PEMIKIRAN
PENDIDIKAN ISLAM AL-GHAZALI
Ummi Kalsum Khairani ( Nim 10 PEDI 1817)
A.
Pendahuluan.
Sebuah
perjalanan panjang tentang rumusan pendidikan yang telah diberikan oleh para
pemikir Islam yang luar biasa, yang bukan hanya memiliki kepribadian yang tidak
diragukan lagi kesholehannya, tapi juga telah melahirkan pemikiran yang
brilliant terhadap pendidikan Islam sampai saat ini.
Dimulai
dari Al-Qabisi dan Ibnu Syahnun yaitu motor pertama penggerak lahirnya
pemikiran tentang pendidikan, hal ini diikuti Burhanuddin Al-Zarnuji yang
mengemukakan tiga belas ide pokok tentang belajar, kemudian sang dokter
terkemuka yaitu Ibnu Sina juga tidak ketinggalan memberikan pemikiran
pendidikan yang ia pandang secara khusus dari bidang psikologi. Berikutnya adalah
Al-Ghazali yang terkenal melalui karyanya yang fenomenal yaitu karangannya yang
berjudul Ihya ‘Ulumuddin, dan secara istimewa menguraikan tentang keberhasilan
seorang guru dan murid apabila mereka melakukan tugas pokok seorang guru yang
terbagi menjadi delapan poin dan tugas pokok sebagai murid yang terbagi menjadi
sepuluh poin.
Al-Ghazali,
menjelaskan pemikirannya tentang pendidikan dipengaruhi oleh kepribadiannya
yang mendalami ilmu tasawuf dan berpribadi zuhud. Hal ini tercermin melalui
tujuan pendidikan yang diharapkan oleh Al-Ghazali yaitu tercapainya
kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan
insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Walaupun
telah 900 tahun Al-Ghazali meninggal
dunia. Tetapi, karya besarnya sampai hari masih dipakai di belahan dunia dengan
bahasa yang berbeda dan Al-Ghazali
merupakan salah satu pemikir yang telah menuliskan tinta emas dalam
sejarah dunia, yang bukan saja dalam bidang pendidikan, bahkan pada
bidang-bidang yang lain.
B.
Sejarah
Hidup Al-Ghazali
Nama
lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Al-Ghazali, disebut al-Ghazali
karena ayahnya seorang pekerja pembuat
pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar . Ada juga berpendapat bahwa
dia disebut Al-Ghazali karena tempat kelahirannya di Ghazalah, sebuah desa di
Thus. Beliau juga dipanggil Abu Hamid, karena ia adalah ayah dari seorang anak
laki-laki yang bernama Hamid. Di belahan dunia Eropa, al-Ghazali disebut dengan
Algazel, sedangkan didunia Islam, dia diberi gelar dengan sebutan Hujjatul
Islam.
Sirajuddin Zar (2009) ; Al-Ghazali diberi gelar kehormatan dengan
Hujjat al-Islam (Argumentasi Islam) karena pembelaannya yang mengagumkan
terhadap agama Islam, terutama kaum Bathiniyat
dan kaum filosof. Karenanya statement yang dikemukakan sarjana-sarjana Eropa
(juga sebagian orang Islam) bahwa ia adalah muslim terbesar sesudah Muhammad
SAW, memperkuat kebesaran nama yang disandangnya. 1)
Al-Ghazali
lahir pada tahun 450 H/1058 M di Thus, Propinsi Khurasan, Republik Islam Iran,
dan meninggal pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H / 18 Desember 1111 M juga di Thus dalam usia 55 tahun.
Arif Munandar Riswanto (2010) : Al-Ghazali
berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi,
yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan shaleh. Ayahnya selalu hadir dalam
majlis ilmu para ahli fiqh di kampungnya dan selalu melayani mereka. Jika
mendengar nasehat dari mereka, ayah Al-Ghazali selalu menangis dan berdoa agar
diberi seorang anak yang soleh. Akhirnya dia diberi dua orang anak, Ahmad dan
Muhammad. 2)
Sulaiman Dunya
(2002) ; Sedangkan ibu dari Hujjatul Islam (Imam Al-Ghazali) ini, sejarah
sendiri tidak memberikan keterangan dan takdir telah membuatnya tidak dikenal
masa. Akan tetapi, beliau (sang ibu) menyaksikan apa yang tidak disaksikan oleh
suaminya (ayah Imam Al-Ghazali) ketika anaknya menjadi matahari dunia yang
terbit diufuk kejayaan dan keagungannya, serta sang anak kala itu menduduki
posisi yang terhormat di bidang ilmu pengetahuan. 3)
Al-Ghazali
memiliki sosok yang luar
biasa, karena ia bukan hanya
1)
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 158
2)
Arif Munandar Riswanto, Buku
Pintar Islam, ( Bandung, Mizan, 2010), hal 380.
3)
Sulaiman Dunya, Al-Haqiqatu
fi Nazhari Al-Ghazali, Pandangan Hidup Imam Al-Ghazali, Ibnu Ali,
(Surabaya, Pustaka Hikmah Perdana, 2002), h.38
seorang ulama,
tapi beliau juga
pendidik, ahli pikir dan
pengarang yang produktif. Keistimewaannya tercermin dalam karangannya yang
memiliki paparan yang bagus, gaya bahasa yang menarik, serta penyajian dalil
yang
kuat
pada tulisannya sehingga dapat dijadikan hujjah.
Ayah al-Ghazali meninggal semasa ia masih kecil, dan
ia bersama saudaranya ahli dititipkan kepada sahabatnya seorang sufi untuk
dididik dan dibimbing dengan baik, karena warisan yang dimiliki oleh Al-Ghazali
dan adiknya tidak mencukupi lagi, akhirnya mereka dititipkan pada Madrasah yang
menyediakan biaya hidup buat para santrinya. Di madrasah inilah Al-Ghazali
memulai titik awal perkembangan keintelektualan dan potensi spiritual yang
dimilikinya dengan bertemu seorang guru sufi yang bernama Yusuf Al-Nassaj.
Sejak kecil al-Ghazali telah menghafal Al-Qur’an dan
mempelajari Fiqih, setelah Yusuf al-Nassaj meninggal dunia, ia berguru kepada
Syaikh Ahmad ibn Muhammad al-Radzakani di Thusi.
Selanjutnya al-Ghazali pergi ke Jurjan, dan pada
usia dua puluh tahun ia pergi ke Naisabur dan belajar di Madrasah Nizhamiyah
(Madrasah ini didirikan pertengahan abad ke lima oleh Dinasti Saljuq ), di
madrasah ini ia belajar kepada Imam al-Haramain al-Juwaini dan mengenal
berbagai disiplin ilmu, seperti fiqh, ushul fiqh, mantiq, ilmu kalam dan
filsafat.
Setelah al-Ghazali menamatkan pelajarannya pada
tahun 470 H di Jurjan, ia pulang ke Thus dan membawa seluruh catatannya yang ia
tulis selama belajar ia Madrasah Nizhamiyah. Setelah Imam Haramain meninggal
dunia, al-Ghazali pergi ke suatu tempat bernama al-Mu’askar dan bertemu dengan
Nizham al-Mulk yang sebelumnya beliau telah mendengar keluasan dan ketinggian
ilmu al-Ghazali dan berada di sana selama enam tahun.
Thawil Akhyar
Dasoeki (1993) : Dalam usia yang masih terlalu hijau (25 tahun) Al-Ghazali
telah diangkat menjadi dosen di Universitas Nizhamiyah, di bawah pimpinan Guru
Besarnya Imamul Haramain. Dan tiga tahun kemudian Perdana Menteri Nizhamul Mulk
mengangkatnya sebagai Presiden Universitas untuk menggantikan Imamul Haramain. 4)
4)
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah
Kompilasi Filsafat Islam, ( Semarang, CV.Toha Putra, 1993), h. 56
Pada tahun 488 H, al-Ghazali mengalami gejolak
bathin dan merasakan ketidaknyamanan dengan prestasi yang telah ia capai.
Akhirnya, ia meletakkan jabatannya dan menyerahkan pada adiknya Ahmad,
kemudian ia meninggalkan Baghdad dan
mengembara ke Suriah. Di Suriah al-Ghazali menetap di Kota Damaskus dan menetap
di Masjid Umayah, ia memiliki tempat khusus di menara Masjid yaitu duduk
menyendiri di sudut sehingga sudut itu diberi panggilan sudut al-Ghazali,
kemudian ia berangkat ke Baitul Maqdis, selanjutnya ke Mesir dan menetap di
Alexandria. Akhirnya ia memutuskan kembali ke Thus sampai akhir hayatnya.
C.
Hasil
karyanya
Hasil
Karya al-Ghazali berjumlah kurang lebih 100 karangan, yang meliputi berbagai
macam bidang ilmu dan pengetahuan, seperti ilmu kalam, fiqh, tasawuf, akhlaq,
dan autobiografi.
Karangan
al-Ghazali sebagian besar berbahasa Arab dan sebagian lagi berbahasa Persia, ada beberapa karangan yang kurang mendapat
perhatian di Indonesia, tetapi sangat dikenal di dunia Barat, seperti Maqashidul Falasifah (tujuan para ahli
filsafat) dan Tahafut Al-Falasifah
(Kerancuan Filosof).
A. Mustofa
(1997) : “ Kitabnya yang terkenal yaitu Ihya Ululuddin, yang artinya
menghidupkan ilmu-ilmu agama, yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam
keadaan berpindah-pindah antara Syam, Yerussalem, Hijaz, dan Yus, dan yang
berisi paduan indah antara fiqh, tasawuf, dan falsafat, bukan saja terkenal
dikalangan kaum muslimin,
tetapi juga di
dunia barat dan luar Islam.
Beberapa karangan Al-Ghazali yang sudah
diterjemahkan adalah :
1.
Tahafut
Al-Falasifah diterjemahkan oleh Carra De Vaux,
De Boer, dan Asin Palacois.
2. Qawaid Al-
‘Aqa’id ( Die Dogmatik Al-Ghazali’s ) diterjemahkan oleh
H.Bauer.
3. Al-Munqids min
Ad-Dhalalal diterjemahkan oleh Barbeir de Mirand.5)
4. Misykat Al-
Anwar diterjemahkan W.H.T. Craidner
5)
A. Mustofa, Filsafat Islam, ( Bandung,
Pustakan Setia, 1997), h. 220
5.
Ihya
‘Ulumuddin (beberapa pasal) diterjemahkan D.B. Mac Donald.
Adapun hasil karya Al-Ghazali beberapa di
antaranya adalah :
1. Di
bidang Filsafat
a. Maqashidu-ul
Falasifah : kitab ini menerangkan soal-soal filsafat menurut
semestinya dengan tidak mengemukakan suatu kritikan.
b. Tahafut-ul
Falasifah : kitab ini Al-Ghazali mengungkapkan tentang
pendapat-pendapat filosof terdahulu dan menerangkan kepercayaan atau kesesatan
mereka serta memberantas kesalahan-kesalahan mereka yang bertalian dengan masalah-masalah ke –Tuhan-an.
c. Al-Ma’riful
‘Aqliyah : Ilmu pengetahuan yang rasional.
2. Di
bidang Agama
a. Ihya ‘Ulumuddin
b. Al-Mungis minal
Dhalal (Terlepas dari Kesesatan)
c. Minhaj
ul’Abidien (Jalan Mengabdi Tuhan)
d. Miezan ul’ Amal
(Neraca Amal)
e. Keimiya us
Da’adah ( Kimianya Kebahagiaan)
f. Kitabul Arba’ien
( Empat puluh prinsip agama )
3. Di
bidang Kenegaraan
a. Mustazh hiri
b. Sirrul ‘Alamain
( Rahasia dua dunia yang berbeda )
c. Suluk us
Sulthanah (Cara menjalankan pemerintahan)
d. Nashihat el
Muluk ( Nasehat untuk kepala-kepala Negara)
e. Dan
lain – lain .
D.
Pemikiran
Pendidikan Islam Al-Ghazali
Untuk
mengetahui pemikiran Al-Ghazali terhadap pendidikan Islam, maka hal ini dapat
kita ketahui dengan cara memahami pemikiran yang telah ia tuangkan dalam karya
tulisnya, yang erat kaitannya dengan pendidikan, baik ditinjau dari aspek
tujuan, kurikulum, metode pengajaran, etika guru, dan etika murid.
Namun
sebelum membahas lebih lanjut tentang
pemikiran pendidikan Al-Ghazali, ada baiknya untuk diketahui tentang pendapat Al-Ghazali mengenai akal yang
terdapat dalam Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin, ia mengatakan bahwa :
Akal adalah
sumber ilmu. Sabda Rasulullah SAW, yang menegaskan kemuliaannya, “ Yang pertama
yang diciptakan oleh Allah adalah akal. Allah berfirman padanya, “
Menghadaplah!” Maka ia menghadap. Kemudian Dia berfirman padanya, “ Mundurlah
!” Maka ia mundur. Dia berfirman, “ Demi keagungan dan kebesaran-Ku. Denganmu
Aku mengambil, denganmu Aku memberi, denganmu Aku memberi pahala, dan denganmu
aku memberi hukuman.
Dalam hadits
lain, Rasulullah bersabda : ‘ Aku bertanya pada Jibril, “ Apakah kepemimpinan
itu ?” Jibril menjawab Akal.
Hakikat akal
adalah insting yang disiapkan untuk mengenai informasi-informasi nalar. Seakan-akan ia adalah cahaya yang ditempatkan di dalam
kalbu. Dengannya hati siap mengenali segala sesuatu. Kadar dari insting berbeda
sesuai dengan tingkatannya. 6)
Maka
pemahaman Al-Ghazali di atas, menggambarkan bahwa beliau merupakan seseorang
yang meletakkan akal sebagai sesuatu yang istimewa, dan ia bukan orang yang
mmembicarakan agama hanya dari sudut
pandang satu, tanpa menggunakan akal. Dengan
meletakkan fungsi akal inilah, maka pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan, akan
dijelaskan secara rinci berikut ini, yang akan dimulai dari tujuan pendidikan
sampai kewajiban murid.
1.
Tujuan
Pendidikan
a.
Tercapainya
kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
b.
Kesempurnaan
insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Abidin
Ibn Rusn dalam bukunya yang berjudul “
Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan “, menyebutkan bahwa tujuan yang
ingin dicapai al-Ghazali melalui kegiatan pendidikan Islam, adalah :
a.
Tercapainya kesempurnaan insani
yang bermuara pada pendekatan
6)
Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya ‘Ulumuddin, Mutiara Ihya ‘Ulumuddin, Irwan
Kurniawan, (Bandung, Mizan, 2008), h.40
diri kepada Allah.
b.
Tercapainya kesempurnaan insani
yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
c.
Mendekatkan diri kepada Allah,
yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan
sunnah.
d.
Menggali dan mengembangkan
potensi atau fitrah manusia.
e.
Mewujudkan profesionalisme untuk
mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
f.
Membentuk manusia yang berakhlak
mulia, suci jiwanya dan kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
g.
Mengembangkan sifat-sifat manusia
yang utama sehingga menjadi manusia yang manusiawi. 7)
2. Kurikulum
Berhubungan
dengan pembahasan ini, Ainun Mardia Harahap, dalam tesisnya yang berjudul Konsep Pendidikan Menurut Al-Ghazali dan
Relevansinya Dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi, memaparkan secara rinci
tentang pemikiran pendidikan Islam al-Ghazali dari berbagai sudut. Ainun
mengutip pernyataan al-Ghazali dalam buku Ihya ‘Ulumuddin Jilid I terjemahan
Moh. Zuhri, ia menyatakan :
“ Ketahuilah
bahwa fardlu tidak berbeda dengan selainnya kecuali dengan menyebutkan
bagian-bagian ilmu. Sedangkan ilmu-ilmu dengan dinisbatkan kepada fardlu yang
kita hadapi adalah terbagi kepada syara’ dan bukan syara’… saya maksudkan
dengan syara’ adalah sesuatu yag diambil daripada Nabi a.s. dan bukan akal
menunjukkan kepadanya seperti berhitung, tidak pula percobaann seperti
kedokteran, dan tidak pula pendengaran seperti bahasa,… sedangkan ilmu-ilmu
bukan syara’ itu terbagi kepada sesuatu yang terpuji, sesuatu yang tercela, dan
sesuatu yang boleh (mubah). Ilmu yang terpuji adalah sesuatu yang berkaitan
dengan kemaslahatan urusan-urusan dunia seperti kedokteran dan berhitung. Ilmu
itu terbagi kepada sesuatu yang fardlu kifayah dan sesuatu yang fadhilah
(utama) namun tidak fardlu… adapun fardlu kifayah adalah setiap ilmu yang tidak
dapat dibutuhkan dalam menegakkan urusan-urusan dunia seperti kedokteran karena
kedokteran itu suatu kepastian (dharuri) dalam kebutuhan dalam menjaga kekalnya
tubuh. Dan seperti berhitung karena itu pasti dibutuhkan dalam pergaulang,
membagi wasiat, warisan dan lain-lain.
7)
Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 1998), h.56.
8)
Ainun Mardia Harahap, Konsep Pendidikan Menurut elevansinya
Al-Ghazali dan Relevansinya Dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi, Tesis,
IAIN SU, Medan, 2010), h.25
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali
memberikan perhatian khusus terhadap ilmu-ilmu agama dan etika, karena nilai ini harus tetap ada. Pemikiran ini
dipengaruhi pribadinya yang zuhud karena tawasuf , disamping itu, ilmu lain
yang harus dipelajari adalah ilmu budaya dan pengajaran berbagai keahlian
mendasar dalam kehidupan manusia.
Dalam pandangan al-Ghazali kurikulum pendidikan
terbagi dua , yaitu :
a.
Muatannya
memiliki kecendrungan ke arah agama dan tasawuf. Kecendrungan memberi manfaat
sebagai alat untuk mensucikan dan membersihkan diri dari pengaruh kehidupan
dunia.
b.
Muatannya
memiliki kecendrungan pragmatis, yaitu ilmu yang berguna dan bermanfaat bagi
kehidupan manusia, bagi al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari segi fungsi
dan kegunaannya dalam bentuk amaliah, dan amaliah yang disertai ilmu harus
disertai dengan kesungguhan dan niat yang tulus ihklas. al-Ghazali
mengungkapkan hal ini dalam kalimat berikut :
“ Seluruh
manusia akan binasa kecuali yang berilmu, dan seluruh orang yang berilmu akan
binasa kecuali orang yang beramal,
seluruh orang yang beramal akan binasa kecuali orang yang ikhlash. “ 9)
Dengan ungkapan
ini, memberikan gambaran bahwa Al-Ghazali memiliki paham pragmatis teologhis,
yaitu pemanfaatan yang berdasarkan atas tujuan iman dan kedekatan kepada Allah
SWT.
Berikut adalah pembahasan tentang pembagian ilmu
pengetahuan menurut al-Ghazali, yaittu :
a.
Berdasarkan
pembinaan ilmu, al-Ghazali membaginya kepada dua hal :
1)
Ilmu syari’iyyah yaitu ilmu yang
dipandang sebagai ilmu
9) Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta,
PT.RajaGrafindoPersada, 2001), h.94
terpuji, yang terdiri dari :
a)
Ilmu ushul (ilmu pokok)
Yang termasuk ilmu ushul adalah : Al-Qur’an, Hadits,
perdapat sahabat, dan ijma’.
b)
Ilmu Furu’ (cabang)
Yang termasuk ilmu furu’ : Fiqh, ilmu qalbu, dan akhlak.
c)
Ilmu Mukaddimah (Pengantar)
Yang termasuk ilmu mukaddimah : bahasa dan gramatika.
d)
Ilmu Mutammimah (Pelengkap)
Yang termasuk ilmu mutammimah : qira’at, makhrij al-huruf wa al-Faz, ilmu tafsir, nasikh dan mansukh, lafaz umum dan
khusus, lafaz nash dan zhohir, biografi dan sejarah perjuangan
sahabat.
2)
Ilmu ghairu syari’iyyah, yang dibagi lagi
menjadi tiga kelompok, yaitu :
a)
Ilmu yang
terpuji, seperti : ilmu kedokteran, berhitung, dan ilmu perusahaan. Dalam ilmu
perusahaan, al-Ghazali membaginya pada tiga, yaitu :
i.
Perusahaan yang
utama : pertanian, pertenunan, pembangunan, dan tata pemerintahan.
ii.
Perusahaan yang
menunjang : pertukangan besi dan industri sandang.
iii. Perusahaan
pelengkap : pengolahan, pangan yakni pembuatan roti, dan jahit menjahit.
b)
Ilmu yang
diperbolehkan atau dengan kata lain tidak merugikan untuk mempelajarinya,
seperti kebudayaan, sejarah, dan sastra.
c)
Ilmu yang
tercela (ilmu yang merugikan), seperti ilmu tenung, sihir, dan bahagian
tertentu dari filsafat.
b.
Berdasarkan
objeknya, ilmu dibagi kepada tiga, yaitu :
1)
Ilmu-ilmu yang
tercela baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu-ilmu yang tidak ada manfaatnya,
baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu sihir, ilmu nujum, dan ilmu
ramalan. Dengan alasan ilmu ini memberikan kemudharatan (kesusahan) bagi yang
memilikinya, maupun bagi orang lain.
Al-Ghazali (2008) :
Sihir dan mantra menyebabkan berbagai
kerusakan. Sementara ramalan dilarang. Rasulullah SAW. bersabda,
“ Jika
disebutkan ramalan, diamlah. “
Beliau
memerintahkan kita untuk diam, karena manusia cenderung melupakan hokum sebab
akibat; yakni perantara-perantara, padahal ia adalah factor yang tak dapat
diabaikan dalam menentukan suatu akibat. Sedangkan filsafat meyebabkan hal –
hal yang bertentangan dengan syara’. Tidak dipungkiri bahwa perhitungan tidak
dapat ditinggalkan dan di tolak, namun ia hanya merupakan pengantar apda apa
yang ada di baliknya.
Maka hendaklah membatasinya sekadar
keperluan.Ambillah ilmu kimia untuk kedokteran seperlunya, dan ilmu
perbintangan (astronomi) untuk mengetahui posisi dan petunjuk arah kiblat. 10)
2)
Ilmu –ilmu yang
terpuji baik sedikit maupun banyak yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan
peribadatan dan macam-macamnya, sepeti ilmu yang berkaitan dengan kebersihan
diri dari cacat dan dosa serta ilmu yang dapat menadi bekal bagi seseorang
untuk mengetahui yang baik dan melaksanakannya, ilmu-ilmu yang mengajarkan
manusia tentang cara-cara mendekatkan diri kepada Allah dan melakukan sesuatu
yang diridhai-Nya, serta dapat membekali hidupnya di akhirat.
3)
Ilmu-ilmu yang
terpuji dalam kadar tertentu, atau
sedikit, dan
10) Lihat Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya ‘Ulumuddin, Mutiara Ihya ‘Ulumuddin, Irwan
Kurniawan,, h.40
tercela jika dipelajari
secara mendalam, contohnya ilmu filsafat, bagi al-Ghazali
ilmu filsafat dapat menimbulkan
kekacauan antara
keyakinan dan keraguan, dan dapat menghantarkan kepada kekafiran.
c.
Berdasarkan
status hukum dalam mempelajari ilmu, maka al-Ghazali membagi menjadi dua status,
yaitu :
1)
Wajib ‘aini
Para Ulama berbeda pendapat
mengenai masalah ini , yaitu
a)
Ilmu yang wajib
dipelajari itu adalah mengetahui zat dan sifat-sifat-Nya.
b)
Ilmu yang wajib
adalah ilmu fiqh, sebab dengan ilmu ini seseorang akan mengetahui masalah
ibadah, mengenal yang halal dan haram, baik yang menyangkut tingkah-laku secara umum, ataupun yang menyangkut bidang
mua’malah.
c)
Ilmu yang wajib
adalah Ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena dengan mengetahui Al-Qur’an dan
As-Sunnah tersebut seseorang dapat mengenal agama dengan baik, dan dapat
semakin dekat dengan Tuhan.
Sementara Al-Ghazali memandang
ilmu-ilmu yang wajib ‘ain bagi setiap muslim adalah ilmu-ilmu agama dengan segala jenisnya, seperti kitab Allah, ibadah
yang pokok, dan sebagainya . Ilmu ini
menjelaskan tentang cara mengamalkan amalan yang wajib
2)
Fardhu kifayah ,
Semua ilmu yang
mungkin diabaikan untuk kelancaran semua urusan, seperti ilmu kedokteran yang
menyangkut keselamatan tubuh, ilmu hitung yang sangat diperlukan dalam hubungan
mu’amalah, pembagian warisan dan wasiat, dan lain – lain.
Menurut
al-Ghazali, ilmu ini jika tidak seorangpun dari suatu penduduk yang mengusainya
maka berdosa seluruhnya, jadi ilmu fardhu kifayah ini adalah ilmu yang tak
dapat ditinggalkan dalam kehidupan masyarakat.
d.
Berdasarkan
keutamaan antara ilmu aqliyah dan ilmu amaliyah, al-Ghazali memberikan
penilaian yang berbeda karena :
1)
Melihat kepada
daya yang digunakan untuk menguasainya.
Al-Ghazali
menilai ilmu-ilmu aqliyah lebih tinggi dibanding dengan ilmu-ilmu bahasa,
karena ilmu aqliyah dicapai dengan akal sedang ilmu bahasa dicapai dengan
pendengaran.
2)
Melihat kepada
besar kecilnya manfaat yang di dapat menusia daripadanya. Al-Ghazali memandang
ilmu pertanian lebih bermanfaat daripada ilmu pandai besi, karena pertanian
sangat penting bagi kehidupan, sedang pandai besi untuk hiasan.
3)
Melihat kepada
tempat mempelajarinya
Al-Ghazali menilai pandai besi
lebih bernilai daripada kepandaian menyamak kulit, karena pandai besi tempatnya
di toko emas sedangkan menyamak kulit tempatnya diperternakan
Maka dapat disimpulkan bahwa pandangan al-Ghazali terhadap ilmu yang paling utama yaitu ilmu agama
dengan segala cabangnya, karena ia hanya dapat dikuasai melalui akal yang
sempurna dan daya tangkap yang jernih
3.
Metode
Pengajaran
Al- Ghazali
memberikan perhatian khusus pada metode pengajaran agama untuk anak-anak.
Baginya metode keteladanan adalah metode yang terbaik dalam melakukan pembinaan
budi pekerti dan mental serta penanaman sifat-sifat utama pada diri anak.
Perhatian ini secara khusus ia berikan karena prinsip dasar pendidikan adalah
kerja yang memerlukan hubungan erat atau kerjasama yag baik antara pribadi guru
dan murid.
Berhubungan
dalam masalah ini, Abuddin Nata, menyatakan betapa pentingnya keteladanan dan
sikap utama yang harus dimiliki dari seorang guru, yang erat kaitannya dengan
pekerjaannya sebagai seorang pendidik dan pengajar. Karena itu, mengajar adalah
pekerjaan yang paling mulia dan merupakah tugas yang paling agung. Ia
menyatakan “… bahwa wujud yang termulia dimuka bumi adalah manusia, dan bagian
inti mausia yang termulia adalah hatinya. Guru bertugas menyempurnakan,
menghias, mensucikan, dan menggiringnya mendekati Allah SWT. Dengan demikian,
mengajar adalah bentuk lain pengabdian manusia kepada Tuhan dan menjunjung
tinggi perintah-Nya. “ 11)
4.
Tugas
Guru dan Murid
Al-Ghazali
merupakan ilmuwan pertama yang menjelaskan secara rinci tentang tugas – tugas
yang diemban oleh guru dan murid, yang tersusun dalam rumusan delapan tugas
pokok guru untuk mencapai keberhasilannya dalam pengajaran, dan sepuluh tugas
pokok murid, yang akan menghantarkannya menjadi orang yang akan berhasil dalam
belajar.
a.
Guru dan
kewajibannya, yang akan memaparkan delapan Tugas Pokok Guru 12)
1)
Menaruh rasa kasih sayang
terhadap murid dan memperlakukan mereka seperti perlakuan terhadap anak mereka
sendiri. Rasulullah SAW, bersabda :
2)
Tidak mengharapkan balas jasa
atau ucapan terimakasih, tetapi bermaksud dengan mengajar itu mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri
kepada Tuhan.
11)
Lihat Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, h. 95
12)
Athiyah Al Abrasyi, Attarbiyatul Islamiyah, Dasar-Dasar Pokok
Pendidikan Islam, Bustami A.Gani, et,al, cetakan ke – 4 ( Jakarta, Bulan
Bintang, 1984), h. 150-152, Lihat juga Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya ‘Ulumuddin, Mutiara Ihya ‘Ulumuddin, Irwan
Kurniawan,, h.36-37. Dan Hasan Asari, Menguak
Sejarah Mencari Ibrah, (Bandug,Cita
Pustaka Media, 2006), h.133-136
3)
Berikanlah nasehat kepada murid
pada tiap kesempatan bahwa gunakanlah setiap kesempatan untuk menasehati dan menunjukinya.
4)
Mencegah murid dari sesuatu
akhlaq yang tidak baik
dengan jalan sindiran jika
mungkin dan jangan dengan cara terus terang, dengan jalan halus dan jangan
mencela. Al-Ghazali menganjurkan pencegahan itu dengan isyarat atau dengan
sindiran, jangan dengan terus terang sekiranya terjadi pada murid itu sesuatu
yang merupakan akhlaq kurang baik.
5)
Supaya diperhatikan tingkat akal
pikiran anak-anak dan berbicara dengan mereka menurut kadar akalnya dan jangan
disampaikan sesuatu yang melebihi tingkat tangkapannya, agar ia tidak lari dari
pelajaran , ringkasnya bicaralah dengan bahasa mereka. Ini adalah prinsip
terbaik yang kini tengah dipakai.
6)
Jangan timbulkan rasa benci pada
diri murid mengenai satu cabang ilmu yang lain, tapi seyogyanya dibukakan jalan
bagi mereka untuk belajar cabang ilmu tersebut. Artinya si murid jangan terlalu
fanatic terhadap jurusan pelajarannya saja.
7)
Seyogyanya kepada murid yang
masih dibawa umur, diberikan pelajaran yang
jelas dan pantas buat dia, dan tidak perlu disebutkan kepadanya akan
rahasia yang terkandung di belakang sesuatu itu hingga tidak menjadi dingin
kemauannya atau gelisah fikirannya. Dimaksudkan dengan cara ini ialah
memelihara standard kelemahan di pihak si murid dengan meilihkan mata pelajaran yang mudah dan jelas dan
sesuai dengan mereka. Jangan hendaknya mereka merasakan bahwa mereka adalah lemah atau bodoh hingga
tidak timbul pengaruh buruk di dalam jiwanya. Hal-hal ini tidak membaikkan bagi
mereka.
8)
Sang guru harus mengamalkan
ilmunya dan jangan berlain kata dengan perbuatannya.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah
(2) : 44 :
“ Apakah anda
suruh orang yang berbuat baik dan anda lupakan diri sendiri.”
Dan QS. Ash-Shaf ayat 3 :
“ Dosa yang
besar di sisi Allah ialah mengucapkan apa yang tidak anda kerjakan. ‘
Nabi Muhammad bersabda :
“ Siapa
yang bertembah ilmunya tetapi tidak bertambah hidayahnya atau petunjuk yang
diperolehnya, maka ia akan semakin jauh dari Allah. “
Beliau juga bersabda :
“ Belum
dinamakan seseorang itu alim berilmu sebelum ia mengamalkan ilmunya itu. “
b.
Murid dan
kewajibannya
10
tugas pokok murid, yang akan menghantarkannya menjadi orang yang akan berhasil
dalam belajar adalah :
1)
Mendahulukan kesucian jiwa
daripada kejelekan akhlak, karena Sabda Nabi SAW ;
“
Islam dibangun dengan dasar kebersihan . “
Kebersihan yang dimaksud bukan dalam
pakaian, melainkan dalam hati. Hal itu ditunjukkan pula dalam firman Allah SWT,
Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (QS. At-Taubah (9):28), karena najis
itu tidak khusus pada pakaian. Batin yang tidak bersih dari najis tidk akan
dapat menerima ilmu yang bermanfaat dalam agama dan tidak akan disinari dalam
cahaya ilmu.
2)
Mengurangi hubungan (keluarga)
dan menjauhi kampung halamannya sehingga hatinya hanya terikat dengan pada
ilmu. Sesungguhnya Allah tidak menciptakan dua hati dalam dadanya. Karena itu
dikatakan bahwa ilmu tidak memberikan kepadamu sebangiannya sebelum engkau
menyerahkan padanya seluruh jiwamu.
3)
Tidak bersikap sombong terhadap
ilmu dan menjauhi tindakan yang tidak terpuji pada guru, bahkan ia harus
menyerahkan segala urusannya kepadanya, seperti orang yang sakit keras
menyerahkan urusannya kepada dokter tanpa memutuskan sendiri suatu
keperluannya.
4)
Menjaga diri dari mendengarkan
perselisihan di antara manusia. Hal itu mewariskan kebingungan, karena hal
pertama yang terjadi adalah kecendrungan hati padanya, terutama pada pengabaian
yang menyebabkan kemalasan.
5)
Tidak mengambil ilmu terpuji
selain mendalaminya sehingga mengetahui hakikatnya. Karena, mencari dan memilih
yang terpenting hanya dapat dilakukan setelah mengetahui suatu perkara secara
keseluruhan.
6)
Mencurahkan perhatian pada ilmu
yang terpenting, yaitu ilmu akhirat. Saya maksudkan hal itu sebagai bagian dari
pergaulan (mu’amalah) dan penyingkapan (mukasyafah). Mu’amalah mendatangkan
mukasyafah, dan mukasyafah adalah pengenalan terhadap Allah SWT. Hal itu adalah
cahaya yang Allah pancarkan dalam hati orang yang menyucikan diri dengan ibadah
dan kesungguhan (mujahadah). Itulah yang mengantarkan tingkatan iman Abu Bakar
r.a. pada keutamaan, seperti disabdakan Nabi SAW. dalam sebuah haditsnya, “
Seandainya iman seluruh manusia ditimbang dengan iman Abu Bakar, niscaya iman
Abu Bakar akan lebih berat. “, yaitu pada rahasia yang terpendam di dalam
dadanya, bukan pada aturan dan hujjah.
7)
Hendaklah tujuan murid itu adalah
untuk menghias batinnya dengan sesuatu yang menghantarkannya pada Allah SWT.
Dan berdekatan dengan penghuni tertinggi dari orang-orang yang didekatkan
(al-muqarrabin). Tidak dimaksudkan untuk memperoleh kekuasaan, harta, dan
pangkat. 13)
8)
Hendaklah penuntut ilmu
mengetahui sebab yang bisa menemukan ilmu yang paling mulia.
Yang dimaksud, adalah dua hal, yaitu ;
i.
Mulianya buah ilmu
ii.
Terpercaya dan kuatnya dalil
13) Lihat
al-Ghazali, Mukhtashar Ihya ‘Ulumuddin,
Mutiara Ihya ‘Ulumuddin, Irwan Kurniawan,
h.32-35.
Contoh hal tersebut seperti ilmu agama
dan ilmu kedokteran. Sebab, buah salah satu di antaranya adalah kehidupan
abadi. Sedangkan buah ilmu yang lain, ialah kehidupan yang dapat rusak. Jadi,
ilmu agama adalah lebih mulia.
Misalnya lagi : ilmu hitung dan ilmu
perbintangan. Ilmu hitung lebih mulia, karena terpercaya dan kuatnya
dalil-dalilnya. Tetapi jika ilmu dibandingkan dengan ilmu kedokteran, maka ilmu
kedokteran lebih mulia, dengan mempertimbangkan buahnya dan ilmu hitung lebih mulia dipandang dari segi
dalil-dalilnya. Dalam pada itu,
memperhatikan buah lebih utama. Dan dari sebab itu ilmu kedokteran lebih mulia,
walaupun kebanyakan hanya dengan duga-dugaan.
9)
Hendaklah maksud pelajar pada
waktu belajar, adalah memperhias dan mempercantik bathinnya, dengan
keutamaan-keutamaan. Juga dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah
Ta’ala, serta naik ke dekat kelompok luhur dari malaikat dan orang-orang yang
dekat dengan Allah.
10)
Hendaklah penuntut ilmu
mengetahui hubungan ilmu-ilmu kepada tujuan, supaya ia tidak memilih ilmu luhur
yang dekat, atas ilmu yang jauh, dan yang penting atas yang tidak penting. 14)
Hasan Asari dalam bukunya “ Menguak Sejarah Mencari Ibroh “,
memberikan analisa terhadap pemikiran pendidikan Al-Ghazali, yang beliau
tuangkan kepada enam pokok pikiran,
yaitu :
1.
Pemikiran Al-Ghazali jelas
merupakan harta intelektual yang sangat berharga karena dihasilkan melalui
proses panjang ijtihad ilmiah.
2.
Petulangan ilmiah Al-Ghazali yang
demikian panjang, perlu kita ingat. Petualangan ini mengajarkan kita bahwa
karir ilmiah mensyaratkan kebulatan niat, keteguhan pendirian, dan kesediaan
menjalani beragam kesusahan.
3.
Pemikiran Al-Ghazali tentang
sumber ilmu pengetahuan kelihatannya sangat relevan untuk dipertimbangankan
dalam zaman sekarang ini.
14) Al-Ghazali,
Ihya ‘Ulumuddin, Ilmu dan Manfaatnya,
Achmad Sunarto, (Surabaya, Karya Agung,
2010) h.205-207
Keteguhan pendiriannya bahwa ilmu pengetahuan tidak
hanya diperoleh manusia dari rasio semata, tetapi juga dari hati (qalb) bisa
dilihat sebagai upaya mempertahankan integritas kemanusia. Bahwa manusia adalah
makhluk rasional, tetapi juga memiliki kapasitas-kapasitas kemanusiaan di
luarnya dan di atasnya.
4.
Klasifikasi pengetahuan
Al-Ghazali yang berdasarkan pada asumsi di atas sangat bermanfaat bagi
seseorang yang ingin melihat bagaimana berbagai disiplin ilmu saling berkaitan
dan berhubungan.
5.
Pola interaksi ilmiah sebagaimana
diajarkan al-Ghazali, jelas bermuatan cinta yang sangat kental. Hubungan antar
murid, antar guru, antara guru dan murid, dan seseorang dengan ilmu pengetahuan
yang ditekuninya haruslah di dasari dengan cinta.
6.
Adalah sangat relevan bahwa
Al-Ghazali menempatkan Tuhan sebagai muara akhir dari rangkaian proses
pendidikan. 15)
Dan senada dengan hal ini, Suwito (2005)
mengungkapkan :
“ … bahwa imam
Al-Ghazali adalah ulama besar yang menaruh perhatian cukup besar terhadap
pendidikan, corak pendidikan yang dikembangkan tampak dipengaruhi oleh
pandangannya tentang fiqih dan tasawuf, dan tidak mengherankan karena di dakam
kedua bidang tersebut Al-Ghazali memperlihatkan kecendrungan yang besar. Konsep
pendidikan yang dikemukakan selain sistematik dan komprehensif juga secara
konsisten juga sejalan dengan sikap dan kepribadiaanya sebagai seorang sufi “. 16)
E.
Pemikiran
Pendidikan Al-Ghazali dalam buku Al-Munqidz Minadh Dhalal dan Bidayatul
Hidayah.
1.
Al-Munqidz
Minadh Dhalal 17)
Al-Munqidz
Minadh Dhalal memiliki pengertian pembebas dari kesesatan, dalam buku ini,
al-Ghazali menerangkan beberapa hal untuk menjawab permasalahan tentang hakikat
dan rahasia ilmu-ilmu agama dan mazhab-mazhab yang membingungkan pikiran.
Al-Ghazali memberikan jawaban sesuai dengan pengalaman, penelitian, dan
penyelidikan yang ia lakukan.
Al-Ghazali
menceritakan ketidakpuasannya dalam pengembaraan
15) Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari Ibrah, (Bandug,Cita Pustaka Media, 2006), h.137-139
16) Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta,
Kencana, 2008), h. 84
17) Al-Ghazali,
Al-Munqidz Minadh Dhalal, Rus’an, (Jakarta, 1964), h. 16-54
nya mencari ilmu, ia mengakui bahwa
secara hakikat ia tidak mendapat apa-apa dengan pernyataannya semakin aku tahu,
semakin aku merasa kosong, karena yang ia dapatkan hanya ilmu mahsus yaitu ilmu
yang didapat dari panca indera, dan ilmu-ilmu biasa.
Menurut
al-Ghazali ada empat golongan penuntut ilmu, yaitu, pertama golongan
mutakallimun, ahli ilmu kalam yang menyatakan diriya adalah golongan ahli
fikir. Kedua, al-Bathiniyah, yaitu ahli kebathinan yang merasa dirinya sebagai
orang yang menerima pelajaran khusus dari imam yang ma’sum. Ketiga, para
filosof, yang menganggap dirinya adalah ahli logika. Ke empat, golongan sufi
dan mistik, yaitu mereka yang menyatakan dirinya telah mencapai mukarrabat atau
kedekatan pada Allah. Dan ia menyatakan bahwa kebenaran yang hak itu tidak akan
keluar dari keempat golongan ini, dengan menguraikan penjelasan sebagai berikut
:
1.
Ilmu Kalam.
Maksud
dan tujuan ilmu kalam adalah untuk memelihara kepercayaan golongan ahli sunnah
dan untuk menjaga dari percampuraadukkan golongan bid’ah yang menyesatkan,
mereka mengatur amalan-amalan dengan, mengembangkan ajaran sunnah, memelihara
aqidah-aqidah asli dari ajaran Nabi. Namun, dalam melakukan amal perbuatan para
ahli kalam mempergunakan pegangan pendahuluan yang mereka terima dari
lawan-lawan mereka, dan memberikan penjelasan tentang terdapatya pertentangan,
dengan ini mereka memberikan kritik sehat. Tetapi sayangnya cara ini kurang
bermanfaat terutama bagi orang yang menerima. Kemudian al-Ghazali melihat para
ahli kalam mencoba memasuki pembahasan tentang wujud, sifat kejadian,
hukum-hukum alam dan sifat khasiatnya, inilah yang membuat mereka telah keluar
dari ilmu semula, dan mengakibatkan mereka tidak berhasil melenyapkan kegelapan
yang simpang siur ditengah perselihan paham dalam masyarakat. Karena itulah
menurut al-Ghazali, ilmu kalam tidak dapat menyembuhkan penyakit ruhaniah.
2.
Filsafat
Al-Ghazali mendalami dengan
sungguh-sungguh kajian ilmu filsafat ini, yang sampai pada satu titik bahwa
filsafat dapat menimbulkan kufur dan ilhad yaitu ingkar pada agama. Al-Ghazali
membagi filsafat dalam tiga golongan, yaitu : 1. Golongan Dahriyun (atheis),
golongan ini adalah golongan terdahulu yang menyangkal adanya Tuhan Maha
Pencipta. Filsafat ini dianut oleh golongan zanaqidah, yaitu orang-orang yang
tidak percaya pada Tuhan. 2. Golongan Tahbi’yun (kealaman), golongan ini
memusatkan perhatiannya pada alam, walaupun golongan ini suka meneliti alam,
sayangnya penelitian mereka tidak sampai pada pemahaman siapa yang menciptakan
alam dengan keseimbangannya. 3. Golongan Ilahiyun (Ke-Tuhan-an), termasuk di
dalamnya adalah Aristoteles yang berhasil menyusun ilmu manthiq. Namun, dengan
ketegasan dan kekerasan yang dimiliki oleh Aristoteles dalam mempertahankan
filsafatnya. Al-Ghazali menemukan masih adanya pengaruh-pengaruh filosof lama
terhadap Aristoteles, termasuk juga pengikutnya yaitu Ibnu Sina dan al-Farabi.
Al-Ghazali menilai adanya kekeliruan dan membingungkan, sehingga banyak orang
yang tidak memahaminya.
Kemudian yang tidak kalah penting
adalah, al-Ghazali membagi cabang ilmu filsafat dan bahaya yang dikandungnya.
a.
Ilmu Riadhah
(matematika), yang meliputi ilmu hitung, ilmu pasti, ilmu falaq, ilmu bumi
alam. Ilmu – ilmu ini mengandung dan membawa soal-soal secara nyata. Menurut
al-Ghazali, ada dua bahaya ilmu ini, yaitu : menimbulkan rasa dan keinginan
yang pasti terhadap pelajar, sehingga
mereka mengaguminya karena perhitungan yang tepat dan nyata. Dan akan
melahirkan perbuatan yang keliru dari orang yang merasa dirinya sudah mengenal
Islam, padahal ia mengingkarinya.
b.
Ilmu Manthiq
(logika). Logika adalah suatu pemikiran tentang cara-cara dan system pembuktian
menurut dalil-dalil. Ilmu ini terdiri dari tashawur ( konsep soal-jawab), dan
tasdiq ( jawaban yang akan dipahami dengan penjelasan dan keterangan). Menurut
al-Ghazali ilmu ini berbahaya karena semua permasalahan dibahas dalam ilmu
logika termasuk agama, sementara tidak semua ajaran dalam agama dapat
dilogikakan.
c.
Ilmu Alam
(Fisika dan Biologi). Ilmu ini meneliti tentang alam bahkan luar angkasa, baik
meneliti penyebab maupun perubahan yang terjadi di dalamnya. Dalam hal ini,
al-Ghazali menyatakan bahwa bahayanya ilmu ini adalah menyesampingkan bahwa
Tuhan adalah sang Pengatur bagi kehidupan alam dan membuat semua benda hidup, bukan bergerak
dengan sendirinya seperti yang digambarkan oleh kebanyakan orang-orang yang
mendalami ilmu ini.
d.
Ilmu Ke-Tuhanan
dan Metafisika.
Dalam masalah ini, menurut
al-Ghazali banyak filosof yang membuat kesalahan yaitu mereka tidak mampu
menyelesaikan dalil-dalil dan keterangan-keterangan yang menjadi syarat dalam
ilmu manthiq. Permasalahan pokok yang membuat para filosof berselisih dengan
umat Islam adalah :
1)
Para filosof
mengatakan bahwa yang dibangkitkan di alam
mahsyar adalah ruhani saja, dan ruhanilah yang akan mendapat siksa.
2)
Para filosof
mengingkari bahwa Allah SWT maha mengetahui keseluruhan dan bukan
sebagian-sebagian.
3)
Para filosof
bahwa dunia ini kekal, todak bermula dan tidak berakhir.
e.
Ilmu
siasat/politik
Ilmu ini dapat menimbulkan bahaya
karena hukum dan pemikiran-pemikiran hanya digunakan untuk kepentingan
pemerintahan di dunia saja.
f.
Ethics.
Al-Ghazali melihat adanya
penyimpangan yang dilakukan para filosof dengan ilmu ethics, menurutnya para
filosof mengambil ilmu ini dan mencampuradukkkan dengan keterangan – keterangan
mereka sendiri.
Kemudian, al-Ghazali menjelaskan sistem pelajaran
guru yang ma’sum menimbulkan bahaya, ia menguraikan sistem ini dengan
menggambarkan adanya penanaman bahwa seorang guru itu ma’sum yaitu orang yang
terpelihara dari dosa, sehingga ketika muridnya yang merupakan para muballigh dan para imam yang tersebar di belahan dunia,
memanggil guru mereka karena kesukaran yang mereka hadapi, maka sang gurupun
datang, system inilah yang dapat menimbulkan bahaya menurut al-Ghazali. Karena
satu-satunya manusia yang ma’sum adalah Rasulullah.
Inilah sebagian gambaran pemikiran al-Ghazali dalam
bidang pendidikan pada bukunya yang berjudul al-Munqidz Minadh Dhalal, ia ingin
menyampaikan jawaban atas keresahannya berdasarkan pengalamannya sendiri dalam
mencari hakikat ilmu.
2.
Bidayatul Hidayah 18)
Dalam Bidayatul Hidayah, Al-Ghazali memberikan penjelasan tentang
manusia penuntut ilmu yang dibagi ke dalam tiga jenis golongan, sebagai berikut
:
Pertama
: Orang yang mencari ilmunya untuk dijadikan bekal perjalanan kehidupannya guna
di hari kemudian. Oleh karena itu tujuan
yang ingin dicarinya ialah hanya mengaharapkan keridhaan Allah dan kebanggaan
di Hari Kemudian yang kekal. Golongan yang seperti inilah yang akan memperoleh
keselamatan dan kejayaan.
Kedua : Orang - orang yang mencari ilmu untuk
menolong kebutuhan
18) Al-Ghazali, Bidayatul
Hidayah, Rus’an, (Jakarta, 1964) h.91
kehidupannya di dalam dunia
yang fana ini saraya mencapai kekuasaan, kemuliaan, pengaruh, kemegahan dan
harta benda. Pada pokoknya waktu itu juga ia menginsyafi akan kesahalannya dan
di dalam hatinya sendiri ia merasa keadaannya sama sekali tidak berharga dan
tujuannya itu sangat hina. Orang yang seperti
ini, sangat berbahaya dan
mengkhawatirkan karena apabila ajal yang telah ditetapkan kepadanya dengan
tiba-tiba padahal ia belum sempat bertaubah, maka hidupnya akan berakhir dengan
kejelekan dan tergantung kepada Allahlah tentang nasibnya kelak, tetapi manakala
ia sempat bertaubat sebelum ajal baginya mendatang. Kemudian ia menyesuaikan
segalamacam urusan-urusan yang telah diabaikan maka ia akan kembali termasuk ke
dalamgolongan orang-orang yang beroleh keselamatan dan kejayaan di sisi Tuhan.
Ketiga :
Orang yang telah dipengaruhi oleh
syetan. Ilmu yang telah diperolehnya itu, semata-mata digunakan untuk
memperbesar kekayaannya, untuk meluaskan pengaruhnya, membanggakan
kemegahannya, dan untuk menyombongkan dirinya bahwa ia banyak pengikutnya. 13)
Kemudian
Al-Ghazali dalam bab Ta’at, beliau memaparkan bahwa waktu-waktu senggang tidak
hanya digunakan untuk mengerjakan sembahyang sunnat saja, tetapi dapat di isi
dengan empat hal, salah satunya adalah :
Yang Pertama : Menuntut Ilmu
Yang terbaik sisa waktu itu
dipergunakan untuk menambah ilmu yang berguna dan bermanfaat. Adapun ilmu yang berguna yang dimaksud di sini ialah
: “ Ilmu Hakekat. “ Yaitu ilmu yang dapat membawa engkau kea rah taqwa kepada
Allah, dan membuka kesadaranmu akan segala dosa dan kesalahanmu yang telah
diperbuat kepada-Nya, dan ilmu yang telah menambah pengetahuanmu tentang
Tuhanmu. Ilmu yang demikian ini akan mengurangi hasratmu yang berlebih-lebihan
terhadap dunia, tetapi akan menambah hasratmu terhadap kehidupan di hari
Kemudian. 19)
F.
Pandangan
Al-Ghazali Terhadap Hukuman
Menurut Al-Ghazali, seorang guru harus mengetahui
psikologi peserta didik, sehingga ia memililki informasi yang sangat detail
yang di antara informasi tentang penyakit yang mungkin saja di derita oleh
peserta didik.
19) Lihat Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah, Rus’an,
h.122
Dengan ini seorang guru akan tepat saat memberikan
teguran kepada muridnya. Ia mengibaratkan guru adalah dokter, apabila dokter
dalam mengobati semua jenis penyakit hanya dengan satu obat maka manusia akan
mengalami kegagalan dalam proses penyembuhannya. Ia sampai mengkategorikan
bahwa pasien bukan hanyasekedar mati, tapi lebih berbahaya dari itu adalah
mengalami kebekuan hati. Karena itu setiap anak harus diberikan perhatian yang
sesuai dengan mengetahui latar belakang penyebab terjadinya kesalahan dan juga
jangan sampai melupakan untuk melihat usia anak yang melakukan kesalahan dan
tingkat kesalahannya. Ini mengadung arti bahwa dalam memberikan hukuman itu
tidak boleh sembarangan, karena harus
ada pertimbangan umur, tingkat kesalahan, serta penyebab terjadinya kesalahan.
Dengan pertimbangan ini guru akan lebih bijak menganalisa dan memberikan jenis
hukuman secara tepat kepada peserta didik.
Menurut Al-Ghazali, jika memberikan hukuman fisik,
seorang guru harus memikirkan caranya bahwa anak tidak tersiksa dengan hukuman
itu, seperti dengan menimbulkan suara keributan, jeritan, dan berteriak minta tolong. sebaliknya anak
menyadari mengapa ia harus menerima hukuman dan dengan hukuman itu ia
termotivasi untuk tidak melakukannya lagi. Pada pola ini, Al-Ghazali ingin
melatih ketahanan mental anak, karena itu ia mengatakan bahwa tahan menderita
iktu adalah sifat orang jantan dan lelaki, sedang berteriak-teriak itu adalah
sifat wanita dan hamba sahaya.
Athiyah
Al-Abrawi (1984), menyatakan :
Al-Ghazali tidak
setuju dengan cepat-cepat menghukum seorang anak yang salah, bahkan beliau
menyerukan supaya kepadanya diberian kesempatan untuk memperbaiki sendiri
kesalahannya, sehingga ia menghormati dirinya dan merasakan akibat
perbuatannya… semnetara itu dipuji dan disanjung pula bila ia melakukan
perbuatan-perrbuatan terpuji yang harus mendapat ganjaran, puian dan rorongan.
Janganlah anak-anak itu dicela, dibenatak,
dan dihardik oleh karena suatu encouragement atau dorongan akan
memasukkan rasa suka ke dalam jiwa si anak, dengan mana ia akan lebih berbuat
baik dan lebih bersikap maju, sedang sebaliknya celaan aakan membangkitkan
suasana rusuh, takut dan kurang percaya pada diri sendiri. 20)
20) Lihat Athiyah Al Abrasyi, Attarbiyatul Islamiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Bustami
A.Gani, h. 156
KESIMPULAN
Adapun
pemikiran Al-Ghazali dalam bidang pendidikan , adalah :
1.
Al-Ghazali
memaparkan secara jelas tentang keutamaan ilmu, keutamaan belajar dan mengajar,
serta keistimewaan akal dalam pengetahuan. Dan keutamaan ini memberikan arahan
tujuan pendidikan yang begitu mulia yaitu suatu usaha untuk mencapai kesempurnaan insani yang didasari pada pendekatan diri kepada Allah agar mendapat
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
2.
Al-Ghazali
memberikan pemahaman tentang ilmu yang boleh dipelajari dan ilmu yang tercela,
bahkan ia menyatakan perbedaan ilmu yang wa jib ‘ain harus dipelajari seorang
muslim yang berkenaan dengan penjelasan tentang cara mengamalkan amalan yang
wajib. Sedangkan fardhu kifayah bagi ilmu-ilmu
ini jika tidak seorangpun dari suatu penduduk yang mengusainya maka
berdosa seluruhnya, jadi ilmu fardhu kifayah ini adalah ilmu yang tak dapat
ditinggalkan dalam kehidupan masyarakat, seperti ilmu yang mempelajari tentang
kesehatan mahkluk hidup.
3.
Khusus dalam
menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberikan perhatian khusus terhadap
ilmu-ilmu agam dan etika, karena nilai
ini harus tetap ada. Pemikiran ini dipengaruhi pribadinya yang zuhud karena
tawasuf , disamping itu, ilmu lain yang harus dipelajari adalah ilmu budaya dan
pengajaran berbagai keahlian mendasar dalam
kehidupan manusia.
4.
Kaitannya dengan
guru dan murid, Al-Ghazali memberikan tugas pokok yang harus dimiliki keduanya,
dan harmonisasi yang dijalin antara keduanya.
5.
Khusus masalah
metode pengajaran, Al-Ghazali menitikberatkan metode yang paling baik adalah
metode keteladanan, terkhusus dalam memberikan penanaman budi pekerti bagi
peserta didik.
6.
Pada bab
hukuman, Al-Ghazali memberikan batasan. Bahwa hukuman itu pada dasarnya tidak
dianjurkan. Akan tetapi, jika itu harus terjadi maka harus memiliki banyak
pertimbangan dalam menjatuhkan hukuman yang sesuai.
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin
Ibn Rusn, (1998), Pemikiran Al-Ghazali
Tentang Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Abuddin Nata, Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam, (2001), Jakarta, PT.RajaGrafindoPersada.
Ainun
Mardia Harahap, (2010), Konsep Pendidikan
Menurut elevansinya Al-Ghazali dan Relevansinya Dengan Kurikulum Berbasis
Kompetensi, Tesis, IAIN SU, Medan.
Al-Ghazali, (1964), Al-Munqidz Minadh Dhalal dan Bidayatul Hidayah, Rus’an, Jakarta.
Al-Ghazali,
Mukhtashar Ihya ‘Ulumuddin, Mutiara Ihya
‘Ulumuddin, Irwan Kurniawan, (2008), Bandung, Mizan.
Al-Ghazali,
Ihya ‘Ulumuddin, Ilmu dan Manfaatnya, Achmad Sunarto, (2010). Surabaya, Karya Agung.
A. Mustofa, Filsafat Islam, (1997), Bandung, Pustakan Setia.
Arif Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam, (2010), Bandung, Mizan.
Athiyah
Al Abrasyi, Attarbiyatul Islamiyah,
Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Bustami A.Gani, et,al, cetakan ke – 4
(1984), Jakarta, Bulan Bintang.
Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari Ibrah, (2006), Bandug,Cita Pustaka Media.
Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam, (2009), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
Sulaiman Dunya, Al-Haqiqatu fi
Nazhari Al-Ghazali, Pandangan Hidup Imam Al-Ghazali, Ibnu Ali, (2002), Surabaya,
Pustaka Hikmah Perdana.
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (2008), Jakarta, Kencana.
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah
Kompilasi Filsafat Islam, (1993), Semarang, CV.Toha Putra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar