HUBUNGAN HADIS
DENGAN ALQURAN
Zuraidah : Nim 10 PEDI 1817
A.
Pendahuluan
Muhammad
s.a.w adalah utusan Allah s.w.t yang menjadi teladan bagi umat dan rahmat bagi
seluruh alam, dalam sejarah perannya bukan hanya sebagai Rasulullah, beliau
juga pemimpin masyarakat, hakim, panglima perang, bahkan kepada negara, dan di
sisi lain beliau adalah seorang suami dan juga ayah.
Kehidupan
Muhammad s.a.w terbatas akan ruang, waktu, dan tempat. Ia hidup di masa
tertentu dan tidak semua orang dapat menemuinya. Karena itu peran para sahabat
dan tabi’in, dalam memberitakan semua yang berasal dari Rasulullah, baik
ucapan, perbuatan, taqrir, sifat dan keinginannya, sangat berarti untuk menjadi
pedoman bagi hidup manusia.
Pada
dasarnya Alquran sebagai mukjizat Muhammad s.a.w adalah kitab yang sempurna.
Namun, ada ayat-ayat tertentu yang harus dijelaskan secara rinci baik makna,
hukum yang terkandung di dalam, atau cara melakukannya dan lain-lain. Dan
inilah peran yang diambil Rasul s.a.w melalui sunnah-sunnahnya.
Hadis
memiliki peranan penting sebagai salah satu sumber hukum Islam, adapun fungsinya
untuk memperkuat isi kandungan Alquran, untuk memperjelas makna kandungan
Alquran yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, untuk membatasi
keumuman ayat Alquran sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu, dan
untuk menetapkan hukum yang tidak ditetapkan dalam Alquran. Semua fungsi di
atas menempatkan kedudukan hadis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
sumber hukum Islam, karena itulah tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk
meninggalkan salah satunya atau hanya mengamalkan satu saja dari kedua sumber
hukum tersebut.
Dalam
makalah ini secara garis besar permasalahan yang dibahas adalah pengertian
hadis yang meliputi hadis, sunnah, khabar,
dan asar, persamaan maupun perbedaannya, dengan menguraikan contoh-contoh untuk
semakin memperjelas materi. Kemudian pemakalah melanjutkan pembahasan kedudukan
hadis pada Alquran dan menguraikan fungsi-fungsi hadis. Semua materi di atas
akan dibahas secara tuntas pada bab selanjutnya.
B.
Hubungan
Hadis dengan Alquran
1.
Pengertian
Hadis, Sunnah, Khabar, dan Asar
a.
Pengertian Hadis
Secara
etimologi, kata hadis ( حد
يث ) memiliki beberapa arti, yaitu :
1)
Al-khabar
dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai ‘berita’ atau ‘perkataan dari
seseorang yang disampaikan kepada orang
lain’.
2)
Al-jadid
yang berarti ‘sesuatu yang baru’ atau ‘modern’, sebagai lawan kata dari al-qadim, yang berarti ‘sesuatu yang
lama’.
Sedangkan
secara istilah, beberapa ulama berbeda pendapat dalam memberikan defenisi
hadis, yaitu :
1)
Menurut ahli
hadis, di antaranya al-Hafizh dalam Syarh al-Bukhary, al-Hafizh dari Sharkawy ialah :
أقواله
صلّي الله عليه وسلّم واحواله.
“
Segala ucapan, perbuatan, dan keadaan Nabi s.a.w. ”
“
Termasuk ke dalam ‘keadaan beliau’ segala yang diriwayatkan dalam kitab
sejarah, seperti kelahirannya, tempatnya dan yang bersangkut paut dengan itu,
baik sebelum dibangkit sebagai rasul maupun sesudahnya.“ [3]
2)
Mahmud
Ath-Thahan (guru besar Hadis di Fakultas Syari’ah dan Dirasah Islamiyah di
Universitas Kuwait) mengatakan :
ماجاءعن
النيّ صلّي الله عليه وسلّم سواء كان قولاً أوفعلاً أوتقرير اً.
“
Sesuatu yang datang dari Nabi s.a.w baik berupa perkataan atau perbuatan dan
atau persetujuan “.[4]
3)
Al-Thibbi dan
Muhammad Mahfuzh menyatakan :
إن
الحديث لا يختص با لمرفوع إليه صلّي الله عليه وسلّم با جاء يا طلاقه أيضا للموقوف
وهـو مــا أضيف إلى الصحا بي من قول ونوه
و المقطوع وهو ما أضيف إلى التابعــين كـــذ لك.
Hadis
tidak hanya terbatas dengan khabar marfu’ kepada Rasul, tetapi juga khabar mauquf, yaitu sesuatu yang
disandarkan kepada sahabat dan khabar
maqthu’ yaitu sesuatu yang disandarkan kepada tabi’in. [5]
Pengertian
di atas dijelaskan kembali oleh Ash-Shiddieqy, bahwa hadis yang dalam
periwayatannya sanadnya sampai kepada
Nabi s.a.w dinamakan marfu’, hadis
yang hanya sampai kepada sahabat dinamakan mauquf
dan yang sampai pada tabi’in saja
dinamakan maqthu’.[6]
4)
Ajjaj al-Khatib
menyatakan :
واذا
اطلق لفظ الحد يث اريد به ما أضيف إلي الني صلّي الله عليه وسلّم من قول اوفعل
اوتقـــــرير اوصفة خلقية او خلقية وقـــد يرادبه ما اضيــف إلى صحابي أوتا
بعـــــي.
“ Jika dikatakan
lafal hadis, maka yang dimaksud dengannya adalah sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi s.a.w berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat tubuh ataupun akhlaknya atau sifat fisik dan
terkadang dimaksudkan juga sesuatu yang disandarkan kepada sahabat atau tabi’i. “ [7]
Perbedaan
para ulama di atas dalam mendefenisikan pengertian hadis disebabkan obyek
kajian yang berbeda, dan jika ditemukan perbedaan pengertian dalam satu kajian,
hal ini terjadi karena perbedaan pandangan dalam menentukan keluasan makna atau
batasan makna yang ingin dipertegas dalam sebuah defenisi. Misalnya, ahli hadis
menjadikan pribadi Rasul sebagai teladan umat merupakan obyek kajian hadis
dalam semua aspek. Sedangkan obyek kajian ahli ushul adalah pribadi Rasul sebagai pengatur undang-undang dan
menciptakan dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid, dan membatasi pembahasan
pada hal-hal yang berkaitan dengan hukum saja.
Berdasarkan
defenisi hadis yang telah dipaparkan, memberikan gambaran tentang adanya
pengertian yang sangat luas terhadap maknanya seperti segala sifat maupun
tabiat Rasul masuk dalam kategori hadis, dan ada juga yang memberikan batasan dalam ruang lingkup pembahasannya yaitu yang
hanya berasal dari Rasul saja, baik dalam ucapan, perbuatan, dan taqrirnya, dengan tidak memasukkan para sahabat dan tabi’in dalam kategori hadis.
b.
Pengertian Sunnah
Menurut
bahasa, sunnah memiliki pengertian :
السّــــيرة والطريقة
المــــعتادة حســنة كا نت أوقبــــيحة.
“
Jalan atau kebiasaan yang baik atau yang jelek “ [8]
الطّريقــة المســـتقيمـــه والسيرة المستمــرة, حسنة كانت
أو سيّئــــة.
“
Jalan yang lurus dan berkesinambungan, yang baik atau yang buruk “ [9]
Pengertian
sunnah di atas dapat ditemukan dalam
Alquran surat al-Kahfi ayat 55 dan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dalam
kitab sahihnya, sebagai berikut :
$tBur yìuZtB }¨$¨Z9$# br& (#þqãZÏB÷sã øÎ) ãNèduä!%y` 3yßgø9$# (#rãÏÿøótGó¡our öNßg/u HwÎ) br& öNåkuÏ?ù's? èp¨Zß tû,Î!¨rF{$# ÷rr& ãNåkuÏ?ù't Ü>#xyèø9$# Wxç6è% ÇÎÎÈ
“ Dan tidak ada sesuatu
yang menghalangi manusia dari beriman, ketika petunjuk telah datang kepada
mereka, dan memohon ampun kepada Tuhannya, kecuali (keinginan menanti)
datangnya hukum (Allah yang telah berlaku pada)
umat-umat yang dahulu atau datangnya azab atas mereka yang nyata. “ Q.S.
Al-Kahfi (18) : 55 [10]
فقال رسول الله صلّي
الله عليه وسلّم من سنّ في الإسلام سنة حسنة فعمل بهــا, بعده كتب له مثل اجر من
عمل بها, ولا ينقص من اجورهم شيء, ومن سنّ في الإسلام سنة سيّئة . فعمل بها بعده
كتب عليه مثل وزر من عمل بها ينقض من اوزا رهم شيء.
“ Lalu Rasulullah
s.a.w bersabda : ‘ Barang siapa melakukan suatu perbuatan kebaikan dalam Islam,
kemudian menjadi teladan dengan diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka
dicatat baginya pahala sebanyak yang didapat oleh orang-orang yang
mengikutinya, tidak mengurangi sedikit pun pahala mereka. Barang siapa
melakukan kejelekan dalam Islam, kemudian diikuti oleh orang-orang sesudahnya,
maka dicatat baginya dosa sebanyak yang didapat oleh orang yang mengikutinya,
tidak mengurangi sedikit pun dosa mereka. “
(HR. Muslim) [11]
Dengan demikian jelaslah bahwa sunnah menurut bahasa bermakna jalan
yang dijalani, baik terpuji ataupun tidak. [12]
atau dapat juga diartikan suatu tradisi yang sudah merupakan kebiasaan.
Pengertian sunnah menurut istilah terdapat beberapa pendapat yang berbeda yang
juga didasari oleh perbedaan keahlian atau disiplin ilmu yang dibidangi oleh
masing-masing ulama. Adapun pendapat ulama mengenai defenisi sunnah adalah:
1)
Ulama Hadis
menyatakan :
“ Sunnah adalah setiap
apa yang ditinggalkan (diterima) dari Rasul s.a.w. berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, sifat fisik atau akhlak, atau perikehidupan, baik sebelum beliau
diangkat menjadi Rasul, seperti tahannuts
yang beliau lakukan di Gua Hira’, atau sesudah kerasulan beliau. “ [13]
Pada defenisi di atas, ulama hadis
memberi pengertian yang seluas-luasnya terhadap sunnah dengan alasan bahwa Rasulullah s.a.w merupakan teladan
sehingga menjadi contoh bagi kehidupan manusia, baik kehidupan yang berkaitan
secara langsung ataupun tidak dengan hukum syara’.
2)
Ulama Ushul Fiqh menyatakan :
“ Sunnah adalah seluruh
yang datang dari Rasul s.a.w. selain Alquran al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir,
yang
dapat dijadikan sebagai dalil untuk
menetapkan hukum syara’. “ [14]
Dari pengertian di atas, ulama Uṣul Fiqh memberikan batasan istilah terhadap sunnah, dengan alasan Rasullah s.a.w adalah seseorang yang membawa
hukum agama, yang bukan saja merumuskan hukum tetapi juga menyampaikannya dan
menjelaskan hukum-hukum itu kepada manusia untuk menjadi pedoman dalam
kehidupan.
3)
Ulama Fiqh menyatakan :
هي
كل ما ثبت عن النبيّ صلّي الله عليه وسلّم ولم يكن من با ب الفرض ولا الواجب.
“
Sunnah
adalah setiap yang datang dari Rasul s.a.w. yang bukan fardu dan tidak pula
wajib. “
Ulama
Fiqh mengemukakan defenisi seperti di atas adalah karena sasaran pembahasan
mereka ialah hukum syara’ yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf,
yang terdiri atas, wajib, haram, mandub
(sunnah), karahah, dan mubah.[15]
c.
Perbedaan
Hadis dan Sunnah
M. Noor Sulaiman menjelaskan perbedaan
istilah Hadits dan Sunnah yang
dikemukakan oleh para ulama sebagai berikut :
1)
Ibn Taimiyyah menyatakan istilah hadits
adalah segala yang diriwayat-kan dari Nabi, baik perkataan, perbuatan, maupun
pengakuannya. Sedangkan sunnah adalah
tradisi yang berulangkali dilakukan oleh masyarakat, baik dipandang ibadah
maupun tidak.
2)
Dr. Tawfiq Shidqi, menyatakan hadits
adalah pembicaraan yang di-riwayatkan oleh satu orang, atau dua orang, kemudian
hanya mereka saja yang mengetahuinya. Sedangkan sunnah adalah suatu jalan yang dipraktekkan oleh Nabi secara terus
menerus dan diikuti oleh Sahabat beliau.
3)
Sulaiman al-Nadwi menyatakan hadits
adalah segala peristiwa yang di-nisbahkan
kepada Nabi s.a.w. walaupun hanya satu kali saja dan walaupun hanya
diriwayatkan oleh seorang perawi saja. Sedangkan sunnah adalah nama dari sesuatu yang kita terima dengan jalan mutawatir dari Nabi s.a.w.
4)
Abdul Kadir Hasan, hadits ialah
sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi berupa ilmu pengetahuan teori. Sedangkan sunnah adalah suatu tradisi yang sudah tetap dikerjakan oleh Nabi s.a.w. berupa perkara yang bersifat amalan.[16]
5)
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy
menyatakan bahwa Hadis dan Sunnah
adalah berbeda, kendatipun maknanya sama. Hadis adalah ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi. Sementara itu, Sunnah adalah tradisi agama yang
dikerjakan oleh Nabi secara tetap dan dilanjutkan oleh sahabat dan salaf
ash-Shalih. Lawan dari Sunnah adalah bid’ah. [17]
d.
Pengertian
Khabar
Menurut
Bahasa, khabar diartikan = ( النّـــبا ) = berita [18].
yaitu berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain.[19] Sedangkan
menurut istilah. Nawir Yuslem mengemukakan tiga pendapat, yaitu :
1)
Khabar
adalah sinonim dari Hadis, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi s.a.w.
dari perkataan, perbuatan, taqrir, dan
sifat.
2)
Khabar
berbeda dengan Hadis. Hadis adalah sesuatu yang datang dari Nabi s.a.w,
sedangkan khabar adalah berita dari
selain Nabi s.a.w.
3)
Khabar
lebih umum daripada hadis. Hadis adalah sesuatu yang datang Nabi s.a.w.
Sedangkan khabar adalah sesuatu yang
datang dari Nabi s.a.w. atau dari selain Nabi (orang lain). [20]
Pendapat
pertama yang menyatakan bahwa khabar
identik dengan hadis karena khabar
adalah segala berita yang datangnya dari Nabi baik dalam bentuk perkataan,
perbuatan, dan taqrirnya yang marfu’. mawquf, dan maqthu’. Sedangkan pendapat kedua membedakan antara khabar dan hadis, sehingga sebutan untuk
ahli yang menekuni bidang hadis ataupun sunnah
disebut muhaddits, sedangkan ahli yang
mendalami ilmu sejarah disebut akhbari.
Pada pendapat ketiga menyatakan bahwa khabar
lebih umum dari hadis, dengan alasan bahwa khabar
merupakan berita yang tidak hanya berasal dari Nabi melainkan juga datang dari
para sahabat dan tabi’in, sedangkan
hadis khusus berita yang hanya diriwayatkan oleh Nabi saja.
e.
Pengertian Asar
Asar
secara etimologis berarti baqiyyat
al-syay’, yaitu sisa atau peninggalan
sesuatu.
[21]
Atau jejak langkah seseorang juga dapat disebut asar. [22]
Sedangkan secara menurut istilah, Nawir Yuslem menjelaskan ada dua pendapat,
yaitu :
1)
Asar adalah
sinonim dari hadis, yaitu segala sesuatu yang berasal dari Nabi s.a.w.
2)
Asar berbeda
dengan hadis, asar adalah
ما أضيف إلى الصّحابة
والتا بعين من أ قو ال أ فعـــــــــــــــال.
“
Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tabi’in,
yang terdiri atas perkataan dan perbuatan. “ [23]
Para
fuqoha memakai istilah asar untuk perkataan-perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in, dan lain lain [24].
Fuqoha Khurasan menamai perkataan-perkataan sahabat (hadis mauquf) dengan asar, dan menamai hadis nabi s.a.w. dengan khabar. Sedangkan muhadditsin umumnya menamai hadis Nabi s.a.w. dan perkataan sahabat
dengan asar. [25]
2.
Hadis
Ditinjau dari Sumber Berita
a)
Hadis Qudsi
Menurut
bahasa kata Al-qudsi nisbah dari kata
al-quds ( القد س ) yang diartikan
‘suci’. Hadis ini dinamakan suci karena disandarkan kepada Zat Tuhan yang Maha
Suci. Sedangkan menurut istilah hadis qudsi
memiliki pengertian :
ما نقل إلينا عن النّبي صلّي الله عليه وسلّم مع إسناده
انّاه إلى ربّه عزّ و جـــــلّ
“
Sesuatu yang dipindahkan dari Nabi s.a.w serta penyandarannya kepada Allah
s.w.t. “ [26]
Contoh
hadis qudsi adalah yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah r.a dari Nabi s.a.w bahwa beliau bersabda :
قال
الله تعالى : ثلاثة أ نا أخا صمهم يوم القــيامــة ومن كـــنت خصمه خـــصمته : رجل
أعطى بي ثم غدر ورجل با ع خـــرّا فأكـــل ثمنه ورجـل إستــأجر أجيرا فاستوفى منه
ولــم يو فـــه أجـره.
“ Allah s.w.t
berfirman : Ada tiga golongan yang Aku menjadi musuh mereka kelak di hari
Kiamat. Siapa yang Aku menjadi musuhnya, maka Aku akan memusuhinya. Seseorang
yang memberikan (janji) kepada-Ku, lalu mengingkari. Seseorang yang menjual
orang merdeka, lalu memakan hasil penjualannya. Dan seseorang yang
memperkerjakan karyawan, lalu karyawan itu memenuhi tugasnya tetapi orang itu
tidak memenuhi upahnya.“ [27]
Jadi, hadis qudsi
disebut hadis karena datangnya dari Rasul, dan disebut qudsi karena Rasul (menyandarkannya) kepada Allah s.w.t yang Quddus.
[28]
b)
Hadis Marfu’
Marfu’ menurut
bahasa ‘yang diangkat’ atau ‘yang ditinggikan’. Hadis marfu’ adalah hadis yang terangkat sampai kepada Rasulullah s.a.w.
Atau menunjukkan ketinggian kedudukan beliau sebagai Rasul. [29]
Menurut istilah pengertian hadis marfu’
adalah :
ما
أضيف إلى النّبيّ صلّي الله عليه وسلّم خا صّة من قول او فعل او تقـــريــر سواء
كــــــان متّصلا او منقطعا او معضلا.
“ Sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi s.a.w secara khusus, baik perkataan, perbuatan, atau taqrir, baik sanadnya itu muttashil (bersambung-sambung tiada putus-putus)
maupun munqathi (hadis yang sanadnya terputus di mana saja tempatnya
baik di awal, tengah, dan akhir sanad,
ataupun mu’dhal (hadis yang gugur dua
orang perawi atau lebih dalam sanad
secara berturut-turut). “ [30]
Contoh hadis marfu’ adalah :
قال رسول الله صلّي الله
عليه وسلّم انّ المـــؤمن كالـــبنيان يشـــدّ بعضـــه بعضا.
“ Telah bersabda
Rasulullah s.a.w : sesungguhnya orang yang beriman itu terhadap sesamanya sama
dengan keadaan batu tembok, satu dengan yang lain saling mengikat (HR. Bukhari,
Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i)” [31]
Hukum
menggunakan hadis marfu’ dilihat pada
kualitas bersambung tidaknya sanad, dengan demikian hadis marfu’ bisa berstatus dengan kualitas sahih, hasan, dan doif.
c)
Hadis Mawquf
‘Ajjaj
al-Khatib mengemukakan defenisi hadis mawquf sebagai berikut :
هوما رواه عن الصّحابيّ
قول له أو فعل أوتقـــرير, متّصلا كان أو منقطعا.
“
Yaitu segala yang diriwayatkan dari sahabat dalam bentuk perkataan beliau,
perbuatan, atau taqrir, baik sanadnya muttashil atau munqathi’.”
[32]
Adapun
contoh hadis mawquf adalah :
قول البــــــخاريّ : و
أم ابن عبـــاّ س وهــو متيمّـــــــم.
“
Bukhari Berkata : ‘ Dan Ibn ‘Abbas telah menjadi imam dalam shalat sedangkan
dia bertayammum. “ [33]
Hukum
menggunakan hadis mawquf adalah jika
ia marfu’ maka kualitas hadis bisa sahih
ataupun hasan. Namun, jika perbuatan
dan perkataan sahabat tidak marfu’
maka terjadi perbedaan pendapat tentang masalah ini. Seperti Imam Malik, Imam
Syafi’I, Imam Hambali, dan sebagian ulama hanafi mengatakan perkataan atau
fatwa seorang sahabat adalah dalil yang sah dan harus didahulukan dari qiyas. Imam Hanafi mengatakan bahwa
ijtihad seorang sahabat tidak dapat dijadikan hukum. Dan pendapat lain
mengatakan apabila pendapat sahabat sejalan dengan qiyas maka dapat dijadikan sebagai dalil yang sah, begitu juga
sebaliknya.
d) Hadis Manṭuq
Secara
bahasa, kata ini bermakna, ‘terputus’. Sedangkan secara istilah defenisi hadis mauquf
adalah sebagai berikut :
وهو المـــوقوف على
التّابعيّ قـــولا له أو فـــــــعلا.
“
Yaitu, sesuatu yang terhenti (sampai) pada Tabi’i,
baik perkataan maupun perbuatan Tabi’i
tersebut. “ [34]
Contoh
hadis manthuq adalah :
قول الحسن البصريّ فى
الصّلاة خلف المـــــبتدع : صــــــلّ و عليه بدعـــــــــــته.
“
Perkataan Hasan Bashri mengenai shalat di belakang ahli bid’ah : ‘
Shalatlah dan dia akan menanggung dosa atas perbuatan bid’ahnya ‘ . “ [35]
Hukum
menggunakan hadis mawquf tidak dapat
dijadikan hujjah untuk menetapkan
hukum karena perkataaan tabi’in sama
dengan ulama.
3.
Bentuk-Bentuk
Hadis
Berdasarkan
pengertian hadis, maka hadis dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu : Hadis qauli (perkataan), hadis fi’li (perbuatan), dan hadis taqriri (ketetapan). Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut :
a.
Hadis Qauli
Hadis
qauli ialah segala bentuk perkataan
atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi s.a.w.[36]
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan segala perkataan Nabi s.a.w yang berkaitan
erat dengan tuntunan serta petunjuk hukum syara’,
semua peristiwa dan kisah baik ditinjau dari segi akidah, syari’ah, dan akhlak.
Dalam
buku Ulumul Hadis, Nawir Yuslem menuliskan
yang dimaksud dengan hadis qauli
adalah :
هي ألاحاديث الّتي قالها
الرسول صلّي الله عليه وسلّم فى مختلف الأغراض وألمناسبات
Seluruh
hadis yang diucapkan Rasul s.a.w. untuk berbagai tujuan dan dalam berbagai
kesempatan. [37]
Adapun
salah satu contoh hadis qauli adalah
:
عن
عمربن الخطّاب رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلّي الله عليه وسلّم يقول : (
إنما الا عمال بالنّيات. وإنّما لكلّ امرئ مانوى. فمن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها .
أوإلى امرأة ينكحها. فهجرته إلى ما ها جر إليه).
Umar bin
Al-Khaththab r.a. pernah berkata: Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda “
Segala amal perbuatan bergantung pada niat dan setiap orang akan memperoleh
pahala sesuai dengan niatnya. Maka siapa saja yang berhijrah dengan niat
mencari keuntungan duniawi atau untuk mengawini seorang perempuan, (pahala)
hijrahnya sesuai dengan niatnya itu. (HR.Bukhari) [38]
b.
Hadis Fi’li
Hadis
atau sunnah fi’li ialah perbuatan
atau tindakan Rasul yang merupakan
penjelasan
praktis ajaran agama, atau dengan kata lain
praktek keagamaan yang dicontohkan
oleh Rasulullah s.a.w. [39]
Pengertian
hadis fi’li memberikan penjelasan
bahwa setiap perbuatan Rasul dapat dijadikan teladan, dasar pengambilan hukum,
dan tata cara pelaksanaan ibadah, sehingga umat dalam melaksanakan ibadah
sesuai dengan tuntunan.
Contoh
hadis fi’li adalah :
عن
عبد الله بن عمـــر رضى الله عنهمــا : أ نّ رسول الله صلّي الله عليه وسلّم كــان
ير فع يديــــه حذ ومنـكبيـه, إذ افتـتــح الصّلاة, واذا كبّـرللـرّكوع, وإذ رفــع
رأسه من الـــرّكوع رفعـــهما كذلك ايضــا.
وقال : (سمع الله لمن حمده, ربّنا ولك الحمد ) وكان لا يفعل ذلك في السّجود.
Diriwayatkan
dari Abdullah bin Umar : Rasulullah s.a.w. mengangkat kedua tangannya ke atas
hingga sejajar dengan bahunya ketika memulai shalat (takbiratul-ihram); ketika mengucapkan takbir untuk rukuk, dan
ketika bangkit dari rukuknya ia melakukan hal yang sama lalu mengucapkan sami’allahu liman hamidah, Rabbana walakal
hamd. Dan Nabi s.a.w. tidak melakukan hal itu (mengangkat kedua tangannya yang mulia) ketika sujud. (HR.
Bukhari). [40]
c.
Hadis
Taqriri
Hadis
atau sunnah taqririyyah ialah pengakuan atau persetujuan Rasul atas perbuatan
atau perkataan sahabat yang diketahuinya. Suatu perbuatan atau perkataan
sahabat yang disaksikannya atau sampai beritanya kepadanya dan tidak
dipersalahkannya merupakan sunnah taqririyyah.
[41]
Perkataan
atau perbuatan sahabat yang diakui dan disetujui oleh Rasul s.a.w, hukumnya
sama dengan perkataan atau perbuatan Rasul s.a.w. itu sendiri. [42] Nawir
Yuslem menuliskan pengertian taqriri adalah diamnya Rasul s.a.w dari
mengingkari perkataan atau perbuatan yang dilakukan di hadapan beliau atau pada
masa beliau dan hal tersebut diketahuinya. Hal tersebut adakalanya dengan
pernyataan persetujuan beliau atau penilaian baik dari beliau, atau tidak
adanya
pengingkaran
beliau dan pengakuan beliau. [43]
Adapun
contoh hadis taqririyyah ini adalah :
عن
عبد الله بن عمـــر رضى الله عنهمــا قال :نادى فينا رسول الله صلّي الله عليه
وسلّم يوم انصرف عن الاحزاب ان"لا يصلّين احد الطّهر الاّ فى بني قريظة"
فتخوّف ناس فوق الوقت, فصلّوادون بنى قريظة, وقال اخرون : لا نصّلى الاّ حيث أمر
نا رسول الله صلّي الله عليه وسلّم وان قاتنا الوقت قال : فما عنف واحدان من
الفريـــقين.
Diriwayatkan
dari Abdullah bin Umar. Sepulang dari perang Ahzab, Rasulullah s.a.w. berseru
kepada kami, yaitu : “ Janganlah seorangpun melakukan shalat zhuhur, kecuali
telah sampai di (perkampungan) Bani Quraizhah.” Maka, sebagian orang yang takut
tertinggal oleh waktu zhuhur melakukan shalat sebelum sampai di (perkampungan)
Bani Quraizhah. Akan tetapi, yang lain berkata, “ Kami tidak akan melakukan
shalat, kecuali di tempat yang telah diperintahkan oleh Rasulullah s.a.w.
walaupun waktu shalat zhuhur telah habis.” Maka, beliau tidak mencela seorang
pun dari kedua kelompok tersebut. (HR. Muslim ) [44]
Tabel 1
Perbedaan Hadis
dan Sinonimnya [45]
Hadis dan
Sinonimnya
|
Sandaran
|
Aspek dan
Spesifikasi
|
Sifatnya
|
Hadis
|
Nabi
|
Perkataan (qawli)
Perbuatan (fi’li)
Persetujuan(taqriri)
|
Lebih khusus
dan sekalipun dilakukan sekali
|
Sunnah
|
Nabi dan
para sahabat
|
Perbuatan (fi’li)
|
Menjadi
tradisi
|
Khabar
|
Nabi dan
selainnya
|
Perkataan (qawli)
Perbuatan (fi’li)
|
Lebih umum
|
Aṡar
|
Sahabat dan
tabi’in
|
Perkataan (qawli)
Perbuatan (fi’li)
|
umum
|
4.
Kedudukan
Hadis terhadap Alquran
Seluruh
umat Islam, telah sepakat bahwa hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam.
Ia menempati kedudukan kedua setelah Alquran. Keharusan mengikuti hadis bagi
umat Islam baik berupa perintah maupun
larangannya sama halnya dengan kewajiban mengikuti Alquran. Hal ini didasari
karena Alquran merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis
besar syari’at Islam dan keberadaan hadis semakin menyempurnakan kandungan
makna ayat dan memperjelas suatu hukum. Maka dengan demikian, terdapat hubungan
yang sangat erat antara hadis dengan Alquran. Dan sebagai pedoman atau pegangan
hidup manusia, dalam pelaksanaannya
kedua sumber hukum ini tidak dapat di pisah-pisahkan atau seseorang tidak
boleh mengamalkan hanya salah satu dari keduanya.
Pendapat serupa
disampaikan oleh M. Syuhudi Ismail, dengan menyatakan :
“ Menurut
petunjuk al-Qur’an, Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk semua umat manusia
dan sebagai rahmat bagi seluruh alam. Itu berarti, kehadiran Nabi Muhammad
membawa kebajikan dan rahmat bagi semua umat manusia dalam segala waktu dan
tempat. Kalau begitu, hadis Nabi, yang merupakan salah satu sumber utama agama
Islam disamping al-Qur’an, mengandung ajaran yang bersifat universal, temporal,
dan lokal tersebut. “
“ Menurut
petunjuk al-Qur’an, Nabi Muhammad selain dinyatakan sebagai Rasulullah, juga
dinyatakan sebagai manusia biasa. Dalam sejarah, Nabi Muhammad berperan dalam
banyak fungsi, antara lain sebagai rasulullah, kepala negara, pemimpin
masyarakat, panglima perang, hakim, dan pribadi. Kalau begitu, hadis yang merupakan sesuatu yang
berasal dari Nabi mengandung petunjuk yang pemahaman dan penerapannya perlu
dikaitkan juga dengan peran Nabi tatkala hadis itu terjadi. “[46]
Berikut dikemukakan beberapa dalil yang
menjelaskan tentang kedudukan hadis sebagai sumber hukum :
a.
Dalil Alquran
Banyak
sekali ayat-ayat Alquran yang berisikan perintah ta’at kepada Rasul dan
mengikuti sunnahnya, salah satu di antaranya terdapat dalam surah Ali Imran
ayat 32, sebagai berikut :
ö@è% (#qãèÏÛr& ©!$# ^qߧ9$#ur ( bÎ*sù (#öq©9uqs? ¨bÎ*sù ©!$# w =Ïtä tûïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÌËÈ
“ Katakanlah : Ta’atilah Allah
dan rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang kafir. “ [47]
Ayat
tersebut menunjukkan bahwa taat kepada Allah berarti melaksanakan
perintah-perintah al-Qur’an dan menjauhkan larangan-Nya. Sedang taat kepada Rasul
berarti taat kepada perintah dan menjauhkan larangannya yang disebutkan dalam sunnah dan Alquran. Perintah kembali
kepada Allah berarti kembali kepada Alquran sedang kembali kepada rasul berarti
kembali kepada sunnah baik ketika
masih hidup maupun setelah wafatnya. [48]
b.
Dalil Hadis Rasul
Kedudukan hadis sebagai sumber hukum dapat ditemukan
melalui hadis-hadis Nabi. Dan dalam salah satu hadisnya mengandung pesan yang berkenaan
dengan keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman hidup setelah Alquran, Rasul s.a.w
bersabda sebagai berikut.
تركت فيــكم أمرين لن تضّلوا مـــاإن تمســـّكـتم
بهمــــا كتــــاب الله و سنّـتــــي.
“ Aku tinggalkan
dua pusaka pada kalian, jika kalian berpegang kepada keduanya, niscaya tidak
akan tersesat, yaitu kitab Allah (Alquran) dan sunnah Rasul-Nya”.(H.R. al-Hakim).[49]
Hadis
di atas memberikan gambaran tentang kedudukan hadis dan merupakan pegangan hukum kepada umat Islam bahwa seorang
muslim harus berpegang teguh pada keduanya dengan melaksanakan perintah yang
terdapat dalam Alquran dan sunnah dan
semua menjauhi larangannya, agar manusia tidak tersesat dalam menjalani
kehidupan di dunia dan di akhirat.
c.
Kesepakatan
ulama (ijma)
Para ulama telah sepakat bahwa sunnah sebagai salah
satu hujjah[50]
dalam hukum Islam setelah Alquran. Berkaitan dengan materi ini, Abdul Majid
Khon menyimpulkan bahwa : Kehujahan sunnah adakalanya sebagai mubayyin (penjelas) terhadap Alquran atau berdiri
sendiri sebagai hujah untuk menambah hukum-hukum yang belum diterangkan oleh
al-Qur’an. Kehujahan sunnah berdasarkan
dalil-dalil yang Qath’i (pasti), baik
dari ayat-ayat Alquran atau hadis Nabi dan atau rasio yang sehat maka bagi yang
menolaknya dihukumi murtad. Sunnah
yang dijadikan hujah tentunya sunnah
yang telah memenuhi persyaratan shahih,
baik mutawatir atau ahad.[51] Seperti yang dikatakan oleh Abu Hanifah: “Jauhilah pendapat ra‘yu tentang agama Allah SWT! Kalian harus berpegang kepada as-Sunnah.
Barang siapa yang menyimpang daripadanya, niscaya ia sesat.”[52] Hal
itu menggambarkan betapa tingginya apresiasi para ulama terhadap hadis sebgai
sumber hukum.
5.
Fungsi
Hadis terhadap Alquran
Fungsi
hadis terhadap Alquran adalah untuk menjelaskan makna kandungan Alquran yang
sangat dalam dan global, adapun bentuk-bentuk penjelasan yang digunakan
diantaranya:
a.
Bayan
taqrir
Bayan taqrir
adalah hadis yang sesuai dengan nash Alquran, sehingga fungsi hadis tersebut
memperkuat isi kandungan Alquran. [53]
Contohnya
عن
ابن عمـــر رضى الله عنهـمــا قال :قال رســـول الله صلّي الله عليــه وســلّم : ( بني الإســــلام على خمس, سهــادة أن
لاإله إلا الله و أن محمّـــــد رسول الله,
وإقـــام الصــّلاة, وإيتـاء الزكــــاة
, والحـج, وصوم رمضان ).
Diriwayatkan
dari Ibn ‘Umar r.a : Rasulullah s.a.w pernah bersabda bahwa Islam didasarkan
pada lima prinsip berikut : 1. Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah s.a.w. 2. Mendirikan shalat. 3.
Menunaikan zakat. 4. Melaksanakan haji (ziarah ke tanah suci Makkah). 5. Puasa
di bulan Ramadhan. ( H.R Al-Bukhari). [54]
Hadis
di atas memperkuat
keterangan perintah shalat dan zakat (2:83), puasa (2:183), dan perintah haji (3:97).
b.
Bayan
tafsir
Bayan tafsir adalah penjelasan hadis terhadap ayat-ayat
yang memerlukan
perincian
atau penjelasan lebih lanjut. [55]
Fungsi hadis dalam hal ini memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran
yang masih mujmal (ringkas atau
singkat), ayat yang sukar untuk difahami, memiliki makna yang banyak. [56] Contoh
hadis tentang pelaksanaan shalat, sebagai berikut :
.... وصــلّوا كمـا رأيتــــــمونـي
أصـلّى ... (رواه البخــــا ري)
…
Dan shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat… (
Hadis Riwayat al-Bukhari). [57]
Hadis
di atas merupakan perintah untuk melaksanakan shalat seperti yang dicontohkan
Rasul s.a.w, dan berdasarkan perintah Allah s.w.t dalam Alquran surah al-Baqarah
ayat 43, yaitu :
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
“
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang
ruku’.” [58]
c.
Bayan
takhṣiṣ al-‘amm
Bayan takhshish al-‘amm
: yaitu membatasi keumuman ayat Alquran, sehingga tidak berlaku pada
bagian-bagian tertentu. [59]
Adapun contohnya :
عن ابي هريرة رضي الله
عنه أنّ رسـول الله صلّي الله عليـه وسـلّم قال : القاتل لايرث.
“ Dari Abu
Hurairah, r.a, Rasulullah s.a.w bersabda, ‘ Pembunuh tidak mewarisi’. “ (H.R. Ibnu Majah)[60]
Hadis
tersebut memberikan batasan tentang keumuman dari kandungan firman Allah s.w.t
dalam surah an-Nisa ayat 11, sebagai berikut :
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 .....
“Allah mensyari’atkan
bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bahagian seorang anak
laki-laki sama dengan bahagian dua anak perempuan….” [61]
d.
Bayan
tasyri’i
Bayan tasyri’i yaitu
penjelasan hadis yang merupakan penetapan suatu hukum atau aturan-aturan syara’
yang tidak ditetapkan dalam Alquran.[62]
Seperti ketetapan Rasulullah tentang haramnya mengumpulkan ( menjadikan istri
sekaligus) antara seorang wanita dengan makciknya [63],
sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadis beliau:
عن ابي هريرة رضي الله عنه : انّ رسـول
الله صلّي الله عليـه وســـلّم نهى اربـــع نســــوة ان يجمـــع بينهّـــــــن :
المرأة وعــمّتها والمرأة
وخالتهـــــــــــا
“ Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. : Rasulullah s.a.w. melarang memadu empat wanita, yaitu seorang wanita dengan bibinya dari pihak ayah dan seorang wanita dengan bibinya dari pihak ibu. “ [64]
“ Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. : Rasulullah s.a.w. melarang memadu empat wanita, yaitu seorang wanita dengan bibinya dari pihak ayah dan seorang wanita dengan bibinya dari pihak ibu. “ [64]
Ketentuan
yang terdapat di dalam hadis di atas tidak ditetapkan dalam Alquran. Ketentuan
yang ada haanyalah larangan terhadap suami yang memadu istrinya dengan saudara
perempuan sang istri, sebagaimana yang disebut dalam firman Allah s.w.t dalam
surat an-Nisa (4) ayat : 23-24.
6.
Pendapat
Imam Mazhab Tentang al-Bayan
a.
Ulama ahl al-ra’y (Abu Hanifah) membagi al-Bayan kepada
tiga, yaitu :
1)
Bayan Taqrir : Keterangan yang
didatangkan oleh Sunnah untuk
memperkokoh apa yang telah diterangkan dalam Alquran.
2)
Bayan Tafsir : Menerangkan apa yang
kira-kira tidak mudah diketahui
(tersembunyi pengertiannya).
b.
Imam Malik berpendirian bahwa al-Bayan terbagi kepada lima bagian,
yaitu :
1)
Bayan
at-Taqrir : Menetapkan
dan mengokohkan hokum-hukum Alquran,
bukan
mentaudhihkan, bukan mentaqyidkan muthlaq dan
bukan mentakhshishkan ‘aam.
2)
Bayan
at-Taudhih: Menerangkan maksud-maksud ayat.
3)
Bayan
at-Tafshil :
Menjelaskan mujmal Alquran.
4)
Bayan
al-Basthy :
Memanjangkan keterangan bagi apa yang diringkas
keterangannya oleh Alquran.
5)
Bayan
Tasyri’ :
Mewujudkan suatu hukum yang tidak tersebut dalam
Alquran. [66]
c.
Imam Syafi’i menyebutkan bahwa al-Bayan terbagi menjadi lima macam
:
1)
Alquran
menjelaskan Alquran, sebagai tambahan penjelasan
2)
Hadis
menjelaskan bagian-bagian yang terinci atau rincian yang tidak dijelaskan dalam
Alquran.
3)
Hadis
menjelaskan makna Alquran yang bersifat global.
4)
Hadis
menjelaskan hukum baru yang tidak tersurat dalam Alquran.
5)
Ijtihad
menjelaskan suatu hukum yang tidak tersurat dalam Alquran dan
Hadis, Namun maknanya menyerupai atau mirip dengan suatu hukum yang
tersurat dalam Alquran dan hadis, inilah yang dikenal dengan qiyas. [67]
d.
Imam Hambali, menerangkan al-Bayan terbagi kepada empat bagian, yaitu :
1)
Bayan Ta’kid : Menerangkan apa yang
dimaksudkan oleh Alquran.
2)
Bayan Tafsir : Menjelaskan sesuatu hukum
dalam Alquran.
3)
Bayan Tasyri’ : Mendatangkan suatu hukum
yang tidak ada hukumnya
dalam Alquran.
4)
Bayan Takhsish dan Taqyid :
Mengkhususkan Alquran dan mentaqyidkannya.[68]
7.
Perbandingan
Hadis dengan Alquran
Pada
penjelasan sebelumnya telah dijelaskan tentang kedudukan dan fungsi Hadis
terhadap Alquran, baik Alquran maupun hadis keduanya merupakan sumber ajaran
Islam, namun meskipun demikian tetap terdapat perbedaan yang jelas tentang Alquran
dan Hadis, baik dari segi pengertian atau definisinya sampai pada
karakteristiknya.
a.
Defenisi Alquran
secara istilah, seperti yang dijelaskan oleh Shubhi Shalih, adalah
الكلام
المعجز المنزل على النّبيّ صلّي الله عليـه وســـلّم المكتوب فى المصاحف المنقول بالتّوارترالمتعبّد بتلاوته.
“ Kalam Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan kepada Nabi
Muhammad s.a.w, tertulis didalam mushhaf, yang diriwayatkan secara mutawatir
serta membacanya merupakan ibadah.” [69]
Dan
untuk definisi hadis sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.
b.
Secara karakteristiknya
perbedaan antara Alquran dan hadis dapat dilihat sebagai berikut:
1) Alquran
merupakan mukjizat Rasul, yang makna dan lafalznya berasal dari Allah,
sedangkan hadis bukan mukjizat.
2) Membaca
Alquran hukumnya adalah ibadah, dan sah membaca ayat-ayatnya didalam sholat,
sedangkan membaca hadis tidak dinilai sebagai ibadah.
3) Alquran
seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan hadis tidak banyak
diriwayatkan secara mutawatir,
mayoritas hadisnya diriwayatkan secara ahad.
4)
Kebenaran
ayat-ayat Alquran bersifat qath’i
al-wurud (pasti atau mutlak kebenarannya dan kafir yang mengingkarinya, sedangkan
kebenaran hadis kebanyakan bersifat ahad
dan zhanni al-wurud (relative
kebenarannya) kecuali yang mutawatir. [70]
Dengan
demikian dapat disimpulkan Alquran sebagai sumber hukum pertama yang memiliki
berbagai keutamaan, dan Hadis merupakan sumber hukum kedua, baik Alquran maupun
hadis wajib diikuti dan dijadikan pedoman hidup bagi setiap orang Islam.
C.
Simpulan
dan Saran
Hadis
adalah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi s.a.w. walaupun hanya
sekali saja terjadinya dalam sepanjang hidupnya, atau diriwayatkan hanya satu orang saja. Pengertian
hadis sendiri memiliki persamaan dan perbedaan dengan sunnah, khabar, dan asar. Dan adanya perbedaan dalam hal merumuskan
defenisi tersebut disebabkan perbedaan sudut pandang yang disesuaikan dengan
keahlian masing-masing ulama.
Sunnah,
sebenarnya sebutan bagi amaliyah yang
mutawatir, yakni cara Rasul
melaksanakan suatu ibadah yang diteruskan selanjutnya secara amaliyah mutawatir pula, Nabi
melaksanakannya dengan para sahabat, kemudian para sahabat melaksanakannya,
yang kemudian diteruskan pula oleh para tabi’in
dan seterusnya hingga sampai kepada kita.
Dari
segi bentuk-bentuk hadis dapat dibagi kepada
1.
Hadis Qauli, perkataan atau ucapan Rasul yang
pernah disampaikannya ketika masih hidup.
2.
Hadis Fi’li, perbuatan atau tindakan Rasul
yang merupakan penjelasan praktis ajaran-ajaran agama.
3.
Hadis Taqriri, pengakuan atau persetujuan
Rasul atas perbuatan atau perkataan sahabat yang diketahuinya.
Berdasarkan
kedudukan hadis terhadap Alquran bahwa, Alquran sebagai sumber hukum pertama
yang memiliki berbagai keutamaan, dan hadis merupakan sumber hukum kedua, baik
Alquran maupun hadis wajib diikuti dan dijadikan pedoman hidup bagi setiap
orang Islam. Adapun landasan penetapan hadis
sebagai sumber hukum kedua setelah Alquran dapat dilihat dari keterangan
tentang Mu’az ibn Jabal ketika menjadi hakim di Yaman, dijelaskan bahwa dalam
menetapkan hukum terhadap suatu perkara, ia merujuk pada Alquran sebagai sumber
hukum utama, dan kalau tidak didapati maka ia memutuskannya dengan merujuk pada
sunnah Rasul.
Dilihat
dari fungsi hadis terhadap Alquran secara umum dapat disimpulkan bahwa hadis memegang peranan penting dalam memberikan
penekanan-penekanan terhadap ketentuan yang sudah ditetapkan dalam Alquran, melengkapi kesempurnaan kandungan makna ayat
Alquran yang masih bersifat umum.
DAFTAR PUSTAKA
Abdus Salam Al-Indunisi, Ahmad Nahrawi, Ensiklopedia Imam
Syafi’i : Biografi dan Pemikiran Mazhab Fiqih Terbesar Sepanjang Sejarah,
terj. Usman Sya’roni, Jakarta: Hikmah: 2008.
Ismail,
M. Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan
Kontekstual : Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universitas,
Temporal, dan Lokal, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Kementerian
Urusan Agama Islam, Al-Qur’an dan
Terjemahan, Arab Saudi: Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at al-Mushhaf,
1990.
Khathib,
Ajaj, Ushul al-Hadits, terj.
M.Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, cet 1, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, cet. 4, Jakarta: Amzah, 2010.
Mundziri, Zaki al-Din Abd Al-Azhim, Ringkasan Shahih Muslim, terj. Syinqithy
Djamaluddin dan HM.Moctar Zoerni, cet 2, Bandung: Mizan, 2009.
Ramli
Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap Ilmu Hadis, ed. Sulidar,
Medan: Perdana Publishing, 2011.
Ranuwijaya,Utang, Ilmu
Hadis, cet. 3, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Shiddieqy,
T. M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits, cet.5, Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2010.
Sulaiman
PL, M.Noor, Antologi
Ilmu Hadits, cet.1, Jakarta: Gaung Persada Press, 2008.
Wahid,
Ramli, Abdul Sejarah Pengkajian Hadis di Indonesia, cet. 1, Medan: IAIN Press,
2010.
Wahid, Ramli Abdul, Studi Ilmu Hadis, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2005.
Yuslem,
Nawir, Ulumul Hadis, Jakarta: PT.Mutiara Sumber Widya, 2001.
Zabidi,
Imam, Ringkasan Shahih al-Bukhari,
terj. Cecep Syamsul Hari dan Tholib Anis cet. 2, Bandung: Mizan, 2009.
[1]
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, cet.4 (Jakarta: Amzah. 2010), h. 1
[2]
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis
(Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2005) h. 2-3.
[3]
T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits, cet.5
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010), h. 5.
[4]
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 2.
[5]
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, h. 4.
[6] T.
M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits, h. 5.
Ramli Abdul Wahid dan
Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap Ilmu Hadis, ed. Sulidar (Medan: Perdana Publishing, 2011),
h. 119-120, menyatakan marfu menurut
bahasa berarti sesuatu yang diangkat, yang dimajukan, yang diambil, yang
dirangkaikan, yang disampaikan. Menurut terminologi ilmu hadis, yaitu hadis
yang disandarkan kepada Rasulullah s.a.w sendiri baik perkataan atau perbuatan,
demikian pula taqrir, baik sanadnya bersambung maupun terputus sanadnya atau terputus beberapa sanadnya menurut berturut-turut. Maqthu’ menurut bahasa bermakna
terputus, dan menurut terminologi ilmu hadis sesuatu yang disandarkan kepada tabi’i atau generasi setelahnya, baik
itu perkataan ataupun perbuatan.
[7]
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, h. 4
[8]
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, cet. 3
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h.4.
[9]
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta:
PT.Mutiara Sumber Widya, 2001), h. 38.
[10] Kementerian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an dan Terjemahan (Arab Saudi: Mujamma’ Al-Malik Fahd Li
Thiba’at al-Mushhaf, 1990), h.452
[11]
Zaki al-Din Abd Al-Azhim Al-Mundziri, Ringkasan
Shahih Muslim, terj. Syinqithy Djamaluddin dan HM.Moctar Zoerni, cet 2
(Bandung: Mizan, 2009), h. 1072. Lihat Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 39. kata سنة yang terdapat dalam hadis yang diriwayatkan
Muslim, Ibnu Majah dan al-Darami diartikan jalan. Lihat Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, terj. M.Qodirun Nur dan
Ahmad Musyafiq, cet 1 (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998) h, 1. Kata سنة
diartikan suatu jalan, dan Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h, 5. Kata سنة yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi diartikan
suatu jalan. Dalam Kamus Lengkap Ilmu Hadis yang ditulis oleh Ramli Abdul Wahid dan
Husnel Anwar Matondang pada halaman 223-224. Dinyatakan secara bahasa Sunnah mengandung beberapa arti antara
lain : jalan yang ditempuh, baik itu sifat terpuji maupun jelek dan tercela.
Sunnah juga berarti sesuatu yang sudah biasa dilakukan atau yang telah menjadi
tradisi. Bentuk jamak sunnah adalah as-sunan.
[12]
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits, h. 6.
[13]
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 41
[14]
Ibid , h, 42
[15] Ibid., h, 43
[16]
M.Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits,
cet.1 (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), h.11-12
[17]
Ramli Abdul Wahid, Sejarah Pengkajian
Hadis di Indonesia, cet. 1 (Medan: IAIN Press, 2010), h.19.
[18]
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 9.
[19]
Ramli Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap Ilmu Hadis, ed. Sulidar, h.101.
[20]
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 45.
[21]
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 45.
[22] Ramli
Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang, Kamus
Lengkap Ilmu Hadis, h.29
[23]
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 46.
[24]
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits, h. 13.
[25]
Ibid.
[26]
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,
h.217.
[27]
Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, h, 10.
[28]
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, h. 22.
[29]
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, h, 222.
[30]
Ibid.
[31]
Ibid, h. 223.
[32]
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 284.
[33]
Ibid, h. 285.
[34]
Ibid, h. 292.
[35]
Ibid, h. 293
[36]
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, h.12.
[37]
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 47.
[38]
Imam Az-Zabidi, Ringkasan Shahih
al-Bukhari, terj. Cecep Syamsul Hari dan Tholib Anis cet. 2 (Bandung:
Mizan, 2009), h. 1. Lihat Zaki al-Din Abd Al-Azhim Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, h. 164.
[39]
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, h. 15.
[40]
Imam Az-Zabidi, Ringkasan Shahih
al-Bukhari, h. 179.
[41]
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, h. 17.
[42]
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 50.
[43]
Ibid.
[44]
Zaki al-Din Abd Al-Azhim Al-Mundziri, Ringkasan
Shahih Muslim,h. 665.
[45]
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h.10.
[46]
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang
Tekstual dan Kontekstual : Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang
Universitas, Temporal, dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintang, 1994) h, 4.
[47] Kementerian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an dan Terjemahan, h. 80
[48]
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h.25.
[49]
Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, h, 28.
[50]
Ramli Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap Ilmu Hadis, h.73. Hujjah
menurut bahasa berarti hujah, keterangan, dan dalil. Menurut istilah hujjah
adalah gelar yang diberikan kepada imam yang sanggup menghafal 300.000 hadis
dengan baik dan mengetahui perihal si perawi. Akan tetapi, keluasan ilmunya
tidak sampai pada tingkat al-Hakim.
[51]
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h.25.
dan Ramli Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap Ilmu Hadis, h. 216,174, 11. Shahih adalah hadis yang bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh
periwayat adil dan dhabit (kuat
hafalannya) hingga akhir sanadnya tidak ditemukan adanya kejanggalan dan
cacatnya. Mutawatir adalah hadis yang
diriwayatkan oleh banyak orang, mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk
melakukan kedustaan. Dan Ahad adalah
hadis yang tidak memnuhi syarat-syarat mutawatir,
baik diriwayatkan oleh seorang perawi atau lebih.
[52]
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, h.25.
[53]
Ibid, h. 27.
[54]
Imam Az-Zabidi, Ringkasan Shahih
al-Bukhari, h. 11.
[55]
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, h.29.
[56]
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, h. 45.
[57]
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 55.
[58] Kementerian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an dan Terjemahan, h. 16.
[59]
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, h. 46.
[60]
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 74.
[61]
Kementerian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an
dan Terjemahan, h. 116.
[62]
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 75.
[63]
Ibid,
[64]
Zaki al-Din Abd Al-Azhim Al-Mundziri, Ringkasan
Shahih Muslim,h. 439.
[65]
M.Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits,
h.37-38.
[66]
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits, h. 138-140.
[67]
Ahmad Nahrawi Abdus Salam Al-Indunisi, Ensiklopedia Imam Syafi’i : Biografi
dan Pemikiran Mazhab Fiqih Terbesar Sepanjang Sejarah, terj. Usman
Sya’roni, cet.1 (Jakarta: Hikmah: 2008), h.190.
[68]
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits, h. 141-142.
[69]
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h.14.
[70]
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h, 80-81.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar