AL-MUHKAMAT DAN AL-
MUTASYABIHAT
Ummi Kalsum Khairani : 10 PEDI 1817
A.
Pendahuluan
Islam adalah
agama yang syumul, ajarannya mencakup seluruh kehidupan manusia, yang terangkum
secara utuh di dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an bukan hanya sekedar kitab suci bagi
ummat islam, tapi ia juga merupakan tuntunan, pedoman, landasan hukum bagi
manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia dan akhirat.
Untuk memahami
Al-qur’an, bukanlah sebuah permasalahan yang mudah, karena seorang muslim harus
menguasai berbagai bidang ilmu, terutama menguasai Bahasa Arab, di dalam
Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang ada kalanya berbentuk lafadz dan ungkapan
yang berbeda tetapi artinya memiliki persamaan dan sebagian besar Al-Qur’an
mengandung pengertian yang jelas dan tidak perlu diterangkan lagi maknanya,
terutama masalah hukum yaitu tentang kewajiban, halal dan haram, dan lain-lain.
Seluruh ayat-ayat
Al-Qur’an pada dasarnya adalah muhkam,
hal ini mengandung maksud bahwa Al-Qur’an itu itqan (kokoh, indah), yang berarti ayat-ayat yang serupa dan
sebagiannya membenarkan sebagian yang lain.
Sebagai seorang
muslim, tidak dibenarkan untuk mentakwilkan pengertian ayat-ayat yang
mutasyabihat walaupun ia seorang ulama besar yang memiliki pengetahuan dan
keilmuan tinggi dalam keagamaan. Dan justru orang-orang yang mendalam ilmunya
dibatasi untuk mentakwilnya, hal ini dimaksudkan agar manusia dapat menundukkan
akalnya dan membatasi hawa nafsunya untuk melangkah lebih jauh dalam penafsiran
Al-Qur’an.
Namun,
permasalahan dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat menimbulkan perbedaan
pendapat sehingga melahirkan dua kelompok juga memiliki landasan dalam
pemikirannya.
Untuk lebih
jelasnya tentang muhkamat dan mutasyabihat, akan dibahas pada materi
selanjutnya.
B.
Pengertian
Al-Muhkamat dan Al-Mutasyabihat
Menurut
etimologi (bahasa), muhkam artinya
suatu ungkapan yang maksud makna lahinya tidak mungkin diganti atau diubah ( ma
ahkam al-murad bib, an altabdil wa at-taghyir). Adapun mutasyabih adalah ungkapan yang maksud makna lahirnya samar (ma khafiya bi nafs Al-Lafzh). 1)
Kadar
M. Yusuf (2010), Kata muhkam
merupakan isim maf’ul dari ahkama yang secara harfiah semakna
dengan atqana atau mutqan yang berarti kuat atau dikuatkan.
Selain itu muhkam secara bahasa juga berarti wadhih (jelas).
Sedangkan mutasyabih adalah isim fa’il tasyabaha, yang semakna
dengan mumathaalah yang berarti serupa, samar-samar atau tidak jelas. 2)
Allah
Swt menjelaskan pengertian muhkam
dalam beberapa firman-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an, antara lain :
1. QS.
Hud (11) ayat 1 :
“ Alif laam raa. (Inilah )suatu
kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci.
Yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang
Maha Bijaksana lagi Maha Tahu .” 3)
2. QS.
Yunus (ayat 1, yaitu :
“ Alif lam Ra’. Inilah ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung hikmah. “4)
Kedua ayat di atas mengandung
pengertian bahwa Al-Qur’an itu seluruhnya muhkam,
maksudnya adalah seluruh kata-katanya kokoh, fasih, dan membedakan antara yang
haq dan yang bathil, serta antara yang benar dan yang dusta.
Kemudian
M. Nasib Ar-Rifa’i (2007), menerangkan pengertian “ Sebuah kitab yang yang ayat- ayatnya di tetapkan kemudian dijelaskan “
yakni, yang ditetapkan lafalnya, diterangkan
maknanya, karena kitab ini
1)
Rosihan Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung, Pustaka Sedia. 2008), h.120-121
2)
Kadar M. Yusuf, , Studi Al-Quran, (Jakarta, Amzah, cet ke
– 2, 2010), h.92-93
3)
Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , (Arab Saudi, Mujamma’ Al-Malik Fahd Li
Thiba’at Al-Mush-haf, 1990) h. 326
4)
Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , h. 305
sempurna baik penampilannya
maupun maknanya. Demikianlah penafsiran mujahid, Qatadah, dan dipilih oleh Ibnu
Jarir. 5)
Sedangkan
mutasyabih yang secara bahasa berarti tasyabuh, yang berarti bila satu dari dua hal serupa dengan yang
lain, atau syubhah yaitu keadaan yang tidak dapat dibedakan antara satu
dari dua hal karena adanya kesamaan di antara keduanya baik secara konkrit
ataupun abstrak.
Dalam
hal ini, Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah (1) : 25 ;
“ Dan sampaikanlah
berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka
disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka
diberi rizki buah-buahan dalam surga-surga itu mereka mengatakan : “ Inilah
yang pernah diberikan kepada kami dahulu”. Mereka diberi buah-buahan yang
serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka
kekal di dalamnya. “ 6)
Sayyid Qutb (2000) , menuliskan ;
Berbagai macam
kenikmatan yang sangat menarik perhatian. Di antaranya – di samping
pasangan-pasangan yang suci – buah-buahan yang nyaris serupa, sehingga
terbayangkan bahwa buah-buahan itu pernah dikaruniakan kepada mereka sebelumnya
– mungkin buah-buahnya yang sama nama atau bentuknya, atau buah-buahan sorga
yang telah dikaruniakan kepada mereka sebelumnya. Mungkin di dalam kemiripan
bentuk zhahir tetapi berbeda isi itu terdapat kejutan (surprise) istimewa di
setiap saat. Ia menggambarkan suasana riang gembira, kepuasan yang serupa, dan
kesenangan yang fantastis, dengan suguhan kejutan demi kejutan, karena setiap
kemiripan bentuk itu terungkap sesuatu yang baru ! 7)
Dalam
surah Az-zumar (39) : 23, Allah SWT
berfirman :
5)
M.Nasir Ar-Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid II,
(Jakarta, Gemas
Insani, 2007) h. 764
6)
Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan ,
h. 12
7)
Sayyid Qutb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an Jilid 1,(Jakarta, Robbani Press,
2000), h. 89.
“ Allah telah
menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang
– ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada
Tuhannya,kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat
Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikendaki-Nya. Dan barang
siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun yang memberi petunjuk
baginya. 8)
M. Nasib Ar-Rifa’I (2007), dalam
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir :
Ini pujian dari
Allah SWT terhadap kisah-Nya yang agung, Allah berfirman, “ Allah telah
menurunkan perkataan yang paling baik. Al-Qur’an yang mutasyabih dan matsani.
‘, sebagian ulama, di antar mereka adalah Sufyan bin Uyainah, berkata, “
Sesungguhnya beberapa redaksi bahasa Al-Qur’an itu terkadang memiliki satu
makna, maka redaksi semacam ini termasuk mutasyabih. Terkadang ia hanya
menyebutkan satu perkara dan lawannya,seperti menyebutkan orang-orang beriman,
kemudian orang-orang kafir. Dan seperti menerangkan tentang surga kemudian
menerangkan tentang neraka. Redaksi seperti ini disebut matsani,
sebagaimana firman-Nya, “ Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti
benar-benar berada dalam surga yang penuh dengan kenikmatan, dan sesungguhnya
orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” 9)
Maka kedua ayat di atas memperkuat
pengertian mutasyabih yaitu serupa,
atau memiliki makna yang sama, atau adanya kesamaan dan kesesuaian perkataan,
karena sebagiannya membenarkan sebagian yang alin serta sesuai pula maknanya.
Selanjutnya pengertian Al-Muhkamat
dan Al-Mutasyabihat secara istilah, dapat dilihat dari penjelasan
berikut :
Hasbi
Ash-Shiddieqy (2002), Terhadap muhkam
dan mutasyabih ada beberapa pendapat ulama :
a.
Muhkam ialah yang disepakati oleh
segala syari’at langit, sedangkan mutasyabih ialah sesuatu yang berlawanan
dengan hukum-hukum syari’at- syari’at yang telah lalu.
b.
Muhkam ialah yang menasakhkan
sesuatu hukum,sedangkan mutasyabih yang di-mansukh-kan
c.
Muhkan, ialah yang
dalilnya terang, sedangkan mutasyabih yang hanya diketahui dalilnya oleh
orang-orang yang dalam ilmunya.
8)
Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an
Dan Terjemahan , h. 749
9)
Lihat M.Nasir Ar-Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid IV, h. 704
d.
Muhkam, ialah yang mungkin dicari
dalilnya baik terang ataupun tidak, sedangkan yang mutasyabih yang tidak
mungkin dicari dalilnya.
e.
Muhkam, ialah yang menerangkan
halal dan haram, sedangkan yang mutasyabih adalah yang selainnya.
f.
Muhkam, ialah yang hanya menerima
suatu penafsiran saja, sedangkan mutasyabih yang menerima beberapa takwil.
g.
Muhkam, ialah kisah – kisah yang
dijelaskan, sedangkan mutasyabih adalah kisah-kisah yang tidak dijelaskan. 10)
Rosihan Anwar
(2008), Adapun menurut pengertian termiologi (istilah), muhkam dan mutasyabihat
diungkapkan para ulama sebagai berikut :
a.
Ayat – ayat muhkam adalah
yang maksudnya dapat diketahui dengan gamblang, baik melalui takwil (metafora)
atau tidak. Sementara itu ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang
maksudnya hanya dapt diketahui Allah, seperti saat kedatangan hari kiaat,
kelaurnya Dajjal, dan huruf-huruf muqaththa’ah. Defenisi ini dikemukakan
kelompok ahlusunnnah.
b.
Ayat – ayat muhkam adalah
ayat yang maknanya jelas, sedangkan ayat-ayat mutasyabihat sebaliknya.
c.
Ayat-ayat muhkam adalah
ayat yang tidak memunculkan kemungkinan sisi arti lain, sedangkan ayat-ayat mutasyabih
mempunyai sisi arti banyak. Defenisi ini dikemukakan Ibn ‘Abbas.
d.
Ayat-ayat muhkam adalah
ayat yang maknanya dapat dipahami akal, seperti bilangan rakaat shalat,
kekhususan bulan Ramadhan untuk pelaksanaan puasa wajib, sedangkan ayat-ayat mutasyabih
sebaliknya. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Mawardi.
e.
Ayat-ayat muhkam adalah
ayat yang dapat berdiri sendiri (dalam pemaknaannya), sedagkan ayat-ayat mutasyabih
bergantung pada ayat lain.
f.
Ayat-ayat muhkam adalah
ayat yang maksudnya dapat diketahui tanpa penakwilan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih
emerlukan penakwilan untuk mengetahui maksudnya.
g.
Ayat-ayat muhkam adalah
ayat yang lafazh-lafazhnya tidak berulang-ulang sedangkan ayat-ayat mutasyabihat
sebaliknya.
h.
Ayat-ayat muhkam adalah
ayat yang berbicara terntang kefardhuan, ancaman dan janji, sedangkan ayat-ayat
mutasyabih berbicara tentang kisah-kisah dan perumpamaan-perumpamaan.
i.
Ibn Abi Hatim mengeluarkan sebuah
riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib dari Ibn ‘Abbas yang mengatakan bahwa
ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang menghapus (nasikh), berbicara
tentang halal-haram, ketentuan-ketentuan (hudud), kefardhuan, serta yang harus
diimani dan diamalkan. Adapun ayat –ayat mutasyabih adalah ayat yang
dihapus (mansukh) yang berbicara tentang perumpamaan-perumpamaan (amtsal),
sumpah (aqsam), dan yang harus diimani tetapi tidak harus diamalkan.
10)
Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu Al-Quran & Tafsir, (Semarang, Pustaka
Rizki Putra, cet ke – 2, 2009), h.170
j.
Abdullah bin Hamid mengeluarkan
sebuah riwayat dari Adh-Dhahak bin
Al-Muzahim (w.105 H.) yang mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat
tidak dihapus, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang dihapus.
k.
Ibn Hatim mengeluarkan sebuah
riwayat dari Muqatil bin Hayyan yang mengatakan bahwa ayat-ayat mutasyabih adalah seperti
alim lam mim,alif lam ra’, dan alim lam mim ra’.
l.
Ibn Abi Hatim mengatakan bahwa
‘Ikrimah (w. 105 H.). Qatadah bin Di’amah (w.117 H), dan yang lainnya
mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang harus diimani dan
diamalkan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang harus
diimani, tetapi tidak harus diamalkan. 11)
Dengan demikian , muhkam dan mutasyabih
memiliki pengertian secara mutlak dan umum, antara ayat-ayat yang terdapat di
dalamnya tidak ada yang saling menafikkan ataupun mengandung pengertian
yang kontradiktif. Jika Al-Qur’an
memerintahkan atau melarang sesuatu, maka ia tidak akan memerintahkan hal yang
berbeda di tempat lain, tetapi akan dijumpai bahwa perintah dan larangan itu
mungkin saja berulang pada tempat yang lain atau ada ayat yang serupa
dengannya. Ini berarti tidak ada
pertentangan dan perselisihan dalam Al-Qur’an.
Dalam masalah defenisi muhkam dan mutasyabih
yang sudah banyak dijelaskan pada halaman sebelumnya, secara khusus yang
penting dari pengertian keduanya adalah :
1.
Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, yang hanya mengandung satu
pengertian, dan maksud ayatnya dapat diketahui secara langsung.
Adapun
contoh ayat-ayat muhkam, yakni
ayat-ayat nasikh, tentang halal,
haram, hudud, kewajiban, janji dan ancaman.
2.
Mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya diketahui oleh Allah Swt, mengandung
banyak pengertian, dan ayat yang memerlukan penjelasan dengan merujuk pada
ayat-ayat yang lain.
Contoh
ayat-ayat mutasyabih 12) adalah ayat-ayat mansukh, asma’ Allah dan sifat-Nya, seperti :
11)
Lihat Rosihan Anwar, Ulum Al-Quran, h.120-121
a. QS.
Thaha : 5
“(Yaitu)Tuhan Yang Maha Pemurah. Yangbersemayam
di atas Arsy“
b. QS.
Al-Qashash : 88
“ … Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali
wajah-Nya. (Allah) …“
c. QS.
Al-Fath : 10
“ … Tangan Allah ada di atas tangan mereka…. “
d. QS.
Al-An’am : 18
“ Dan Dia-lah yang berkuasa atas sekalian
hamba-hamba-Nya. “
e. QS.
Al-Fajr :22
“ Dan
datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris“
f. QS.
Al-Fath : 6
“ … Dan
Allah memurkai dan mengutuki mereka. …“
g. QS.
Al-Bayyinah : 8
“ … Allah
ridha terhadap mereka… “
h. QS.
Ali Imran : 31
“ … ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu... “
Dan masih
banyak lagi ayat – ayat yang lain, termasuk di dalamnya adalah permulaan surah
yang dimulai dari huruf-huruf hijaiyah, dan tentang pengetahuan Hari Kiamat.
C.
Bentuk
Ayat Al-Muhkamat dan Al-Mutasyabihat
Secara
umum ayat-ayat muhkam dikelompokkan
ke dalam dua bagian :
1)
Ayat-ayat yang
sangat jelas maksudnya, sehingga orang biasapun dapat
12)
Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an
Dan Terjemahan , h. 476,625,838,188,1058,838,1085,80
mengetahuinya. Allah SWT berfirman
dalam QS: Al-Baqarah (2) :183 ;
“ Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan kepadamu berpuasa…. “ 13)
Perintah puasa (ash-shiyam), dalam ayat
ini sudah jelas maksudnya yaitu
tentang hukum kewajiban berpuasa.
2)
Ayat-ayat yang
hanya dapat dipahami oleh para ulama berdasarkan ilmu alat yang mereka kuasai,
seperti ushul fiqh, dan kaidah-kaidah ilmu balaghah.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman
pada QS. Al-Baqarah (2):261
“ Perumpamaan (nafkah yang
dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah
serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir
seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.
Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui“ 14)
Yang dimaksud dengan perumpamaan
orang-orang yang berinfak pada ayat ini adalah perumpamaan pahala bagi orang
yang menginfakkan hartanya. Jadi ada kata yang dibuang yaitu shawab (pahala)
atau ajr (balasan), hal ini disebut dengan majaz nuqshan.
Kemudian
ayat-ayat mutasyabih mempunyai tiga
bentuk, yaitu :
1.
Mutasyabih
dari aspek lafal saja, maksudnya terdapat lafal tertentu dalam satu ayat yang
tidak pasti maksudnya, hal ini disebabkan oleh :
a.
Mutasyabih
karena asing (gharib) atau jarang
digunakan.
Contoh : Firman Allah SWT pada QS.
‘Abasa (80) : 27-31 :
13)
Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an
Dan Terjemahan , h. 44
14)
Ibid, h.65
“ Lalu kami tumbuhkan biji-bijian di muka bumi itu, anggur dan
sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan
buah-buahan serta rumput-rumputan. “ 15)
Kata jarang digunakan, sehingga maknanya
tidak jelas atau tidak
begitu popular, dalam ayat ini
kata diartikan rumput-rumputan.
Ash-Shabuni memberi makna kata
adalah “ segala sesuatu yang tumbuh di bumi yang dimakan oleh binatang,
seperti rumput.”
a.
Mutasyabih
disebabkan suatu lafal memiliki makna yang ganda.
Contoh : Firman Allah SWT pada QS.
Al-Baqarah (2) : 228 ;
“ Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. 16)
Kata Quru’ secara harfiah berarti suci dan haid. Karena tidak ada
kejelasan tentang maksud quru’ ini, maka terdapatlah perbedaan pendapat dari
kalangan ulama, ada yang mengatakan artinta suci dan ada yang mengatakan bahwa
quru’ berarti haid.
b.
Mutasyabih
dari segi susunan lafalnya.
Contoh : Allah SWT, berfirman dalam
QS. An-Nisa’ (4) : 3 ;
“ Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi; dua, tiga, atau empat….”17)
Ayat ini memberi
maksud apabila
di antara kamu ada
yang
memelihara anak yatim dan ingin
menikahinya, tetapi merasa takut
15)
lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an
Dan Terjemahan , h. 1025-1026
16)
Ibid, h. 55
17)
Ibid, h. 115
dan enggan dalam hal memberi mas
kawin, maka janganlah menikah dengannya. Dan nikahilah perempuan lain yang kamu tidak enggan untuk
memberi mas kawin padanya.
2.
Mutasyabih
dilihat dari aspek makna saja, contohnya adalah ayat-ayat yang menjelaskan tentang
sifat-sifat Allah, keadaan hari kiamat, surga dan neraka.
3.
Mutasyabih dilihat
dari
aspek lafal
dan makna. Hal
ini mencakup
beberapa hal, yaitu :
a)
Kuantitas
Yaitu dipandang keumuman dan
kekhususannya. Artinya lafal-lafal yang bersifat umum yang terdapat ayat
dimasukkan dalam kategori ayat mutasyabih, karena mengandung ketidak jelasan
makna, sehingga ia bisa saja diperlakukan secara umum atau ditakhsiskan oleh
ayat yang lain.
b)
Kualitas
Yakni kualitas yang dikandung ayat
apakah ia wajib atau sunnah. Pada dasarnya seperti kaidah ushul fiqh
yaitu perintah itu menunjukkan
kepada yang wajib. Namun, tidak semua perintah bermuatan wajib. Karena amar
dapat juga diartikan irsyad, sunnah, taswiyah, tahdid, dan lain-lain.
Maka perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an memiliki kemungkinan beberapa makna,
dengan demikian perintah termasuk
kategori mutasyabih, kecuali perintah tertentu yang telah disepakati
maknanya, seperti wajibnya shalat dan berwudhu’ sebelum shalat.
c)
Masa, seperti
nasakh dan mansukh.
d)
Syarat sah
melakukan perintah yang dikandung oleh suatu ayat
D.
Sikap
para ulama terhadap ayat-ayat mutasyabihat
Para
ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyabih hanya Allah SWT saja yang mengetahui artinya atau
manusia juga dapat mengetahuinya. Perbedaan pendapat itu terjadi berasal pada
cara menjelaskan struktur kalimat QS. Ali Imran (3) : 7, berikut ini :
“ Dialah yang
menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat – ayat
muhkamat) itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyabihat ). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan
fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui
ta’wilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : “ Kami
telah beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan
kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang
yang berakal. 18)
Rosihan Anwar (2008),
Apakah ungkapan wa
Al-rasikhuna fi al’ilm di athafkan pada lafaz Allah, sementara
lafazh yaquluna sebagai hal. Ini artinya bahwa ayat-ayat
mutasyabih pun diketahui orang-orang yang mendalam ilmunya. Atau apakah
ungkapan wa Al-rasikhuna fi al’ilm sebagai mubtada’, sementara
lafazh yaquluna sebagai khabar ? Ini artinya bahwa ayat-ayat
mutasyabih itu hanya diketahui Allah, sedangkan orang-orang yang mendalam
ilmunya hanya mengimaninya. 19)
Dari ungkapan di atas, perbedaan
pendapat para ulama terbagi dua, yaitu ;
1.
Orang-orang
yang mendalam ilmunya mengetahui arti-arti ayat mutasyabih, Hal ini berdasarkan
:
a.
Ibn Al-Mundzir
mengeluarkan sebuah riwayat dari Mujahid, dari Ibn Abbas, mengenai surat Ali Imran ayat 7.
Ibn Abbas mengatakan “ Aku di antara orang yang mengetahui ta’wilnya.”
Dalam syarah Muslim, Imam Nawawi
berkata : “ Pendapat inilah yang paling shahih, karena tidak mungkin Allah meng-khitab-i
hamba – hamba - Nya dengan uraian yang tidak ada
jalan mengetahuinya.
16)
Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an
Dan Terjemahan , h. 76
17)
Lihat Rosihan Anwar, Ulum Al-Quran, h.123
b.
Asy-Syirazi
berkata : “ Tidak satu ayatpun yang maksudnya diketahui Allah. “ Para ulama sesungguhnya juga mengetahuinya. Jika tidak
apa bedanya mereka dengan orang awam. “
2.
Orang-orang
yang mendalam ilmunya hanya mengimani ( tidak mengetahui arti ayat-ayat
mutasyabih )
Hal ini diperkuat oleh beberapa riwayat,
yaitu :
a.
Riwayat yang dikeluarkan ‘abd
Razzaq dalam tafsirnya Al-Hakim dalam Mustadrak-nya dari Ibn Abbas. Ketika
membaca surah Ali Imran (3):7, Ibnu Abbas memperlihatkan bahwa huruf wawu pada
ungkapan wa arrasikhuna berfungsi sebagai isti’naf (tanda kalimat baru).
Riwayat ini walau tidak didukung satu raqam qira’ah, derajatnya-serendah-rendahnya-
adalah khabar dengan sanad shahih yang berasal dari Turjuman Al-Qur’an (julukan
Ibn Abbas). Oleh karena itu pendapatnya di dahulukan daripada pendapat
selainnya.
b.
Ibn Abu Dawud, dalam Al-Mashahif,
mengeluarkan sebuah riwayat dari Al-‘Amasy. Ia menyebutkan bahwa diantara qira’ah Ibn Mas’ud disebutkan
:
Sesungguhnya penakwilan ayat-ayat
mutasyabih hanya milik Allah semata, sedangkan orang-orang yang mendalamilmunya
berkata , “ Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabih.”
c.
Al-Bukhari, Muslim dan lainnya
mengeluarkan sebuah riwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah
pernah bersabda ketika mengomentari surat Ali Imran (3) ayat 7 , yang artinya
sebagai berikut :
“ Hadits Bukhari : Diriwayatkan dari
‘Aisyah r.a ; Rasulullah Saw. Membaca ayat suci berikut : Dialah yang
menurunkan kepadamu kitab Al-Qur’an. Di dalamnya terdapat ayat-ayat muhkamat
(yang maksudnya jelas dan terang). Itulah pokok-pokook Al-quran (di antaranya
ayat-ayat tentang Al-Ahkam, Al-Faraid dan Al-Hudud, dan lainnya adalah
ayat-ayat mutasyabihat ( berarti banyak atau kiasan). Adapun orang yang hatinya
condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat, karena ingin
mencari peselisihan dan mencari-cari takwilnya. Tetapi tiada yang mengetahui
takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya (al-rasikhun fi
al-‘ilm) berkata, Kami beriman kepada Al-Qur’an. Seluruhnya dari Tuhan kita. Dan tiada yang mau memetik pelajaran
kecuali Ulul Albab (QS. Ali Imran (3):7) ‘ Aisyah menambahkan : “ Kemudian
Rasulullah SAW, bersabda, “ jika kamu melihat mereka yang mengikuti ayat-ayat
mutasyabihat, maka mereka itulah yang disebutkan Allah (sebagai orang yang cenderung kepada kesesatan), maka
bersikap hati-hatilah terhadap mereka. “ 18)
d.
Ath-Thabrani, dalam Al-Kabir,
mengeluarkan sebuah riwayat dari Abu Malik Al-‘Asy’ari. Ia pernah mendengar
Rasulullah SAW bersabda :
“Ada tiga hal yang aku khawatirkan
dari ummatku, yaitu pertama menumpuk-numpuk harta sehingga memunculkan sifat
hasad dan menyebabkan terjadinya pembunuhan. Kedua mencari-cari takwil ayat
mutasyabih, padahal hanya Allah lah yang mengetahuinya…”
e. Ibn
Ali Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari ‘Aisyah bahwa yang dimaksud dengan
kedalaman ilmu pada surat Ali Imran (3) ayat 7 adalah mengimani ayat-ayat mutasyabih,
bukan berusaha untuk mengetahuinya.
f. Ad-
Darimi, dalam musnadnya, mengeluarkan sebuah riwayat dari Sulaiman bin Yasar
yang menyatakan bahwa seorang pria yang bernama Shabigh tiba di Madinah.
Kemudian, ia bertanya-tanya tentang takwil ayat-ayat mutasyabih. Ia lalu
diperintahkan untuk menemui ‘Umar. ‘Umar sedang memasang tangga ke pohon kurma
ketika orang itu menemuinya. “ Siapakah engkau”, Tanya ‘Umar. “ Saya adalah
‘Abdullah bin shabigh.” Umar lalu memukul orang itu dengan beberapa kayu dari
tangga sehingga kepala orang itu berdarah. Dalam riwayat lain di sebutkan bahwa
‘Umar memukul orang itu dengan cambuk sehingga meninggalkan bekas pada punggungnya.
19)
Dari kedua
pendapat di atas, pendapat pertama sangat sedikit yang mendukungnya. Berbeda
dengan pendapat
kedua, pendapat
ini sebagian besar diikuti oleh sahabat, tabi’in,
dan generasi sesudahnya.
Berkaitan dengan
permasalahan ini, M. Quraish Shihab (1998), menuliskan ;
Dari segi materi terlihat bahwa
ada ayat-ayat Al-Qur’an yang tak dapat diketahui kecuali oleh Allah atau Rasul
bila beliau menerima penjelasan dari Allah. Pengecualian ini mengandung
beberapa kemungkinan arti, antara lain : (a) ada ayat-ayat yang memang tidak
mungkin dijangkau pengertiannya oleh seseorang, seperti ya sin, alif lam mim
dan sebagainya. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah yang
18) Az-Zabidi,
Ringkasan Shahih Al-Bukhari, (Bandung,, Mizan Media Utama, 2009), h.729
19)
Lihat Rosihan Anwar, Ulum Al-Quran, h.120-121
membagi ayat-ayat Al-Qur’an kepada
muhkam (jelas) dan mutasyabih (samar), dan tidak ada yang
mengetahui talwil (arti) nya kecuali Allah, sedang orang-orang yang dalam ilmunya berkata kami beriman
kepada ayat-ayat yang mutasyabih
(QS 3:7) Atau (b) ada ayat-ayat yang secar umum diketahui artinya, atau sesuai
dengan bentuk luar redaksinya, tetapi tidak dapat didalami maksudnya, seperti
masalah-masalah metafisika, perincian ibadah, dan sebagainya, yang tidak
termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal manusia. 20)
Ar-Raghib
Al-Asfahani mengambil jalan tengah dengan membagi ayat-
ayat mutasyabih di pandang
dari segi kemungkinan mengetahui maknanya, yaitu ;
a. Bagian
yang tidak ada jalan sama sekali untuk mengetahuinya, seperti saat terjadinya
hari kiamat, keluar binatang dari bum, dan lain-lain.
b. Bagian
yang menyebabkan manusia dapat menemukan jalan untuk mengetahuinya, seperti
kata-kata asing dalam Al-Qur’an.
c. Bagian
yang terletak di antara keduanya, yakni yang hanya dapat diketahui orang-orang
yang mendalam ilmunya.
Keterangan
mengenai perbedaan pendapat dalam memahami QS. Ali Imran ayat 7, berpangkal
pada masalah meletakkan waqaf (tanda
berhenti) dalam ayat. Hal ini menimbulkan dua perbedaan pendapat, yaitu :
1.
Pendapat yang
menyatakan kedudukan lafazh sebagai huruf isti’naf
(permulaan) dan waqafnya di letakkan pada lafazh “ Wama ya’lamu ta’wilahu illa Allah, “
Pendapat ini
didukung oleh Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas.ud, Ibnu Abbas, dan sahabat serta
tabi’in lainnya. Alasannya adalah keterangan yang diriwayatkan Al-Hakim dalam
Mustadrak-Nya bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa ia membaca “ Wa ma ya’lamu ta’wilahu illa Allah, wa
ar rasikhuna fi’ilmu yaquluna amanna bihi
“ . Maka ayat ini yang menyatakan celaan terhadap orang-orang yang mengikuti
hal-hal yang mutasyabih dan menyifatinya sebagai orang-orang yang hatinya
condong kepada kesesatan dan berusaha menimbulkan fitnah.
2.
Pendapat kedua yang
menyatakan kedudukan lafazh sebagai ma’thuf
dan
waqafnya
diletakkan pada lafazh “ War rasikhuna
fil ‘Ilmi “
20) M.
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung, Mizan, 1998) h. 78
Pendapat ini
mengatakan bahwa huruf “wawu” sebagai
huruf athaf, dan yang mendukung
pendapat ini adalah segolongan ulama dan dipelopori oleh Muhajid. Dengan alasan
; riwayat yang disampaikan Mujahid, katanya : Saya telah membacakan mushaf
kepada Ibnu Abbas mulai dari Fatihah sampai selesai, dan saya mempelajarinya
sampai saya memahami setiap ayatnya dan sayapun mempertanyakan padanya tentang
tafsirnya. Pendapat ini juga didukung oleh Nawawi dalam Syarah Muslimnya, ia
berpendapat bahwa pendapat ini paling shahih, karena Allah Swt tidak mungkin
menyeru kepada Hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak diketahui makna dan maksud
Allah terhadap mereka.
Namun, walaupun ada perbedaan pendapat.
Para ulama mencari kompromi terhadap dua pendapat ini dengan memahami makna
takwil, dengan menjadikan takwil sebagai rujukan maka tidak akan ada
pertentangan dari kedua pendapat tersebut, hal ini didasari karena lafazh
takwil digunakan untuk menunjukkan tiga makna, yaitu :
1.
Memalingkan
sebuah makna yang rajah kepada makna yang marjuh, karena ada suatu dalil yang
menghendakinya.
2.
Takwil dengan
makna tafsir yaitu menerangkan atau menjelaskan. Hal ini bermaksud takwil untuk
menafsirkan lafazh-lafazh agar maknanya dapat dipahami.
3.
Takwil adalah
pembicaraan tentang substansi atau hakikat suatu lafazh.
Maka
dari kompromi tadi, pendapat pertama menjelaskan makna takwil dari segi
substansi atau hakikat suatu lafazh, sedangkan pendapat kedua menjelaskan makna
takwil dari sisi penafsiran lafazh-lafazh agar maknaya dapat dipahami.
E.
Fawatih
As- Suwar
Dalam
Al-Qur’an terdapat 29 surat
sekelompok huruf, kadang-kadang huruf tunggal setelah kata basmallah. Hal
inilah yang menjadi diskusi panjang dalam sejarah pemikiran umat Islam. Rosihan
Anwar (2008), “ huruf Al-Muqaththa’ah (huruf yang terpotong-potong) di
sebut dengan fawatis suwar (pembuka surat), menurut Asy-Suyuthi, tergolong dalam
ayat mutasyabihat. “
Berikut
adalah redaksi fawatis as surah di dalam Al-Qur’an
1.
Terdiri dari
satu huruf , dapat ditemukan dalam Al-Qur’an surah (38:1, 50:1, 68:1 ) yang
diawali huruf nun.
2.
Terdiri dari dua
huruf, dapat di temukan pada Al-Qur’an surah (40:1, 41:1, 42:1, 43:1, 44:1,
45:1, 46:1) yang diawali huruf ha mim,
kemudian (20:1), yang diawali huruf thaha, 36:1 yang diawali huruf yasin.
3.
Terdiri dari
tiga huruf, dapat di temukan pada Al-Qur’an surah (2:1, 41:1, 3:1, 29:1, 30:1,
31:1, 32:1) .
4.
Terdiri dari
empat huruf dapat di temukan pada Al-Qur’an surah (7:1, 13:1)
5.
Terdiri dari lima huruf dapat di
temukan pada Al-Qur’an surah 19:1.
F.
Sikap
Ulama Terhadap Ayat-Ayat Mutasyabihat
Dalam
menanggapi ayat-ayat mutasyabihat, pendapat ulama terbagi dua :
1.
Mazhab Salaf.
Pada mazhab ini para ulama mempercayai
dan mengimani ayat-ayat mutasyabih
dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri.
2.
Mazhab Khalaf
Para ulama dalam mazhab ini
berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih
yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan
keluhuran Allah.
Muhammad Bin Alawi (1999),
Sekelompok Ahlussunnah berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat itu sehingga
melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah, inilah mazhab khalaf. Imam
Haramain pada mulanya masuk mazhab ini, kemudian ia menrik dirinya. Dalam Risalah An-Nizdamiyah, ia menuturkan bahwa perinsip yang dipegang
dalam beragama adalah mengikuti mazhab salaf, sebab mereka memperoleh derajat
dengan tidak menyinggung ayat-ayat mutasyabihat.
Ibnu Ash-Shalah mengatakan bahwa madzhab
salaf ini dianut oleh generasi dan para pemuka umat Islam yang pertama. Madzhab
ini pulalah yang dipilih oleh imam-imam dan para pemuka fiqh. Kepada madzhab
ini pulalah, para imam dan para pemuka haditsnya mengajak para pengikutnya.
Ibnu Daqiq Al-‘id menengahi persoalan
ini dengan mengatakan bahwa apabila penakwilan dilakukan terhadap ayat-ayat
mutasyabih di kenal oleh lisan Arab, penakwilan itu tidak perlu diingkari. 21)
G.
Takwil
yang tercela
Takwil
yang tercela adalah takwil dengan memberikan pengertian yang memalingkan
lafazhnya dari makna rajah kepada
makna marjuh karena ada dalil yang
menyertainya. Takwil ini digunakan
sebagian besar para ulama mutaakhirin
dengan bermaksud mensucikan Allah SWT dari keserupaan terhadap makhluq, seperti
mentakwilkan “tangan” (al yad) dengan kekuasaan (al-qudrah). Apabila qudrah yang mereka tetapkan itu betul
dan mungkin, maka penetapan tangan bagi Allah pun tidak salah dan mungkin.
Sebaliknya, jika penetapan tangan
dianggap batil dan terlarang karena menimbulkan keserupaaan menurut dugaan para
ulama, maka penetapan kekuasaanpun juga batil dan terlarang.
Celaan
ini ditujukan terhadap mereka yaitu para penakwil yang mentakwilkan
lafazh-lafazh yang kabur maknanya bagi mereka (hal ini mungkin tidak berlaku
pada orang lain ), tetapi dengan tidak mengikut makna takwil yang sebenarnya,
H.
Hikmah
Ayat Mutasyabihat
1.
Akal sedang
dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabihat
sebagaimana Allah memberi cobaan kepada badan untuk beribadah. Ayat-ayat
mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal karena kesadaran akan
ketidakmampuan akal dalam mengungkapkan ayat-ayat mutasyabihat.
2.
Pada QS. Ali
Imran ayat 7, Allah SWT mencela orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasyabihat dan memberikan pujian
kepada orang-orang yang mendalam ilmunya, yakni orang-orang yang tidak
mengikuti hawa nafsunya untuk mengikuti
ayat-ayat mutasyabihat,
mereka termasuk orang yang tidak
menempatkan akalnya pada tempat yang layak, yang tidak berfikir
sebagaimana seharusnya ia mengguna-
kan akal pikirannya.
21) Manna’
Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’an, h.270
SIMPULAN
Muhkam
secara etimologi berarti suatu ungkapan yang maksud makna lahirnya tidak
mungkin digangti atau diubah, sedangkan mutasyabih adalah ungkapan yang maksud
makna lahirnya samar. Sedangkan secara istilah terdapat beberapa pendapat,
antara lain adalah yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas “ Ayat-ayat muhkam
adalah ayat yang tidak memunculkan kemungkinan sisi arti lain, sedangkan
ayat-ayat mutasyabih mempunyai sisi arti banyak. “ dan Al-Mawardi “
Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maknanya dapat dipahami akal, seperti
bilangan rakaat shalat, kekhususan bulan Ramadhan untuk pelaksanaan puasa
wajib, sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya”.
Bentuk-bentuk
ayat muhkamat dan mutasyabihat dapat dibedakan seperti ;
Muhkamat yang terbagi kepada dua yaitu
ayat-ayat yang jelas aksudnya sehingga orang-orang biasa mampun memahaminya,
dan ayat yang dipahami oleh para ulama berdasarkan ilmu yang mereka miliki.
Sedangkan mutasyabih dapat dilihat bentuknya dari aspek lafal, makna, dan aspek
lafal dan makna.
Terjadi
perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam memahami ayat-ayat mutasyabih
berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran ayat 7, sebagian kecil
mengatakan bahwa orang-orang yang dalam ilmunya mengetahui makna dari ayat-ayat
mutasyabihat. Namun, sebagian besar mengatakan bahwa tidak boleh mentakwilkan
ayat-ayat mutasyabih, walaupun kedua pendapat di atas memiliki landasan fikir
masing-masing. Dan sikap ulama terpecah menjadi dua, ada yang disebut dengan
mazhab salaf yaitu yang mengimani secara penuh ayat-ayat mutasyabihat tanpa
mentakwilkan ayat, dan ulama khalaf yang mengatakan boleh menakwilkan ayat yang
menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah.
Namun, jika terjadi penakwilan yang memalingkan lafazh dari makna rajah kepada
makna marjuh, maka penakwilan ini dianggap tercela.
Adapun
hikmah yang utama dalam keberadaan ayat-ayat mutasyabihat ini adalah sebuah
sarana penundukan akal terhadap Allah SWT karena kesadarannya akan
ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabihat.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbi
Ash Shiddieqy, (2009), Ilmu
Al-Quran & Tafsir, Semarang, Pustaka Rizki Putra, cet ke – 2.
Kadar M. Yusuf, (2010), Studi Al-Quran, Jakarta, Amzah, cet ke –
2.
Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , (1990), Arab Saudi, Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at
Al-Mush-haf.
Manna’
Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’an, (2010) Terjemahan Aunur Rafiq El-Mazni, Jakarta, Pustaka
Al-Kautsar, cet ke-5.
M.Nasir Ar-Rifa’I, Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir Jilid IV, (2007), Jakarta, Gemas Insani.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (1998), Bandung, Mizan.
Rosihan Anwar, Ulum Al-Quran, (2008), Bandung, Pustaka Sedia.
Sayyid Qutb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an Jilid 1,( 2000), Jakarta,
Robbani Press.
.
Zabidi, Ringkasan
Shahih Al-Bukhari, (2009), Bandung,Mizan Media Utama.
ass,, mkasih y buk ats berbagi ilmunya. "slm knal...
BalasHapus