluruh ayat Al-qur’an. Kemudian, pada usia 14 tahun ia dikirim
ayah ke Tanta untuk belajar di mesjid al-Ahmadi fikih. 3
Di tempat ini ia mengikuti pelajaran yang diberikan dengan rasa tidak
puas, bahkan membawanya pada rasa putus asa untuk mendapatkan ilmu. Ia tidak
puas dengan metode pengajaran yang diterapkan yang mementingkan hafalan tanpa
pengertian bahkan ia berpikir lebih baik tidak belajar dari pada menghabiskan
waktu menghafal istilah-istilah nahu dan fikih yang tidak dipahaminya, sehingga
ia kembali ke Mahallat nashr ( kampungnya ) dan hidup sebagai petani serta
melangsungkan pernikahan dalam usia 16 tahun. 4
Keputusan Muhammad Abduh untuk meninggalkan dunia pendidikan tidak
disetujui oleh orangtuanya. Maka dengan terpaksa ia kembali ke Thanta. Namun,
dalam di tengah perjalanannya ia merubah arah tujuannya. Ia bukannya ke Thanta, melainkan ke sebuah desa yang bernama Kanisah
1
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam:Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta,
Kencana, 2009) h .240
2
Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah,
(Bandung, Citapustaka Media Perintis, 2008) h. 124
3
A. Bakir Ihsan, Ensiklopedia Islam Jilid I, Jakarta, PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005) h.13
4
Lihat Samsul Nizar, h. 240.
Urin, di sana tinggal pamannya yang
bernama Syekh Darwisy Khadr. Syekh
Darwiys Khadr adalah seorang alim
yang banyak melakukan perjalanan ke luar Mesir, belajar berbagai macam ilmu
agama, dan sangat perhatian dengan bidang tafsir Al-Qur’an.
Darwisy Khadr berhasil
memotivasi Muhammad Abduh kembali membaca buku. Ia berusaha membantu Muhammad
Abduh memahami apa-apa yang dibaacanya. Atas bantuan pamannya itu, ia akhirnya
mengerti apa yang dibaca. Sejak saat itulah minat bacanya mulai tumbuh dan ia
berusaha membaca buku-buku secara mendiri. Istilah-istilah yang tidak
dipahaminya ia tanyakan kepada Darwisy Khadr. Dengan demikian dapatlah
ditegaskan bahwa sebab utama ia meninggalkan pelajaran pada waktu
sebelumnya adalah karena rendahnya minat
untuk belajar. 5
Setelah ia mengalami banyak perubahan dan kemajuan dalam
pemahaman, di samping itu Muhammad Abduh menjadi tempat bertanya bagi
teman-temannya. Ia tertarik untuk mengadakan perjalanan dalam rangka meningkatkan
keilmuannya, dengan cara meninggalkan Thanta dan menuju Kairo pada tahun 1866.
Akan tetapi kondisi al-Azhar pada saat itu, terbelakang
dan jumud. Karena segala sesuatu yang berlawanan dengan kebiasaan al-Azhar adalah
perbuatan kafir, seperti membaca buku geografi, filsafat, dan jenis-jenis buku
umum hukumnya haram, bahkan memakai sepatu merupakan bid’ah. Kemudian ia juga
menemukan metode yang sama dengan Thanta, yang membuat Muhammad Abduh kembali
kecewa.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Muhammad
Abduh mempelajari ilmu filsafat, ilmu ukur, soal-soal dunia dan politik dari
seorang intelektual bernama Hasan Tawil. Tetapi pelajaran yang diberikan Hasan
Tawil pun kurang memuaskan diriya. Pelajaran yang diterimanya di al-Azhar juga
kurang menarik perhatiannya. Ia lebih suka membaca buku di perpustakaan
al-Azhar. Kepuasan Muhammad Abduh mempelajari matematika, etika, politik,
filsafat, ia peroleh dari Jamaluddin al-Afghani.
5
Lihat Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, h. 125
Pada tahun 1877 ia menempuh ujian
untuk mencapai gelar al-Alim. Ia lulus dengan predikat baik. Setelah lulus ia
mengajar di al-Azhar, di Dar al-Ulum dan rumahnya sendiri. 6
Ketika pada 1296 H/1879 M, Jamaluddin Al-Afghani dideportasi dari Mesir,
Muhammad Abduh dipecat dari jabatannya sebagai guru. Abduh pun memutuskan untuk
kembali ke desanya. Hingga akhirnya Riyadh Pasha mengeluarkan surat yang berisi
tentang kebersihan Muhammad Abduh. Setelah itu Muhammad Abduh menjadi pemimpin
redaksi surat kabar Al-Waqai
Al-Mishriyyah. Di dalam surat kabar itulah Muhammad Abduh menyebarkan
pemikiran-pemikirannya. 7
Muhammad Abduh, atas pengaruh gurunya Jamaluddin Al-Afghani juga terlibat dalam kegiatan politik paktis.
Ia pernah terlibat dalam peristiwa “Urabi tahun 1881”. Peristiwa itu
mengakibatkan ia tertangkap pada tahun 1882 ia dibuang ke Syiria. Di masa
pengasingan itu, Afghani mengundang Abduh untuk datang ke Paris dan di sinilah
Afghani dan Abduh menyusun gerakan al-Urwat
al-Wutsqa, yakni gerakan kesadaran umat Islam sedunia. Tujuan gerakan ini
adalah untuk membangkitkan semangat perjuangan seluruh umat Islam dalam
menentang ekspansi Eropa ke dunia Islam. 8 Karena dianggap
berbahaya, majalah ini hanya sampai 18 nomor penerbitan saja dan untuk berikutnya majalah ini dilarang
terbit oleh Pemerintah Prancis.
Setelah majalah al-‘Urwah
al-Wutsqa tidak
terbit lagi, Muhammad Abduh mulai bosan dengan gerakan politik. Dia pun mulai
memiliki keinginan untuk melakukan perubahan melalui pendidikan dan pembaruan
pemikiran umat Islam. Abduh pun meninggalkan Al-Afghani dan kembali ke Beirut
sebagai guru Madrasah Sulthaniyyah. Dia pun menjadi penafsir Al-Qur’an di
Masjid Umari, penulis, dan editor (muhaqqiq),
dan buku-buku Turats.
Di sinilah titik awal
perubahan Muhammad Abduh, ia memilih
memusatkan
perhatiannya pada pembaharuan
melalui pemikiran dan
6
Lihat Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, h. 126
7
Arif Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam, (Bandung, Mizan Media Utama, 2010) h .335
8
Lihat Asnil Aida Ritonga (Editor)
, Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus
Sejarah, h. 126
pendidikan, sedangkan gurunya Jamaluddin al-Afghani tetap fokus pada
pembaharuan melalui pergerakan politik.
Pada
tahun 1306 H/1889 M, Muhammad Abduh kembali lagi ke Mesir dan sibuk di
pengadilan. Pada tahun 1891, Muhamad Abduh bekerja sebagai konsultan (mustasyar) di pengadilan banding (mahkamah isti’naf). Kemudian, dia
menduduki jabatan mufti Mesir pada 1317 H.1899 M. Lalu pada 1318 H/1900 M. dia
mendirikan Jam’iyyah Ihya’ Al-Kutub
Al-‘Arabiyyah. 9
Pembaharuan yang kedua
yang dilakukannya sebagai mufti di tahun 1899 menggantikan Syekh Hasanuddin
al-Nadawi. Usaha yang pertama yang dilakukannya di sini adalah memperbaiki
pandangan masyarakat bahkan pandangan mufti sendiri tentang kedudukan mereka
sebagai hakim. Mufti-mufti sebelumnya berpandangan, sebagai mufti bertugas sebagai
penasehat hukum bagi kepentingan Negara. Di luar itu seakan melepaskan diri
dari orang yang mencari kepastian hukum. Mufti baginya bukan hanya berkhidmat
kepada Negara, tetap juga pada masyarakat luas. Dengan demikian, kehadiran
Muhammad Abduh tidak hanya dibutuhkan oleh Negara tetapi juga oleh masyarakat
luas. 10
Pembaharuan yang ketiga
yang dilakukannya ialah dibuktikan dengan dididirikannya organisasi sosial yang
bernama al-Jami’at al-Khairiyyah al-Islamiyyah pada tahun 1892. Organisasi
ini bertujuan untuk menyantuni fakir miskin dan anak yang tidak mampu dibiayai
oleh orangtuanya. Wakaf merupakan salah satu institusi yang tidak luput dari
perhatiannya, sehingga ia membentuk majelis administrasi wakaf sehingga ia
berhasil memperbaiki perangkat masjid. 11
Para pemerhati sejarah menyatakan ada beberapa corak pemikiran Muhammad
Abduh yang menjadi dasar baginya dalam melakukan pembaharuan, terkhusus di
bidang pendidikan.
1. Modernisasi 12
9.
Lihat Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam, h .336
10. Lihat
Samsul Nizar, h. 243
11. Lihat
Samsul Nizar, h. 244
12. Nurcholis
Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1989) h. 172
Dalam pembahasan sebelumnya telah
dinyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada Abduh tidak lain adalah karena
pengaruh besar dari seorang al-Afghani, ia berusaha untuk menarik benang merah
penyesuaian antara ajaran Islam dengan tuntutan zaman, seperti penyesuaian
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Gagasan penyesuaian ini disebut
dengan modernisasi yang juga berperan untuk menjauhkan pengaruh taqlid. Menurut
Muhammad Abduh, Al-Qur’an memerintahkan kepada ummatnya untuk menggunakan
akal sehat mereka, serta melarangnya mengikuti pendapat-pendapat terdahulu
tanpa mengikuti secara pasti hujjah-hujhah yang menguatkan pendapat tersebut.
Dalam hal ini, Abduh menetapkan tiga hal yang menjadi kriteria perbuatan taqlid
ini, yaitu, pertama, sikap yang
sangat berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan
para leluhur dan para guru. Kedua, Mengiktikadkan
keagungam para pemuka agama di masa silam,
yang seolah-olah mereka telah mencapai kesempurnaan. Ketiga, Perasaan takut dibenci orang dan dikritik bila ia melepaskan
fikirannya serta melatih dirinya untuk berpegang kepada apa yang dianggap benar
secara mutlak.
Muhammad Abduh menyikapi peradaban Barat
modern dengan selektif dan kritis. Dia senantiasa menggunakan prinsip ijtihad
sebagai metode utama untuk meretas kebekuan pemikiran kaum muslimin. Abduh
tidak pernah berfikir, apalagi berusaha untuk mengambil alih secara utuh segala
yang datang dari dunia Barat. Karena ia beranggapan apa bila itu dilakukan
berarti mengubah taqlid yang lama dengan taqlid
yang baru, juga karena hal tersebut tidak akan berguna, disebabkan adanya
perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial masyarakat masing-masing
daerah. Islam menurut Abduh harus mampu meluruskan kepincangan-kepincangan
perbedaan barat serta membersihkan dari segi-segi negatif yang menyertainya.
Dengan demikian, perbedaan tersebut pada akhirnya, akan menjadi pendukung
terkuat ajaran Islam, sesaat setelah ia mengenalnya dan dikenal oleh
pemeluk-pemeluk Islam 13
13. M. Quraish Shihab, Studi Kritis
Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1994). h.20
2.
Reformis
Muhammad Abduh
Adalah seorang pembaharu yang corak pembaharuannya bersifat
reformistik-rekonsturktif. Ini dikarenakan Muhammad Abduh senantiasa melihat
tradisi dengan perpektif membangun kembali. Agar tradisi suatu masyarakat dapat
survive dan terus diterima, ia harus dibangun kembali. Pembangunan kembali ini
tentunya dengan kerangka modern dan prasyarat rasional. Pemikiran pembaharuan
yang bercorak reformistik dalam bentuknya yang pertama secara filosofis.
3.
Konservatif
Gerakan
pembaharuan yang diinagurasikan Muhammad Abduh bersifat konservatif, hal ini
terlihat dari sikap Muhammad Abduh yang tidak bermaksud mengubah potret diri
Islam. Risalah Tauhid merupakan bukti dari pemikiran ini. Muhammad Abduh dalam
karya ini berupaya menegaskan kembali potret diri Islam yang telah mencapai
finalitas dan keunggulan. 14
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa pada
corak pertama pemikiran Muhammad Abduh, ia lebih menekankan pada aspek
slektifitas dan sikap kritis dalam menyikapi dan memandang peradaban barat,
pemikiran yang kedua menggambarkan upaya Abduh dalam membangun kembali tradisi
Islam secara rekonstruktif, sedangkan pemikiran yang ketiga, Abduh memfokuskan
kepada upaya membela Islam melalui finalitas dan keunggulan Islam.
Hasan Asari dalam bukunya Modernisasi Islam : Tokoh, Gagasan, dan
Gerakan, menuliskan; kesadaran akan kemunduran internal, serta komitmen
yang tinggi terhadap pentingnya pembaharuan internal adalah fondasi pemikiran
Muhammad Abduh. Baginya kemunduran Umat Islam disebabkan, terutama dalam
kejumudan dalam berfikir. Paham kejumudan ini mematikan kegiatan berfikir,
mengekang keratifitas, dan menganjurkan kepatuhan mutlak pada penafsiran
tradisional (taqlid). Di samping itu
juga ia menyerang berbagai kepercayaan dan praktek keagamaan yang menurutnya menyimpang dari keaslian Islam,
seperti kepasifan dan fatalisme, atau berbagai praktek sebagian pengikut sufi.
Masalah ini hanya dapat diselesai
kan dengan
penafsiran kembali Islam serta penerapannya melalui pendidik
14. Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta, Arruzz, 2006) ,h. 265-266
an
dan reformasi sosial. 15
Sejarah
kehidupan Muhammad Abduh, menarik untuk di analisa. Di mulai sejak pendidikan
awal saat ia berguru langsung pada ayahnya, dan ia dapat menghafal seluruh ayat
Al-Qur’an dalam masa dua tahun. Namun, ayahnya tidak serta merta menganggap
bahwa ia berhasil mengajar anaknya, akan tetapi ayahnya mengirim Muhammad Abduh
belajar di masjid al-Ahmadi Thanta,
salah satu pelajarannya adalah memperbaiki bacaan Al-Qur’an yaitu belajar
tajwid.
Yang menarik saat
Muhammad Abduh belajar di Thanta, diperkirakan sekitar tahun 1860 M. Ia sudah
merasakan kebosanan terhadap metode hafalan yang ia terima. Sampai-sampai ia
berfikir lebih baik tidak belajar daripada menghafal istilah-istilah nahwu dan
fiqh, yang tidak ia mengerti. Hal ini disebabkan, sistem pengajaran saat itu menggunakan
metode menghafal, dengan tidak memberikan penjelasan terhadap apa yang mereka
hafal, bahkan yang lebih menyedihkan adalah sikap para guru terkesan tidak mau tahu,
apakah pelajar mengerti atau tidak mengerti.
Muhammad Abduh
mengambil langkah berani, yaitu meninggalkan lembaga pendidikan yang tidak
sesuai dengan harapannya dan kembali ke kampung halamannya, kemudian ia menikah
lalu menggarap lahan pertanian. Melihat langkah yang ia ambil, sepertinya
Muhammad Abduh menganggap lebih baik menggarap pertanian dan menghasilkan
sesuatu daripada belajar tapi dengan cara yang membosankan.
Tetapi, karena
lingkungan keluarga yang cinta terhadap ilmu, membuat Muhammad Abduh tidak
dapat menolak keinginan orangtuanya untuk kembali belajar ke Thanta. Di sinilah
takdir Allah Swt berlaku, kisah perjalanan yang mulanya harus ke Thanta, tetapi
berbelok ke sebuah desa yang bernama Kanisah Urin, dan bertemu dengan pamannya yang bernama Syekh
Darwisy Khadr. Motivasi dari Syekh Darwisy Khadr membangkitkan semangat
belajarnya, dan ia pun melangkah maju dengan tujuan menimba ilmu, Muhammad
Abduh pun berangkat ke Kairo dan belajar di al-Azhar.
15
Hasan Asari, Modernisasi Islam : Tokoh, Gagasan, dan Gerakan (Bandung,
Citapustaka Media, 2007) h.73
Muhammad Abduh merasakan
kekecewaan yang sama saat ia belajar di Thanta dan ia temukan metode yang sama
di al-Azhar, bahkan yang paling ia tidak terima adalah segala sesuatu yang
berada di luar kebiasaan al-Azhar adalah kekafiran, seperti membaca buku
geografi, filsafat, dan jenis-jenis buku umum adalah haram, bahkan memakai
sepatu merupakan bid’ah.
Kemudian Muhammad Abduh belajar dengan Hasan Tawil, ia
seorang intelektual. Lalu pada akhirnya dan kepuasaannnya dalam belajar dapat
ia rasakan setelah bertemu dengan Jamaluddin al-Afghani, karena metode yang
digunakan oleh Jamaluddin al-Afghani adalah diskusi, dengan diskusi Muhammad
Abduh lebih memahami ilmu-ilmu yang ia pelajari.
Jamaluddin al-Afghani bukan hanya guru bagi Muhammad
Abduh, hal ini terlihat jelas banyaknya kemiripan langkah yang ditempuh oleh
Muhammad Abduh dalam pergerakannya, walaupun pada akhirnya Muhammad Abduh lebih
memilih untuk melakukan pembaharuan dalam pemikiran dan pendidikan.
Perjuangan Muhammad Abduh untuk melakukan pembaharuan
dalam pemikiran dan pendidikan tidak lah mudah, ia menerima banyak hambatan
terkhusus dari al-Azhar. Namun setelah ia menjadi Mufti Mesir pada tahun 1899 M,
ia melakukan terobosan dalam beberapa hal di al-Azhar dengan mengajukan
proposal perubahan. Pada tanggal 8 Jumadil Awal 1323 H/11 Juli 1905 M, Muhamad
Abduh meninggal dunia disebabkan sakit, dan beliau dikebumikan di pemakaman
negara kota Kairo.
Semangat juang Muhammad
tertuang dalam sumpah jihadnya, yang antara lain berbunyi :
“
Saya bersumpah atas nama kepada Allah, bahwa saya akan berpegang teguh kepada
Kitab Allah (Al-Qur’an) dalam segala amal bakti dan sikap moral saya tanpa
penyimpangan dan penyesatan…
Saya akan senantiasa
siap memperkenankan panggilan Tuhan dalam bentuk perintah
atau larangan-Nya dan akan berdakwah sepanjang hayatku tanpa pamrih…
Saya bersumpah
atas nama Allah yang memiliki roh dan harta benda saya, yang menggenggam nyawa
serta mengendalikan segenap perasaan saya…: bahwa saya akan rela mengorbankan
apa yang ada pada diri saya. Untuk menghidupkan rasa solidaritas Islam (ukhuwah
Islamiyah) yang mendalam.
Saya bersumpah
atas nama kehebatan dan kekuasaan Allah, bahwa saya tidak akan mendahulukan
kecuali apa yang diprioritaskan oleh agama Allah, dan tidak mentakhirkan
kecuali apa yang dikemudiankan oleh agama, dan tidak akan melangkahkan sesuatu
langkah kalau akan membawa kerugian pada agama, sedikit ataupun banyak…
Dan saya
berjanji kepada Allah, bahwa saya akan selalu berdaya upaya mencari segala
jalan atau peluang untuk kekuatan Islam dan kaum muslimin… “ 16
Setelah Muhammad Abduh meninggal dunia,
Seorang alim Kristen bangsa Inggris menulis surat kepada adik Muhammad Abduh,
yang antara lain menyatakan :
“ Selama umur
saya, sudah bayak negeri dan bangsa saya lihat. Tetapi belum pernah saya
melihat seorang juga seperti almarhum itu, baik di Timur maupun di Barat.
Karena tidak ada bandingannya dalam ilmu pengetahuan, dalam kesalehan,
ketajaman pikiran, kejauhan pandangan, kedalaman pengertian tentag sesuatu.
Tidak saja mengenai lahir, tapi juga mengenai batin. Tiada bandingannya dalam
kesabaran, kejujuran, kepandaian berbicara, gemar beramal dan berbuat kebaikan,
takut kepada Tuhan dan senantiasa berjuang di jalan-Nya, pecinta ilmu dan
tempat berlindung orang-orang fakir dan miskin. “ 17
Mukti Ali
menjelaskan inti dari pemikiran Muhammad Abduh dalam bukunya yang berjudul “ Alam Pemikiran Islam Modern Timur Tengah,
yaitu
1.
Membebaskan pikiran dari ikatan
taqlid dan memahami agama seperti kaum salaf sebelum timbulnya
pertentangan-pertentangan dan kembali dalam mencari pengetahuan agama kepada
sumbernya yang pertama dan mempertimbangkan dalam lingkungan timbangan akal
yang diberikan Allah SWT untuk mencari keseimbangan dan mengurangi
kecampuradukan dan kesalahan. Dengan cara ini orang dianggap sebagai sahabat
ilmu yang bergerak untuk meneliti rahasia-rahasia alam, mengajak menghormati
kebenaran dan untuk berpegang kepada pendidikan jiwa dan perbaikan amal.
2.
Memperbaiki bahasa arab dan
susunan kata, baik dalam percakapan resmi atau dalam surat menyurat antar
manusia.
3.
Pembaharuan di bidang politik,
ini dilakukannya di Majlis Syura sejak
ia dipilih menjadi anggota majelis itu. 18
16. Muhammad Abduh, Risalat’ut Tauhid,
Risalah Tauhid, Firdaus AN, (Jakarta, PT.Bulan Bintang, 1992) h.x
17. Ibid,
h. xiii
18. Mukti
Ali, Alam Pemikiran Islam Modern Timur
Tengah, (Jakarta, Djambatan, 1995), h. 487-488
Dari pemaparan pembahasan, telah memberikan gambaran
tentang Muhammad Abduh, sejarah hidup dan pemikirannya. Muhammad Abduh
melakukan pembaharusan karena menyadari bahwa telah terjadi kerusakan dalam
banyak bidang terkhusus aqidah umat Islam yang disebabkan salahnya pendidikan.
Karena itu, ia berusaha melakukan perubahan pada bidang pendidikan Islam.
C.
Karya
– Karya Muhammad Abduh
1. Tafsir Al-Qur’an
Al-Karim (Tidak ditamatkan/Tidak selesai)
2. Risalah
Al-Tauhid
Muhammad Abduh dalam bukunya yang
berjudul Risalah Tauhid menjelaskan
bahwa manusia hidup menurut akidahnya. Bila akidahnya benar, maka akan benar
pulalah perjalanan hidupnya. Dan akidah itu bisa betul, apabila orang yang
mempelajarinya dengan cara yang betul pula. Pendirian inilah yang mendorong
Abduh untuk menegakkan tauhid dan berjuang untuk itu dalam hidupnya. Ia
mengajar dan menulis tentang tauhid untuk umum dan untuk mahasiswa. Dan buku
ini berasal dari diktat-diktat kuliah beliau pada Universitas al-Azhar yang
kemudian untuk keperluan pengajaran ilmu tauhid, sengaja dibukukan oleh pengarang.
19
3. Al-Radd ‘ala
Hanutu
4. Risalah Al-Waridat
5. Hasyiyah ‘ala
Syarh Al-Dawani li Al-‘Aqa’id Al-Adhudiyyah
6. Syarh Najh
Al-Balaghah
7. Syarh Muqamat
Al-Badi Al-Hamdzani
8. Al-Islam wa
Al-Radd ‘ala Muntaqidih
9. Al-Ialam wa
Al-Nashraniyyah ma’a Al-‘ilm wa Al-Madaniyyah
10. Al-Tsaurah
Al-‘Arabiyyah
11. Al-Radd ‘ala
Al-Dahriyyin
D.
Pemikiran
Pendidikan Islam Muhammad Abduh .
Suwito, dalam bukunya yang berjudul Sejarah Sosial Pendidikan Islam,
19. Muhammad Abduh, Risalat’ut Tauhid,
Risalah Tauhid, Firdaus AN, h.xi
mengatakan bahwa
bagi Muhammad Abduh, yang harus diperjuangkan dalam satu system
pendidikan adalah pendidikan yang fungsional, yang meliputi pendidikan
universal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semuanya harus mempunyai
dasar membaca, menulis, berhitung dan harus mendapatkan pendidikan agama. Isi
dan lama pendidikan haruslah beragam, sesuai dengan tujuan dan profesi yang
dikehendaki pelajar. Abduh percaya bahwa anak petani dan tukang harus
mendapatkan pendidikan umum, agar mereka dapat meneruskan jejak ayah mereka.
Dalam pendidikan Abduh, siswa sekolah
menengah haruslah mereka yang ingin mempelajari syariat, milliter, kedokteran,
atau ingin bekerja pada pemerintah, kurikulumnya meliputi Pengantar
Pengetahuan, Seni Logika, Prinsip Penalaran, Teks tentang Dalil Rasional, serta
Teks Sejarah yang meliputi berbagai penaklukan dan penyebaran Islam. 20
Latar belakang lahirnya ide-ide
pendidikan Muhammad Abduh disebabkan oleh faktor situasi sosial keagaman dan
situasi pendidikan yang ada pada saat itu. Karena Muhammad Abduh beranggapan
bahwa kejumudan pemikiran telah merasuki berbagai bidang
kehidupan seperti bahasa, syari’ah, akidah, dan sistem masyarakat. Menurutnya
salah satu penyebab hal ini terjadi adalah karena faham dari akidah jabariah. Ajarannya jabariyah memiliki kecenderungan
untuk bersikap sikap fasif dan kepercayaan kepada kasih sayang Tuhan, sehingga
terjadinya penyimpangan dan mempermudah
manusia melanggar perintah Tuhan.
Dan faktor lain adalah sistem pendidikan
yang ada pada saat itu merupakan sistem yang dibangun oleh Muhammad Ali pada
abad ke sembilanbelas sebagai pembaharu awal pendidikan di Mesir. Ia menilai
bahwa pembaharuan itu tidak seimbang, karena hanya menekankan perkembangan
aspek intelek. Akibatnya sistem ini mewariskan dua tipe pendidikan pada abad ke duapuluh yaitu: Tipe pertama adalah sekolah-sekolah
agama dengan al-Azhar sebagai lembaga pendidikan yang tertinggi. Sedangkan tipe kedua adalah sekolah-sekolah
modern, baik yang dibangun
20
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta, Kencana, 2008) h.
174-175
oleh
pemerintah Mesir, maupun yang didirikan oleh bangsa asing. Kedua tipe sekolah
tersebut tidak mempunyai hubungan antara satu dengan lainnya, masing-masing
berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan pendidikannya.
Ilmu-ilmu Barat tidak dibenarkan di
sekolah-sekolah agama. Dengan demikian pendidikan agama kala itu tidak
mementingkan perkembangan intelektual, padahal Islam mengajarkan untuk
mengembangkan aspek jiwa tersebut sejaar dengan perkembangan aspek jiwa yang
lain. Dari itulah agaknya pemikiran yang statis tetap mendominasi corak
pemikiran guru dan murid pada saat itu, bukan hanya dalam tingkat awal dan
menengah, tetapi juga dalam kalangan al-Azhar sendiri. 21
Selain terjadinya kasus-kasus yang
demikian, dualisme pendidikan yang demikian melahirkan dua kelas sosial dengan
spirit yang berbeda. Tipe sekolah yang pertama memproduksi para ulama serta
tokoh masyarakat yang enggan menerima perubahan dan cenderung untuk
mempertahankan tradisi. Tipe sekolah yang kedua melahirkan kelas elite generasi
muda, hasil pendidikan yang mulai pada abad ke sembilanbelas. Dengan ilmu-ilmu
Barat yang mereka peroleh mereka dapat menerima ide-ide yang datang dari Barat.
Muhammad Abduh melihat segi-segi negative dari kedua bentuk pemikiran yang
demikian. Ia memandang bahwa pemikiran yang pertama tidak dapat dipertahankan lagi. Usaha-usaha
untuk mepertahankan pemikiran yang demikian hanya akan menyebabkan umat Islam
tertinggal jauh, terdesak oleh arus kehidupan dan pemikiran modern. Sedangkan
pemikiran kedua ia melihat bahaya yang mengancam sendi-sendi agama dan moral
yang akan tergoyahkan oleh pemikiran modern yang mereka serap. Dari itulah
Muhammad Abduh melihat pentingnya mengadakan perbaikan di dua institusi
tersebut, sehingga jurang yang terbuka lebar dapat dipersempit. 22
Latar belakang inilah yang akhirnya melahirkan
pemikiran Muhammad Abduh dalam bidang
pemikiran pendidikan
formal dan nonformal,
dengan bertujuan
untuk menghapus dualisme
pendidikan.
21
– 22 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu Studi Perbandingan,
(Jakarta, PT.Bulan
Bintang, 1993) h.194 - 195, Lihat juga
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam,
h.248
Dalam bidang pendidikan formal Muhammad
Abduh mengarahkan pemikirannya kepada empat hal, yaitu tujuan, kurikulum,
metode pengajaran, dan pemberian pendidikan terhadap wanita.
Arbiyah Lubis memaparkan ke empat hal
itu dengan jelas dalam bukunya Pemikiran
Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu Studi Perbandingan, sebagai berikut
:
a. Tujuan
Pendidikan ;
Muhammad Abduh merumuskan tujuan
pendidikan, yaitu :
“
Tujuan pendidikan ialah mendidik akal dan
jiwa dan menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang mencapai
kebahagian hidup dunia dan akhirat.”
Dari rumusan tujuan pendidikan yang
deikian dapat dipahami, bahwa tujuan pendidikan yang ingin dicapai Muhammad
Abduh adalah tujuan yang luas, mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek
spiritual (afektif). Dengan tujuan yang demikian pula ia mengingkan terbentuknya
pribadi yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya menekankan
perkembangan akal, tetapi juga perkembangan spiritual. Tujuan Muhammad Abduh
yang demikian jelas bertentangan dengan tujuan pendidikan saat itu yang hanya
mementingkan salah satu aspek dan mengabaikan aspek yang lainnya.
Pusat perhatian Muhammad Abduh dalam
pendidikan dan pengajaran, yang ternyata juga merupakan tujuan hidupnya.
Muhammad Abduh menuliskan bahwa tujuan hidupnya adalah :
a. Membebaskan pemikiran dari belenggu taklid dan
memahami ajaran agama sesuai dengan jalan yang ditempuh ulama zaman klasik
(salaf), yaitu zaman sebelum timbulnya perbedaan paham, yang kembali kepada
sumber-sumber utama, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist.
b. Memperbaiki bahasa Arab yang dipakai, baik
oleh instans pemerintahan maupun surat-surat kabar dan masyarakat pada umumnya,
dalam surat menyurat mereka. 23
23. Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Mu’tazilah, ( Jakarta, UI-Press, 1987) h. 24.
Pendidikan akal ditujukan sebagai alat
untuk menanamkan kebiasaan berfikir dan dapat membedakan antara yang baik dan
yang buruk. Dengan menanamkan kebiasaan berfikir, Muhammad Abduh berharap
kebekuan intelektual yang melanda kaum muslimin saat itu dapat dicairkan dan
dengan pendidikan spiritual diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak
hanya mampu berfikir kritis, juga memiliki akhalk mulia dan jiwa yang bersih.
Dengan demikian kedua aspek, akal spiritual, menjadi sasaran utmaa pendidikan
Muhammad abduh. Ia berkeyakinan bila kedua aspek tersebut dididik dan
dikembangkan, dalam arti akal dicerdaskan dan jiwa dididik dengan akhlak agama,
maka umat Islam akan dapat berpacu dengan barat dalam menemukan ilmu
pengetahuan baru dan dapat mengibangi mereka dalam kebudayaan. 24
b. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum
yang dimaksudkannya adalah :
1)
Tingkat Sekolah
Dasar
a)
Membaca
b)
Menulis
c)
Berhitung sampai
dengan tingkat tertentu
d)
Pelajaran agama
dengan bahan-bahan : akidah menurut versi Ahl al-Sunnah, serta fikih dan akhlaq
yang berkaitan dengan hal dan hara, perbuatan-perbuatan bid’ah serta bahayanya
dalam masyarakat. Pelajaran akhlak mencakup perbuatan dan sifat-sifat yang baik
dan buruk.
e)
Sejarah, yang
mencakup sejarah Nabi dan para sahabat, akhlak mereka yang mulia, serta jasa
mereka terhadap agama. Diperkenalkan juga sebab-sebab Islam dapat berkuasa
dalam waktu yang relative singkat, sejarah Nabi dan sahabat ditambah dengan
uraian-uraian tentang Khalifah Usmaniah, yang kesemuanya diberikan dengan secara
ringkas.
24. Lihat Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh :
Suatu Studi Perbandingan, h.420
2)
Tingkat Menengah
a)
Manthiq atau
logika dan dasar-dasar penalaran
b)
Akidah yang
dikemukan dengan pembuktian akal dan dalil-dalil yang pasti. Pada tingkat ini
pelajaran yang diberikan belum menjangkau perbedaan pendapat. Di samping itu
dijelaskan fungsi aqidah dalam kehidupan.
c)
Fikih dan
akhlak. Pada tingkat ini pelajaran fikih dan akhlak hanya memperluas bahan yang
diberikan pada tingkat dasar. Pelajaran lebih ditekakan pada sebab, kegunaan
dan pengaruh, terutama dalam mmasalah akhlak. Misalnya kegunaan berakhlak baik
dan pengaruhnya dalam kehidupan bermasyarakat. Pelajaran fikih lebih ditekankan
pada hukum-hukum agama dan kegunaannya dalam kehidupan bermasyarakat. Semua
pelajaran tersebut diberikan dengan landasan dalil-dalil yang shahih dan
praktek dari masa al-salaf al-shahih dengan landasan dalil-dalil yang shahih dan
praktek dari masa al-salaf al-shahih.
d)
Sejarah Islam,
yang menyan gkut dengan sejarah Nabi, sahabat dan penaklukan-penaklukan yang
terjadi dalam beberapa abad sampai pada penaklukan pada masa kerajaan Usmaniah.
Semua penaklukan tersebut, menurut Muhammad Abduh, dipandang dari aspek agama,
sekiranya pun motif politik dikemukakan juga, tetapi motif politik dibelakang
motif agama.
Murid-murid
di sekolah menengah ini dipersiapkan untuk menduduki jabatan tertentu dalam
pemerintahan. Dari itu mereka harus memiliki pengetahuan yang demikian.
3)
Tingkat Atas
Pelajaran
agama ditingkat ini adalah untuk golongan mereka yang akan menjadi pendidik
yang disebutnya sebagai golongan yang arif (‘urafa’ al-ummat). Pelajaran yang
diberikan kepada mereka mencakup:
a)
Tafsir
b)
Hadits
c)
Bahasa Arab
dengan segala cabangnnya
d)
Akhlak dengan
pembahasan yang terinci sebagai yang diuraikan oleh al-Ghazali dalam kitab
Ihya’ ‘Ulu al-Din.
e)
Ushul fikih
f)
Sejarah yang
termasuk di dalamnya sejarah Nabi dan sahabat yang diuraikan secara terinci.
Sejarah peralihan penguasa-penguasa islam, sejarah kerajaan Usmaniah dan
sejarah jatuhnya kerajaan-kerajaan islam ke tangan penguasa lain dengan
menerangkan sebab-sebabnya.
g)
Retorika dan
dasar-dasar berdiskusi
h)
Ilmu kalam. Pada
tingkat ini ilmu kalam diberikan dengan menerangkan aliran-aliran yang terdapat
dalam ilmu kalam dengan menjelaskan dalil-dalil yang menopang pendapat setiap
aliran. Pada tingkat ini pelajaran ilmu kalam tidak ditujukan untuk memperteguh
akidah, tetapi untuk memperluas cakrawala pemikiran.
Ketiga paket kurikulum di atas merupakan
gambaran umum dari kurikulum pelajaran agama yang diberikan dalam setiap
tingkat. Dalam hal ini Muhammad Abduh tidak memasukkan ilmu-ilmu Barat ke dalam
kurikulum yang direncanakannya. Menurutnya ilmu-ilmu tersebut, seperti ilmu
pasti, ilmu bahasa, ilmu sosial dan sebagainya dipelajari bersama-sama dengan
ilmu-ilmu dalam kurikulum yang dikemukakan di atas. Ia tidak merincinya, karena
masing-masing sekolah ataupun jurusan mempunyai pandangan yang sendiri tentang
ilmu apa yang lebih ditekankannya untuk dipelajari pada jurusan atau sekolah
tertentu. Dengan demikian dalam bidang pendidikan formal Muhammad Abduh
menekankan pemberian pengetahuan yang pokok, yaitu, akidah, fikih, sejarah
islam, akhlak, dan bahasa.
c. Metode
Pengajaran
Dalam bidang metode
pengajaran ia pun membawa cara baru
dalam dunia pendidikan saat itu. Ia
mengeritik degan tajam penerapan metode hafalan tanpa pengertian yang umumnya
dipraktekkan di sekolah-sekolah saat itu. Terutama sekolah-sekolah agama. Ia
tidak menjelaskan dalam tulisan-tulisannya metode apa yang sebaiknya
diterapkan, tetapi apa yang dipraktekkannya ketika ia mengajar di al-Azhar
tampaklah bahwa ia menerapkan metode diskusi untuk memberikan pengertian yang
mendalam kepada murid.
Muhammad Abduh mengubah
cara memperoleh ilmu dari metode hafalan dengan metode rational dan pemahaman.
Siswa disamping menghafal sesuatu juga harus memahami tentang materi yang
dihafalnya. Ia juga mnghidupkan kembali metode munazharah dalam memahami
pengetahuan dan menjauhkan metode taklid buta teahadap para ulama. Ia juga
mengembangkan kebebasan ilmiah dikalangan mahasiswa al-Azhar. Ia juga
menjadikan bahasa Arab yang selama ini hanya merupakan ilmu yang tidak
berkembang menjadi ilmu yang berkembang yang dapat diperg unakan untuk
menterjemahkan teks-teks pengetahuan modern kedalam bahasa Arab. 25
Said Ismail Ali dalam
bukunya Pelopor Pendidikan Islam Paling
Berpengaruh, menambahkan : Bagaimana metode pengajaran yag dominan
digunakan di al-Azhar saat itu tidak menjelaskan dan membentangkan persoalan
sebagaimana mestinya. Kerancuan dan keambiguan selalu menyertai materi
pelajaran yang disampaikan. Anak-anak didik tidak menemukan jalan lain di
hadapannya kecuali menghafal tanpa dibarengi dengan pemahaman dan kesabaran.
Akhirnya, terjadi keterputusan antara pengetahuan dan perilaku. Di sini Abduh
merasakan akan urgensitas metode pengajaran. Berangkat dari sini, Abduh menekankan
metode pengajaran kepada para tenaga guru pendidik di al- Azhar. Yang
seharusnya lebih diperhatikan adalah “ Bagaimana cara kita mengetahui ? “ dan
bukan “ Apa yang akan kita ketahui ? “ Pasalnya, melatih anak didik tentang
cara memperoleh ilmu pengetahuan bisa
25. Ramayulis & Samsul Nizar, Ensiklopedi
Tokoh Pendidikan Islam Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan
Indonesia, (Jakarta:Quantum teaching, 2005), h. 48
menuntun mereka pada perangkat utama
dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Jadi ketika mereka merasa memerlukan satu
pengetahuan tertentu maka mereka bisa mencari dan memperolehnya sendiri. 26
Selain itu Abduh juga
membuat sebuah metode yang sistematis dalam menafsirkan al-Qur’an yang
didasarkan pada lima prinsip, yaitu:
a.
Menyesuaikan
peristiwa-peristiwa yang ada pada masanya dengan nash-nash al-Qur’an.
b.
Menjadikan
al-Qur’an sebagai sebuah kesatuan.
c.
Menjadikan surat
sebagai dasar untuk memahami ayat.
d.
Menyederhanakan
bahasa dalam penafsiran
e.
Tidak melalaikan
peristiwa-peristiwa sejarah untuk menafsirkan ayat-ayat pada waktu itu. 27
Kemudian dalam bidang pendidikan
nonformal, Muhammad Abduh menyebutkan
sebagai Islah (usaha perbaikan). Dalam penyelengaraan pendidikan ini ia melihat
perlunya campur tangan pemerintah, terutama dalam mempersiapkan para pendakwah.
Muhammad Abduh menekankan mereka dari
golongan yang terdidik yang telah mendapat pendidikan dengan kurikulum
pendidikan tingkat atas . Tugas mereka
terutama adalah :
1.
Menyampaikan
kewajiban dan pentingnya belajar
2.
Mendidik mererka
dengan memberikan pelajaran tentang apa yang mereka lupakan atau belum mereka
ketahui.
3.
Meniupkan ke
dalam jiwa mereka cinta pada Negara, tanah air dan pemimpin.
Harapan Muhammad Abduh untuk menghapus
dualisme pendidikan, dengan alasan semua ilmu pada hakikatnya adalah satu,
terutama di universitas al-Azhar. Belum sepenuhnya berhasil, akan tetapi
beberapa hal sudah terjadi perubahan, terkhusus masuknya pelajaran umum pada
kurikulum al-Azhar seperti matematika, aljabar, ilmu ukur
dan
geografi.
26.
Said Ismail, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, (Jakarta, Pustka
Al-Kautsar, 2010) , h. 164
27. Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, h. 65.
Reformasi pemikiran pendidikan oleh
Muhammad Abduh, tidak hanya berlangsung di Mesir saja, tapi pada saat ia
diasingkan di Beirut yang masih berada di bawah kekuasaan Turki Ustmani.
Muhammad Abduh memberikan konsepsi untuk reformasi pendidikan di Turki Ustmani,
yaitu akidah yang shahih dan sama di
dalam akal umat, dan pendidikan yang bisa memudahkan yang sulit dan menjelaskan
yang susah.
d. Pendidikan
Wanita.
Menurutnya wanita haruslah mendapat
pendidikan yang sama dengan lelaki. Mereka, lelaki dan wanita, mendapat hak
yang sama dari Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah
ayat 228, yaitu :
“ … Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf…” 28
Dan
Firman Allah Swt dalam QS. Al-Ahzab ayat 35, yang artinya :
“ Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim,
laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang
sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama
Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar
“ . 29
Dalam pandangan Muhammad Abduh ayat-ayat
tersebut mensejajarkan lelaki dan wanita dalam hal memndapatkan keampunan dan
pahala yang diberikan Allah atas perbuatan yang sama, baik dalam hal yag
bersifat keduniaan, maupun dalam hal agama. Dari sini ia bertolak bahwa wanita
berrhak mendapatkan pendidikan seperti hak yang didapatkan lelaki. “wanita” katanya, “ harus dilepaskan dari rantai kebodohan “, dan yang demikian hanya
mungkin dengan memberi
mereka pendidikan. 30
28.
- 29 Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , (Arab Saudi,
Mujamma’ Al-Malik Fahd Li
Thiba’at
Al-Mush-haf, 1990) h. 55 &. 673
30.
Lihat Arbiyah Lubis, Pemikiran
Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu Studi Perbandingan, h.156-159
E.
Agenda
pembaharuan Muhammad Abduh 31
Muhammad
Abduh dan gerakan pembaharuan yang
dilakukan tidak terlepas dari karakter dan wataknya yang mencintai ilmu
pengetahuan. Dalam buku Modern Trends in Islam
karya Gibb, ia menyebutkan empat agenda
pembaharuan Muhammad Abduh, yaitu:
1.
Purifikasi yang
memiliki arti pemurnian ajaran Islam,
mendapat perhatian serius dari Muhammad Abduh. Hal ini berkaitan dengan
munculnya bid’ah dan khurafah yang mempengaruhi kehidupan beragama umat Islam. Sesuai
dengan QS. 6 : 79, Muhammad Abduh menyatakan bahwa umat Islam tidak perlu
mempercayai adanya karamah yang dimiliki para wali atau kemampuan mereka
sebagai perantara (wasilah) kepada Allah karena perbuatan tersebut merupakan
salah satu bentuk kesyirikan.
2.
Reformasi, pada
bagian ini Muhammad Abduh memfokuskan reformasi pendidikan tinggi Islam pada
universitas almamaternya, yaitu al-Azhar. Bagi Muhammad Abduh, kewajiban untuk
mempelajari ilmu tidak hanya terbatas pada materi yang bersumber dari buku-buku klasik berbahasa Arab
yang berisi dogma ilmu kalam untuk membela islam. Tetapi juga, ilmu pengetahuan
yang mempelajari sains-sains modern, sejarah dan agama Eropa, dengan tujuan
untuk mengetahui sebab-sebab kemajuan yang telah dicapai oleh dunia Eropa.
3.
Pembelaan Islam.
Dalam buku Risalah Al-Tauhidnya, Muhammad
Abduh mempertahankan Identitas Islam dengan seluruh kemurnian ajarannya . Adapun
bukti pembelaan Islam yang dilakukan oleh Muhammad Abduh adalah dengan tidak
pernah menaruh perhatian terhadap paham-paham filsafat anti agama yang marak di
Eropa, dan lebih fokus untuk mengatasi serangan-serangan terhadap Islam
dari sudut keilmuan.
4.
Reformulasi, yaitu Muhammad
Abduh membuka kembali pintu
31. Lihat Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam:Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah Sampai Indonesia, h
.246-248
Ijtihad dengan alasan bahwa umat Islam mengalami kemunduran disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Tujuan
reformulasi yang dilakukan oleh Muhammad Abduh adalah untuk menegaskan bahwa umat Islam harus bangkit dari
tidur panjangnya dengan memaksimalkan fungsi akal pikirannya.
Lebih lanjut, Wahyuddin Nur Nasution
dalam tulisannya yang berjudul Muhammad
Abduh dan Pembaharuan Pendidikan, ia mengungkapkan bahwa pembaharuan dalam
bidang pendidikan ini, terutama diarahkan kepada al-Azhar yang merupakan
jantung intelektual umat Islam khususnya Mesir, yang pada waktu itu secara umum
sedang dilanda taklid, jumud, dan khurafat.
Selagi menjalankan tugasnya
sebagai hakim, ia berusaha sungguh-sungguh
membawa perbaikan di Universitas al- azhar yang sejak lama telah menjadi
idamannya.32
Kemudian menurut Hasan Asari dalam
bukunya yang berjudul Modernisasi Islam :
Tokoh, Gagasan, dan Gerakan, beliau menambahkan :
Dalam
pandangan Muhammad Abduh, kurikulum al-Azhar mem-butuhkan reformasi mendasar
yang setidaknya melibatkan dua aspek :
a.
Perlu mengganti
buku-buku pegangan: kitab-kitab komentar (syarh) harus diganti dengan
karya-karya yang lebih awal dan orisinal, semacam muqaddimah. Kajian-kajian
Islam klasik yang terabaikan-seperti etika, sejarah, dan geografi- perlu
diperkenalkan kembali. Hal ini ditujukan untuk menghidupkan kembali
intelektualisme Islam seperti zaman klasik.
b.
Memasukkan
ilmu-ilmu modern ke dalam kurikulum untuk menjamin bahwa al-Azhar tidak terus
menerus menjadi “ lembaga yang aneh atau Museum Zaman Pertengahan Islam “.33
Zuhairi Misrawi dalam
bukunya Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi,
dan Kiblat Keulamaan, mengungkapkan bahwa Muhammad Abduh menyampai lima
proposal reformasi dalam al- Alzar. Pertama,
mengubah dari system halqoh menuju system kelas yang terjadwal. Kedua, melaksanakan
32. Lihat
Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan
Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, h.
130
33. Lihat
Hasan Asari, Modernisasi Islam : Tokoh,
Gagasan, dan Gerakan, h.79
ujian
yang rutin dalam rangka mengukur kemampuan akademis setiap pelajar. Ketiga, menggunakan buku-buku primer
yang ditulis para ulama yang mempunyai otoritas dalam bidangnya, daripada
menggunakan buku-buku sekunder yang ditulis oleh sebagian guru. Keempat, memperkaya kurikulum dengan
materi-materi baru, bahkan hal-hal yang tidak ada dalam khazanah keilmuan
al-Azhar. Kelima, sentralisasi
perpustakaan. 34
Dari
segi kurikulum ada dua katagori yang diajarkan di al-Azhar pada masa itu,
seperti yang dinyatakan oleh Bayard Dodge dalam bukunya al-Azhar, A Millennium
of Muslim Learning. This same law divided
the coursesbof study into the following catagories. In the first place there
were the Objects of Study, or al-maqasid, which included theology, religious
ethics, legal studies, the origins of the law, commentary and tradition. The second
category was the Means of Study, or al-wasail, including the two kinds of
grammar called al-nahw and al-sarf, the three kinds of thretoric known as
al-ma’ani, al-bayan and al-badi’, logic, the technical terms of tradition
called mustalah al-hadith, arithmetic, algebra, prosody, or al-arud, and rhyme
known as al-qawafi. Students were also entitled to study other courses, such as
Islamic history, composition, elocution,
language and literature, and elementary geometry. 35
F.
Perhatian
Muhammad Abduh terhadap Al-Qur’an
Seperti para pembaharu lain, Qur’an
mendapat perhatian besar Muhammad Abduh,
terutama dalam hubungan perlu penafsiran baru yang tak ada sekedar mengulangi
apa yang dikemukakan mufassir klasik. Tafsir baru ini harus mempertimbangkan
kondisi kontemporer dan disajikan dalam bahasa dan metode yang mudah dimengerti
oleh masyarakat Muslim sekarang. Dalam kaitan dengan Qur’an, Muhammad Abduh menegaskan
hal-hal berikut:
1)
Maksud utama
Al-Qur’an adalah menegaskan tauhid, yaitu keesaan Allah, dan segenap doktrin
yang mengakui tindakan Allah menurunkan
wahyu, mengutus para Nabi, dan realitas
kebangkitan serta balasan bagi
34. Zuhairi
Misrawi, Al-Azhar: Menara Ilmu,
Reformasi, dan Kiblat Keulamaan, (Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2010) h.
202-203.
35. Bayard
Dodge, AL-Azhar, A Millennium of Muslim
Learning, The Middle East Institute, (Washington, D.C, 1961), h. 135
manusia.
2)
Al-Qur’an
merupakan wahyu yang lengkap, kaum mukmin tak boleh memilih bagian yang
disukainya saja.
3)
Al-Qur’an
merupakan sumber utama untuk membuat undang-undang bagi masyarakat. Kehidupan
social haruslah ditata dengan ajaran Al-Qur’an.
4)
Kaum Muslim tak
boleh menerima begitu saja leluhur mereka dalam menafsirkan Al-Qur’an, namun
harus otentik dan setia dengan pemahaman mereka sendiri .
5)
Akal dan nalar
haruslah digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Hasan Asari (2009) : Selanjutnya ia
menekankan bahwa Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber dasar islam, memberikan
petunjuk umum dalam hal mu’amalah (hubungan antar manusia). Hal ini dapat
menimbulkan ketidak jelasan. Ada beberapa kemungkinan lain di mana Qur’an atau
sunnah tidak memberi petunjuk yang jelas: jika teks Qur’an masuk dalam kategori
mutasyabih (tidak tegas atau bermakna ganda) dan jika keshalihan sebuah hadits
diragukan. Di sinilah ijtihad mutlak
dibutuhkan. Para ulama harus melakukan ijtihad guna memperoleh rumusan y0ang
tepat bagi masyarakat islam sesuai dengan konteks tempat dan waktu. Kebebasan
menggunakan akal dalam ijtihad ini tetap berada dalam ruang lingkup batasan
umum yang diberikan Qur’an dan sunnah secara jelas.
Bagaimanapun pentingnya, hanya
orang-orang yang mempunyai dasar-dasar pengetahuan dan kecerdasan berpikir yang
boleh melakukan ijtihad. Muslim awam mengikuti pandangan ulama yang paling
mereka yakini. Dalam anjuran berijtihad ini terkandung keyakinan Muhammad Abduh
yang cukup tinggi terhadap kemampuan akal manusia. Hal ini sesuai dengan Qur’an
di mana banyak dijumpai ayat-ayat yang menganjurkan manusia memanfaatkan
akalnya semaksimal mungkin. 36
Demikianlah penjelasan tentang sejarah
hidup dan pemikiran pendidikan Islam Muhammad Abduh serta gerakan pembaruannya.
36. Lihat Hasan Asari, Modernisasi Islam : Tokoh, Gagasan, dan Gerakan, h.76-77
SIMPULAN
Muhammad Abduh adalah seorang
pembaharu, yang terlahir dari sejarah panjang perjalanan pendidikan yang ia
peroleh dan membentuk kepribadian tersendiri, sehingga ia bukan hanya mampu
merasakan kekurangan pendidikan, akan tetapi melakukan usaha penuh untuk
melakukan pembaharuan.
Muhammad Abduh berguru kepada
Jamaluddin al- Afghani, seorang yang dikenal dalam dunia Islam sebagai mujahid
dan mujaddid, ia juga ulama yang alim. Muhammad Abduh mengagumi ilmu dan cara
berfikir Jamaluddin yang modern,
sehingga ia belajar padanya, bahkan saat pengasingannya di Beirut, Jamaluddin
mengundang Muhammad Abduh untuk bersamanya berjuang di Perancis, menyebarkan
semangat perjuangan dan pembaharuan melalui penerbitan majalah. Walaupun pada
akhirnya penerbitan itu ditutup oleh Pemerintah Perancis karena dianggap
berbahaya. Dan sikap berani Muhammad Abduh untuk lebih konsentrasi pada
pembaharuan pendidikan, membuatnya namanya dikenal sampai saat ini.
Pembaharuan pendidikan yang
dilakukannya meliputi tujuan pendidikan yang berorientasi pada pembentukan
kepribadian, moral agama, yang dengannya diharapkan mampu menumbuhkan sikap
politik, sikap sosial, jiwa gotong royong, dan semangat ekonomis. Selanjutnya
di dalam sekolah agama harus diajarkan pengetahuan modern, dengan menggunakan metode pengajaran
yang membuat murid tidak sekedar ingat tetapi juga memahami apa yang diajarkan
dan tentu saja pembelajaran berlangsung dengan mempergunakan bahasa yang mudah
dimengerti, di samping itu dengan pengelolaan wakaf, Muhammad Abduh mampu
menggaji guru dengan gaji dan layak. Kemudian khusus untuk al- Azhar, perubahan
ditemukan dengan adanya peraturan yang memperpanjang masa belajar dan
memperpendek masa libur.
Dengan reformasi yang telah
dilakukan Muhammad Abduh, Fazlur Rahman menggelarnya dengan sebutan “ Reformer
al-Azhar Terbesar “.
DAFTAR PUSTAKA
A. Bakir Ihsan,
(2005), Ensiklopedia Islam Jilid I,
Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Asnil Aida Ritonga
(Editor) , (2008), Pendidikan Islam Dalam
Buaian Arus Sejarah, Bandung, Citapustaka Media Perintis.
Arbiyah Lubis,
(1993), Pemikiran Muhammadiyah dan
Muhammad Abduh : Suatu Studi Perbandingan, Jakarta, PT.Bulan Bintang.
Arif Munandar
Riswanto, (2010), Buku Pintar Islam, Bandung, Mizan Media Utama.
Bayard
Dodge, (1961), AL-Azhar, A Millennium of
Muslim Learning, The Middle East Institute, Washington, D.C.
Harun Nasution,
(1987), Muhammad Abduh dan Teologi
Rasional Mu’tazilah, Jakarta,
UI-Press.
Hasan Asari,
(2007), Modernisasi Islam : Tokoh,
Gagasan, dan Gerakan , Bandung, Citapustaka Media.
Kementrian Urusan Agama Islam, (1990), Al-Qur’an
Dan Terjemahan , Arab Saudi, Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at
Al-Mush-haf,.
Muhammad Abduh, (
1992), Risalat’ut Tauhid, Risalah Tauhid, Firdaus AN, Jakarta, PT. Bulan
Bintang.
Mukti Ali, (1995), Alam Pemikiran Islam Modern Timur Tengah,
Jakarta, Djambatan,
M.
Quraish Shihab, (1994), Studi Kritis
Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha, Bandung: Pustaka
Hidayah.
Nurcholis Madjid, (1989), Islam
Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung, Mizan.
Said Ismail,
(2010), Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, Jakarta, Pustka
Al-Kautsar.
Samsul Nizar,
(2007), Sejarah Pendidikan
Islam:Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta, Kencana.
Suwito,
(2008), Sejarah Sosial Pendidikan Islam,
Jakarta, Kencana.
Toto
Suharto, (2006), Filsafat Pendidikan
Islam, Yogyakarta, Arruzz.
Zuhairi Misrawi,
(2010), Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi,
dan Kiblat Keulamaan, Jakarta, Penerbit Buku Kompas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar