ASBAB AN- NUZUL
Zuraidah (10 Pedi 1818)
A.
Pendahuluan
Al-Qur’an diturunkan dengan tujuan untuk
memberikan bimbingan kepada manusia kepada jalan yang lurus, dengan aplikasi
kehidupan yang berlandaskan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah dan Rasul-Nya,
disamping itu Al-Qur’an diturunkan bertujuan agar manusia mengambil hikmah dan
pelajaran dari khabar yang telah disampaikan Allah melalui firman-Nya tentang
peristiwa yang terjadi di masa lalu, masa sekarang, dan masa yang datang.
Para ulama memberikan perhatian besar
terhadap Al-Qur’an, terutama ilmu-ilmu yang harus ada padanya untuk dapat
menafsirkan Al-Qur’an secara benar. Salah satu ilmu yang harus dimiliki adalah
pengetahuan tentang asbab an-nuzul ayat yaitu sebab-sebab turunnya ayat
Al-Qur’an.
Di masa Rasulullah, para sahabat telah
banyak menyaksikan peristiwa sebab-sebab turunnya ayat, karena hal ini terjadi
disebabkan adanya kejadian atau peristiwa dan pertanyaan yang diajukan kepada
Rasulullah. Karena inilah ilmu asbab
an-nuzul itu berpengaruh besar terhadap pengambilan suatu hukum, karena
dengan mengetahui asbab an-nuzul
suatu ayat maka akan dapat mengambil hukum yang tepat yang terkandung di
dalamnya.
Untuk mengetahuai asbab an-nuzul secara shahih,
para ulama berpegang erat terhadap riwayat shahih
(yaitu para perawi yang secara umum dipandang sudah tidak diragukan lagi
padanya) yang berasal dari Rasulullah Muhammad SAW. kehati-hatian para ulama
ini sangat beralasan karena pengambilan riwayat yang salah akan menghasilkan
riwayat yang salah.
Selanjutnya akan dijelaskan secara rinci,
dalam makalah ini tentang asbab an-nuzul,
mulai dari definisi yang dikemukakan oleh para ulama tentang asbab an-nuzul, kemudian apakah semua
ayat memiliki asbab an-nuzul,
bagaimana bentuk-bentuknya, dan bagaimana cara mengetahui asbab an-nuzul, dan hal-hal yang berkaitan erat dengan asbab an-nuzul, yang ditutup dengan
apakah urgensi dan manfaat kita mengetahui asbab
an-nuzul ayat.
B.
Defenisi
Asbab An- Nuzul
Kata Asbab
An-nuzul terdiri dari dua kata, yaitu asbab
dan an – nuzul. Kata Asbab adalah jama’ dari sabab, yang secara harfiah diartikan
sebab atau latar belakang. Dan an – nuzul
adalah masdar dari nazala yang
berarti turun. Maka kata asbab an –nuzul
secara harfiah memiliki arti sebab – sebab turun atau latar belakang yang
membuat turun. Dan secara istilah asbab
an-nuzul diartikan suatu ilmu yang mengkaji tentang sebab-sebab atau hal –
hal yang melatarbelakangi turunnya ayat Al-quran.
Beberapa defenisi Asbab an-nuzul yang dikemukakan oleh para ulama, antara lain :
1.
Menurut Az-Zarqani:
“Asbab An-Nuzul” adalah khusus atau
sesuatu yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya ayat Al-Quran
sebagai penjelas hukum pada saat itu terjadi. “
2.
Ash-Shabuni:
“Asbab an-nuzul” adalah peristiwa atau
kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang
berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang
diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama. ‘
3.
Subhi Shalih:
Artinya:
“Asbab an-nuzul” adalah sesuatu yang
menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat Al-Quran (ayat-ayat) yang
terkadang menyiratkan peristiwa itu, sebagai respon atasnya. Atau sebagai
penjelas terhadap hukum-hukum di saat peristiwa terjadi.”
4.
Mana’ Al-Qthathan:
Artinya :
“ Asbab an-nuzul” adalah
peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya Al-Quran berkenaan dengannya
waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan
yang diajukan kepada Nabi. 1)
1) Rosihan
Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung, Pustaka
Sedia. 2008), h.60-61
Dalam bukunya yang berjudul Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an, Manna’ Al-Qaththan menuliskan :
Setelah dikaji
dengan cermat, sebab turunnya suatu ayat itu berkisar pada dua hal :
1.
Jika terjadi suatu peristiwa,
maka turunlah ayat Al-Qur’an mengenai peristiwa itu. Hal itu seperti diriwayatkan
dari Ibnu Abbas, “ Ketika turun ayat, “ Dan
peringatkanlah kerabat-kerabatmu yang terdekat, “ Nabi turun dan naik ke
bukit Shafa, lalu berseru, “Wahai kaumku!” Maka mereka berkumpul dekat Nabi.
Beliau berkata lagi, ‘ Bagaimana pendapatmu bila aku beritahukan kepadamu bahwa
di balik gunung ini ada sepasukan berkuda hendak menyerang kalian, percayakan
kalilan apa yang kukatakan? Mereka menjawab, ‘ Kami belum pernah melihat engkau
berdusta.’ Nabi melanjutkan, ‘ Aku memperingatkan kamu sekalian tentang siksa
yang pedih.’ Ketika itu Abu Lahab berkata, ‘ Celakalah engkau, apakah engkau
mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini?’ Lalu ia berdiri. Maka turunlah surat ini ‘ Celakalah
kedua tangan Abu Lahab. ‘
2.
Bila Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat Al-Qur’an
menerangkan hukumnya. Hal itu seperti terjadi pada Khaulah Binti Tsa’labah
dikenakan ia terkena zihar oleh suaminya, Aus bin Shamit. Lalu ia datang kepada
Rasulullah mengadukan hal tersebut. Aisyah berkata, Maha suci Allah yang
pendengaran-Nya meliputi segalanya. Aku mendengar ucapan Kaulah binti Tsa’labah
itu, sekalipun tidak seluruhnya. Ia mengadukan suaminya kepada Rasulullah.
Katanya, ‘Wahai Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa
kali aku mengandung anaknya, setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi. Ia
menjatuhkan zihar kepadaku! Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu’,”
Aisyah berkata,” Tiba-tiba Jibril turun membawa ayat-ayat ini, “ Sesungguhnya,’Allah telah mendengar
perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya,’ yakni Aus bin
Shamit. 2)
Walaupun pengertian asbab an-nuzul adalah karena sebab
sesuatu baik berupa peristiwa ataupun pertanyaan maka ayat diturunkan, yang
digunakan sebagai penjelas terhadap apa yang terjadi. Tetapi, bukan berarti
bahwa semua ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Quran diturunkan karena sebab dari
sesuatu. Di antara ayat Al-Quran ada yang diturunkan karena ibtida’
(pendahuluan), akidah iman, syari’at dan kewajiban. Senada dengan hal ini
Al-Ja’bari menyebutkan, “ Al-Qur’an diturunkan dalam dua kategori; yang turun
tanpa sebab, dan yang turun karena suatu peristiwa atau pertanyaan, “3)
2) Manna’
Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’an, (Terjemahan Aunur Rafiq
El-Mazni, Jakarta,,
Pustaka Al-Kautsar, cet ke-5, 2010),
h.94-95
3) Ibid
C.
Bentuk
Asbab An- Nuzul
Berdasarkan defenisi di atas, maka asbab an-nuzul mempunyai dua bentuk
yaitu :
1. Bentuk
peristiwa atau kejadian, maksudnya adalah adanya suatu peristiwa yang terjadi
di kalangan para sahabat kemudian turun ayat yang berkaitan dengan peristiwa
tersebut sehingga permasalahannya dapat diselesaikan.
Para
mufassir membagi peristiwa kepada tiga, yaitu :
a. Perdebatan
(Jadal), yaitu perdebatan antara
sesama umat Islam atau antara umat Islam dengan orang-orang kafir.
Contohnya
:
Sebab
turunnya Surah Ali Imran (3) ayat 96, yang berbunyi :
“
Sesungguhnya rumah yang mula-mula di bangun untuk tempat (beribadah) manusia
ialah Baitullah yang ada di Bakkah
(Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia” 4)
Peristiwa
yang terjadi adalah perdebatan antara sahabat Nabi dengan orang-orang Yahudi
yang keduanya masing-masing membanggakan kiblat mereka, orang Yahudi berkata,
Baitul Maqdis lebih utama dari Ka’bah, sedangkan umat Islam mengatakan
Ka’bahlah yang paling mulia dan utama. Maka turunnya Surah Ali Imran ayat 96
adalah jawaban untuk menyelesaikan perdebatan di atas.
b. Kesalahan,
yang menjelaskan peristiwa atau kejadian yang menceritakan perbuatan salah yang
dilakukan oleh para sahabat, dan turunnya ayat berguna untuk meluruskan
kesalahan agar tidak terulang lagi. Contohnya ketika Abdurrahman bin Auf
melakukan kenduri, ia mengundang para sahabat dan menjamunya dengan khamr, dan membuat mereka dalam keadaan
mabuk. Saat waktu maghrib tiba,
mereka shalat dan salah satu diantaranya menjadi imam, ketika shalat yang
dibaca adalah surah Al-Kafiruun (109), karena dalam keadaan
4)
Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an
Dan Terjemahan , (Arab Saudi, Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at
Al-Mush-haf, 1990) h. 91.
mabuk,
imam membaca ayat
dengan tidak membaca huruf nafi yaitu
, sehingga
hal
ini merubah arti menjadi aku sembah apa yang kamu sembah. Maka
dengan peristiwa ini Allah menurunkan surah An-Nisa’ (4): 43, yaitu :
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
dekati shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk,
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan (jangan pula hampiri
masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,
hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali
dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci) : sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun “ 5)
Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Ilmu
Al-Qur’an & Tafsir, menuliskan :
Pada suatu ketika Rasulullah saw.
mengutus Martsad al-Ghanamy pergi ke Makkah untuk menjemput kaum Islam yang
lemah yang masih bermukim di sana.
Di Makkah Martsad dijumpai oleh seorang perempuan musyrikin yang sangat cantik
dan hartawan, yang jatuh cinta kepadanya. Peremppuan itu mengajak berzina.
Karena Martsad pada ketika itu telah menjadi seorang Islam yang sangat kokoh
imannnya maka ajakan itu ditolaknya, Martsad tidak mau menuruti hajat perempuan
itu karena berlawanan dengan kehendak syara’. Kemudian Karena perempuan itu
sangat jatuh cinta kepada Martsad maka ia meminta agar Martsad mau mengawininya
dan menjadi suaminya. Permintaan itu diterima oleh Martsad, jika mendapat izin
dari Rasulullah saw. Ketika Martsad telah smpai kembali ke Madinah, ia
menceritakan peristiwa itu dan meohon izin kepada Rasuluntuk beristeri dengan
perempuan yang mencintainya. Saat itu turunlah ayat :
5)
Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an
Dan Terjemahan , h. 125.
“ Dan
janganlah kamu menikah dengan wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmim lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke
surga dan apuanan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah – perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
“ (QS. AL-Baqarah (2):22) 6)
c. Harapan
dan keinginan
“ Sungguh Kami (sering) melihat mukamu
menengadah ke langit. Maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada palingkanlah mukamu ke arahnya.
(Q.S. Al-Baqarah (2):144).”
Al-Barra’
mengatakan setelah sampai di kota
Madinah. Rasul SAW shalat menghadap baitul maqdis selama 16 bulan, padahal ia
lebih suka berkiblat ke Ka’bah. Maka setiap kali shalat, Nabi selalu menengadah
ke langit mengharap turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap Ka’bah.
Maka justru itu, turunlah ayat ini. 7)
2. Bentuk
pertanyaan.
1.
Pertanyaan tentang hal – hal yang
berkaitan dengan masa lalu,
6)
Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu Al-Quran & Tafsir, (Semarang, Pustaka
Rizki Putra, cet ke – 2, 2009), h.55
7)
Kadar M. Yusuf, , Studi Al-Quran, (Jakarta, Amzah, cet ke
– 2, 2010), h.92-93
contohnya
:
Turunnya
Q.S Al-Kahfi (18):83, yang menceritakan tentang pertanyaan orang Yahudi tentang
Dzulqarnain, yaitu :
“
Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad)
tentang Dzulqarnain, Katakanlah : Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya” 8)
Selanjutnya
cerita tentang Dzulqarnain dikisahkan dalam QS. Al-Kahfi ayat 84-101.
2.
Pertanyaan
tentang hal – hal yang berkaitan dengan masa berlangsung, contohnya :
Turunnya
Q.S. Al-Baqarah (2):222, yang menceritakan pertanyaan para sahabat mengenai
hukum mempergauli wanita yang sedang haid, yaitu :
“ Mereka
bertanya kepadamu tantang haidh. Katakanlah: “ Haidh itu adalah suatu kotoran”.
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh, dan
janganlah kamu mendekati, sebelum mereka suci, maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri“ 9)
3.
Pertanyaan
tentang hal – hal yang berkaitan dengan masa yang akan datang, contohnya :
Turunn
ya Q.S Al-‘Araf (7) : 187, yang menceritakan pertanyaan orang kafir tentang
kejadian kiamat, yaitu :
8)
Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , h. 456.
9)
Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , h. 54
“ Mereka
menanyakan kepadamu tentang kiamat: “ Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “
Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak
seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu
amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Dan Kiamat
itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba”. Mereka bertanya
kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah : “
Sesungguhnyya pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah di sisi Allah,
kebanyakan manusia tidak mengetahui. “ 10)
Kadar
M. Yusuf dalam buku Studi Al-Quran, menuliskan :
Peristiwa yang
menyebabkan turunnya suatu ayat pada hakikatnya adalah hadits. Oleh sebab itu,
asbabun nuzul termasuk ilmu riwayah bukan dirayah. Ia ada yang shahih ada pula
yang tidak shahih. Yang boleh dijadikan sandaran hokum hanyalah asbabun nuzul
yang shahih. Yang boleh dipedomani dalam menentukan asbabun nuzul adalah
perkataan para sahabat yang langusng menyaksikan peristiwa, atau diterimanya
suatu berita tentang peristiwa itu dari sahabat lain. 11)
D.
Ungkapan
yang menunjukkan Asbab An-Nuzul
Ada
dua ungkapan yang menunjukkan asbab an – nuzul, yaitu :
1. Ungkapan
yang dapat dipastikan sebagai asbab
an-nuzul
Ada
dua ungkapan yang dapat dipastikan sebagai asbab an-nuzul, yaitu :
a. (
sebab turun ayat ini ialah…). Jika didahului oleh ungkapan ini dalam suatu
peristiwa, maka dapat dipastikan bahwa peristiwa itu merupakan asbabun nuzul
ayat yang disebut sebelumnya.
b.
Tidak menggunakan kata seperti diatas. Tetapi
menggunakan ungkapan
atau , yang
dimulai dengan fa setelah peristiwa
dijelaskan. Hal ini tidak diragukan lagi bahwa peristiwa ini juga merupakan
asbabun nuzul ayat bersangkutan, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
yang diterima oleh Jabir: dia berkata, orang Yahudi berkata. Siapa saja yang
mempergauli istrinya dari arah belakang, maka anaknya akan lahir dalam keadaan
cacat 12)
10) Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an
Dan Terjemahan , h. 253.
11) Lihat
Kadar M. Yusuf, , Studi Al-Quran, h.94
12) Ibid, hal 95
Berkenaan
dengan peristiwa di atas Swt berfirman
dalam surah Al- Baqarah ayat 223, yang berbunyi :
“ Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah
tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat kamu bercocok tanam
itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk
dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman. “13)
2. Ungkapan
yang tidak secara pasti menunjukkan kepada asbab an-nuzul
Ungkapan yang tidak menggunakan dua kata yang telah
disebutkan sebelumnya yaitu kata dan setelah peristiwa, tetapi menggunakan
kata sebelum menjelaskan suatu
peristiwa, maka hal ini belum dapat dipastikan apakah ia merupakan asbab
an-nuzul ayat atau tidak, dengan kata lain terbukanya dua kemungkinan ;
mungkin asbab an- nuzul ayat dan mungkin juga bukan asbab an-nuzul
ayat, seperti :
Dalam menentukan asbab an-nuzul ayat, maka
ungkapan-ungkapan di atas dapat dijadikan pertimbangan oleh mufassir, yang
mengandung maksud bahwa seorang mufassir
disarankan untuk merujuk kepada peristiwa yang mengandung ungkapan dalam
mencari asbab an-nuzul ayat.
E.
Beberapa
Riwayat Mengenai Asbab An-Nuzul dan Cara Mengetahuinya
Ada lima sikap para mufassir dalam
menghadapi satu ayat yang memiliki beberapa riwayat yang berhubungan dengan
asbab an-nuzul, yaitu :
1. Apabila
ditemukan bentuk dari redaksi riwayat itu tidak mengandung ketegasan, contohnya
:
a.
Ayat ini turun mengenai urusan ini
b.
Aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini
Dalam
buku Manna’ al-Qatthan, yang berjudul Mahabits
Fii ‘Ulumil
dituliskan :
13) Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an
Dan Terjemahan , h. 54.
a.
b.
14)
Hal
ini memberi penjelasan bahwa tidak ada pertentangan di antara kedua riwayat
itu, dengan alasan bahwa maksud riwayat itu untuk memberi penafsiran ataupun
penjelasan tentang hal itu termasuk ke dalam makna ayat yang dapat ditarik kesimpulan
tentangnya, dan bukan menyebutkan adanya asbab
an-nuzul.
2. Apabila
salah satu redaksi riwayat tidak tegas, misalnya, “ Ayat ini turun
mengenai
urusan ini,” ( )15)
dan riwayat lain mengatakan asbab an-nuzul yang tegas, maka yang menjadi
pegangan adalah riwayat yang menyebutkan asbab an-nuzul yang tegas. Misalnya
sebab turunnya QS. Al-Baqarah ayat 223, yaitu :
Dari Nafi’
disebutkan “ Pada suatu hari aku membaca ayat “Istri-istrimu adalah ibarat
tempat kamu bercocok tanam”, maka kata Ibnu Umar, Tahukah engkau mengenai
apa ayat ini turun ? Aku menjawab, ‘Tidak.’ Ia berkata; ‘ Ayat ini turun
berkaitan dengan masalah mendatangi istri dari belakang (dubur)’.’ Redaksi
riwayat dari Ibnu Umar ini tidak dengan tegas menunjukkan sebuah nuzul.
Sementara itu terdapat riwayat yang secara tegas menyebutkan sebab nuzul yang
bertentangan dengan riwayat tersebut. Melalui Jabir katanya, “ Orang Yahudi
berkata, jika seorang laki-laki mendatangi istrinya dari belakang, maka anaknya
akan bermata juling. Maka turunlah ayat; (Istri-istrimu
adalah ibarat tepat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok
tanammu bagaimana saja kamu kehendaki), Maka riwayat Jabir inilah yang
dijadikan pegangan, karena ucapannya merupaka pernyataan tegas tentang sebab
nuzul. Sedang ucapan Ibnu Umar, tidak demikian. Karena itu ia dipandang sebagai
kesimpulan atau penafsiran. 16)
3. Apabila
riwayatnya banyak dan kesemuanya menegaskan asbab an-nuzul, dan salah satu
riwayatnya adalah shahih, maka riwayat yang shahih inilah yang dijadikan
pegangan, contohnya : turunnya surah Ad-Dhuha (93) : 1-3, yang artinya adalah :
“ Demi waktu dhuha,dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tiada
meninggalkanmu dan tidaklah benci kepadamu “.
14) Manna’
Al-Qaththan, Mahabits Fii ‘Ulumil Qur’an, (Mansyurat Al-Ashr Al-Hadits, ttp, 1973),
h.87
15) Ibid
16)
Lihat Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, h.108
1. Diriwayatkan
Al-Bukhari, Muslim dan ahli hadits lainnya, dari Jundub Al-Bajali. Diceritakan
tentang Nabi menderita sakit, hingga dua atau tiga malam tidak bangun malam.
Kemudian datang seorang perempuan kepadanya dan berkata: “ Hai Muhammad, kurasa
setanmu sudah meninggalkanmu, selama dua tiga malam ini tidak mendekatimu
lagi.’ Maka Allah menurunkan ayat, “ Demi waktu dhuha,dan demi malam apabila
telah sunyi, Tuhanmu tiada meninggalkanmu dan tidaklah benci kepadamu. “
2. Kisah
terlambatnya Jibril menyampaikan wahyu yaitu surah adh-dhuha yang disebabkan adanya anak anjing yang masuk ke rumah
Rasulullah dan mati di bawah tempat tidurnya, kisah ini diriwayatkan oleh
Ath-Thabarani dan Ibnu Abi Syaibah, dari Hafsah bin Maisarah, dari ibunya yang
dulu pernah menjadi pembantu di rumah Rasulullah.
Ibnu Hajar dalam
Syarah Al-Bukhari berkata, “Kisah terlambatnya jibril karena
adanya anak anjing ini cukup masyhur. Tetapi jika kisah itu dijadikan sebagai
sebab turunnya ayat, menjadi aneh (gharib). Dalam isnad hadits itu terdapat
orang yang tidak dikenal. Maka yang jadi pegangan ialah riwayat dalam Shahih
Al-Bukhari dan Muslim. “ 17)
4. Apabila
riwayatnya sama – sama shahih, maka riwayat yang lebih kuat adalah riwayat yang
lebih kuat dan dapat dilihat dari kehadiran perawinya atau ada riwayat yang
lebih shahih. Misalnya :
a.
Hadits riwayat
Al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud, ia berkata,
17) Lihat
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’an, h.109
“ Aku berjalan
dengan Nabi di Madinah. Dalam keadaan beliau bertekan pada pelepah kurma.
Beliau kemudian melewati sekelompok orang Yahudi ; sebagian dari mereka berkata
kepada sebagiaan yang lainnya ‘Alangkah baiknya bila kalian menanyakan sesuatu
kepadanya (Muhammad)’. Karena itu mereka berkata, “Ya Muhammad terangkan kepada
kami tentang roh’. Nabi berdiri sejenak sambil mengangkat kepala. (Saat itupun)
aku tahu karena beliaupun membacanya. ‘ Katakanlah,
permasalahan roh itu adalah sebagian dari urusan Tuhan-ku, dan tidak diberikan
kepada kamu ilmu, kecuali sedikit saja. “ 18)
b. Hadits
riwayat al-Bukhari dan Tirmidzi dari Ibnu Abbas :
“
Orang-orang Quraisy berkata kepada orang-orang Yahudi, berikan kepada kami
tentang sesuatu yang akan ditanyakan kepada lelaki ini (Nabi)’ . Mereka
menjawab, bertanyalah kepadanya tentang roh’. Maka merekapun bertanya tentang
kepada Nabi. Maka Allah menurukan : Was yas alunaka ‘an ar-ruh… “.19)
Dari
kedua riwayat di atas, yang dijadikan pegangan adalah riwayat pertama, alasannya adalah :
1. Riwayat
Bukhari lebih unggul (rajah), sedangkan hadits Tlrmidzi adalah marjuh (tidak
unggul).
2. Ibnu
Mas’ud yang telah menyaksikan kisah tersebut, Ibnu Abbas hanya mendengar dari
orang lain.
5. Jika
riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau
dikompromikan jika mungkin, hingga dinyatakan bahwa ayat itu turun sesudah
terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu di antara sebab itu berdekatan.
Misalnya
asbab an-nuzul QS. An-Nur ayat 6, yaitu :
a.
Riwayat Bukhari
dan Muslim dari Shahal Ibn Sa’ad 20)
:
Dikatakan
bahwa QS. An-Nur: 6, turun berkenaan dengan salah seorang sahabat
yang bernama Uwaimir
yang bertanya kepada
Rasulullah tentang
apa yang harus
dilakukan oleh suami yang
18)
Lihat Rosihan Anwar, Ulum Al-Quran, h.73-74
19)
Ibid
mendapatkan
istirinya berzina dengan orang lain.
b. Riwayat
Bukhari dari Thariq Ikrimah dari Ibnu Abbas 21)
Ayat
tersebut turun karena kasus Hilal Ibn Ummayyah yang menuduh istrinya di depan
Rasulullah dengan Sarikh bin Sahma’ .
Karena kedua riwayat berkualitas shahih,
maka dilakukan studi kompromi (jama’), dan disebabkan ke dua peristiwa terjadi pada
masa yang berdekatan maka mudah mengkompromikannya, yaitu kedua sahabat datang
kepada Rasulullah dalam masalah yang sama tapi waktu yang tidak berselang lama,
dan jawabannya adalah turunnya Q.S An-Nur ayat 6-9.
3. Jika
ada dua riwayat sama-sama shahih, yang tidak dapat dikompromikan karena jarak
antara sebab-sebab berjauhan, maka hal demikian dikukuhkan pada riwayat yang
berulang kali turun.
Contoh :
20)
Nawir Yuslem, Ulumul Qur’an, (Bandung,
Cita Pustaka Media Perintis. 2010), h.30-30
21)
Ibid
1)
Hadits yang dirawikan dalam kitab
shohihain, dari Musayyab, ia berkata, ‘Ketika Abu Tholib hendak meninggal, Nabi
menjenguknya dan di sana
ada Abu Jahan dan Abu Ummayyyah. Kata Nabi,’ Mana paman? Katakan, (La ilaha
illa Allah), kalimat yang aku buat alasan kelak untuk membelamu di sisi
Allah. Abu Jahal berkata. ‘ Wahai Abdullah ! Apakah kamu tidak suka agama Abdul
Mutholib. Kemudian Nabi berkata, ‘ Jika saja dia tidak demikian, tentu akan aku
mohonkan ampun untuknya’. Lalu turun ayat :
Artinya :
“ Tiadalah
patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman, meminta ampun untuk orang-orang
musyrik. “ (Q.S. 9:113). 22)
2)
Hadits diriwayatkan oleh
At-Turmudzi dari r.a. dia berkata, “ Aku mendengar seseorang yang sedang
memintakan ampun untuk kedua orangtuanya padahal keduanya adalah musyrik”. Aku
bertanya kepadanya, “ Engkau memintakan ampun untuk kedua orangtuamu padahal
keduanya musyrik ?,” Ia menjawab, “ Nabi Ibrahim memintakan ampun untuk ayahnya
apdahal ayahnya musyrik”. Kasus ini sampaikan kepada Rasul SAW, 23)
maka
turunlah QS. At-Taubah (9): 113.
3)
Diriwayatkan oleh Hakim dan yang
lainnya dari Ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa pada suatu hari Nabi SAW pergi
berziarah kubur. Beliau duduk di samping sebuah makam dan berdoa cukup lama.
Kemudia beliau menangis sambil berkata, “ Sesungguhnya aku duduk di samping
makam ibuku, Aku memohon izin kepada Tuhanku dalam doaku, sedangkan Allah tidak
mengizinkan. 24)
Maka
maka turunlah QS. At-Taubah (9): 113.
Berikut
adalah skema redaksi periwayatan asbab an-nuzul 25)
Skema
Redaksi Periwayatan
Asbab An-Nuzul
Asbab An-Nuzul hadzihi al ayat kadz
Pasti Hadatsa kadza…
fanazalat al-ayat.
(sharih) Su’ila
Rasulullah’an kadza… fanazalat al ayat…
Redaksi
Riwayat Asbabun Nuzul
Tidak pasti Nadzalat hadzihi
al ayat fi kadza…
(Muhtamil) Ahshabu hadzihi
al ayat nadzalat fi kadza…
Ma Ahsabu hadzihi
al ayat nadzalat illa fi kadza..
22)
Muhammadi Ali Asy-Shaabuuniy, Iktisar Ulumul Qur’an Praktik, (Terjemahan
M.Qodirun Nur) h.39
23)
Muhammad Ali Asy-Shaabuuniy, Studi
Ilmu Al-Qur’an, (Terjemahan Aminuddin ,, Pustaka Setia, 1998), h.58
24)
Ibid
25)
Rosihan Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung, Pustaka Sedia. 2008), h.69
a)
Cara
Mengetahui Asbab An-Nuzul
Cara
mengetahui Asbabun Nuzul berupa riwayat yang shahih adalah :
1. Apabila perawi sendiri menyatakan lafal sebab
secara tegas. Dalam hal ini adalah nash yang nyata, seperti kata-kata perawi
sebab turun ayat ini begini..”
2. Bila perawi menyatakan riwayatnya dengan
memasukkan huruf “fa Ta’qibiyah” pada kata “ Nazala” seperti
kata-kata perawi, “
Riwayat
yang demikian juga
merupakan nash yang sarih
(jelas) dalam
sebab nuzul. 26)
Dan terkadang ada suatu bentuk ungkapan
yang tidak menyatakan sebab dengan tegas (muhtamilah/kemungkinan). Hal ini
sudah dibahas sebelumnya pada beberapa riwayat mengenai asbab an-nuzul.
b)
Cara
Mengetahui Riwayat Asbab An-Nuzul
Untuk mengetahui riwayat asbab an-nuzul
tidak boleh ada jalan lain, kecuali berdasarkan periwayatan yang benar dari
orang – orang yang melihat dan mendengar langsung tentang turunnya ayat
Al-Quran, Al- Wahidy mengatakan :
“ Pembicaraan
Asbab An-Nuzul, tidak dibenarkan, kecuali dengan berdasarkan riwayat dan
mendengar dari mereka yang secara langsung menyaksikan peristiwa nuzul, dan
bersungguh-sungguh dalam mencarinya. “27)
F.
Sumber
Asbabun Nuzul
Muhammad Bin Alawi Al-Maliki Al-Hasni,
dalam buku Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, menuliskan :
“ … Muhammad Bin
Sirin pernah bertanya kepada Ubaidah tentang satu ayat Al-Qur’an. Ubaidah
menjawab,” Bertakwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar. Generasi yang
telah mengetahui asbab an-nuzul telah pergi.” Para
sahabat adalah sumber utama untuk mengetahui asbab an-nuzul, sedangkan
generasi sesudahnya hanya cukup dengan menukil. 28)
26)
Muhammad Ali Asy-Shaabuuniy, Studi
Ilmu Al-Qur’an, (Terjemahan Aminuddin ,, Pustaka Setia, 1998), h.51
27)
Lihat Rosihan Anwar, Ulum Al-Quran, h.65-66
28)
Muhammad Bin Alawi Al-Maliki
Al-Hasni, Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Terjemahan Rosihan Anwar,
Bandung,, Pustaka Setia, 1999), h.30.
G.
Satu
Asbab An-Nuzul untuk Ayat yang Banyak
Ada
satu peristiwa yang menyebabkan turunnya banyak ayat dan terdapat pada surah
yang berbeda-beda. Misalnya, yang diriwayatkan oleh Said bin Manshur, Abdurrazzaq, At-Tirmidzi, IbnHu
Jarir, dst, telah mengeluarkan sebuah riwayat yang berasal dari Ummu Salamah.
Ia berkata “ Wahai Rasulullah, saya tidak mendengar sebutan wanita sedikitpun
mengenai hijrah.” Maka Allah menurunkan surah Ali Imran (3): 195, yaitu :
Artinya : “ Maka
Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): Sesungguhnya aku
tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik
laki-laki atau perempuan (karena) sebagian kamu adalah turunan sebagian yang
lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya,
yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan
Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke
dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi
Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik. “29)
Hadits riwayat Ahmad, An-Nasa’i, Ibnu
Jarir dst, Ummu Salamah berkata, “ Wahai Rasulullah, Engkau menyebut-nyebut
pria dan tidak pernah menyebut wanita.”, maka Allah menurunkan Surah Al-Ahzab
ayat 35, yaitu :
Artinya : “ Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan
yang tetap
dalam
29)
Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , h. 110.
keta’atannya,
laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan
yang sabar,
laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah,
laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kemaluannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah. Allah
telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.30)
Al-Hakim meriwayatkan dari Ummu Salamah, ia
berkata : “ Kaum laki-laki berperang sedangkan kaumperempuan tidak. Di samping
itu kami hanya memperoleh warisan setengah bagian di banding laki –laki ? Maka
Allah menurunkan surah An- Nisa (4) : 32, yaitu :
Artinya : “ Dan janganlah kamu
iri terhadap apa yang dikaruniakan kepada sebagian kamu lebih banyak dari
sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa
yang mereka usahakan, dan bagi para
wanita (pun) ada bahagian daripada apa
yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.“ 31)
H.
Beberapa
Ayat Turun Berkaitan Dengan Satu Orang
Berkenaan
dengan hal ini, dari Sa’ad bin Abi
Waqqash, ia
mengatakan, “ ada empat ayat Al-Qur’an berkenaan denganku, yaitu :
1. Ketika
Ibuku bersumpah bahwa ia tidakakan makan
dan minum sebelum aku meninggalkan Muhammad, lalu Allah menurunkan surah Luqman
: 15.
2. Ketika
aku mengambil sebuah pedang dan mengaguminya, maka aku berkata kepada
Rasulullah, ‘ Wahai Rasulullah berikanlah kepadaku pedang ini. Maka Allah
menurunkan surah Al-Anfal ayat 1.
3. Ketika
aku sedang sakit dan Rasulullah menjengukku, aku bertanya kepada beliau, ‘
Wahai Rasulullah, aku ingin membagikan hartaku, bolehkah aku mewasiatkan separuhnya ?
” Beliau menjawab “ Tidak
boleh. ‘ Aku bertanya, ‘ Bagaimana kalau sepertiga ? ‘ Rasulullah diam. Maka
wasiat
dengan sepertiga harta diperbolehkan
30)
Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , h. 674.
31)
Ibid h. 122.
Dalam
Ringkasan Shahih Muslim yang disusun oleh Zaki Al-Din, hadits ini terdapat pada
Bab Wasiat, yaitu :
“ Diriwayatkan
dari Sa’d bin Abi Waqqash ra: Rasulullah Saw, pernah menjenguk saya waktu Haji
Wada’ karena sakit keras yang saya alami sampai hanpir saja saya meninggal.
Lalu saya berkata kepada beliau, “ Wahai Rasulullah, saya sedang sakit keras
sebagaimana Engkau sendiri melihatnya, sedangkan asaya mempunyai banyak harta
dan tidak ada yang mewarisi saya, kecuali anak perempuan saya satu-satunya.
Boleh kah saya menyedekahkan sebanyak dua pertiga harta saya ?” Beliua
menjawab. “ Tidak”, saya mengatakan lagi, “Boleh kah saya menyedekahkan sebanyak
separuh dari harta saya ? “Beliau menjawab, “ Tidak, sepertinya saja (yang
boleh kamu sedekahkan), sedangkan sepertiga itu sudah banyak. 32)
4. Ketika aku sedang minum khamr bersama
kaum Anshar, seorang dari mereka memukul hidungku dengan rahan tulang onta.
Lalu aku datang kepada Rasulullah, maka Allah menurunkan larangan minum khamr.
I.
Ayat
Al-Qur’an yang Menyerupai Redaksi Sahabat
Berikut adalah keistimewaan yang
diberikan Allah kepada Umar, yaitu ada beberapa perbincangan Umar dalam
beberapa persoalan dan kemudian turun ayat yang menyerupai redaksi Umar.
Imam Al-Zabidi dalam buku Ringkasan
Shahih Al-Bukhari :
32)
Zaki Al-Din Abd Al-Azhim Al-Mundziri, Ringkasan Shahih
Muslim, (Bandung.
Mizan Pustaka, 2009) h. 530.
Diriwayatkan dari
Anas r.a. : Umar pernah berkata, “ Aku setuju dengan Allah dalam tiga hal’.
Atau pernah berkata, “ Tuhanku menyetujui aku (menerima doaku) dalam tiga hal’.
Aku berkata, “ Ya Rasulullah ! Maukah Anda jadikan sebagian maqam Ibrahim
sebagai sebuah tempat mengerjakan shalat ? Aku juga berkata, “ Ya Rasulullah !
Orang yang bajik (birr) dan jahat (fajir) mengunjungimu ! maukah Anda
memerintahkan semua ibu orang-orang beriman (isteri-istri Nabi Saw) mengenakan
kerudung ?” Maka ayat suci tentang hijab (kerudung yang menutupi perempuan
beriman) diturunkan (Allah). Suatu ketika aku mendengar bahwa Rasulullah.
Mempersalahkan sebagian istri-istrinya maka akupun mengunjungi mereka dan berkata, “ Kamu harus berhenti
(membuat persoalan-persoalan yang mengganggu Rasulullah Saw.) atau Allah akan
memberi Rasul-Nya istri-istri lain yang lebih baik daripada kamu.” Ketika aku
menemui salah seorang istrinya, ia berkata kepadaku, “ Wahai Umar! Bukankah
Rasulullah Saw, lebih berhak menasehati istri-istri daripada kamu ?” Maka
turunlah wahyu Allah : Boleh jadi jika ia ceraikan kamu Tuhannya akan
memberinya ganti istri-istri yang lebih baik daripada kamu – perempuan yang
berserah diri …(QS Al-Tahrim (66) : 5).(6:10-S.A)
33)
J.
Istinbat
Hukum sesuai dengan Asbabun Nuzul
Persoalan Asbab An-Nuzul berkaitan erat
dengan permasalahan hukum, hal ini disebabkan adanya kemungkinan bahwa turunnya
ayat mengandung hukum syara’, dan apakah hukum itu hanya berlaku kepada orang
yang menjadi penyebab turunnya ayat atau berlaku untuk umum. Perbedaan pendapat
ulama mengenai tafsir ayat dan istinbat hukum terjadi karena adanya perbedaan
mengenai asbab an-nuzul, yaitu apakah ayat tersebut memiliki asbab an-nuzul
atau tidak. Karena inilah asbab an-nuzul
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penafsiran dan istinbat hukum.
Contoh perbedaan pendapat ulama terdapat
dalam surah Al-Baqarah (2):232 ; yang artinya :
“ Apabila kamu menalak
istrimu
lalu habis iddahnya, maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan (bakal)
suaminya, apabila mereka telah saling rela dengan yang ma’ruf. “
Pendapat
pertama mengatakan :
Ayat
ini memiliki asbab an – nuzul yaitu peristiwa
Mu’aqqal bin Yasar. Dia
menghalagi mantan suami
dari adiknya untuk menikah
kembali
33)
Az-Zabidi, Ringkasan Shahih Al-Bukhari,
(Bandung,, Mizan
Media Utama, 2009), h.726-727
dengan
adik perempuannya. Kemudian Allah menurunkan ayat ini, dan berdasarkan asbab
an-nuzul ini, diambil istinbat hukum yaitu khithab
(perintah) yang terdapat dalam kata berbeda dengan khithab yang
terdapat pada kata
; yaitu yang pertama ditujukan
pada suami sedangkan yang kedua ditujukan kepada wali, dengan demikian dapat
diambil menjadi suatu hukum bahwa wali merupakan salah satu rukun yang harus
ada dalam perkawinan, tanpa wali maka pernikahan dianggap tidak sah secara
hukum agama. Dengan pendapat ini, maka ayat di atas diartikan sebagai berikut :
“ Apabila suami telah menceraikan istrinya, kemudian Dia ingin rujuk
kembali, maka wali tidakboleh menghalanginya.”
Pendapat kedua mengatakan bahwa tidak
ada asbab an-nuzul ataupun tidak ada riwayat yang shahih dalam peristiwa
ini, jadi kedua kata tersebut ditujukan kepada suami, sehingga ayat ini tidak
mempunyai hubungan dengan wali. Dari pendapat kedua, maka ayat di atas
diartikan sebagai berikut :
“ Apabila suami telah menceraikan istrinya, maka dia tidakboleh
menghalang isterinya itu menikah dengan laki-laki lain”.
Ada dua kaidah yang dipakai para ulama
untuk menetapkan istinbat hukum yang berkaitan erat dengan asbab an-nuzul,
yaitu :
1.
Para ulama lebih dominan menggunakan kaidah ini, karena :
a.
Realitas, hujah yang terdapat
dalam lafal bukanlah diambil dari pertanyaan atau sebab.
b.
Kaidah dasar yang menunjukkan
bahwa lafal-lafal itu ditanggungkan atas makna yang segera dipahami darinya,
selama tidak ada satupun dalil yang dapat memalingkannya.
c.
Para sahabat dan
mujtahid berhujjah dengan umum lafal yg
muncul. 34)
2.
Sedangkan
para ulama yang memegang kaidah ini beralasan bahwa :
a.
Lafal umum itu terbatas pada
person sebab, ia tidak mencakup yang lainnya.
b.
Kisah atau pertanyaan yang
menjadi sebab turunnya ayat menunjukkan
khususnya
berlaku pada sebab
34)
Kadar M. Yusuf, , Studi Al-Quran, (Jakarta, Amzah, cet ke – 2, 2010), h.100
c.
Dalam ilmu balaghah dinyatakan
bahwa antara pertanyaan dan jawaban harus berhubungan. 35)
K.
Apakah
yang Menjadi Ketentuan tentang sesuatu itu adalah Lafal yang Umum atau Sebab
yang Khusus ?
Para ulama berbeda pendapat tentang ketentuan hukum yang terdapat pada ayat, apakah ketentuan hukumnya terbatas
pada peristiwa yang menyebabkan ayat itu turun atau berlaku secara umum ?
Perbedaan ini dapat dilihat dari tiga
aspek, yaitu :
1)
Sebab nuzul yang
bersifat umum dan ayat yang turun bersifat umum
Adapun
contoh ayat-ayat yang turun dengan sebab umum tidak sedikit ditemukan dalam
al-Qur’an, salah satunya adalah QS. Al-Baqarah ayat 222. Berdasarkan riwayat
sebagaimana yang dikutip al-Suyutiy dari Anas dia berkata, bahwa orang Yahudi
tidak mau makan dan minum bersama-sama atau mencampuri istrinya bila sedang
haid, bahkan mereka mengeluarkan istri mereka yang sedang haid dari rumah. Para
sahabat bertanya tentang hal itu, lalu turunlah ayat 222 surat al-Baqarah di
atas. Sebagai penjelasan Rasulullah bersabda “ Lakukanlah apa saja (kepada
istri kalian), kecuali bersetubuh. “36)
Dengan demikian, QS. Al-Baqarah ayat
222, adalah surah yang turun karena persoalan yang bersifat umum dan ayat yang
turun juga menggunakan redaksi yang umum pula yang merupakan jawaban terhadap
permasalahan yang ditanyakan oleh para sahabat.
2)
Sebab nuzul
bersifat khusus dan ayat yang turun bersifat khusus pula
Pada sebab ini,
contoh ayat yang memiliki asbab
pertanyaan yang
bersifat khusus
dan jawabannya bersifat umum
terdapat dalam QS. Al-. Lail ayat 17-21, yaitu ;
35)
Lihat Kadar M. Yusuf, Studi
Al-Qur’an, h.100
36)
Muhammad Abd. Al-Azim al-Zarqani, Manahil AL-Irfan fi Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Hayat al-kitab al-Arabiah,
t.th) h. 107.
“ Dan kelak akan
dijauhkan orang yang paling taqwa dari neraka itu. Yang menafkahkan hartanya
(di jalan Allah) untuk membersihkannya. Padahal tidak ada seorangpun yang
memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya. Tetapi (dia memberikan
itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan kelak
Dia benar-benar mendapat kepuasan. 37)
Diriwayatkan oleh ‘Urwah bahwa Abu Bakar
Shiddiq telah memerdekakan tujuh orang hamba sahaya yang disiksa oleh tuannya.
Karena mereka telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Berdasarkan kederawanan
Abu Bakar itulah kemudian turun ayat di atas 38).
Maka hal ini menunjukkan bahwa ayat tersebut turun karena sebab khusus dan
hanya mengikat peristiwa yang khusus terjadi sebab ayat itu turun, artinya
tidak berlaku untuk umum.
3)
Sebab nuzul
bersifat khusus dan ayat yang turun bersifat umum
Pada
sebab ini, Nawir Yuslem dalam buku Ulumul Qur’an, menuliskan :
Al-Suyuthi
memberikan argumentasi bahwa suatu ketentuan harus dipandang dari lafal yang
umum itu adalah berasal dari sahabat lainnya. Mereka menetapkan pada suatu
kasus berdasar lafal yang umum padahal kasusnya bersifat khusus, seperti pada
kasus Hilal bin Ummayyah yang menuduh istrinya telah berbuat zina dengan
syuraik bin Salma. Berdasarkan kasus itu kemudian turun ayat 6 – 9 dalam surat
an-nur 39), yang artinya
adalah :
“ Dan
orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai
saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat
kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar
(7) Dan (sumpah) yang kelima ; bahwa la’nat Allah atasnya, jika ia termasuk
orang-orang yang berdusta (8) Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh
sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar
termasuk orang-orang yang dusta (9) dan (sumpah) yang kelima ; bahwa laknat
Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. “ 40)
Ayat tersebut
turun berdasarkan sebab yang khusus, namun lafalnya bersifat umum, oleh karena
itu lafal itu mencakup juga orang lain yang menuduh istrinya berbuat zina
sebagaimana Hilal bin Ummayyah. Untuk
menarik keumuman ketetapan ayat tersebut
tidak diperlukan dalil lain seperti qiyas karena sebagaimana diketahui tidak
ada qiyas atau ijtihad di
37)
Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan ,
h. 1068.
38)
Lihat Muhammad Abd. Al-Azim
al-Zarqani, Manahil AL-Irfan fi Ulum
Al-Qur’an, h. 372.
39)
Nawir Yuslem, Ulumul Qur’an, (Bandung, Cita Pustaka Media Perintis, 2010 ) h.
24-25.
40)
Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , h. 544
dalam nash yang
tegas. 41)
L.
Urgensi
dan Kegunaan Asbab An-Nuzul
A.
Urgensi
Asbab An-Nuzul
1. Membantu dan memahami sekaligus mengatasi
ketidak pastian dalam menangkap pesan ayat-ayat Al-Qur’an.
Contoh
:
Surah
AL-Baqarah ayat 115, yang menyatakan bahwa Timur dan Barat adalah kepunyaan
Allah. Dalam kasus shalat, dengan melihat secara zahir, seorang boleh menghadap
kea rah mana saja sesuai dengan kehendak
hatinya. Ia seakan-akan tidak berkewajiban untuk menghadap kibalat ketika
shalat. Akan tetapi setelah melihat Asbab An-Nuzulnya, tahapan bahwa
interpretasi tersebut keliru. Sebab, ayat di atas berkaitan dengan seseorang
yang sedang dalam perjalanan dan melakukan shalat di atas kenderaan, atau
berkaitan dengan orang yang berjihad dalam menentukan arah kiblat.
2. Mengatasi
keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
Contoh
:
Surah
Al-An’am ayat 145, yaitu:
“ Katakanlah,
“ Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang ingin memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi,
karena sesungguhnya semua itu kotor, atau
binatang
yang disembelih atas nama selain Allah. “42)
Menurut
Asy-Syafi’i, pesan ayat ini tidak bersifat umum (hasr). Untuk mengatasi kemungkinan adanya keraguan dalam memahami
ayat di atas. Asy-Syafi’i menggunakan alat bantu asbab An-Nuzul,
menurutnya ayat ini diturunkan sehubungan dengan orang-orang
kafir yang tidak mau memakan sesuatu, kecuali apa yang telah mereka halalkan
sendiri. Karena mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah dan menghalalkan
apa yang telah diharamkan Allah merupakan kebiasaan orang-orang kafir, terutama
orang Yahudi, dan turunlah ayat ini. 43)
41)
Lihat Nawir Yuslem, Ulumul Qur’an, h 24-25.
42)
Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan ,
h. 544.
43)
Lihat Rosihan Anwar, Ulum Al-Quran, h. .60-61
3. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an, bagi
ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat
khusus dan bukan lafaz yang bersifat umum.
Contoh
:
Surah
Al-Mujadalah (58), yang turun berkenaan dengan Aus Ibn Samit yang menzihar
istrinya (Kaulah Binti Hakim Ibn Tsa’labah), hanya berlaku bagi kedua orang
tersebut. Hukum zihar yang berlaku bagi selain kedua orang itu, ditentukan
denngan jalan analogi (qiyas).
4. Mengeidentifikasi pelaku yang menyebabkan
ayat Al-Qur’an turun.
Contoh
;
‘Aisyah pernah
menjernihkan kekeliruan Marwan yang menunjuk Abd Ar-Rahman Ibn Abu Bakar
sebagai orang yang menyebabkan turunnya ayat :” Dan orang yang mengatakan
keapda orangtuanya “ Cis kamu berdua…” (Q.S Al-Ahqaf:17). Untuk meluruskan
persoalan ‘Aisyah berkata kepda Marwan : “ Demi Allah bukan dia yang
menyebabkan ayat ini turun. Dan aku sanggup untuk untuk menyebutkan siapa yang
sebenarnya.” 44)
5. Memberi kemudahan untuk menghafal dan memahami
ayat, serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya.
Sebab hubungan sebab akibat (musabbab), hukum, peristiwa, dan perilaku, masa
dan tempat merupakan satu jalinan yang bisa mengikat hati.
Dalam
buku Studi Al-Qur’an karangan Kadar M. Yusuf, dituliskan :
Al-Wahidy mengatakan : Tidak mungkin
menafsirkan Al-Qur’an tanpa mengetahui kisah dan penjelasan turunnya. Contoh : Surah
Al-Maidah : 93
“ Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah memakan makanan
yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta
beriman, dan mengerjakan
amalan-amalan yang saleh, kemudian
44)
Lihat
Rosihan Anwar, Ulum Al-Quran, h.
.60-61
mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka
(tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang
yang berbuat kebajikan. “45)
Jika ayat ini
ditafsirkan tanpa melihat asbabun nuzulnya, maka mungkin saja orang berkata :”
orang boleh memakan apa saja, asal ia tetap dalam keberimanan dan beramal
shaleh.”, seperti yang pernah dipahami oleh Usman bin Ma’zun dan Umar bin
Ma’adi Karb ; berdasarkan ayat itu keduanya mengatakan khamr itu mubah. Halini
jelas bertentangan dengan Surah Al-Maidah ayat 3 yang melarang setiap muslim
memakan babi, darah, bangkai, khamr, dan lain sebagainya.
Sebetulnya ayat
di atas khusus berlaku bagi orang-orang mukmin yang telah meminum khamr dan
meninggal dunia sebelum turun ayat yang melarang meminumnya. Mereka ini tidak
berdosa, sebab belum ada larangan pada waktu itu. Sebab turunnya surah
AL-Maidah ayat 93 itu adalah “ setelah turunnya ayat larangan meminum khamr,
para sahabat bertanya kepada Nabi : bagaimana dengan sahabat-sahabat kita yang
telah meninggal, padahal mereka itu minum khamr. Dan sekarang Allah nyatakan
khamr itu rijsun (perbuatan) setan?.
Maka untuk menjawab pertanyaan sahabat tersebut turunlah ayat diatas. 46)
B. Manfaat/
Kegunaan Asbab An- Nuzul
1.
Mengetahui hukum
Allah secara tertentu terhadap apa yang disyari’atkan-Nya.
2.
Menjadi penolong
dalam memahami makna ayat dan menghilangkan kemusykilan-kemusykilan di sekitar
ayat itu.
Ibnu
Taimiyah mengatakan :
Mengetahui Asbab
An-Nuzul Membantu kita dalam memahami
makna ayat, karena dapat diketahui bahwa mengetahui sebab menghasilkan ilmu
tentang musabab. Sebaliknya tidak mengetahui sebab menimbulkan keragu-raguan
dan kemusykilan dan menempatkan nash-nash yang lahir di tempat musytarak.
Lantaran itu terjadilah ikhtilaf. 47)
3.
Untuk mengetahui
peristiwa atau kejadian yang menyebabkan disyari’atkannya suatu hukum, dimana
hukum itu juga bisa berlaku pada peristiwa yang sama jika terjadi kemudian.
Contoh ; Surah Al-Baqarah ayat 196,
yaitu :
45)
Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an
Dan Terjemahan , h. 177.
46)
Lihat Kadar M. Yusuf, Studi
Al-Qur’an, h.95
47)
Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu Al-Quran & Tafsir,, h.54
Artinya : Dan
sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung
(terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka sembelihlah korban yang mudah di
dapat dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum korban sampai di tempat
penyembelihannya…”)48)
Asbabun nuzul ayat berkaitan dengan apa
yang dialami oleh Ka’ab ketika ihram, yaitu terdapat banyak kutu dikepalanya
sehingga dia merasa susah dengan keadaan itu. Dia ingin mencukkur rambutnya,
tetapi hal itu dilarang karena dalam ihram. Maka ayat ini turun membolehkan
Ka’ab mencukur rambutnya dengan syarat bahwa diamesti membayar fidyah salah
satu diantara tiga hal: berpuasa, memberi makan fakir miskin, atau berkurban.
Keringanan seperti ini juga berlaku pada siapa saja, jika mengalami peristiwa
atau keadaan yang sama
4. Untuk
mengetahui hukum –hukum khusus yang berkaitan dengan asababun nuzul, walaupun lafalnya
umum seperti yang dijelaskan di atas.
5. Dapat
membantu mufassir memahami suatu ayat yang tidak mungkin dipahami tanpa bantuan
asbabun nuzul. Sebab, terkadang suatu ayat bercerita tentang peristiwa yang
dialami seseorang. Contoh Kisah Kaulah.
6. Menghindari
anggapan (bahwa hukum itu menyempitkan), dalam hukum yang nampak lahirnya
menyempitkan.
7. Mengetahui
nama orang, di mana ayat diturunkan berkaitan dengannya, dan pemahaman ayat
menjadi jelas
Contoh
: Surah Al-Baqarah ayat 158 ;
48)
Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an
Dan Terjemahan , h. 45
Artinya ; Sesungguhnya
Shofa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah. Barang siapa yang beribadah
haji ke Batitullah tau melaksanakan umroh, maka tidak ada dosa baginya
mengerjakan sa’I antara keduanya, …” 49)
Urwah
bin Zubair ra kebingunan mengenai firman ini, yaitu ;
Tampaknya
lahirnya ayat ini mengisyaratkan bahwa sa’i (antara shfa dan marwa) itu tidak
wajib. Sampai-sampai Urwah bin Zubair berkata kepada bibinya, ‘ Aisyah : Wahai
bibi sesungguhnya Allah berfirman, ‘ maka tiada mengapa ia berlari-lari antara
keduanya…’ menurut pendapatku tidak mengapalah orang meninggalkan sa’i antara
keduanya’. Alangkah buruknyaperkataanmu, wahai putra saudaraku’. Kata Aisyah ‘
kalau saja yang dikehendaki Allah itu seperti katamu. Tentu Dia yang mengatakan
“ ‘ maka tiada mengapalah bahwa ia tidak berlari-lari antara keduanya’.
Kemudian ‘Aisyah bercerita kepadanya. ‘Pada zaman jahiliyah manusia bersa’i
antara shofa dan marwa. Mereka menyengaja dua berhala. Satu di shofa, namanya
Isafa dan yang satu lagi di Marwa, namanua Na’ilah. Ketika orang-orang telah
masuk Islam, maka sebagian sahabat ada yang trdak mau lagi bersa’i. Karena
takut ibadahnya itu serupa dengan peribadatan orang jahiliyah. Kemudian turun
ayat tadi untuk menolak anggapan berdosa itu. Dan sekaligus diwajibkan mereka
ber sa’i KarenaAllah, dan bukan karena berhala. Demikianlah A’isyah menolah
faham Urwah bin Zubair. Dan hal ini desebabkan karena tahu asbabun nuzul. 50)
49)
Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an
Dan Terjemahan , h. 45
50)
Lihat Muhammadi Ali
Asy-Shaabuuniy, Iktisar Ulumul Qur’an
Praktik, h.45-46
KESIMPULAN
1.
Pengertian Asbab
An – Nuzul dari beberapa defenisi dapat disimpulkan adalah sesuatu yang menjadi
sebab turunnya ayat, baik berupa peristiwa atau kejadian, harapan, dan
pertanyaan yang ditujukan kepada Rasulullah yang bertujuan sebagai penjelas
terhadap hukum-hukum yang terjadi pada masa itu.
2.
Asbab an-nuzul
dapat diketahui dari ungkapan yang ditunjukkan oleh ayat. Namun ada ungkapan
yang secara pasti dapat diketahui dan ada yang tidak pasti langsung dapat
diketahui.
3.
Cara yang
dilakukan para mufassir dalam menghadapi satu ayat yang memiliki banyak riwayat
di antaranya :
1) Bentuk
redaksi yang tidak mengandung ketegasan.
2) Jika
salah satu redaksi riwayat tidak tegas dan riwayat lain mengatakan asbab
an-nuzul yang tegas, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan
asbab an-nuzul yang tegas.
3) Apabila
riwayatnya banyak dan kesemuanya menegaskan asbab an-nuzul, dan salah satu
riwayatnya adalah shahih, maka riwayat yang shahih inilah yang dijadikan
pegangan.
4) Apabila
riwayatnya sama – sama shahih, maka riwayat yang lebih kuat adalah riwayat yang
lebih kuat dan dapat dilihat dari kehadiran perawinya atau ada riwayat yang lebih
shahih.
5) Jika
riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau
dikompromikan jika mungkin, hingga dinyatakan bahwa ayat itu turun sesudah
terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu di antara sebab itu
berdekatan.
6) Jika
tidak mungkin menyatukan beberapa riwayat yang shohih, yang tidak dapat
dikompromikan karena jarak antara sebab-sebab berjauhan, maka hal demikian
dikukuhkan pada riwayat yang berulang kali turun.
4.
Masalah
ketentuan hukum yang terdapat pada ayat,
apakah ketentuan hukumnya terbatas pada peristiwa yang menyebabkan ayat itu
turun atau berlaku secara umum ?, pendapat ulama terbagi kepada dua, yaitu :
1. Jumhur
ulama berpendapat bahwa ketentuan itu berdasar keumuman lafal bukan dengan
kekhususannya. Hal ini diperkuat oleh Al-Suyuthi dengan memberikan argumentasi
bahwa suatu ketentuan harus dipandang dari lafal yang umum itu adalah berasal
dari sahabat lainnya. Mereka menetapkan pada suatu kasus berdasar lafal yang
umum padahal kasusnya bersifat khusus, seperti pada kasus Hilal bin Ummayyah
yang menuduh istrinya telah berbuat zina dengan syuraik bin Salma. Berdasarkan
kasus itu kemudian turun ayat 6 – 9 dalam surat
an-nur.
2. Pendapat
selain Jumhur ulama menyatakan bahwa ketentuan itu berdasarkan atas kekhususan
sebab yakni lafal ayat terbatas berlakunya atas orang-orang yang karenanya ayat
itu turun. Adapun kasus lain yang serupa, tidak di ambil dari ayat itu, namun
di ambil kesimpulan dengan cara lain yaitu qiyas atau ijtihad. Hal itu berdasar
satu qaidah yang dikenal di kalangan ahli usul.
5.
Di antara
urgensi dan kegunaan asbab an – nuzul adalah :
1) Membantu
dan memahami sekaligus mengatasi ketidak pastian dalam menangkap pesan
ayat-ayat Al-Qur’an
2) Mengatasi
keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
3) Mengkhususkan
hukum yang terkandung di dalam ayat Al-Qur’an, bagi ulama yang berpendapat
bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus dan bukan lafazh
yang bersifat umum.
4) Mengidentifikasikan
pelaku yang menyebabkan ayat Al- Qur’an turun.
5) Memudahkan
untuk menghafal dan memahami ayat, serta untuk menetapkan wahyu ke dalam hati
orang yang mendengarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbi
Ash Shiddieqy, (2009),Ilmu
Al-Quran & Tafsir, Semarang,
Pustaka Rizki Putra
Kadar M. Yusuf, (2010)
, Studi Al-Quran, Jakarta, Amzah.
Kementrian Urusan Agama Islam, (1990), Al-Qur’an Dan Terjemahan , Arab Saudi,
Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at Al-Mush-haf.
Manna’
Al-Qaththan,( 1973), Mahabits Fii ‘Ulumil Qur’an, Mansyurat Al-Ashr Al-Hadits, ttp.
Manna’
Al-Qaththan, (, 2010), Pengantar Studi
Ilmu Al-Qur’an, Terjemahan Aunur
Rafiq El-Mazni, Jakarta,, Pustaka Al-Kautsar, cet ke-5.
Muhammad
Abd. Al-Azim al-Zarqani, (t,th), Manahil
AL-Irfan fi Ulum Al-Qur’an, Beirut:
Dar al-Hayat al-kitab al-Arabiah.
Muhammadi
Ali Asy-Shaabuuniy, Iktisar Ulumul Qur’an
Praktik, Terjemahan M.Qodirun Nur
Muhammad
Ali Asy-Shaabuuniy, (1998), Studi Ilmu Al-Qur’an, Terjemahan
Aminuddin ,Pustaka Setia.
Muhammad
Bin Alawi Al-Maliki Al-Hasni, (1999), Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Terjemahan
Rosihan Anwar, Bandung, Pustaka Setia.
Nawir Yuslem, (2010), Ulumul Qur’an, Bandung, Cita Pustaka Media Perintis.
Rosihan Anwar, , (2008), Ulum Al-Quran, Bandung, Pustaka Sedia.
Az-Zabidi, (2009),
Ringkasan Shahih Al-Bukhari, Bandung,,
Mizan Media Utama.
Zaki Al-Din Abd Al-Azhim Al-Mundziri (2009) , Ringkasan Shahih Muslim, Bandung.
Mizan Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar