AL – AZHAR
DAYA TAHAN SEBUAH TRADISI
INTELEKTUAL
Zuraidah (Nim 10 Pedi 1818
A.
Pendahuluan
Jika kita telusuri sejarah, maka kita
akan banyak menemukan hal yang menakjubkan untuk diambil sebagai pelajaran,
motivasi hidup, dan memainkan peran yang tepat dalam berbagai dimensi pergaulan
kehidupan.
Al-Azhar, bukanlah sebuah nama yang baru
kita dengar. Tetapi karena kekurangan kita dalam membaca literature sejarah,
menyebabkan kita kurang mengetahuinya secara mendalam.
Al-Azhar adalah nama yang diberikan
kepada masjid pada masa Dinasti Fathimiyah, yang diambil dari nama putrid
Rasulullah Saw yaitu Fathimah az-Zahra, yang memiliki pengertian bercahaya,
bersinar dan, berkilau.
Dinasti
Fathimiyah merupakan dinasti yang menganut faham Syi’ah Ismailiah, dan
mendirikan al-Azhar di kota Kairo (Al-Qahirah), dengan tujuan menyebarkan
fahamnya di tengah-tengah masyarakat berfaham Sunni. Namun, alasan inilah yang
menjadi penghantar gagasan untuk menjadikan al-Azhar sebagai tempat
penyelenggaraan pendidikan, sehingga Dinasti Fathimiyah menorehkan tinta eas
sejarah peradaban, sosial, dan pendidikan Islam dengan lahirnya al-Azhar.
Al- Azhar terus mengalami perkembangan,
setelah Dinasti Fathimiyah menyerah kepada Sholahuddin, Dinasti Ayyubi berkuasa
di Kairo. Tetapi, sangat disayangkan karena alasan memutus faham Syi’ah
Ismailiah, al-Azhar ditutup lebih kurang 100 tahun. Keadaan ini berubah setelah
Dinasti Mamluk menguasai Mesir dan kembali mengukir kejayaan al-Azhar, walaupun
pada masa Dinasti Ottoman, al-Azhar sempat mengalami stagnasi, bahkan mengalami
kemunduran saat berada di tangan Kleber.
Itulah selintas tentang al-Azhar yang
mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Akan tetapi, yang kita lihat saat
ini adalah diusianya yang lebih 1000 tahun, al- Azhar banyak mengukir sejarah
bagi peradaban dunia.
B.
Sejarah
Berdirinya Al-Azhar : Peran Besar Dinasti Syi’ah Fathimiyah
Sebelum lebih dalam membicarakan tentang
Dinasti Fathimiya, maka perlu kiranya diuraikan sekilas tentang lintasan
sejarah Kairo. Lintasan sejarah Kairo sebagai Ibu Kota Mesir dibagi kepada tiga
fase sejarah, yaitu :
1.
Fase
Mesir Kuno
Kota Mesir pertama sekali terletak di
Heleopolis dan merupakan ibukota pertama pada tahun 4240 SM. Kota
ini dulunya dikenal dengan nama Aon. Pada saat ini, kota tersebut menjadi pusat pemerintahan
Mesir, dan terdapat istana negara di sana.
Namun pada periode Narmer, periode ini merupakan dinasti pertama Mesir Kuno,
yang disebut dengan Dinasti Menes, karena raja yang pertama bernama Menes. Ia
adalah seorang raja yang dianggap berhasil mempersatukan penduduk Mesir yang
tinggal di dataran tinggi dan di dataran rendah. Raja Menes memindahkan ibukota
negara ke kota Memphis, dan kota ini menjadi pusat
kekuasaan, kota
politik baru yang mengatur segala keperluan administratif negara. Dan pada masa
Ramesses II, ia membangun benteng dan memberi nama Babilonia sebagai nama ibu kota, sejak itu nama
Babilonia terkenal di seluruh Mesir.
2.
Fase
Pra Modern
Pada tahapan ini, Zuhairi Misrawi
(2010), menuliskan :
“… Menurut Saad
Eddin Ibrahim dalam Egypt, Islam, and Democracy, dapat dilihat
pada empat formasi kekuasaan militer yang berhasil membentuk Kairo. Yaitu,
Fustat (641 M), Askar (751 M), Qithai (870 M) dan Jawhar al-Siqilli (969 M).
Salah satu corak dari ketiga kekuasaan tersebut, yang dipimpin oleh seorang
militer yang mana masjid dan istana menjadi salah satu karakter yang menonjol.
“ 1)
a. Fustat
Setelah Amr bin
‘Ash menaklukkan Mesir,
kota ini dijadikan kota pertama bagi umat
Islam. Sejarah mencatat bahwa Khalifah Umar Bin Khattab saat memerintahkan Amr
bin ‘Ash untuk merebut Mesir dari tangan Byzantium
yang berpusat di Alexandria,
balatentara
1) Zuhairi Misrawi, “ Al-Azhar:
Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan “, ( Jakarta, Penerbit Buku
Kompas , 2010), h. 89
Islam tidak melakukan kekerasan dan peperangan kepada
orang-orang Kristen Koptik karena mereka adalah Ahlul Kitab.
Nama
Fustat diambil dari nama kemah yang berasal dari nama perkemahan Amr bin ‘Ash
dan balatentaranya, yang saat itu telah berhasil menaklukkan kekuasaan
Byzantium di Alexandria. Setelah kembali dari Alexandria, ia menjadikan Fustat sebagai
ibukota kekuasaan umat Islam dan membangun masjid.
Dalam
perjalanan sejarahnya, perkembangan Fustat semakin pesat bersamaan dengan kondisi Dinasti Islam.
Dan Setelah khulafaurrasyidin, Dinasti Umayyah berkuasa penuh terhadap Fustat.
b. Askar
Pada
masa Dinasti Abbasiyah, ibu kota dipindahkan ke Askar, yaitu kawasan Timur Laut
Fustat. Ada dua
kemungkinan alasan perpindahan ibu kota,
yaitu :
1)
Jumlah penduduk
di Fustat terus mengalami kenaikan, jika ibukota tidak dipindahkan maka
dikhawatirkan akan terjadi ledakan pertumbuhan jumlah penduduk.
2)
Terjadinya
peralihan kekuasaan dari Dinasti Umayyah ke Dinasti Abbasiyah. Perpindahan
ibukota juga merupakan perpindahan biasa bagi penguasa baru, dengan
mempertimbangkan kepentingan Dinasti.
c. Qithai
Tahap
berikutnya adalah Ahmad bin Tulun, yaitu tentara asal Turki, ia tinggal di
Mesopotamia dan bekerja pada Khalifah Musta’in. Ia berhasil menaklukkan dan
merebutnya Mesir dari Dinasti Abbasiyah dan mendirikan Dinas Tulun, kemudian
menjadikan Qithai sebagai ibukota pemerintahannya.
Ahmad
bin Tulus membangun sebuah masjid yang luasnya mencapai 26.500 meter dan masjid
ini adalah masjid pertama yang menyediakan fasilitas rumah sakit, pendidikan
kedokteran, dan farmasi di Mesir. Dan di masa ini Mesir berada dalam puncak
kejayaan karena mengalami kemajuan dibidang ekonomi dan kebudayaan.
d. Jawhar
al-Siqilli
Jawhar
al-Siqilli adalah sosok yang menaklukkan Mesir, dan meminta Khalifah Al-Mu’iz
dari Dinasti Fatimiyah untuk pindah ke Kairo, kemudian menjadikan Kairo menjadi
pusat pemerintahan. Nama Kairo dipopulerkan oleh Dinasti Fatimiyah ini dengan
nama al-Qahirah,
dan mengukir sejarah dalam menjadikan
Kairo sebagai jantung kota
Mesir. Walaupun Dinasti Fatimiyah menganut faham teologi Syi’ah Ismailiah yaitu
kelompok syi’ah yang mengakui Ismail menjadi pemimpin mereka setelah wafatnya
Imam Ja’far Shadiq, tetapi dinasti ini adalah cikal bakal dari kebangkitan
Mesir Modern
Zuhairi
Misrawi (2010), menuliskan :
“ Fustat, Askas,
dan Qithai, semakin tenggelam dengan kelahiran Kairo oleh Dinasti Fatimiah.
Menurut Andre Raymod dalam Cairo : City
of History, Dinasti Fatimiah telah mampu menyulap Kairo sebagai kota yang sebenarnya.
Tidak seperti dinasti-dinasti sebelumnya hanya mengedepankan kekuasaan semata,
Dinasti Fatimiyah telah meninggalkan sesuatu yang sangat berharga bagi
kebangkitan Mesir. “ 2)
3.
Fase
Modern
Pada Fase ini, akan diuraikan
perkembangan kemajuan yang terjadi pada Mesir dari beberapa periode
pemerintahan.
1) Muhammad
Ali Pasya (1805 M ) adalah pembawa obor pencerahan bagi Mesir, pada tahap ini kota Mesir menjadi kota modern karena perubahan terjadi
diberbagai sektor kehidupan, dengan
adanya jalinan hubungan diplomatik Mesir dan Perancis, khususnya dalam bidang
kebudayaan.
Khedive
Ismail (1863-1879), yang mendapat julukan “Paris Timur”, karena ia mendirikan
bangunan menyerupai Paris
dengan mendatangkan arsitek langsung dari Paris. Ia menjadikan Kairo
Menjadi kota yang sangat luas dan
membuka terusan suez.
2) Zuhairi Misrawi, Al-Azhar:
Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan, ( Jakarta, Penerbit Buku Kompas , 2010), h.. 96
2) Gamal
Abdul Naser, pada periode ini disebut dengan era emas yang pernah dicapai
Mesir, karena Gamal Abdul Naser mendorong era baru, dari era liberal menuju era
sosialis. Dan ia mendirikan kawasan Nasr
City, yang merupakan kawasan baru untuk para teknokrat, pengusaha dan
birokrat.
3) Anwar
Sadat (1970)
Sadat
membangun Mesir dengan visi Liberal dan berkiblat pada Los Angeles dan Houston dari Amerika Serikat. Ia membangun
jembatan, jalan tol, hotel berbintang, dan berhasil meyakinkan para investor.
Hanya kebijakan Anwar Sadat telah menimbulkan goncangan karena tidak berpihak
pada rakyat dan akhirnya terjadilah revolusi.
4) Husni
Mubarak memegang tampuk kekuasaan setelah Anwar Sadat, tetapi ia tidak
melakukan pembaharuan apapun dari pendahulu sebelumnya. Bahkan masalah utama Mesir
tidak terpecahkan yaitu mengatasi besarnya angka kemiskinan. Dan sejarah telah
mencatat ketidakberhasilan Husni Mubarak membagun Mesir, setelah 30 tahun berkuasa
iapun dipaksa mundur oleh rakyat, tepatnya tanggal 11 Februari 2011, Husni
Mubarak menyerahkan jabatannya dan melarikan diri ke Arab Saudi.
Pada periode pra modern telah disinggung
sedikit tentang Dinasti Fatimiyah yang telah mengukir sejarah emas Kota Kairo
sebagai kota
ilmu.Untuk menjelaskan secara rinci tentang sejarah berdiri dan sekilas
mengupas tentang Al-Azhar, maka berikut
akan dipaparkan beberapa kutipan yang berkenaan dengannnya.
Arif
Munandar Riswanto (2010) :
Masjid Al-Azhar adalah masjid
pertama yang dibangun oleh Dinasti Fathimiyah. Al-Azhar diambil dari nama
Fathimah Al-Zahra, puteri Nabi Muhammad. Masjid Al-Azhar terletak ditengah kota, tepatnya daerah
Husein, Kairo. Bangunannya, terutama menaranya sangat antik dan indah,
disamping menara benda-benda berusia ratusan tahun lainnya adalah
tiang-tiangnya yang menyejukkan dan mimbar tempat khatib berkhutbah. Disamping
dan belakang masjid terdapat bangunan universitas Al-Azhar untuk bidang agama.
Sekeliling masjid tersebut dihiasi dengan beberapa istana dan taman yang
disebut Al-Qusar Al-Zahirah. Masjid
Al-Azhar adalah sebuah masjid besar dan institusi pendidikan tertua yang kini
berusia 1.000 tahun lebih.
Masjid
Al-Azhar dibangun pertama kali pada 29 Jumada Al-Ula tahun 359H/970M oleh Juhar
Al-Shiqilli atas perintah khalifah Mu’iz li Dinillah, khalifah daulah
Fathimiyah yang berpusat di Tunisia.
Masjid ini dibangun dalam waktu 26 bulan dan dibuka resmi pada 7 Ramadhan 361H,
dengan menggelar shalat jum’at bersama. 3)
Universitas
al-azhar berawal dari sebuah masjid besar yang dibangun oleh Dinasti
Fathimiyah. Sebutan Al-Azhar berasal dari nama Fathimah Az-Zahra, putri Nabi
Muhammad. Zahra berarti bercahaya, bersinar dan berkilau. Peran masjid tidak
hanya terbatas kepada kegiatan ritual semata, tetapi lebih dari itu, masjid
adalah sentral pemerintahan Islam, sarana pendidikan, mahkamah dan tempat
mengeluarkan fatwa. 4)
M.Athiyah
al-Abrasyi (1984) :
Mesjid internasional
ini didirikan oleh Panglima Johar Al-Siqilli, terletak dalam kota Cairo,
yaitu di zaman pemerintahan Muizzi Lidiniah Al-Fatimy. Ditegakkan pada hari
Sabtu, 24 Jumadil Awal 359 H. Bertepatan dengan 970 M, dan selesai dalam tahun
361H, atau 972 M. Dalam tahun 761 H, yaitu di bawah pemerintahan Malik An-Nasir
Qalawoun, di samping mesjid itu dibangun sebuah ruangan untuk mengajarkan
Al-Qur’an kepada anak-anak yatim kaum muslimin dan bagi pelajar-pelajar yang
tidak mampu disediakan makanan yang dimasakkan setiap hari. Kepada siswa
tersebut diberikan pelajaran fiqih menurut mazhab Abu Hanifah, dan sekolah ini
mempunyai pula harta wakaf. Pada tahun 818 H, muridnya telah mencapai 750 orang
terdiri atas orang-orang Mesir, Marokko, dan orang-orang yang bukan Arab, dan
bagi setiap rombongan siswa ini dibuatkan pula ruangan tempat tinggal yang
dinamakan “ruqaq”, dan masing-masing “ruqaq” tersebut diberi nama sesuai dengan
nama-nama negeri asal mereka. 5)
Raghib As-Siraji
(2011) :
Masjid Al-Azhar
di Mesir. Masjid ini selesai pembangunannya pada tahun 361 H dan menjadi pusat
menuntut ilmu bagi para pelajar dari berbagai Negara Islam. Para khalifah
telah mendirikan badan
wakaf Al - Azhar Negara Islam. Para khalifah telah
mendirikan badan wakaf Al-Azhar, menentukan guru-guru diberbagai bidang
keilmuan, dan mempunyai ketenaran luar biasa yang merupakan keistimewaan
Universitas Al-Azhar. Juga adanya kemudahan yang di dapati oleh para penuntut
ilmu. Para penuntut ilmu datang ke Universitas
ini dari berbagai negara. Sampai jumlah
3)
Arif Munandar Riswanto, “ Buku Pintar Islam “, (Bandung, Mizan,
2010) h. 632-635
4)
Ibid, 636
5)
M.Athiyah al-Abrasyi, “ Attarbiyatul Islamiyah “ ,” Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam “,
Bustami A.Gani, (Jakarta, P.T.Bulan Bintang, ,1984 ) h. 61-66
orang-orang yang
menuntut ilmu di Mesjid Al- Azhar pada tahun 818 H/1415M) sebagaimana yang
disebutkan oleh Al-Maqrizi tercatat 750 ribu orang, antara orang-orang non Arab
dan Ziyala’ah juga dari penduduk Raif Mesir. Mugharab, dan sebagian orang
berada disekitarnya yang dikenal. 6)
A.
Bakir Ihsan (2005) :
Nama Al-Azhar
mulai dikenal ketika Dinasti Fhatimiyah yang menganut ajaran syi’ah menguasai
Mesir. Pada 24 Jumadil Awal 359 H/970 M. Khalifah al-Mu’izz Lidinillah
(341H/953 M-365 H/975 M) memerintahkan Panglima Jauhar Al-Khatib as-Siqilli
untuk meletakkan batu pertama bagi pembangunan Masji Jami’Al-Azhar. Setelah
selesai, masjid ini diresmikan pada 7 Ramadhan 361 H/971 M. Nama pertama masjid
ini adalah Jami’ al-Qahirah, yang
dinisbahkan kepada nama ibukota tempat
masjid itu didirikan. Terakhir masjid ini diberi nama Masjid al-Azhar, yang
dinisbahkan kepada nama “Fatimah az-Zahra”, putri Rasulullah SAW.
Lembaga
pendidikan Al-Azhar bermula ketika Al-Muidz Lidinillah pada tahun 362 H/973 M,
memindahkan ibukota Dinasti Fatimiyah dari kota Qairawan di Tunisia ke Al-Qahirah (Cairo) di Mesir. Pada tahun 975 ia meresmikan
al-jami’ah (universitas) al-azhar yang berdasarkan mazhab syiah ismailiyah.
Tahun peresmian Universitas al-azhar ini sudah diakui secara internasional di dunia, dengan demikian Universitas
al-azhar menjadi universitas tertua di dunia. 7)
Berkey
( 1992 ) :
Al-Azhar
originally constructed by fatimid caliphs as the principal mosque of the new
royal city of cairo and as a center for the propagation of Isma'ili Shi'i
doctrine, was largely ignored by the rigorously sunni Sultans of the ayyubi
dynasty, who suspended its role as a center of friday congregational prayers
for ideological reason. 8)
Al-Azhar
awalnya dibangun oleh khalifah Fatimiyah sebagai masjid utama kota kerajaan Kairo
dan sebagai pusat penyebaran doktrin Syi'ah Ismailiyah, Tidak mendapat
perhatian secara serius oleh Sultan dari dinasti Ayyubi yang berpaham Sunni, dan
tidak lagi berfungsi sebagai pusat salat Jumat karena alasan ideologis.
Berdasarkan
keterangan di atas, Al-Azhar pada awalnya adalah masjid yang dibangun pada tanggal 24 / 29 Jumadil Awal tahun 359 H / 970 M oleh
6) Raghib As-Siraji, “Madza Qaddamal Muslimuna lil’Alam Ishamaatu al-Muslimin fi al-Hadharah
al-Insaniyah” .” Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia”, Sonif, (Jakarta, Pustaka
Al-Kautsar, 2011) h. 221
7)
A. Bakir Ihsan, “ Ensiklopedia
Islam (I) “ , (Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005) h. 245
8) Berkey, Jonathan, “ The Transmission Of Knowlegde In Medieval Cairo “, (New Jersey, Princeton University Press, 1992) h. 51
Jawhar (Johar/Jauhar) al-Siqilli, pada pemerintahan
Dinasti Fatimiyah dibawah pemerintahan Khalifah al-Muidz Lidinillah, dan pembangunannya diselesaikan selama 26
bulan tepatnya pada tahun 361 H/972 M,
kemudian diresmikan pada tanggal 7 Ramadhan 361 H/971 M.
Nama Al-Azhar diambil dari nama putri
Nabi Muhammad SAW, yaitu Fathimah Az-Zahra yang berarti bercahaya, bersinar dan
berkilau. Melihat tahun berdirinya Al-Azhar merupakan universitas tertua di
dunia dan tetap menjadi pilihan pelajar dari berbagai penjuru dunia.
Dalam sejarah Islam, pembangunan masjid
bukan hanya berfungsi untuk tempat ibadah saja,
tetapi masjid juga digunakan
untuk pusat pertemuan, sarana
pendidikan, bahkan pengumpulan pajak. Maka dengan alasan itulah masjid Al-Azhar
memiliki peranan besar dalam pemerintahan Fathimiyah yang menjadi pusat
aktifitas pemerintahan.
Bayard Dogde (1961) menyatakan, bahwa
luas masjid al-Azhar pada awalnya sekitar 280 kaki. Sedangkan lebarnya 227
kaki. Bangunannya berbentuk persegi panjang, di tengahnya terbuka langsung
menghadap ke langit. Bangunan masjid ini lebih menyerupai bangunan Masjidil
Haram di Mekkah. Bedanya, jika di Masjidil Haram terdapat Ka’bah, maka di
Masjid al-Azhar dibiarkan kosong. Bangunan masjid yang seperti ini merupakan
model yang umum di sejumlah masjid di Kairo. 9)
Seiring waktu, Khalifah al-Muidz
Lidinillah memiliki misi yang lain dibalik pembangunan masjid al-Azhar, yaitu
misi penyebaran paham Syi’ah Ismailiah, dengan cara memberikan pemahaman yang
komprehensif tentang Syi’ah Ismailiah, dan mempengaruhi ideologi Sunni agar
tidak menimbulkan dan memperbesar perbedaan antara Syi’ah dan Sunni dan menjaga
stabiltas keamanan pemerintahan.
Setelah Khalifah al-Muidz Lidinillah
meninggal dunia, ia digantikan oleh putranya al-Aziz, dan pada masanya
perkembangan pendidikan keagamaan di al-Azhar mengalami kemajuan, terutama
perubahan dari lembaga pendidikan informal menjadi lembaga formal.
9) Zuhairi Misrawi, “ Al-Azhar:
Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan “, ( Jakarta, Penerbit
Buku Kompas , 2010), h. 128
Pada tahun 976 M, Al-Aziz membuka
pengajian dalam bentuk halaqoh dengan materi tafsir Al-Qur’an dan dialog
keagamaan dalam kajian ilmu fiqh. Kedua materi ini berfungsi untuk menghantarkan
faham Syi’ah Ismailiyah di tengah masyarakat Kairo yang mayoritas menganut
faham Ahlusunnah wal Jamaah.
Kemudian pada tahun 988 M, ia meresmikan lembaga formal dan pendidikan fiqh,
ilmu filsafat, dan teologi fathimiyah, dengan
menyiapkan 30 ulama penyebar faham Syi’ah Ismailiah, dan dua orang guru utama
khusus untuk fiqh Syi’ah Ismailiah, yaitu Abul al-Hasan Ali bin Nu’man
dan Abu Ya’qub Ibnu Killis.
Pendidikan di masjid Al-Azhar meliputi
empat materi utama :
1.
Doktrin tentang
imamah
2.
Hak
mendapat seperlima harta rampasan karena
adanya faktor keturunan Nabi Muhammad SAW.
3.
Doktrin bahwa
imam tidak mungkin berbuat kesalahan dan kekeliruan.
4.
Filsafat dan
Metafisika.
Setelah Al-Aziz meninggal dunia, iapun
digantikan oleh putranya al-Hakim, dan di masa al-Hakim, perkembangan al-Azhar terus
mengalami peningkatan , hal ini disebabkan perhatian al-Hakim terhadap
pendidikan sangat besar. Namun, kondisi
ini berbanding terbalik dengan jumlah
penganut Syi’ah yang semakin berkurang. Karena itu al-Hakim mendirikan Masjid
al-Hakimi untuk tetap bisa mengambangkan
ajaran Syi’ah Ismailiah.
Dan setelah al-Hakim meninggal dunia,
Dinasti Fathimiyah mengalami kemunduran, karena tidak sanggup menghadapi
tantangan dari internal dan eksternal. Pada perkembangan berikutnya Dinasti
Fathimiyah terus mengalami kemunduran, walaupun dinasti ini tetap memberikan
perhatian pada Al-Azhar. Salah satu penyebab jatuhnya Dinasti Fahimiyah adalah
karena krisis kepemimpinan, dan Al-Adid sebagai pemimpin terakhir tercatat
tidak memiliki keturunan untuk melanjutkan kekuasaan.
C.
Perkembangan
Al-Azhar : Benteng Peradaban Sunni
1. Dinasti
Ayyubiyah
Sholahuddin Al-Ayyubi berhasil menguasai
Mesir pada tanggal 10 September 1171, dan hanya dalam dua tahun ia telah
menguasai Dinasti Fathimiyah dan menegakkan kembali kejayaan Abbasiyah.
Karena perhatian Sholahuddin terhadap
pendidikan dan keulamaan sangat besar, ia sangat prihatin dengan kondisi yang
terjadi pada masyarakat yang sudah terpengaruh dengan faham Syi’ah Ismailiah, Dan
untuk mengembalikan faham Sunni di
masyarakat Mesir, Sholahuddin melakukan beberapa tindakan diantara yaitu
melarang pembelajaran buku – buku yang digunakan oleh Dinasti Fathimiyah, dan
menutup Masjid al- Azhar dari seluruh kegiatan bahkan shalat Jum’at juga tidak
dibolehkan dilaksanakan di Masjid al-Azhar selama hampir 100 tahun.
Hanun Asrohah (2001), menyatakan : “ Sayang
sekali, kegiatan keilmuan di al-Azhar terhenti setelah Shalah al-Din al-Ayyubi
berhasil menguasai Mesir dan menjatuhkan Daulah Fathimiyah. Karena Al-Azhar
dijadikan sebagai media utama mempropaganda paham Syi’ah oleh Daulah Fatimiyah,
Shalah al-Din menganut paham Sunni, menutup al-Azhar baik untuk shalat Jum’at
maupun sebagai Universitas. Al-Azhar tidak lagi menjadi penyelenggara
pendidikan Islam yang membanggakan. Penyelenggaraan pendidikan Islam
berlangsung di madrasah-madrasah dan lembaga semacam kulliyah yang setingkat
dengan universitas. Hasan Langgulung, mengutip dari seorang ahlli sejarah,
mencatat tidak kurang dari 25 kulliyah di Kairo. 10)
Sejarah mencatat, bahwa Sholahuddin
lebih memusatkan perhatiannya untuk
melawan tentara Salib, begitu juga putra yang menggantikannya yaitu Kamil
Muhammad yang mengikuti jejak ayahnya dengan mendedikasikan diri untuk melanjutkan perjuangan ayahnya.
Dinasti Ayyubiyah kurang memberikan
perhatian terhadap al-Azhar baik sebagai masjid maupun universitas. Para pemimpinnya lebih memilih untuk mendirikan lembaga
pendidikan formal di luar al-Azhar untuk menghidupkan kembali faham Sunni.
10) Hanun Asrohah, “
Sejarah Pendidikan Islam “, ( Jakarta,
PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 61
Dengan demikian, Dinasti Ayyubiyah
adalah dinasti pertama yang kembali merintis menanamkan faham Sunni di Mesir,
dan gerakan ini merupakan gerakan awal untuk menjadikan al-Azhar sebagai
benteng untuk faham Sunni.
2. Dinasti Mamluk
Tahun 1250 M, Izzuddin Aybak dapat
menguasai Mesir dan merupakan pemimpin dari Dinasti Mamluk. Dan dalam catatan
sejarah, dinasti ini yang membangkitkan kembali kejayaan al-Azhar dan
menjadikannya sebagai benteng bagi faham Sunni
Ada tiga alasan utama, mengapa Dinasti
Mamluk memberikan yang besar terhadap Al-Azhar, dan perhatian ini jauh melebihi
Dinasti Ayyubi. Adapun tiga alasan itu adalah :
a.
Komitmen untuk
mempertahankan Bahasa Arab
sebagai bahasa resmi
kekuasaan dan warga Mesir.
b.
Komitmen untuk
menegakkan hukum Islam
c.
Komitmen untuk
menggalakkan etika dan nilai-nilai yang berlandaskan Al-Qur’an.
Ketiga
alasan ini memiliki dasar pikir yang penuh dengan pertimbangan, seperti alasan
pertama menjadikan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi karena penduduk Mesir
berbahasa Arab, sementara Dinasti Mamluk berasal dari Turki dan seluruh
orang-orang yang berada di istananya dan bala tentaranya menggunakan Bahasa
Turki, karena itulah al-Azhar menjadi digunakan sebagai pusat pengembangan
bahasa, walaupun para pejabat istana belajar membaca dan menulis di lakukan di
tempat tinggal sendiri. Kemudian komitmen untuk menegakkan hukum Islam
disebabkan banyaknya perkara yang diselesaikan tanpa merujuk ke sumber hukum Islam, jika ini terus
berlangsung maka akan bertentangan dengan situasi sosial politik di Mesir, dan
alasan inilah menjadikan pendidikan hukum Islam salah satu hal yang diajarkan di
al-Azhar. Dan komitmen ketiga berguna untuk menjaga dan menyeimbangan nilai-nilai
sehingga al-Azhar dapat menjadi benteng moral dan
tegaknya keadilan.
Pada
tahun 1266 M, Malik al-Zahir Baybars menjadi orang yang paling berjasa terhadap
terbukanya kembali pintu al-Azhar setelah hampir satu abad ditutup di masa
Dinasti ayyubiyah dengan dilakukannya shalat Jum’at untuk pertama kalinya.
Baybars
menunjukkan Aydamir sebagai penanggungjawab al-Azhar dengan misi menghidupkan
kembali fungsi al-Azhar sebagai pusat pendidikan keagamaan di Mesir. Dan
aktifitas pendidikan dimulai dengan pengajaran Al-Qur’an dan fiqh Mazhab
Syafi’i.
Setelah
terjadi gempa bumi yang menyebabkan kerusakan yang cukup parah pada bangunan
Masjid al-Azhar, maka dilakukan renovasi besar-besaran sehingga Masjid al-Azhar
kelihatan sangat indah, selama masa renovasi dibangun pula Madrasah Taybarsiah
di samping al-Azhar. Perkembangan selanjutnya dalam renovasi di masa Dinasti
Mamluk adalah berdirinya rumah Bashir Gamdar di samping al-Azhar, kemudian ruangan khusus yang
dibangun oleh Sultan Malik Al-Hasan Qalawun, membangun menara dan tempat
wudhu’, serta tempat tinggal untuk para
palajar asing yang berasal dari luar Mesir.
Misrawi,
Zuhairi (2010) : Al-Maqrizi menggambarkan al-Azhar pada masa itu sebagai pusat
dari aktivitas umat, yang mana tidak hanya difungsikan sebagai tempat ibadah
dan pengembangan pendidikan, tetapi pusat penempaan buat orang-orang shaleh,
tempat bagi orang-orang yang hendak melaksanakan ibadah haji, penampungan bagi
orang-orang miskin, dan pertemuan bagi kalangan sufi. Al-Azhar menjadi salah
satu tempat yang sangat dekat dengan umat, karena seluruh aktivitasnya dalam
rangka melayani umat. 11)
Al-Azhar pada masa Dinasti Mamluk merupakan sebuah lembaga yang hidup
dengan berkembangnya gairah intelektual, karena didukung sepenuhnya oleh
pemerintah. Tercatat bahwa Ibnu Khaldun merupakan guru di al-Azhar yang
mengajar hadits dan fiqh Imam Maliki, kemudian
11) Zuhairi Misrawi, “
Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan
Kiblat Keulamaan “, ( Jakarta, Penerbit Buku Kompas , 2010), h. 160
bukan hanya bidang studi keagamaan saja yang
dijumpai di al-Azhar, akan tetapi ilmu pendidikan umum juga dikembangakan,
seperti matematika, biologi, kedokteran, geneologi, dan lain-lain.
Dan seiring
waktu berjalan Dinasti Mamluk pun mengalami masa sulit dalam hal keuangan,
situasi ini juga mempengaruhi aktivitas keilmuan di al-Azhar, ketidakmampuan
mengelola keuangan telah menempatkan dinasti ini diambang kejatuhan. Di sisi
lain, adanya ancaman dari dinasti lain, sehingga mereka tidak sanggup
mempertahankan kekuasaanya dan akhirnya pada tahun 1517 M, Dinasti Mamluk harus
menyerahkan kalah dari serangan Dinasti Ottoman.
3. Dinasti Ottoman
Sultan Salim dari Dinasti Ottoman berhasil
mengalahkan Sultan
Bay dari Dinasti Mamluk
dan mengambil alih Mesir pada tahun 1517 M. Saat penaklukan kota Mesir, hanya al-Azharlah satu-satunya
tempat yang selamat dari invasi sementara tempat lain berubah menjadi tempat
yang sangat menakutkan karena ribuan orang tewas dan banyaknya bangunan yang
dibakar. Tetapi ketika memasuki al-Azhar, mereka menghormatinya sebagai lembaga
keilmuan yang bermartabat bagi umat Islam, mereka tidak mengambil harta
wakafnya, tetapi menangkap sejumlah ulama, pakar hukum, budayawan, yang hamper
mencapai 1800 orang dan membawanya ke Istambul untuk memperkuat Dinasti
Ottoman. Akibatnya Mesir mengalami kemunduran intelektual, dalam situasi ini dan
para ulama pun lebih memilih bekerja pada penguasa daripada berkarya. Apalagi
di masa-masa awal Dinasti Ottoman tidak tertarik memperhatikan dan
mengembangkan pendidikan.
Namun, terjadi perubahan terhadap pengembangan
pendidikan setelah Dinasti Ottoman melihat peran besar yang dilakukan oleh
al-Azhar terutama dalam penguatan tradisi Sunni, di samping adanya kekhawatiran
akan timbulnya gejolak yang akan menuai protes dari penduduk Mesir, maka
Dinasti Ottoman mulai memberikan perhatian yang serius terhadap al-Azhar,
dengan mulai melakukan renovasi terhadap bangunan, lantai, dan atap al-Azhar,
dan tetap mengayomi orang-orang miskin yang tinggal di sekitar al- Azhar Dan
mengangkat dari kalangan ulama bukan politisi untuk bertanggung jawab terhadap
al- Azhar yang digelar dengan Syaikh al-Azhar. Kemudian karena minat yang
tinggi dari pelajar di luar Mesir maka Dinasti Ottoman juga membangun asrama
serta tempat khusus bagi tuna netra.
Syaikh Muhammad Al-Khurashi, seorang ulama yang
bermazhab Maliki, adalah syaikh pertama yang diangkat sebagai Syaikh al-Azhar.
Namun, pengangkatan Syaikh al-Azhar bukanlah mudah dan tanpa masalah, bahkan
tidak jarang posisi ini menjadi rebutan dengan alasan lagi-lagi masalah
perbedaan faham
Ustman Katkhuda (1715 M) adalah seorang dermawan
dari Dinasti Ottoman yang mendermakan hartanya bagi mereka yang mendedikasikan
hidupnya untuk pendidikan al-Azhar, dan memperbesar tempat shalat dan
istirahat, sehingga dapat menampung jumlah pelajar yang lebih banyak. Langkah
ini diikuti oleh puteranya yang bernama
Abdurrahman Katkhuda (1742 M), Ia melakukan perluasan mesjid dengan
menambah lebih kurang 50 pilar penyangga di dalam masjid. Abdurrahman Katkhuda
digelar dengan sebutan “ Bapak Pembangunan “, karena ia membangun sejumlah masjid
di Mesir serta asrama sendiri yang memiliki fasilitas lengkap, seperti : tempat
cuci pakaian, dapur, dan perpustakaan.
Abdurrahman Katkhuta telah memberikan teladan bagi
penduduk Mesir, sehingga merekapun termotivasi untuk memberikan donasi dan
pelayanan terbaik untuk al-Azhar, mereka meyakini bahwa dengan membantu
al-Azhar berarti membantu lahirnya suatu generasi Muslim yang memiliki wawasan
luas dan mendalam dalam bidang keagamaan.
Dinasti Ottoman menjadi pemegang resmi atas al-Azhar
selama kurang lebih dari tiga abad, dan
mempertahankan faham Sunni sebagai bagian terpenting dalam mengembangkan
peradaban manusia. Dan menjelang berakhirnya Dinasti Ottomaan, al-Azhar telah
membuktikan sebagai pusat pemersatu dan kekuatan masyarakat sipil. Karena ulama
tidak bisa berdiam
4. Pasaca Dinasti
Ottoman
Setelah Napoleon Bonaparte berhasil menguasai Mesir
dan meluluh-lantakkan Dinasti Ottoman, maka berkeinginan pulan untuk menguasai
al-Azhar sebagai salah satu kekuatan spiritual, keilmuan dan pemersatu rakyat
Mesir. Pada awalnya Napolen Bonaparte meminta kepada Syaikh al-Azhar untuk
membentuk dewan tinggi yang terdiri dari 10 ulama besar. Dan Syaikh Abdullah
Syarkawi yang merupakan Syaikh al-Azhar akan ditunjuk menjadi pemimpin dewan
tinggi untuk melahirkan dan membentuk suatu konstitusi baru bagi Mesir.
Keinginan ini ditolak oleh para ulama, bahkan para
ulama adalah orang-orang yang berada dibarisan paling depan untuk melawan
penjajah dari Perancis ini. Karena tidak disambut dengan baik, maka terjadilah
peperangan yang mengakibatkan banyaknya para ulama ditangkap dan ditembak mati.
Sebagian ulama ada yang memilih patuh pada Dinasti
Mamluk yang dulu pernah terbukti membangun al-Azhar dan menjaga kelestarian
faham Sunni, dan sebagian lagi memilih untuk menerima kehadiran Napoleon
Bonaparte.
Napoleon Bonaparte meyakinkan para ulama bahwa
kehadiran mereka di Kairo adalah karena memebawa segudang ilmu untuk diajarkan
di al-Azhar, yang akan memperkuat keilmuan di al-Azhar. Namun, Perancis meminta
balas jasa dengan cara para ulama mempelajari kebudayaan Perancis. Pada tahun
1834, saat itu Syaikh al-Azhar yang bernama Syaikh Hasan al-Attar juga
mempelajari bahasa Perancis, akhirnya terjadilah pertukaran kebudayaan antara
Mesir dan Perancis.
Sikap ulama
yang pada awalnya konfrontasi berubah menjadi dialog dan akomodasi, tidak
terlepas dari menjaga kehidupan pendidikan al-Azhar. Dengan konfrontasi
dikhawatirkan al-Azhar akan mengalami kerugian dan dengan dialog serta menjalin
kerjasama maka al-Azhar akan bertahan. Adanya kerjasama dapat dilihat dari
dibukanya pembelajaran Bahasa Perancis bagi ulama dan para pelajar.
Perubahan berikutnya terjadi ketika kepemimpinan
politik di Mesir dari Napoleon Bonaparte berpindah ke Kleber karena pasukan
Dinasti Ottoman berhasil memukul mundur pasukan Napoleon di Palestina. Dan hal
ini menjadikan terjadinya pergolakan kembali di al-Azhar, bahkan ketika Dinasti
Ottoman kalah dalam menghadapi pasukan Kleber, yang menyebabkan ribuan pasukan
di tangkap dan ulama yang berpihak kepada Donasti Ottoman ditangkap dan
dicambuk. Perlakuan Kleber yang tidak manusiawi ini menyebabkan al-Azhar
ditutup selama satu tahun.
Pada tahun 1801, pasukan Perancis mengalami
kekalahan dan dapat ditaklukkan oleh Dinasti Ottoman dengan bantuan Inggris.
Kemudian Inggris yang tidak tertarik untuk menguasai Mesir, menyerahkan
kepemimpinan pada Dinasti Ottoman yang memiliki jejak sejarah dengan al-Azhar
dan Mesir. Dan pada tahun yang sama di bulan Juni, al-Azhar dibuka kembali
untuk shalat Jum’at setelah ditutup selama satu tahun.
D.
Pembaharuan
dalam Al-Azhar
Al- Azhar dalam perjalanannya sebagai
lembaga pusat pendidikan keagamaan terus mengalami pasang-surut dalam
perkembangannya, pembaharuan demi pembaharuan terus dilakukan, adapun tokoh
pembaharuan serta ide yang mereka tawarkan dan lakukan, beberapa di antaranya :
1. Muhammad
Ali yang merupakan penguasa Mesir dengan dukungan penuh dari para ulama
al-Azhar. Adapun reformasi yang dilakukan Muhammad Ali antara lain :
a. Setiap
pelajar yang akan memasuki al-Azhar harus mendaftar dan mengikuti ujian
seleksi.
b. Setiap
tingkatan memiliki kurikulum dan system yang jelas.
c. Mendirikan
sejumlah kelas untuk pendidikan umum, seperti kedokteran dan teknik.
d. Mengirim
pelajar untuk belajar ke Eropa dan setelah lulus mengabdikan diri untuk
mengembangkan ilmu di al-Azhar.
e. Adanya
dewan tinggi dalam rangka memaksimalkan kualitas pendidikan di al-Azhar.
f. Memberikan
ijazah kepada lulusan al-Azhar.
Muhammad
Ali melakukan pembaharuan terhadap al-Azhar, dengan dua cara, yaitu :
a.
Jangka pendek,
yaitu memegang kendali kebijakan al-Azhar.
Meskipun
al-Azhar dipimpin oleh Grand Syaikh dan dikoordinasikan dengan Dewan Tinggi
al-Azhar, tetapi dalam penunjukan Grand Syaikh, Muhammad Ali memegang otoritas
tertinggi.
b.
Jangka Panjang,
Muhammad Ali menggalakkan pengiriman para ulama ke Perancis untuk belajar, hal
ini dimaksudkan agar para ulama dapat mensintesiskan antara kultur pendidikan
al-Azhar dan pendidikan Barat.
2. Ismail
cucu dari Muhammad Ali. Ia memberikan kebebasan
kepada kalangan Katolik dan Protestan untuk mengembangkan pendidikan, kemudian
mendirikan Dar Ulum tahun 1872 M, dengan tujuan melatih para guru dan hakim.
Tahun
1873 M, tenaga guru mencapai 314 dan jumlah pelajar 9.441 orang. Jumlah pelajar
terus mengalami peningkatan sampai 10.780 orang dengan rincian 5.651 orang
berafiliasi mazhab Syafi’i, 3.826 orang berafiliasi mazhab Maliki, 1.278 berafiliasi mazhab hanafi, dan 25 orang
berafiliasi mazhab Hambali. Jumlah ini terdapat pada tahun 1876 M.
Sejak
tahun 1872, al-Azhar telah memperhitungkan kualitas dan kelayakan bagi guru
ingin mengajar di al-Azhar, dengan memberikan sertifikasi bagi mereka yang
lulus fit and proper test, dan berhak untuk mengajar di al-Azhar.
3. Kemudian
Abbas Ilmi pada tahun 1892 membangun
kelas khusus dilantai bawah untuk ruangan ujian, menata kembali
perpustakaan,dan membangun rumah sakit di al-Azhar.
4. Muhammad
Abduh, ia adalah Grand Mufti Mesir. Ia menyampaikan lima proposal reformasi di
dalam al-Azhar, yaitu :
a. Mengubah
sistem halaqoh menuju system kelas
yang terjadual
b. Melaksanakan
ujian yang rutin dalam rangka mengukur kemampuan akademis setiap pelajar.
c. Menggunakan
buku-buku primer yang ditulis para ulama yang mempunyai otoritas dalam
bidangnya, daripada buku-buku sekunder yang ditulis sebagian guru.
d. Memperkaya
kurikulum dengan materi-materi baru, bahkan hal-hal yang tidak ada dalam
khazanah keilmuan al-Azhar.
e. Sentralisasi
perpustakaan.
Kerjasama
yang dilakukan oleh Muhammad Abduh sebagai Grand Mufti dan Syaikh Hassunah
al-Nawawi sebagai Grand Syaikh al-Azhar, mempunyai dampak yang sangat besar
terhadap reformasi al-Azhar.
Suwito
(2008) : Membahas tentang reformasi pendidikan di al-Azhar, Muhammad Abduh
adalah salah satu tokoh reformis yang lahir pada tahun 1849 M di Mahallat Nasr
sebuah desa di Mesir. Di antara pemikirannya yang berkaitan dengan reformasi
system pendidikan di al-Azhar adalah :
1.
Ia menentang pengkafiran terhadap
segala sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan. Seperti membaca buku geografi,
ilmu alam, atau filsafat adalah haram, memakai sepatu adalah bid’ah.
2.
Materi pelajaran yang diberikan
al-Azhar tidak hanya terbatas kepada ilmu-ilmu agama an sich, tetapi juga
memperkenalkan sekaligus mengajarkan filsafat, sejarah dan peradaban Eropa,
teologi, serta logika.
3.
Ia tidak setuju dengan metode
pengajaran di al-Azhar yang lebih menekankan kepada aspek penghafalan, tetapi
ia lebih menekankan kepada mahasiswa untuk dididik berfikir. 12)
5. Kemudian
pada tahun 1895 M, dibentuk satu lembaga yang diberi nama Majlis
al-Iradah atau Dewan Administratif. Dewan ini terdiri dari Grand Syaikh
al-Azhar, empat ulama representative dari empat mazhab fiqh dan dua orang dari
pemerintah. Dewan ini melakukan pembaharuan di antaranya :
a. Standarisasi
pelajar yang dapat menimba ilmu di al-Azhar ;
12) Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (
Jakarta, Kencana , 2008), h. 186
Keharusan
menghafal 15 juz Al-Qur’an pada pelajar yang berusia 15 tahun.
b. Perubahan
kurikulum ;
1)
Al-Maqashid
: Materi inti dari pendidikan keagamaan
Seperti
: Aqidah, Akhlak, Fiqh, Ushul Fiqh, Hadits dan Tafsir
2)
Al-Wasail
: Materi yang penting untuk dipelajari oleh pelajar,
Seperti
: Bahasa Arab dan Ilmu Hadits.
Bayard Dodge (1961) :
During
the year, moreover, so many people desired to have modern subject included in
the curriculum, that they asked the Rector of al-Azhar to give a legal decision
concerning the matter. After consulting the Mufti and other authotities he
pronounced that, “ It is right to teach the mathematical sciences like
arithmetic and geometry, as well as geography, because they do not contradict
truth. Anything contributed by then spiritual endeavor is needed, just as
medicine is necessary. “ Then a reference is made to al-Gahzzali, after which
it is explained that certain aspects of astronomy and astrology are not
legitimate. The natural sciences are permitted, if studied in accordance with
the (Shari’ah) law, but forbidden if approached fram the point of view of
metaphysics. Alchemy is prohibited, but chemical experiments are allowed,
provided they do not contradict the doctrines af Islam. 13)
The curriculum, moreover, omitted subject like this
biography of the Prophet, religious ethics, technical term for the tradition,
calligrafhy, composition, the art of debate and calculation of the times of
worship. The shaykhs believed that’s a students mind could be so well trained
by mastering the traditional studies, that when be fit for any position to
which he might be appointed. 14)
Selama tahun
1888, banyak orang yang mengiginkan agar materi modern masuk ke
dalam kurikulum, terkhusus adanya permintaan agar rektor al-Azhar memberikan keputusan
hukum tentang masalah
tersebut. setelah berkonsultasi dengan Mufti dan para pakar lain ia menyatakan bahwa,
" Suatu tindakan
yang benar untuk mengajarkan ilmu
matematika seperti aritmatika dan geometri,
serta geografi, karena ilmu
ini tidak bertentangan dengan kebenaran,
karena merupakan pengetahuan yang diperlukan “ al-Ghazali berpendapat bahwa ilmu pada aspek tertentu dari astronomi dan astrology
tidak
13) Bayard Dodge, Al-Azhar A Millennium of Muslim Learning, ( Washington, D.C, The Middle East Institute ,
1961), h. 132
14) Ibid, h. 133
boleh dipelajari. Sedangkan mempelajari ilmu-ilmu alam diperbolehkan, dengan dasar hukum (syari'ah),
tetapi dilarang jika
didekati dari sudut pandang metafisika, Alchemy dilarang,
tetapi eksperimen kimia yang diizinkan,
asalkan tidak bertentangan
dengan doktrin Islam.
Kurikulum, materi
seperti biografi nabi,
etika agama, istilah
teknis untuk tradisi,
kaligrafi, komposisi, seni perdebatan dan
perhitungan waktu ibadah dihilangkan. Karena para syekh percaya bahwa
pikiran siswa bisa
begitu terlatih dengan
menguasai penelitian tradisional,
bahwa ia akan cocok dengan posisi apapun
setelah ia lulus.
c. Pembagian
Jenjang Pendidikan :
1) Pendidikan
8 tahun : pelajar yang menyelesaikan pendidikan dalam waktu 8 tahun akan diberi
ijazah al-Syahadah al-Ahliyyah, dan
diperkenankan menjadi imam masjid dan khatib.
2) Pendidikan
12 tahun : pelajar yang menyelesaikan pendidikan dalam waktu 12 tahun akan diberi
ijazah al - Syahadah
al-‘Alamiyyah, mereka yang lulus pada
jenjang ini hamper dipastikan menguasai bidang kajiannya, yang memadukan antara
kemampuan hafalan dan pemahaman. Gelar ini adalah gelar tertinggi karena lulusannya harus hafal seluruh Al-Qur’an.
Berkaitan
dengan pembaharuan ini Zuhairi Misrawi (2010) menuliskan ;
Menurut Khafagi
ada tiga sosok penting dalam menjeput
era baru di al-Azhar, terutama dalam rangka menjaga keseimbangan antara
modernisasi, reformasi, dan kemerdekaan politik. Pertama Rifa’ah Tahtawi. Ia
adalah sosok ulama modern yang berjasa dalam pengembangan bahasa dan sastra di
al-Azhar ….
Kedua, Abdullah
bin al-Nadim dan Ahmad Urabi. Al-Nadim seseorang yang menggalang kekuatan di
kalangan Budayawan untuk mengobarkan api revolusi dan reformasi. Untuk mencapai
misinya, ia mendirikan sebuah lembaga yang sangat popular, yaitu Jam’iyyah al-Kahiriyyah al-Islamiyah.
Sedangkan Urabi adalah seorang agitator yang dapat membakar spirit orang-orang
Mesir untuk menyalakan api revolusi. Bahkan, al-Azhar turut serta dalam
revolusi yang dipimpin oleh Urabi, yang kemudian dikenal dengan revolusi Urabi.
Ketiga,
Muhammad Abduh, Ia dikenal sebagai salah satu murid Jamaluddin al-Afghani, yang
melanjutkan pemikiran progesif dan menuju modernisasi yang sesungguhnya. Ia
menggabungkan antara kekuatan aktivitasme
dan intelektualisme. Sebuah gerakan reformasi yang hampir dikatakan sempurna. 15)
Setelah beberapa tahun kemudian,
muncullah ide untuk menjadikan al-Azhar sebagai universitas, tetapi inisiatif
ini ditolak pemerintah dengan mendirikan universitas tandingan pada tahun 1908
yang diberi nama Universitas Kairo, ada anggapan bahwa sikap pemerintah ini
adalah untuk meminimalisir peran sosial al-Azhar. Namun hal ini tidak
mengurangi kepribadiaan al-Azhar sebagai pusat pendidikan keagamaan, bahkan
perannya secara nasional, regional, dan internasional semakin meningkat.
Sidi Gazalba (2001) :
Setelah sepuluh abad perkembangan madrasah, tahun
1911 ia diresmikan sebagai Universitas Agama.
“… Al Azhar telah dibagi menjadi dua jurusan, jurusan umum yang
meneruskan cara lama dan jurusan khusus yang terdiri dari ilmu kalam, hukum dan
bahasa Arab: dan tiap-tiap fakultas mempunyai beberapa sekolah rendah dan
menengah. Pada jurusan khusus mahasiswa dikuliahi pelajaran-pelajaran modern
dengan rencana pelajaran-pelajaran yang terakhir, diberi ujian-ujian tahun;
diwajibkan spesialisasi dengan mengajukan desertasi serta diberi gelar akademi…“16)
Pada tahun 1930, pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang No.49 yang mengatur pendidikan al-Azhar, yang dimulai dari
pendidikan dasar sampai ke perguruan tinggi, dan Universitas al-Azhar terbagi
menjadi tiga fakultas, yaitu : Syari’ah, Ushuluddin, dan Bahasa Arab. Dan
sampai saat ini, Universitas al-Azhar tidak hanya memiliki fakultas-fakultas
keislaman, tetapi juga fakultas-fakultas umum, seperti : Tarbiyah, Kedokteran,
Farmasi, Sosial Politik dan Ekonomi, Perdagangan, Sains dan fakultas khusus
perempuan yang dikenal dengan Kuliyyah
Al-Banat.
15) Zuhairi Misrawi,
“ Al-Azhar: Menara Ilmu,
Reformasi, dan Kiblat Keulamaan “, ( Jakarta, Penerbit Buku Kompas , 2010), h. 200
16) Sidi,Gazalba, “ Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan
Islam “, ( Jakarta, PT. Al-Husna
Zikra , 2001), h. 215
Secara
nasional peran al-Azhar
tidak diragukan lagi karena mampu
mereformasi diri dan menjemput modernisasi,
di ranah regional merupakan satu-satunya pendidikan tinggi yang diperhitungkan,
dan di taraf internasional, namanya semakin harum dengan bertambahnya jumlah
mahasiswa asing yang belajar di dalamnya.
E.
Peranan
Al-Azhar dalam Dunia Islam
1. Al-Azhar
sebagai Kiblat Keulamaan
Ka’bah adalah kiblat shalat bagi umat
Islam, maka al-Azhar adalah kiblat keulamaan, ungkapan ini bukan pendapat yang
tidak bisa dibuktikan dengan sejarah, faktanya al-Azhar tetap berkiprah
ditengah usianya yang sudah mencapai 1000 tahun. Perkembangannya terus
mengalami pasang surut, dan menjadi saksi sejarah terhadap pergantian periode
dinasti, bahkan sampai masa penjajah dan revolusi.
Al-Azhar diakui secara internasional
adalah lembaga pendidikan yang mencetak para ulama yang memiliki karakter yaitu
kritisme, dan ulama yang selalu merujuk pada sumber primer yaitu Al-Qur’an dan
Hadits.
Abad 9 H/15 M adalah masa keemasan bagi
al-Azhar, karena pada saat itu banyak ilmuan yang muncul, seperti : Ibnu
Khaldun, Al-Farisi, Al-Suyuthi, Al-Maqrizi, dan lainnya. Kemudian banyak juga ulama
kontemporer yang merupakan lulusan al-Azhar, antara lain : Muhammad Abduh,
Jamaluddin al-Afghani, Yusuf Qardhawi, Quraish Shihab.
Misrawi Zuhairi (2010), menyatakan :
Dalam hal ini,
terdapat dua kelompok ulama yang berjasa besar dalam menjaga eksistensi
al-Azhar sebagai benteng peradaban Sunni. Pertama, para ulama yang dipilih
sebagai Grand Syaikh al-Azhar. Mereka mempunyai jasa besar, karena di tangan
merekalah segala urusan yang berkaitan dengan al-Azhar dikendalikan untuk
kemaslahatan umat.
Kedua, para
ulama yang menghabiskan waktu untuk mengajar dan menelurkan pemikiran
–pemikiran keagamaan cemerlang di al-Azhar. Dedikasi dan karya mereka ditulis
dengan tinta emas sebagai sebuah pembuktian. Bahwa al-Azhar telah memberikan
ruang yang seluas-luasnya untuk berkarya untuk tumbuhnya pemikiran keagamaan
yang membawa harapan tentang kemajuan dan kebangkitan.
Kedua kelompok
ulama tersebut telah menjadikan al-Azhar sebagai lembaga pendidikan yang
mempunyai kedudukan penting di hati umat Islam. Dalam usianya yang lebih dari
1.000 tahun, al-Azhar telah membuktikan dirinya sebagai salah satu model
pendidikan yang patut diacungkan jempol dengan catatan ulama yang telah lahir
dari rahim al-Azhar. 17)
Senada dengan
pendapat di atas, Bayard Dodge (1961) menyatakan :
In conclusion Dr. al-Bahay says that “The
readjustment of al-azhar consists in bearing in mind the accomplishment of a
mission, which is the understanding of Islam and making it know more
perfectly"."It ia an individual mission, which no other educational
institution can undertake “ ." Islam in the future will have a strong or
weak influence, as al-azhar is strong or weak. " 18)
Kesimpulannya
adalah Dr. al-Bahay mengatakan “ al-Azhar berdiri dengan komitmen membawa misi
yang kuat,
menanamkan pemahaman keislaman dan pengetahuan
yang sempurna. “ Ini adalah misi yang besar dan belum ada lembaga lain yang
dapat melakukannya. “ .“ Kuat atau lemahnya masa depan Islam akan berpengaruh
terhadap al-Azhar
Selain
sebagai institusi pendidikan, Al-Azhar juga memiliki lembaga-lembaga lain,
yaitu :
1)
Lembaga
Pendidikan Dasar dan Menengah (Al-Ma’ahid
Al Azhariyyin)
2)
Lembaga Riset
Islami (Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyah)
3)
Biro Kebudayaan
dan Misi Islam (Idarah Al-Tsaqafah wa
Al-Bu’uts Al-Islamiyah)
4)
Majelis Tinggi
Al-Azhar (Al-Majlis Al-‘Ala li Al-Azhar).
5)
Dewan Tinggi
Ulama (Hai’ah Kibar Al-‘Ulama).
2. Azhar dan Peradaban
Al-Azhar mendirikan ikatan alumni skala
internasional yang dikenal dengan The World Association for al-Azhar Graduates,
yang disingkat dengan WAAG. Forum ini bertujuan untuk mempererat solidaritas antar alumni dan untuk menyuarakan pesan moral
kepada
dunia. Forum
WAAG dikeluarkan sejumlah rekomendasi, antara lain :
17)
Zuhairi Misrawi, “ Al-Azhar:
Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan “, ( Jakarta, Penerbit
Buku Kompas , 2010), h. 200
18) Bayard Dodge, Al-Azhar A Millennium of Muslim Learning, ( Washington, D.C, The Middle East Institute ,
1961), h. 186
a) Al-
Azhar merupakan menara ilmu yang sudah membuktikan eksistensi nya lebih dari
1000 tahun sebagai rujukan utama Islam moderat yang menegaskan pentingnya
toleransi dan keseimbangan.
b) Perbedaan
dala ranah teologi dan pemikiran merupakan sunnatullah.
c) Peradaban
manusia dala sejarahnya mempunyai nilai tentang kemajuan material dan
spiritual, keterbukaan terhadap agama-agama lain, serta interaksi buah pikiran.
d) Toleransi
dan kerjasama di antara agama-agama samawi merupakan keniscayaan dalam rangka
menghadapi tantangan yang diciptakan ideology-ideologi politik ekstrimis yang
kerapkali menghegemoni agama-agama dalam menjalankan misinya.
e) Dialog
antar peradaban hanya menjadi sekadar slogan belaka, dan belum menjdai sebuah
metodologi akademik yang dapat mendorong persuasi di antara peradaban.
f) Perlu
dibentuk ketentuan dan kerangka dialog yang dapat mengakselerasikan perjumpaan
yang dapat menguatkan iman, serta membangun etika ilmu, politik, dan ekonomi.
g) Dialog
yang bertujuan untuk kemenangan sebuah kelompok dan dominasi sebuah kelompok
atas kelompok lainnya, sehingga menghilangkan kesetaraan bukanlah tujuan dari
dialog.
h) Salah
satu hambatan dalam membangun dialog antar peradaban, yaitu munculnya
kebijakan-kebijakan politik yang bernuasa otoritariamisme.
i) Negara-negara
Barat telah lama melalui masa-masa mispersepsi terhadap Islam, sehingga hal
tersebut menyebabkan permusuhan.
j) Ruang
titik temu antar agama jauh lebih luas daripada titik perpecahan.
k) Perlu
lingkungan yang kondusif untuk membangun perdamaian.
Sungguh hal yang tak dapat dipungkiri
terhadap keistimewaan yang dimiliki al-Azhar, dimulai dari masa berdirinya,
perkembangannya yang tidak terlepas dari berbagai hambatan dan tantangan,
mengalami peningkatan kemajuan, sampai pada lulusan yang tidak diragukan lagi
kualitasnya.
Al-Azhar membangun peradaban dengan
perannya sebagai pusat lembaga keilmuan, dan tidak berhenti mulai dari masa
lalu sampai saat inipun nama al-Azhar tercium harum. Bahkan, para alumninya
melalui WAAG turut aktif dalam membangun peradaban dunia.
Keikut sertaan al-Azhar dalam kancah
penyelesaian konflik yang tajam antar agama, disambut oleh pakar dunia. Karen
Amstrong mengajak al-Azhar terlibat dalam gerakan global untuk menyerukan semua
agama untuk menggali dan menyebarkan energy kasih saying, karena menurutnya
bahwa perdamaian itu terwujud bukan karena perintah Tuhan, tetapi karena kita
memperjuangkannya agar terwujud dala kehidupan.
Hubungan antar manusia tidak akan
terjindar dari gesekan, yang disebabkan adanya perbedaan-perbedaan yang tidak
akan mungkin dipersatukan. Ideologi menjadi batu sandungan untuk menyayangi
sesame. Bahkan, menjadi dasar terjadinya ketegangan dan perpecahan, padahal
situasi ini bukanlah kemauan ideologi.
Karena itulah, peran al-Azhar dalam
membangun peradaban dan melahirkan manusia-manusia yang, beradab sangat
diperlukan. Dengan beberapa alasan sebagai berikut :
1.
Ulama adalah
manusia yang dekat kepada Allah Swt, kedekatan ini membuat ia bisa menentramkan
hati saudaranya agar dapat mengendalikan diri.
2.
Ulama adalah
orang yang memahami dasar-dasar agama dengan kepahaman yang baik, maka
seharusnya ia mampu memberikan penjelasan dan meluruskan pemahaman yang salah
untuk semua hal.
F.
Grand
Syaikh Al-Azhar
Universitas al-Azhar memiliki 45 orang
Grand Syekh, yaitu ulama yang pernah memimpin al-Azhar. Para ulama ini memiliki
latar belakang yang berbeda-beda terutama dalam mazhab yang dianutnya. Namun,
hal ini tidak menjadi persoalan besar dalam tubuh al-Azhar. Para ulama yang
pernah menjabat sebagai Grand Syaikh al-Azhar, antara lain adalah sebagai
berikut :
1. Syaikh
Muhammad al-Khurasyi, ia adalah syaikh
pertama dan salah satu
ulama Mazhab Maliki.
2. Syaikh
Ahmad al-Damhuji, diangkat pada tahun 1830 M, seorang ulama yang dikenal
memiliki charisma dan menjadi jembatan yang baik antar al-Azhar dengan
penguasa, dan menganut Mazhab Syafi’i.
3. Syaikh
Hasan al-Quwaysani, diangkat pada tahun 1834 M, seorang ulama yang istimewa
karena tunanetra dan menganut Mazhab Syafi’i.
4. Syaikh
Hasunah al-Nawawi, diangkat pada tahun 1896 M, seorang ulama yang memulai
reformasi al-Azhar memasukkan materi-materi non agama dalam al-Azhar,
mendirikan perpustakaan khusus al-Azhar , dan Riwaq Abbasi dan menganut Mazhab Hanafi.
5. Syaikh
Musthafa al-Maraghi, diangkat pada tahun 1928 M, pada masa jabatannya al-Azhar mendirikan
tiga fakultas.
Muhammad
Sa’id Mursi (2009) :
Namanya Muhammad Mushtafa
Muhammad Maraghi, panggilannya
Abu Abdullah Maraghi dilahirkan di desa Maraghah
Jaraja sebuah perkampungan di Mesir pada tahun 1881 M. Dia telah menghafal
Al-Qur’an sejak tinggal di kampungnya, menimba ilmu dari bapaknya kemudian
masuk al-Azhar. Belajar juga kepada Muhammad Abduh sehingga menguasai benar
metodologi islahnya. Dia meraih sertifikat internasional pada tahun 1904 M dan
termasuk mahasiswa termuda pada levelnya. Ditunjuk sebagai ketua Pengadilan
Tinggi Syari’ah, kemudian menjadi Hakim Agung di Sudan setelah menguasai bahasa
Inggris. 19)
6. Syaikh
Abdurrahman Taj, diangkat pada tahun 1954 M, seorang ulama yang menggantikan
Syaikh Muhammad Khadr Husein, dan mengeluarkan kebijakan wajib militer kepada
mahasiswa al-Azhar melawan Israil. Dan tahun 1955 memenuhi undangan Soekarna
dating ke Indonesia
7. Syaikh
Mahmud Syaltut, diangkat pada tahun 1957 M, seorang ulama mengumandangkan persatuan antar Islam, dan memulai perlunya dialog
antar mazhab
khususnya antara Sunni dan Syi’ah.
19) Muhammad Sa’id Mursi, “ Tokoh-Tokoh
Besar Islam Sepanjang Sejarah “, ( Jakarta, Pustka Al-Kautsar, 2005), h. 389
8. Syaikh
Abdul Halim Mahmud, diangkat pada tahun 1973 M, seorang ulama
yang ensiklopedis karena
wawasan keIslamannya, memiliki pengalaman dalam birokrasi
pemerintah, dan pernah dipercaya sebagai Menteri Waqf pada tahun yang sama.
Muhammad
Sa’id Mursi (2009) :
Abdul Halim
Mahmud dilahirkan di kota Bilbis propinsi Mesir Timur pada tahun 1910 M. Dia
memperoleh ijazah internasional dari al-Azhar pada tahun 1940 M, di Perancis,
kemudian menjadi dosen fakultas Ushuluddin dan diangkat menjadi sekan fakultas
yang sama pada tahun 1964 M. Pada saat itu ia mewajibkan mahasiswanya untuk
menghafal Al-Qur’an. 20)
9. Syaikh
Gad al-Haq Ali Gad al-Haq, diangkat pada tahun 1982 M, seorang ulama ahli hukum
Islam, dan terleibat dalam forum-forum internasional.
10. Syaikh
Ahmad Tateb, diangkat pada tahun 2009 M sampai saat ini, seorang ulama yang
mempunyai pengalaman pendidikan di Sorboni, Perancis. Memiliki komitmen
melanjutkan pemikiran Syaikh Tantawi dalam mendorong spirit kebangsaan.
Itulah
para Grand Syaikh atau Imam Akbar , yang telah berjasa dalam mengembangkan
paham Sunni, berkenaan dengan para ulama dan peranannya dalam mengembangkan al-Azhar.
Hasan
Asari (2007) memberi pendapat :
“
Posisi penting ulama Mesir berkaitan dengan keberadaan Al-Azhar. Lembaga
keagamaan yang didukung oleh system waqf yang sangat besar ini bertahan sejak
zaman klasik Islam dan telah menjadi
bagian dari identitas Mesir. Meski setelah penaklukannya di awal abad ke
– 16, kerajaan Ustmani melikuidasi sebagian besar waqf lembaga keagamaanMesir,
Al-Azhar merupakan pengecualian yang bahkan mendapat dukungan dari penguasa
tersebut. Lembaga ini berfungsi sebagai pusat revitalisasi pendidikan islam
(khususnya dalam kajian hadits dan tasawuf), di samping memberi peluang
pertukaran informasi antar berbagai penjuru dunia Islam. Keberadaannya
mengundang kehadiran sejumlah ulama besar yang sekaligus menjadi dasar
kosmopolitanisme kegiatan ilmiah muslim. Sejumlah ulama terkenal didaerah lain,
semacam India atau Indonesia mempunyai hubungan erat denga para ulama Al-Azhar
di Kairo
20) Muhammad Sa’id Mursi, “ Tokoh-Tokoh Besar Islam
Sepanjang Sejarah “, ( Jakarta,
Pustka Al-Kautsar, 2005), h. 392
Hubungan antara
ulama dan penguasa Mesir mengalami pasang surut, sesuai dengan besarnya
kekuasaan yang mereka miliki. Ulama cenderung memiliki kekuatan dan prestise
yang tinggi bila pemerintah pusat lemah dan tidak mampu mengendalikan rakyat
secara efektif. Kekuranggannya kendali politik memberi kesempatan bagi ulama
untuk berkolaborasi dengan penguasa, dan dengan demikian dapat mengumpulkan
kekuasaan dan kekayaan. Namun demikian sebagai pengayom umat Islam, ulama akan
menentang penguasa yang tiran terhadap rakyat. Sebaliknya, dibawah penguasa
yang kuat, yang pemerintahannya ditandai dengan pemerintahan pusat yang
efektif, otoritas ulama cenderung kehilangan kekuatannya.21)
G.
Rasyid
Ridha dan Kritiknya Terhadap Pengajaran Al-Azhar
Rasyid
Ridha memberikan pernyataan keras terhadap al-Azhar yang dikutip pada majalah
Al
- Manar edisi 42 bulan Januari tahun 1899 M. Ia menyatakan : “ Bagaimana
mugkin reformasi umat ini bisa diharapkan terjadi jika ulamanya meyakini bahwa
reformasi itu mustahil terjadi ?... dan bahwa upaya mengembalikan kemuliaan
agama itu hanya sia-sia belaka dan tidak ada gunanya ; karena zaman telah rusak dan Kiamat sudah
dekat ? … dan bahwa ilmu-ilmu kekinian, termasuk matematika dan sejarah, itu
sesat dan menyimpang dari garis kebenaran yang bisa menyebabkan mereka
diharamkan dari kebahagiaan ? … apakah di antara umat Islam itu ada yang runtuh
agama dan akalnya dengan meyakini pendapat-pendapat seperti ini ? 22)
Beberapa hal yang dikritik Rasyid Ridho,
yaitu :
1.
Pengajaran
keagamaan ; menurutnya jarang sekali ditemukan dialog dan diskusi yang terjadi
antara guru dan murid. Sehingga banyak persoalan yang tidak tuntas.
2.
Kitab-kitab fiqh
hanya berkisah masalah yang berisi persoalan-persoalan khilafiyah saja. Menurut
Rasyid Ridho, seharusnya disusun satu atau beberapa kitab khusus yang memuat
pendapat-pendapat shahih bagi kepentingan umat.
3.
Dalam masalah
ilmu kalam masih jauh dari kebutuhan-kebutuhan pemikiran saat itu. Seharusnya
masalah ilmu kalam difokuskan pada problem-problem filsafat.
21) Hasan asari, “Modernisasi Islam, tokoh, gagasan dan
gerakan”,(Citapustaka Media, Bandung, 2007)h.51-52
22) Said Ismail Ali, “ Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh “, (Jakarta, Pustka Al-Kautsar, 2010), h. 215
4.
Kitab nahwu yang
gagal untuk mengoreksi ungkapan yang keliru dan menggunakan bahasa ilmiah.
5.
Adanya jurang
pemisah terhadap ilmu-ilmu modern, karena itu seharusnya tidak ada jarak untuk
memisahkan ilmu modern dalam pembelajaran di al-Azhar.
SIMPULAN
Al-Mu’iz
Dinillah, pemimpin Dinasti Fathimiyah adalah orang yang paling berjasa dalam
membangun gagasan pendirian Masjid al-Azhar sebagai pusat pemerintahan dan
penyebaran faham Syi’ah Ismailiyah.
Al-Azhar
dalam perkembangannya, bukan saja sebagai tempat untuk mendalami ilmu agama
atau penampungan bagi orang-orang miskin, bahkan al-Azhar juga merupakan tempat
pemersatu umat dalam perjuangan membebaskan Mesir dari penjajahan Negara
Perancis.
Keistimewaan
al-Azhar, tidak hanya piawai dalam melahirkan ulama-ulama yang berkualitas,
akan tetapi ia juga membangun peradaban dunia melalui dua cara, yaitu dengan
kepribadian yangn dimiliki oleh al-Azhar sendiri, dan melalui
lulusan-lulusannya yang membawa perubahan terhadap masyarakat dunia.
Tak ada
gading yang tak retak, peribahasa ini mengungkapkan bahwa tidak ada yang
sempurna termasuk al-Azhar sebagai lembaga pendidikan. Dalam memainkan
peranannya tentu ada kekurangan-kekurangan yang tidak akan dapat dihindari.
Namun, karena perubahan adalah sesuatu yang sunnatullah, al-Azhar terus
mengalami peningkatan kemajuan dari zaman ke zaman.
Sungguh,
al-Azhar adalah sejarah yang berjalan, selama 1000 tahun ia menjadi saksi atas
perubahan – perubahan sistem pemerintahan, pengalihan kekuasaan, saksi akan
kelahiran para ulama, ilmuan, dan filosof yang terkenal sampai sekarang, dan
diusianya yang sangat tua, ia tetap menjadi idola untuk mendalami ilmu agama.
45 orang
Grand Syaikh, cukuplah menjadi bukti akan daya tahan sebuah tradisi intelektual
yang dimiliki al-Azhar. Walaupun memiliki keahlian dan mazhab yang berbeda,
para Grand Syaikh menjunjung tinggi tujuan yang sama, yaitu menghidupkan al-Azhar sebagai pusat dari
lembaga keilmuan agama dan umum untuk seluruh penduduk dunia.
Al-Azhar
tidak hanya menjadi sejarah, tetapi menyaksikan dan mengukir sejarah dalam
keajaiban dunia pendidikan dan peradaban. Dan keberadaan al-Azhar bukti nyata
bahwa Islam adalah agama yang peduli terhadap pendidikan, kesehatan, kesenian,
serta ilmu pengetahuan umum lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Bakir Ihsan, Ensiklopedia Islam (I), (2005), Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Arif Munandar
Riswanto, Buku Pintar Islam, (2010),
Bandung, Mizan.
Bayard Dodge, Al-Azhar A Millennium of Muslim Learning, (1961), Washington, D.C, The Middle East Institute.
Berkey,
Jonathan, The Transmission Of Knowlegde In
Medieval Cairo , (1992), New Jersey, Princeton University Press.
Hanun Asrohah, “ Sejarah Pendidikan
Islam “, (2001),
Jakarta, PT.
Logos Wacana Ilmu.
Hasan asari, Modernisasi Islam, tokoh, gagasan dan gerakan ,( 2007), Citapustaka
Media, Bandung,
M.Athiyah al-Abrasyi, Attarbiyatul Islamiyah , Dasar-Dasar
Pokok Pendidikan Islam , Bustami A.Gani, (1984 ), Jakarta, P.T.Bulan
Bintang,.
Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, (2005), Jakarta, Pustka Al-Kautsar.
Raghib As-Siraji, Madza Qaddamal Muslimuna lil’Alam Ishamaatu al-Muslimin fi al-Hadharah
al-Insaniyah . Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, Sonif, (2011),
Jakarta, Pustaka Al-Kautsar.
Said Ismail Ali, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh , (2010), Jakarta, Pustaka Al-Kautsar,
Sidi,Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam , (2001), Jakarta, PT. Al- Husna Zikra.
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (2008),
Jakarta, Kencana ,
Zuhairi Misrawi, Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat
Keulamaan, (2010) Jakarta, Penerbit Buku Kompas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar