BOOK
REPORT
PENDIDIKAN NILAI
Ummi Kalsum Khairani : 10 PEDI 1817
A.
Book
Description
Nama
Pengarang : Dr. Al Rasyidin, M.Ag
Judul Buku :
Percikan Pemikiran Pendidikan ;
Dari Filsafat Hingga Praktik Pendidikan
Tempat Terbit :
Bandung
Penerbit :
Citapustaka Media Perintis
Tahun Terbit :
2009
Jumlah halaman :
229 halaman
Tebal Buku :
16 x 24,5 cm
ISBN :
978-602-8208-58-1
Daftar Isi Buku :
Pengantar Penulis
Bab I :
Membincangkan Kembali Filsafat Pendidikan Kita
A. Falsafah
Pendidikan Islam : Implikasi Esensi Manusia terhadap Pendidikan Islam
B. Rekonstruksi
Filsafat Pendidikan Indonesia : Sebuah Pengantar Untuk Wacana Filsafat
Pendidikan Indonesia
C. Rekonstruksi
Bangunan Keilmuan Perguruan Tinggi Agama Islam : Presfektif Pendidikan Islami
Bab II :
Pendidikan, Kepribadian, Dan Moral Akademik
A. Pendidikan
dan Pengembangan Kepribadian
B. Kepribadian
Muslim : Prespektif Pendidikan Islami
C. Penegakan
Moral Akdemik : Upaya Mengembangkan Budaya Akademik Ilmiah
Bab III: Gagasan Tentang Pendidikan Nilai
A. Mendidikkan
Nilai : Mata Rantai Terputus Pendidikan Kita
B. Pendidikan
Nilai : Menegakkan Kembali Pendidikan Akhlaq
C. Pendekatan
dan Strategi Pendidikan Nilai
Bab
IV: Guru, Intitusi dan Praktek Pendidikan
A.
Memaknai Kembali
Eksistensi dan Tugas Guru
B.
Pendidikan Agama
dalam Keluarga : Peranan Orangtua
C.
Kurikulum
Berbasis Kompetensi : Implementasi dalam Kegitan Pembelajaran.
D.
Pendidikan Islam
dalam Konteks Otonomi Daerah.
Bab
V : Isu – Isu Krusial dan Peran
Pendidikan dalam Menyiasati Perubahan Global.
A.
Isu-Isu Krusial
dalam Pendidikan Nasional : Belajar Memetakan Masalah
B.
Globalisasi dan
Pendidikan : Pendekatan dan Peran Pendidikan dalam Menyiasati Perubahan Global.
Dafar Pustaka
Tentang Penulis
B.
Interpretation
1.
Bab
I : Membincangkan Kembali Filsafat Pendidikan Kita
Sebagai
pembuka, penulis mengangkat judul yang menarik yaitu Membincangkan Kembali
Filsafat Pendidikan Kita. Di awali dengan sub materi tentang Falsafah
Pendidikan Islam : Implikasi Esensi Manusia Terhadap Pendidikan Islam. Kalimat
pertama yang dikutif oleh penulis dari Omar Mohammad al-Thoumy al-Syaibany, ia
mengatakan bahwa falsafah pendidikan Islam adalah aplikasi pandangan falsafah
dan kaidah Islam dalam bidang pengalaman manusia Muslim yang disebut
pendidikan. Pandangan ini adalah hasil
kontemplasi, sistematis, universal, dan reflektif mengenai pendidikan Islam
yang merujuk pada nilai-nilai ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Maka
sudah seharusnya falsafah pendidikan Islam dijadikan sebagai landasan bagi
pelaksanaan dan pengembangan pendidikan Islam. Namun dalam buku ini ada
pertanyaan yaitu benarkah falsafah pendidikan Islam telah menjadi panduan atau
landasan bagi pelaksanaan dan pengembangan pendidikan Islam ? pertanyaan ini
sangat penting untuk dijawab, karena pembicaraan permasalahan pendidikan Islam
lebih banyak didominasi persoalan umum
yang hanya bersifat tehnikal, atau hanya menyentuh kulit luarnyasaja,
bahkan banyak ditemukan pendidik Muslim yang jarang melakukan tindakan
berdasarkan falsafah pendidikan Islam, sehingga dasar-dasar konseptual dimensi
filosofi pendidikan Islam terabaikan. Inilah latar belakang perlunya
membincangkan kembali pendidikan Islam dari prespektif filosofinya.
Adapun
urgensi falsafah adalah : (1) memberikan landasan berfikir mendalam,
sistematis, dan universal dalam memahami esensi pendidikan, untuk apa
pendidikan, dan bagaimana idealnya pendidikan itu dilaksanakan. (2) memahami
esensi pendidikan melalui pencarian an penelaahan terhadap konsep-konsep
filosofis ajaran Islam – al – Qur’an dan Hadits yang pada gilirannya akan
melahirkan teori-teori atau kerangka konseptual bagi pelaksaaan dan
pengembangan pendidikan Islam. (3) memberikan landasan berfikir mendalam kepada
pendidik dalam menganalisa secara kritis berbagai aspek atau komponen yang
terkait dengan pendidikan Islam.
Falsafah
pendidikan Islam memainkan peranan penting bagi seorang pendidik, karena dengan
falsafah pendidikan Islam pendidik dalam memahami esensi manusia, yaitu apa
tujuan, fungsi, dan tugas penciptaan manusia. Dalam prespektif falsafah
pendidikan Islam manusia terdiri dari dua unsure utama, yaitu dimensi materi
dan non materi. Adapun tujuan penciptaan manusia adalah untuk bersyahadah
kepada Allah, dan fungsinya untuk
beribadah kepada Allah SWT dengan tunduk dan patuh atas segala perintah-Nya ,
serta ikhlas semata hanya karna Allah
Swt. Kemudian tugas manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah.
Implikasi
konsep falsafah tentang manusia terhadaap praktik pendidikan Islam dapat
dilihat dari tiga konteks, yaitu (1) berdasarkan tujuan penciptaan manusia,
maka pendidikan haruslah merupakan suatu proses pemberian bantuan kemudahan
atau bimbingan bagi seseorang untuk mengenali dan meneguhkan kembali
syahadahnya kepada Allah Swt, (2) berdasarkan fungsi penciptaan adalah suatu
upaya memberikan bantuan kemudahan kepada peserta didik dalam
mengaktualisasikan daya jasmani dan rohaninya kea rah ketundukan dan kepatuhan
sepenuhnya kepada Allah Swt, (3) berdasarkan tugas penciptaan, praktik pendidikan
Islam menghendaki perlunya pendidikan kepada manusia untuk menambah ilmu
pengetahuan, keterampilan, adab, nilai-nilai atau sikap mental terpuji
Rekonstruksi
filsafat pendidikan yang dimaksud penulis di sini adalah mengandung makna ‘pengantar’ bagi
pengembangan wacana filsafat pendidikan Indonesia, mengandung makna ‘stimulan’
untuk orang-orang yang konsen dalam pendidikan nasional, mengandung makna
‘follow up’ yang lebih positif untuk kemajuan peradaban bangsa.
Perlunya
filsafat pendidikan untuk melahirkan perubahan yang signifikan dalam dunia
pendidikan. Penulis memberi penjelasan
bahwa secara teoritik, pelaksanaan pendidikan suatu bangsa umumnya
dilandasi oleh filsafat pendidikan yang sesuai dengan ideology dan tujuan
nasional bangsa tersebut. Namun, sayangnya sampai saat ini penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia belum memiliki filsafat pendidikan yang benar-benar
mapan untuk memandu pendidikan dan dalam menghasilkan output yang memililki
kualitas intelektual dan keimanan yang kokoh. Penulis memberikan tawaran dalam hal membangun wacana filsafat
pendidikan di Indonesia, haruslah dibangun berdasarkan central of ideas, yaitu gagasan-gagasan sentral yang terbentuk dari
serangkaian nilai-nilai, sikap,
pemikiran, perilaku masyarakat dan bangsa Indonesia yang telah berlangsung
dalam kurun waktu yang relative panjang.
Dalam
bab ini, penulis mengatakan bahwa dalam peradaban Barat telah berlaku adagium Intellectus Quaerens Fides, yang artinya
intelektual atau rasionalitas lebih dikedepankan daripada agama, moral, dan
keimanan. Dan ini sangat bertolak belakang dengan dunia Timur yang menganut
adagium Fides Intellectus Quaerens, yang berarti bahwa keimanan, keyakinan,
nilai-nilai moral dan agama menempati kedudukan yang lebih penting dan utama
daripada intelektualitas atau rasio. Lalu bagaimana paradigma berfikir bangsa
Indonesia ? penulis menjawab bahwa bangsa Indonesia cenderung juxta position,
yaitu posisi yang memandang bahwa keimanan dan intelektualitas berada dalam
kedudukan yang parallel. Yang jadi tugas utama kita adalah membangun paradigma
baru filsafat pendidikan Indonesia, dan menurut penulis kita perlu
mengembangkan filsafat pendidikan Indonesia yang mampu mengintegrasikan
keimanan dan intelektualitas secara harmoni dan seimbang untuk membimbing dan
mengarahkan penyelenggaraan pendidikan, baik pada tataran makro maupun mikro.
Rekonstruksi filsafat pendidikan dapat dilakukan dengan meminjam sejumlah
prinsip dari beberapa aliran filsafat, antara lain adalah : (a) prinsip bahwa
pendidikan itu harus mempunyai tujuan (perenialism), (b) prinsip kesinambungan
pengalaman kebudayaan (essentialism), dan
(c) prinsip bahwa proses
perubahan itu dimungkinkan oleh tindakan “intelligence reflective
thingking” dan harus merupakan bagian integral dari proses pendidikan dan
proses perubahan sosial (progressivism).
Buku
ini juga menawarkan tentang rekonstruksi bangunan keilmuan PTAI, hal ini harus
dilakukan karena menurut penulis, PTAI dalam kurun waktu yang panjang hanyalah
lembaga yang berfungsi sebagai tempat proses transformasi ilmu-ilmu agama, dan
akhirnya hanya melahirkan lulusan yang
‘ahli-ahli’ agama sebatas menjadi ustadz, guru mengaji, muallim kampung, guru
agama, petugas agama di instansi pemerintahan, bahkan sebagian berpendapat lulusan
PTAI, hanya pandai mengaji dan berdo’a saja.
Upaya
untuk memperbaiki kondisi ini sebenarnya sudah dilakukan, yaitu dengan membuka
program studi umum, seperti Tadris IPA, Matematika, dan lain-lain. Namun karena
kelembagaan PTAI berbentuk institut, maka upaya ini terbentur dengan peraturan
perundang-undangan pendidikan nasional, karena undang-undang hanya membenarkan
institute atau sekolah tinggi mengembangkan kajian dalam satu rumpun ilmu
sejenis.
Sebelum
menjelaskan terlalu jauh, langkah awal kita adalah merenungkan kembali apa
makna sesungguhnya dari pendidikan Islam ? Sebagian besar kalangan Muslim
memaknai pendidikan adalah proses pengembangan potensi peserta didik secara
maksimal menuju kesempurnaan. Pengertian ini bagi penulis tidaklah salah. Namun,
yang harus dibangun adalah menyangkut makna esensi/dasar pengembangan potensi
jism dan ruh manusia, yang harus diarahkan pada pengenalan dan peneguhan
kembali perjanjiannya kepada Allah Swt. Maka, pendidikan yang benar dalam
lingkup keIslaman adalah proses pengembangan fakultas jismiyah dan ruhiyah
secara berkesinambungan untuk mengingatkan dan meneguhkan kembali perjanjian
manusia kepada Allah Swt.
Lalu,
Bagaimana implikasinya terhadap bangunan keilmuan PTAI ? Penulis menjawab.
Pertama, ilmu adalah kesadaran tentang realitas, dan hakikat realitas itu
adalah Allah Swt. Kedua, panca indera, akal, dan hati merupakan perangkat atau
instrument yang dengannya ilmu pengetahuan dapat didekati dn dikonstruksi
manusia lewat metodologi empiric, rasional, dan metafisik Ketiga, objek ilmu
pengetahuan adalah seluruh fenomeno (fisik) dan noumena (non fisik). Keempat,
berdasarkan objek, pendekatan, dan metodologi kajian, ilmu pengetahuan bisa
diklasifikasikan kepada ilmu-ilmu kewahyuan dan kealaman, ilmu naqliyah dan naqliyah,
ilmu-ilmu abadi dan perolehan.
Implikasi
di atas diharapkan dapat merubah potret bangunan keilmuan lembaga-lembaga
pendidikan Islam selama ini. Karena sampai saat ini telah terbentang jurang
pemisah antara pendidikan Islam dan pendidikan umum, atau yang sering disebut
dengan dikotomi pendidikan. Dan permasalahan ini merupakan permasalahan besar,
maka tugas untuk melakukan perubahan ini adalah tugas umat Islam terkhusus para
cendikiawan muslim, yang harus merumuskan kembali dan mengrekonstruksi ulang
bangunan keilmuan Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, sehingga paraadigma keilmuan memungkinkan bagi umat
Islam untuk memahami realitas diri dan keberadaannya.
Di
akhir bab penulis mengatakan bahwa perubahan tidak dapat dilakukan dengan hanya
memiliki keilmuan yang terbatas karena itu seharusnya tidak ada dikotomi dalam
pendidikan. Maka, umat Islam dengan kecerdasan yang dimilikinya harus
merumuskan kembali pandangan Islam tentang tujuan, fungsi dan tugas
penciptannya di alam semesta yang berhubungan erat dengan kebutuhannya terhadap
pendidikan, sebagai upaya untuk merealisasikan tujuan, fungsinya, dan tugasnya
sebagai khalifah di muka bumi Allah.
2.
Bab
II : Pendidikan, Kepribadian, dan Moral Akademik
Bab
II ini, dibuka penulis dengan menyampaikan kerpihatinannya terhadap pandangan
dari beberapa kalangan yang menyatakan bahwa pendidikan kita gagal dalam
membentuk anak didik menjadi manusia yang berkepribadian sehat. Pernyataan ini
berdasarkan fenomena yang terjadi di masyarakat, di antaranya adalah pelanggaran
disiplin, tawuran, pemerkosaan, terlibat naarkoba, dan lain-lain.
Solusi
yang ditawarkan oleh penulis adalah pendidikan harus mempersiapkan anak didik
menjadi manusia yang berkepribadian sehat, karena pendidikan bukan hanya
sekedar proses trasformasi pengetahuan dan keterampilan, tetapi suatu proses
dimana pribadi manusia ditumbuh-kembangkan menjadi manusia yang berkepribadian
sehat. Maka muncullah pertanyaan apa
kaitan pendidikan dengann pengembangan kepribadian ? Penulis menjawab dengan
mengutarakan UU No.20 Tahun 2009 tentang Sisdiknas, dan menarik kesimpulan
sebagai berikut : bahwa pendidikan adalah usaha yang terencana, konsep kuncinya
adalah dengan menciptakan suasana belajar dan upaya pembelajaran, diarahkan
untuk mengembangkan potensi diri peserta didik, aspek/dimensi potensi peserta
didik meliputi: spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq
mulia, dan ketrampilan praktis. Kemudian penulis juga menguraikan tentang
fungsi dan tujuan pendidikan yang terdapat pada pasal 3 UU No.20 Tahun 2009, ia
menyimpulkan, bahwa fungsi pendidikan Nasional adalah (1) mengembangkan
kemampuan bangsa, (2) membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat,
(3) mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan dalam konteks tujuan pendidikan, terbagi
dua, yaitu tujuan umum mengembangkan potensi diri manusia, dan tujuan khusus,
menciptakan manusia yang memiliki cirri : beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
YME, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta
bertanggunjawab.
Maka
berdasarkan penjelasan di atas, penulis menyimpulkan hubungan yang sangat erat
antara pendidikan dan pengembangan kepribadian. Penulis menguraikan dari sisi
defenisi, pendidikan dikonsepsikan sebaga usaha mewujudkan suasana dan proses
pembelajaran untuk mengembangkan potensi dan kepribadian peserta didik, dari
segi fungsi, membentuk kepribadian bangsa agar memiliki kapasitas, watak, dan
peradaban yang bermartabat sebagai bangsa yang cerdas. Dan dari segi tujuan
adalah mengembangkan totalitas kepribadian peserta didik, baik menyangkut
dimensi spiritual, etikal, fisikal, intelektual, attitudinal, dan skill. Lalu
dengan landasan yang sudah dimiliki. Apakah praktik pendidikan kita saat ini, sudah memasukkan dimensi
kepribadian atau belum ? Penulis memberikan jawaban dengan mengutip pernyataan
Buchori bahwa satu kelemahan praktik pendidikan kita saat ini adalah tidak
menyentuh persoalan paling mendasar dalam kehidupan, yakni menyangkut makna
hidup. Pendidikan lebih banyak mementingkan peningkatan dimensi intelektualitas
peserta didik semata. Penulis menguraikan beberapa penyebab. Pertama, pendidik
jarang bahkan terkesan tidak pernah membimbing peserta didik untuk mengenali
konsep dirinya sendiri. Kedua, ketidakmampuan institusi pendidikan untuk
menghasilkan lulusan yang berkepribadian sehat yang disebabkan kelemahan
metodologi, pengetahuan, dan ketrampilan yang ditransformasikan tidak memiliki
muatan nilai-nilai. Ketiga, secara praktik pembelajaran yang memberi muatan
nilai hanya diajarkan oleh bidang studi tertentu, dan bidang studi inipun
memiliki kelemahan, karena dalam pembelajaran nilai-nilai terkesan hanya bersifat
kognisi saja.
Dalam
bab ini, penulis menerangkan makna dan konsep pengembangan. Menurut Hurlock
bahwa kepribadian sebenarnya tersusun dari suatu inti atau pusat gravitasi yang
disebut dengan konsep diri dan system terpadu dari respon-respon yang dipelajari
yag disebut dengan sifat-sifat. Dan
apakah kepribadian bisa dibentuk dan dikembangkan ? penulis menguraikan jawaban
menjadi tiga teori besar, yaitu (1) Early Formation Theory, bahwa kepribadian
telah dibentuk sejak awal kehidupan manusia. (2) Stage Theory, kepribadian
seseorang terbentuk melalui serangkaian tahapan atau periode, dimana antara
satu tahapan dengan tahapan lainnya saling berkaitan dan menentukan perkembangan berikutnya. (3)
Dialectical Theory, bahwa perkembangan kepribadian terbentuk melalui sebuah
tegangan yang berlangsung antara berpasang-pasangan tujuan yang saling
berlawanan, seperti keterbukaan-ketertutupan, stabilitas-perubahan,
harmoni-konflik, kompetisi-agresi, dan lain-lain. Maka sudah jelas betapa besar
peran pendidikan dalam
mengembangkan kepribadian yang sehat.
Dengan syarat yang disampaikan oleh penulis, bahwa pendidikan harus
memenuhi kriteria-kriteria tertentu untuk dapat mengembangkan kepribadian
secara optimal.
Dalam
prespektif Islam, kepribadian seorang Muslim harus mengacu kepada konsepsi
Islam tentang manusia. Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa manusia terdiri dari
dua unsur yaitu materi dan non materi, atau unsure jasad dan ruh. Jasad
merupakan wahana bagi ruh untuk mengaktualisasikan seluruh keinginan dan
kehendaknya, sedangkan ruh memiliki peran yang sangat menentukan dalam
membentuk kepribadian, karena ruh yang mengarahkan manusia untuk memilih dan
melakukan suatu perilaku atau tindakan. Dan Rasulullah selain mencontohkan
kepribadian Islami, beliau juga berhasil dalam membentuk, membina, dan
mengembangkan kepribadian Islami melalui pendidikan. Rasulullah menjadi
pendidik yang langsung men-tarbiyah umatnya, menjadikan masjid dan rumah
sebagai tempat melaksanakan pendidikan, dan tidak kalah penting beliau
memberikan materi tentang keimanan, akhlaq, ibadah, dan muamalah.
Namun,
kembali keluar kalimat keprihatinan, bahwa ketika Islam datang dengan ajaran
yang sempurna dan disampaikan oleh seorang Rasul yang memiliki akhlaq yang juga
sempurna, tidak menjamin pemeluknya dapat menegakkan moral yang sesuai dengan
aturan agama. Karena itu penulis mengutip pernyataan Amin Rais bahwa
keberilmuan tidak selalu menjamin penegakan moral.
Di
perguruaan tinggi harus segera dilakukan upaya untuk mengembangkan budaya
akademik-ilmiah, dengan mengedepankan urgennya moral akademik, adapun sebabnya
antara lain adalah karena pendidikan bukan sebatas tranformasi ilmu pengetahuan
dan keterampilan, tetapi juga internalisasi nilai dan pembentukan watak serta
kepribadian bangsa, serta penegakan moral akademik diperguruan tinggi akan
memprotect civitas akademika dalam merespon berbagai isu yang terjadi dan
membantu mereka dalam mengarahkan masyarakat kea rah yang lebih baik. Maka
upaya yang utama adalah dengan menjadikan moral akademik sebagai landasan
kehidupan di perguruan tinggi. Di samping harus memenuhi standar-standar
tertentu untuk menciptakan suasana akademik yang kondusif.
Sebagai
pentup pada bab II, penulis mengatakan bahwa untuk mengetahui moral akademik
yang Islami maka kita berkaca pada pribadi Rasulullah. Karena moral akademik
yang ditampilkan Rasulullah dapat dijadikan sebagai kerangka konseptual dan
praktikal dalam penegakan moral akademik di berbagai perguruan tinggi Islam.
3.
Bab
III : Gagasan Tentang Pendidikan Nilai
Pada
bab ini, penulis memaparkan tentang gagasan untuk menjadikan nilai menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan, sehingga menjadi satu konsep yang
harus disampaikan atau diajarkan dalam bentuk materi pendidikan nilai.
Fenomena
dalam kehidupan bermasyarakat bila dicermati akan terlihat dengan jelas
telah terjadi desonansi moral, yaitu
melemahnya nilai moral secara kualitatif, dimana peristiwa ini berbanding
terbalik dengan kemajuan sains dan teknologi. Bahkan, hal ini juga mewarnai
dunia pendidikan, yaitu dengan ditemukannya kasus kekerasan, pelacuran
intelektual, korupsi, kecurangan dalam ujian, dan kasus-kasus lain, yang
melibatkan orang-orang yang dididik secara formal.
Dengan
fenomena ini, penulis bertanya : apa kiranya yang salah atau keliru dari
praktek pendidikan kita selama ini ? Bukankah pendidikan merupakan proses
pemanusiaan manusia agar ia bisa memilih hidup mulia, memuliakan kehidupan,
mengembangkan kehidupan yang penuh dengan nilai dan makna ? Kemudian di bab
ini, penulis memaparkan tentang kebiasaan yang berubah dari mendidik menjadi
mengajar, dari praktik menjadi hafalan. Dan walaupun kurikulum kita ‘gemuk’
dalam pendidikan formal, dari mulai pra sekolah sampai perguruan tinggi, yang
seharusnya merupakan tempat bagi anak mengenal dirinya berubah menjadi
‘pendidikan akademis’. Anak hanya mengenal konsep benar dan salah, baik dan
buruk, terpuji dan tercela, dan tidak mampu menangkap nilai-nilai esensi dari
pengetahuan yang ia miliki. Padahal, seharusnya nilai-nilai itu include, bahkan
inheren dalam setiap disiplin ilmu yang dipelajari. Terputusnya mata rantai
pendidikan nilai yang akhirnya menyebabkan ketidakberhasilan pendidikan dalam
mendidikkan nilai-nilai, secara umum disebabkan oleh proses pembelajaran yang
hanya sekedar verbalisme dan formalitas. Maka sudah waktunya kita menyadari dan
segera melakukan perubahan, di antaranya dengan merubah pendekatan yang selama
ini hanya bersifat kognisi, menjadi kognisi-afektif. Kemudian dalam proses,
peserta didik dilatih untuk kritis, mengidentifikasi dan mengenali nilai-nilai,
mengklarifikasi nilai-nilai, memilih dan mempertimbangkan efek-efeknya, memilih
yang terbaik untuk dilakoni, dan melakukan berbagai penyesuaian yang
diperlukan. Dalam prespektif Islam, pendidikan nilai adalah upaya menegakkan
kembali pendidikan akhlaq. Karena kemajuan
sains dan teknologi mempermudah
manusia untuk dapat saling berinteraksi tanpa mengenal jarak dan tanpa
batas. Karena itulah pendidikan nilai sangat dibutuhkan sebagai upaya
memprotect peserta didik dari dampak
negatif kemajuan zaman. Permasalahan selanjutnya adalah peserta didik
secara langsung merasakan terjadinya konflik nilai, yaitu saat orangtua dan
guru mengajarkan ‘begini’, namun di sisi lain, realitas kehidupan menunjukkan
‘begitu’. Dengan kata lain, saat anak dididik dengan nilai-nilai religious, di
sisi lain dalam masyarakat maupun media
massa, mereka menyaksikan berbagai perilaku yang justru kontradiktif, akhirnya
terjadilah konflik nilai dalam diri peserta didik. Lalu bagaimana memperkuat
pendidikan akhlaq, sehingga konflik nilai tidak menjadi beban besar ? maka
penulis menjawab persoalan ini dengan bercermin pada praktek pendidikan Rasul.
Karena sejarah telah membuktikan keberhasilan yang telah dicapai Rasul dalam
mencontohkan dan mendidikan nilai pada sahabat dan ummat. Dalam proses
pendidikan Rasul memulai dengan mensucikan jiwa, akal, dan jism, selanjutnya
mendidikkan nilai ke dalam diri manusia
yang disertai dengan keteladanan.
Penulis
menawarkan langkah-langkah edukatif dalam memperkuat pendidikan akhlaq, yaitu
(1) menggali dan merumuskan kembali
secara eksplisif prinsip-prinsip dan ajaran Islam tentang akhlaqul
karimah yang bersumber pada kandungan Al-Qur’an dan Hadits. (2) Kita perlu
merubah kebiasaan mendidik yang terlaku menekankan aspek ingatan dan hafalan.
(3) merubah kesan dan pandangan sebagian pendidik yang beranggapan bahwa tugas dan tanggungjawab pendidikan hanya
sebatas pada ruang kelas dan sekolah belaka. (4) membangun dan mengembangkan relasi
yang konkrit antara kehidupan di dalam madrasah dan perguruan tinggi dengan
kenyataan-kenyataan empiric di masyarakat.
Penulis
juga menguraikan tentang pendekatan dan strategi pendidikan nilai yang diawali
dari pengertian nilai. Penulis mengutip pernyataan Frankel yang mendefenisikan
bahwa nilai adalah suatu gagasan atau konsep tetang segala sesuatu yang
diyakini seorang penting dalam kehidupan ini. Kemudian Shaver dan Strong
mengklasifikasikan nilai pada dua kategori utama, yaitu : (1) nilai-nilai
moral, yaitu standar-standar atau
prinsip-prinsip yang digunakan seseorang untuk menilai baik atau buruk, benar
atau salah suatu tujuan atau perilaku, dan (2) nilai-nilai non moral adalah
standar atau prinsip-prinsip yang digunakan yang sesuai dan dipengaruhi oleh
nilai-nilai estetika atau penampilan. Dan kedua nilai ini dapat dikelompokkan
ke dalam : (1) nilai-nilai instrinsik
yaitu nilai yang merujuk kepada standar-standar yang disebut dengan terminal
values, dan (2) nilai-nilai instrumental yaitu ukuran-ukuran nilai yang disusun
untuk meraih standar-standar nilai yang lain. Adapun pendekatan pendidikan
nilai, di antaranya adalah pendekatan penanaman nilai, sosialisasi moral,
utilitianisme rasional, perkembangan moral kognitif, klarifikasi nilai, dan
pembelajaran berbuat. Selanjutnya terdapat banyak strategi yang dapat digunakan
untuk mendidikkan nilai, namun pendidikan harus dapat memilih strategi yang
tepat dalam pelaksanaannya, seperti strategi project, tutorial, atau open/distance
learning digunakan pada kelas yang hanya terdiri dari 5 orang peserta
didik, dan strategi lainnya seperti seminar, workshop, gaming, brainstorming, buzzgroup, filed trip, role play, ice
breaker, simulation, dan case study
lebih tepat pada kelas yang terdiri dari 5 sampai 20 orang peserta didik, dan
kelas yang lebih dari 20 orang sebaiknya menggunakan strategi kuliah,
demonstrasi, team teaching, diskusi, debate, tanya jawab dan video.
Strategi
dan pendekatan yang dilakukan haruslah sesuai dengan keinginan dan kondisi
peserta didik, di sisi lain pendidik harus mempertimbangkan karakteristik
peserta didik yang dihadapinya serta sarana dan fasilitas yang tersedia.
Sebagai
penutup bab III, penulis kembali memaparkan tentang nilai yang sebenarnya sudah
dikandung oleh mata pelajaran tertentu. Namun, karena proses pembelajarannya
lebih mementingkan peningkatan dimensi intelektualitas, maka target dan sasaran
yang diinginkan tidak tercapai. Hal inilah yang menyebabkan kegagalan pendidik
dalam meningkatkan kualitas moral peserta didik.
Penulis
mengharapkan agar pendidikan nilai dapat berfungsi sebagai pendorong bagi
mengembangkan kebisaan dan perilaku yang baik, menyalurkan miat dan bakat,
memperbaiki kesalahan, memperkecil kekurangan dan kelemahan, mencegah perilaku
negative, mensucikan jiwa, menyaring nilai-nilai budaya bangsa sendiri dan
bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya bangsa.
Bagi
penulis melakukan perubahan ini bukanlah hal yang mudah, akan tetapi ketika
semua pihak mau bekerjasama dengan segala kesadaran bahwa mendidik generasi
bangsa adalah tanggungjawab semua pihak. Maka semua kesulitan dapat diatasi.
4.
Bab
IV : Guru, Institusi, dan Praktik
Pendidikan.
Pada
bab IV, penulis secara khusus membahas tentang guru. Pertanyaan awal yang
dihantarkan penulis adalah Apakah sebenarnya tugas guru mendidik atau mengajar ?, selanjutnya penulis memaparkan
perjelasan untuk menjawab pertanyaan ini.
Menurut
penulis, kita tidak dapat menutup bahwa tidak sedikit guru yang mereduksi
tugas-tugasnya hanya sebatas mengajarkan pengetahuan, itupun dominan berada
pada tataran kognitif. Bagi sebagian guru, mengajar adalah sebuah rutinitas
melaksanakan kewajiban, bukan membelajarkan, dan bukan pula pelaksanaan tugas
yang merupakan panggilan jiwa, apalagi panggilan agama.
Menurut
penulis, tugas seorang guru adalah : (1) pendidik berkewajiban menciptakan
suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis,
(2) mempunyai komitmen secara professional untuk meningkatkan mutu pendidikan,
dan (3) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan
sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Dalam
prespektif pendidikan Islam, guru disebut sebagai mu’allim, murabbi, atau
muaddib. Sebagai muallim, guru adalah sosok pendidik yang memiliki ilmu
pengetahuan dan ia sendiri hidup dengan
ilmu pengetahuan yang diketahuinya itu. Sebagai murabbi, guru adalah sosok
pendidik yang memiliki sifat-sifat rabbaniyah, yakni meneladani sifat-sifat
al-Rabb yang tersimpul dalam al-asmaul al-husna dalam diri dan kepribadiannya,
sedangkan sebagai muaddib, guru merupakan sosok pendidik yang beradab, yang
dengan adab tersebut ia mampu mendisiplinkan jiwa, hati, pemikiran, dan
jasmaninya. Karena itulah, dalam prespektif pendidikan Islami, ilmu pengetahuan,
sifat-sifat rabbaniyyah, dan adab merupakan syarat-syarat personalitas yang
harus dimilliki dan menjadi kepribadian
seorang pendidik. Tanpa syarat itu, seseorang tidak layak mengklaim
dirinya sebagai guru/pendidik.
Lalu
bagaimana peran orang tua dalam pendidikan agama di lingkungan keluarga ?
Kembali penulis memberikan penjelasan, ia mulai dengan perbincangan tentang
potret keluarga masa kini.
Menurut
penulis, dalam Islam keluarga ideal adalah keluarga yang tidak hanya diikat
oleh hubungan denealogis atau keturunan semata. Sebab hubungan darah atau
keturunan tidak dapat menjamin eksistensi dan kontiunitas bangunan sebuah
keluarga. Lebih luas lagi, jika ditinjau dari prespektif Islam, sebuah keluarga
yang ideal diikat oleh tiga hal, yaitu ; kesamaan keyakinan dan aqidah,
kesamaan visi, dan cita-cita, dan kesamaan gairah dalam beraktivitas dan
beramal shalih.
Keluarga
adalah pusat dan lingkungan yang paling strategis untuk mendidik orang-orang
yang ada di dalamnya. Maka, keluarga memiliki multi fungsi, seperti ekonomis,
sosial, edukatif, protektif, religious, rekreatif, dan afektif.
Namun,
dari penjelasan di atas dapat dinyatakan bahwa menemukan keluarga seperti
dimaksud dalam masyarakat dewasa ini, terasa agak sulit menemukannya, yaitu
yang sesuai dengan profil keluarga ideal. Potret keluarga dewasa ini, pada
umumnya sebatas ikatan yang diikat oleh hubungan darah saja. Walaupun tinggal
satu atap, akan tetapi visi, cita-cita, dan aktivitas amal mereka semua
berbeda. Bahkan, tidak jarang dijumpai terdapat perbedaan aqidah dikalangan
anggota keluarga.
Kondisi
ini terjadi disebabkan semua anggota keluarga tenggelam dalam kesibukan
masing-masing, mereka seperti tidak punya waktu untuk berkumpul, bercengkrama,
saling berbagi cerita sesame anggota keluarga. Padahal di luar mereka adalah
orang yang selalu siap membantu, mendengar, berbagi suka, punya kesempatan dan
waktu luang untuk berinteraksi dengan orang lain.
Menurut
penulis, memberikan pendidikan agama adalah tanggung jawab orangtua yang tidak
dapat diwakilkan. Dalam bab ini, penulis memaparkan tujuh kewajiban orangtua
terhadap anaknya, yaitu : (1) memberi nafkah yang halal, (2) mencintai dan
menyayangi anak, (3) mendoakan anaak dengan doa yang baik, (4) mendidik anak
mengerjakan shalat, (5) bersikap hati-hati terhadap anak, (6) mendidik anak
agar berbakti kepada ibu-bapak, (7) berupaya memelihara anak dari api neraka.
Anak
adalah amanah dari Allah Swt, yang harus dijaga, dipelihara, dan dididik sesuai
dengan kehendak Allah Swt. Dan di sisi lain, anak adalah fitnah, yang dapat
menghantarkan orangtuanya hidup bahagia di surge dan dapat menyebabkan
orangtuanya harus tinggal di neraka. Maka sebagai orangtua yang arif, mereka
harus dapat men-tarbiyah, men-ta’lim, dan men-ta’dib anaknya sesuai dengan
tanggungjawab yang diembannya, karena memberikan pendidikan agama pada anak
tidak dapat diwakilkan kepada orang atau institusi
Penulis
mengatakan ada beberapa hal pokok yang harus dididikkan orangtua ke dalam diri
dan jiwa anak-anaknya, yaitu : a) menananmkan aqidah atau keimanan dalam diri
anak, b) membentuk dan membina kepribadian anak sesuai dengan akhlaqul karimah,
c) melatih dan membiasakan anak melaksanakan ibadah, d) memelihara dan
menjauhkan anak dari azab, siksa, dan penderitaan.
Dan
nilai-nilai yang harus diinternalisasikan orangtua kepada anaknya adalah nilai Ilahiyah dan nilai Insaniyah. Penjelasannya adalah, hal hal yang berkaitan dengan
nilai-nilai Ilahiyah sebagai berikut : iman, Islam, ihsan, taqwa, ikhlash,
tawakkal, syukr, shabar. Sedangkan dimensi insyaniyah, sebagai berikut : cinta
kasih kepada sesame manusia, semangat persaudaraan, persamaan, adil, sikap
penuh baik sangka kepada sesame manusia, tawadhu’, tepat janji, lapang dada,
amanah, sikap penuh harga diri, hemat dan dermawan. Dan selain sikap ini,
penulis menambahkan bahwa orangtua harus menanamkan nilai-nilai positif ke
dalam diri anak, seperti ; menumbuhkan sikap mencintai alam semesta, menanamkan
tekad dan kegemaran untuk memelihara alam, menumbuhkan sikap dan kesediaan
memanfaatkan alam untuk kepentingan umat, dan menanamkan sikap sedia untuk
memakmurkan bumi dan menjaga keseimbangan alam.
Gambaran
tantangan masa depan dalam melaksanakan
pendidikan agama adalah kurangnya ilmu agama dan ketrampilan yang dimiliki
orangtua untuk mendidik anaknya dalam menghadapi perkembangan sains dan
teknologi, beberapa keluarga Muslim telah terinfeksi dengan virus budaya
modernitas dalam kehidupan, masih banyaknya umat Islam yang tidak sejahtera
dalam bidang ekonomi, tidak ada protect terhadap perkembangan sains dan
teknologi, sehingga generasi muslim larut dengan menu-menu keduniaan, dan
hilangnya kepedulian terhadap permasalahan yang ada di sekitar lingkungan.
Kemudian,
penulis mengatakan bahwa rendahnya kualitas output yang dihasilkan oleh
pendidikan kita dipengaruhi oleh banyak factor, di antaranya adalah kurikulum
pendidikan, hal ini mendorong banyak kalangan untuk menelaah kembali system
pendidikan nasional yang dikembangkan selama ini. Ada sebagian kalangan
menyebut kurikulum pendidikan dengan sebutan kurikulum pabrik, dengan alasan
muatannya terlalu padat, dan menyebabkan beban terhadap siswa. Karena dalam
praktik pembelajarannya guru berusaha menyelesaikan materi yang tertera di
dalam kurikulum dan tidak punya waktu untuk mengidentifikasi perkembangan dan mengakomodasi
kebutuhan peserta didik. Alasan inilah yang melatarbelakangi gagaasan untuk melakukan rekonseptualisasi
kurikulum pendidikan nasional agar sesuai dengan tuntutan kebutuhan siswa, masyarakat, lingkungan, dan kemajuan ilmu
pengetahuan, teknologi dan informasi. Upaya ini merekomendasi pengembangan K urikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang
diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
KBK
memiliki pengertian seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan
hasil belajar yang harus dicapai oleh siswa, penilaian, kegiatan belajar
mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum
sekolah.
Implikasi
KBK dalam proses pembelajaran adalah suatu upaya untuk membantu siswa menguasai kompetensi
tertentu, baik berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap atau
nilai-nilai agar mereka memiliki kapasitas dalam menghadapai berbagai persoalan kehidupannya
kelak secara mandiri, cerdas, kritis, rasional, dan kreatif.
Tujuan
utamanya adalah menciptakan output yag kompeten dan cerdas dalam membangun
identitas diri dan budaya bangsanya dalam suasana perubahan, pertentangan,
ketidakpastian, dan berbagai kerumitan dalam kehidupan.
Perkembangan
selanjutnya adalah perubahan system pemerintahan, yang sebelumnya berpusat pada
ibukota berubah menjadi adanya keinginan untuk memberikan peluang lebih luas
kepada daerah untuk mengatur diri dari rumah tangganya sendiri, dan akhirnya
pemerintah mengakomodasi keinginan ini dengan memberlakukan kebijakan otonomi
daerah. Dan konsep dasar otonomi adalah pemberian wewenang untuk melaksanakan
secara mandiri berbagai urusan yang menyangkut individu, masyarakat, dan
institusi.
Arah
kebijakan nasional untuk memberikan otonomi yang lebih besar kepada daerah
ternyata dilakukan juga pada sector pendidikan. Dan tujuan pemberian otonomi tersebut adalah pemberdayaan daerah
dalam menyelenggarakan pendidikan agar lebih efesien, efektif,dan bermutu.
Pada
bagian ini, penulis banyak menguraikan tentang kebijakan-kebijakan pemerintah
yang erat kaitannya dengan dunia pendidikan.
Bagaimana
kesiapan pendidikan Islam terhadap pemberlakuan otonomi daerah ? jawaban singkat penulis adalah bila kita mau
memberdayakan pendidikan Islam agar sesuai dengan semangat daerah, maka tiga
persoalan utama yaitu menyangkut
manajemen, pembiayaan, dan mutu atau kualitas pendidikan, adalah persoalan
pokok yang harus diselesaikan.
Sebelum
menutup bab IV ini, penulis menyampaikan suatu jalan keluar terhadap
permasalahan yang dihadapi oleh pendidikan Islam, menurut penulis, lembaga
pendidikan Islam harus mencari
alternative lain dalam hal pembiayaan dan mulai secara bertahap melepasakan
diri dari ketergantungannya pada pendanaan yang berasal dari pemerintah.
Penulis
memberi alternative dalam bentuk strategi pendanaan mandiri yang bisa ditempuh,
yaitu pemberdayaan zakat produktif, pemberdayaan waqf, dan penerapan konsep
land grand madrasah dan land grand university.
5.
Bab
5 : Isu-Isu Krusial dan Peran Pendidikan Dalam Menyiasati Perubahan Global.
Dalam
bab ini, penulis mengajak kita untuk belajar memetakan masalah. Menurut
penulis, setiap upaya mencari solusi terhadap berbagai masalah pendidikan
nasional harus dimulai dengan pengenalan dan identifikasi masalah terlebih
dahulu.
Dalam
bab ini, penulis memaparkan beberapa isu yang mengintari dunia pendidikan
beserta solusinya. Adapun isu-isunya sebagai berikut : (1) kekerasan dan
kemiskinan, (2) keragaman dan potensi perpecahan, (3) kegagalan dalam
menciptakan moralitas anak bangsa, (4). Kuantitas versus kualitas, (5) masalah
pengangguran terdidik.
Solusi
untuk mengatasi permalahan di atas, menurut penulis ; pendidikan agama dan
moral di masa depan harus memberikan kemampuan kepada peserta didik untuk dapat
memaknai dan memuliakan hidup, serta berani hidup sebagai manusia beradab,
pendidikan harus menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, pendidikan
harus berasaskan ideology yang memuat kemajemukan sehingga mengakomodasi
nilai-nilai yang berakar pada agama dan budaya bangsa, pendidikan harus mengakomodasi
prinsip-prinsip demokratis dan elagitarian, merekonstruksi visi dan misi
pendidikan nasional sehingga tidak mengabaikan dimensi akhlak dan moral, dan
pendidikan harus mampu menumbuhkan dan mengembangkan kemandirian dan mental entrepreneurship di kalangan peserta didik.
Pendekatan
dan peran pendidikan dalam menyiasati perubahan global, pada bab ini, penulis
menerangkan tentang peran strategis dunia pendidikan sebagai institusi yang
amat penting dalam mempersiapkan wwarga dunia, baik dalam konteksnya dengan
menyikapi berbagai perubahan global yang terjadi, maupun dalam rangka
mempersiapkan mereka untuk tetap eksis dan kompetitif di era global.
Globalisasi
dapat menembus batas-batas space, times,
dan distance, melalui tiga kekuatan
pokok yaitu teknologi, pasar modal, dan manajemen. Pengaruh globalisasi ini
akan tercermin dalam kehidupan masyarakat yang akan mempraktikkan nilai-nilai
inti universal dari suatu budaya yang disebut dengan budaya global. Bagi masyarakat yang dapat mengakomodasi budaya ini,
maka masyarakat ini akan maju dalam peradaban daripada masyarakat lain. Menurut
penulis, salah satu kunci penting bagi kemampuan suatu masyarakat dan bangsa
untuk beralih dari budaya tradisional ke budaya global yang progresif, serta
mengakomodasi dan mempraktikkan universal core values dalam kehidupannya adalah
ilmu pengetahuan.
Maka
peran pendidikan harus bisa
mengembangkan kompetensi, kemauan keras, dan kesadaran dalam diri setiap
peserta didik. Bila ketiga kompetensi ini dapat dilakukan oleh setiap orang,
maka akan lahir manusia-manusia yang cerdas secara intelektual, terampil dalam
melakukan aktivitas kehidupan, memiliki sikap dan kesadaran moral yang tinggi,
serta yang paling penting mampu mengambil peran dalam percaturan kehidupan
global. Dan ada beberapa pendekatan dalam menyiasati perubahan global yang
diakomodasi dalam bentuk sikap, penuh mengklasifikasi sikap ini menjadi tiga,
yaitu (1) Tranmissive, yaitu komunitas yang tetap meneruskan cara-cara dari
tradisi dan budaya leluhur dalam menyikapi berbagai perubahan yang terjadi. (2)
Moderative, yaitu kelompok masyri budaya luhur masyarakat yang masih meneruskan
unsure-unsur positif dari budaya leluhur, mereka juga membuka diri untuk
mengambil nilai-nilai baru yang positif dari suatu proses perubahan. (3)
Innovative, yaitu kelompok masyarakat
dan bangsa yang praktis meninggalkan semua cara dan nilai-nilai lama untuk
kemudian menggantinya dengan cara dan nilai-nilai baru yang dibawa oleh suatu
perubahan.
Sebagai
penutup, penulis mengatakan, bagaimanapun baiknya sebuah pendekatan, implikasi
hasil-hasilnya sangat tergantung pada bagaimana setiap orang memahami, menilai,
memaknai, dan menggunakan pendekatan tersebut dalam kehidupannya. Seseorang
tidak akan bisa mengikuti suatu perubahan, jika ia tidak berusaha secara
sungguh-sungguh untuk merubah diri dan lingkungannya.
C.
Evaluation
Setelah
membaca buku ini, saya menyarankan buku untuk dibaca para pendidik dan
orang-orang yang peduli dengan pendidikan. Menurut saya buku ini ditulis dengan
kategori bahasa Ilmiah, hal ini mungkin dilatarbelakangi dengan judul buku yang
juga berkaitan erat dengan pemikiran dan filsafat.
Jika
dilihat dari daftar isi, penulis sangat berusaha mengajikan isi buku dalam satu
kesatuan utuh, yaitu setiap tema saling berkaitan dan saling berhubungan. Di
mulai dari membincangkan kembali filsafat pendidikan kita, di sini penulis
mengajak para pemikir pendidikan untuk merekonstruksi ulang atau memikirkan
kembali bangunan pendidikan nasional kita, dengan landasan falsafah yang benar,
maksudnya adalah landasan yang berdasarkan ideology dan tujuan nasional bangsa
Indonesia
Penulis
memaparkan potret pendidikan di Indonesia yang terjadi dari dulu sampai saat
ini, yaitu adanya dikotomi atau jurang pemisah antara pendidikan umum dan
pendidikan agama, dan memang sudah
seharusnya ini tidak boleh terjadi, karena untuk dapat menggali ilmu dari alam
semesta ini diperlukan kedua ilmu tersebut.
Menurut
saya, gagasan untuk membincangkan
kembali filsafat pendidikan kita, adalah hal yang harus dipertimbangkan. Karena
jika kita terus membicarakan penyebab atau terus mencari kelemahan dan
kesalahan kenapa semua ini terjadi ? , kita tidak akan pernah mendapatkan
solusi yang tepat. Dengan gagasan ini, mungkin akan lebih memudahkan bagi kita
untuk memutuskan tujuan pendidikan yang sesuai dengan kepribadian bangsa.
Saya
melihat hubungan tema pertama dengan tema
kedua yang berbunyi pendidikan, kepribadian, dan moral akademik. Menurut
penulis, jika kita sudah tepat menemukan konsep terbaik bagi pendidikan kita,
maka tentu akan memberi pengaruh basar pada kualitas pendidikan, pembentukan kepribadiaan
insan kamil, dan terbangunnya moral akademik yang beradab.
Dalam
bab ini, saya melihat keresahan penulis yang melihat bahwa pada praktik
pendidikan yang berlansung selama ini telah mengabaikan dimensi kepribadian,
dan ia telah menguraikan banyak sebab kenapa ini terjadi. Tapi, lagi-lagi
penulis tetap memberikan solusi yang harus dilakukan oleh pendidik.
Namun,
saya menemukan materi yang bisa dikatakan berulang, walaupun disajikan dalam
penjabaran yang berbeda, seperti pada halaman 68, ada judul yang berbunyi :
proses pembentukan kepribadian; praktik pendidikan Rasululah, hampir senada
dengan halaman 78 yang judulnya berbunyi : moral akademik Islami; berkaca pada
pribadi Rasulullah, dan halaman 100, yang berjudul memperkuat pendidikan akhlaq
: bercermin pada praktik pendidikan Rasulullah. Walaupun kesemua materi di atas penting, tidaklah
salah jika saya menyarankan kepada penulis untuk tidak mengulang atau
memberikan informasi yang hampir sama, atau lebih bijak lagi menggantinya
dengan judul yang lebih tepat.
Kemudian,
pada halaman 180, ada sub judul kecil yang berbunyi : Jalan Keluar … ? ,
saya berpendapat bahwa sub judul ini
melahirkan banyak arti. Mungkin artinya tawaran solusi terhadap permasalahan,
atau pertanyaan apakah solusi yang ditawarkan merupakan jalan keluar atau
tidak, atau tidak perlu terlalu diterjemahkan. Maka menurut saya, sub judul ini
kurang tepat menggambarkan isi materinya, saya menyarankan jika dilakukan
revisi, sub judul ini diganti dengan kalimat yang lain atau dengan menghilang
tanda tanya dan menambah kata yang lain.
Saya
memberi apresiasi terhadap buku ini karena penulis secara bertanggungjawab
memberikan gagasan untuk melakukan perubahan dalam system pendidikan nasional
lengkap dengan latar belakang munculnya ide yang ingin beliau sampaikan,
termasuk menulis rangkaian tema demi tema untuk memberikan pembelajaran kepada
para pelaku pendidikan. Ini menunjukkan kesiapan penulis untuk melakukan
perubahan secara personal, kelompok, bahkan dalam skala yang lebih besar.
Saya
juga memberikan apresiasi bahwa dalam penulisan buku ini, sang penulis telah
menunjukkan kepribadiannya, karena buku sarat dengan muatan agama, padahal jika dilihat dari judul
buku, maka buku ini bersifat umum. Tapi, penulis mengkemasnya dalam wadah yang tidak lepas dari nilai-nilai
agama.Pada bab terakhir penulis menjelaskan berbagai isu dan cara kita
memetakan masalah, agar solusi yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan
dalam dunia pendidikan.
D.
Recommendation
Saya
sebagai salah seorang pelaku pendidikan, menyarankan buku ini untuk dibaca dan
dapat menjadi rujukan dalam rangka memahami dan membangun konsep nilai. Buku ini
bukan hanya memberikan paparan, penjelasan, keresahan, sikap menghadapi kemajuan zaman, bahkan dalam
buku ini penulis melahirkan ide/gagasan,
serta memberi motivasi untuk melakukan perubahan dalam skala kecil atau besar,
individu dan kelompok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar