MANUSIA DAN NILAI
Zuraidah (10 PEDI 1818)
Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN-Sumatera Utara 2010/2011
A. Pendahuluan
Melalui proses pendidikan,
manusia diharapkan dapat memperoleh ‘kemanusiaannya’, sehingga dapat menyadari
realitas sosial yang terjadi disekitarnya dan menyadari perannya untuk
berperilaku sebagaimana mestinya atas realitas sosial tersebut, Manusia
saling membutuhkan sesamanya baik
jasmaniah (segi-segi ekonomis) maupun rohaniah (sosial dan cinta), dalam proses interaksi inilah diperlukan nilai-nilai, yang merupakan
faktor inherent antar hubungan sosial
itu.
Dan peranan pendidikan nilai menjadi sangat vital dalam
pembentukan pribadi manusia, sebab manusia yang memiliki kecerdasan intelektual
setinggi apapun tidak akan bermanfaat secara positif bila tidak memiliki
kecerdasan afektif secara emosional, sosial, maupun spiritual, karenanya
nilai-nilai yang menjadi milik bersama dalam suatu masyarakat merupakan perekat
bagi masyarakat itu sendiri.
Nilai memiliki kedudukan yang teramat penting karena memiliki muatan
untuk membimbing dan membina manusia
supaya menjadi lebih luhur, lebih matang sesuai dengan martabat human-dignity,
dan human dignity ini ialah tujuan itu sendiri, tujuan dan cita manusia,
karenanya Objek materil pendidikan nilai
adalah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap dengan aspek-aspek kepribadiannya.
Sedikitnya ada empat tahap perkembangan yang dilalui seseorang. Pertama, tahap anatomi yaitu tahap nilai baru merupakan potensi yang siap dikembangkan. Kedua, tahap heteronomi yaitu tahap nilai berpotensial dikembangkan melalui aturan dan pendisiplinan. Ketiga, tahap sosionomi yaitu tahap nilai berkembang di tengah teman-teman sebaya dan masyarakatnya. Keempat, tahap otonomi yaitu tahap nilai mengisi dan mengendalikan kata hati dan kemauan bebasnya tanpa tekanan dari sekeliling lingkungannya. Berkaitan dengan tahapan perkembangan itu, maka pendidikan nilai hendaklah diberikan secara dini, sekarang, dan selalu setiap waktu.
Sedikitnya ada empat tahap perkembangan yang dilalui seseorang. Pertama, tahap anatomi yaitu tahap nilai baru merupakan potensi yang siap dikembangkan. Kedua, tahap heteronomi yaitu tahap nilai berpotensial dikembangkan melalui aturan dan pendisiplinan. Ketiga, tahap sosionomi yaitu tahap nilai berkembang di tengah teman-teman sebaya dan masyarakatnya. Keempat, tahap otonomi yaitu tahap nilai mengisi dan mengendalikan kata hati dan kemauan bebasnya tanpa tekanan dari sekeliling lingkungannya. Berkaitan dengan tahapan perkembangan itu, maka pendidikan nilai hendaklah diberikan secara dini, sekarang, dan selalu setiap waktu.
Untuk lebih meningkatkan pemahaman kita tentang manusia
dan nilai, dalam makalah sederhana ini mencoba memaparkan pembahasan
yang berkenaan dengan manusia dan nilai, sehingga pada akhirnya kita akan
memiliki pemahaman yang sama tentang pentingnya pendidikan nilai dalam
membentuk kepribadian manusia seutuhnya.
I.
Dimensi kedirian manusia: perspektif agama,
pendidikan, dan psikologi.
A.
Manusia dari perspektif agama
- Pengertian Manusia
Al Rasyidin dalam buku “ Falsafah Pendidikan Islam “, menuliskan :
Dalam
Al-Qur’an, terdapat beberapa terma atau istilah yang merujuk pada kata manusia,
antara lain : (1) al-Nas ( )
dan berbagai bentuk derivasinya seperti al-Insan, Al-Ins, al-Unas, Al-Nasiyya,
dan al-Insyiya, (2) al-Basyar (
), dan (3) Bani Adam (
) [1]
Kata Al-Nas di dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 240 kali. Namun menurut
‘Aisyah Abdurrahman, kata Al-Nas, Al-Ins, dan Al-Insan tidak pernah digunakan
untuk arti manusia secara fisik, dan
Al-Nas diartikan sebagai nama jenis untuk keturunan Adam. Hal ini didasari oleh
firman Allah SWT, pada surah Al-Hujurat (49) : 13. yaitu :
“ Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku – suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa
di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. “[2]
Kemudian al-Ins memiliki persamaan arti dengan Al-Insan,
karena berasal dari akar kata yang sama,
yang berarti lawan dari kebuasan, Kata al-Insan di dalam Al-Qur’an
diulang sebanyak 65 kali, dan ‘Aisyah menemukan makna yang khas dari apa
yang disebutkan sebagai al-Insaniyyah.
Contohnya dalam surat
al-‘Alaq, kata al-Insaniyyah di ulang sampai tiga kali, ketiga hal ini merupakan
gambaran umum mengenai manusia, yaitu :
a.
Menunjukkan bahwa manusia tercipta dari segumpal
darah.
b.
Bahwa manusia yang dikaruniakan ilmu.
c.
Memperingatkan manusia memiliki sifat sombong yang akan
menyebabkan manusia lupa kepada Tuhannya.
Manusia disebutkan dengan al-Basyar (kulit yang tampak) disebabkan
manusia memiliki kulit yang tampak jelas dilihat dan bukan seperti hewan yang
kulitnya tertutup oleh bulu. Dengan pengertian bahwa al-Basyar adalah
gambaran arti fisik biologis manusia yang secara nyata dapat dilihat. Hal ini
senada dengan penelitian ‘Aisyah yang
menyatakan bahwa al-Basyar dalam keseluruhan Al-Qur’an mengindikasikan
bahwa al-Basyariyah itu berarti dimensi material manusia, yang suka
makan dan berjalan di pasar. “5)
Sedangkan bani Adam, secara etimologi adalah generasi keturunan
adam, atau secara umum dapat diartikan generasi yang dibangun, diturunkan, dan
kembangbiakkan dari Adam, dan hal ini menunjukkan bahwa manusia di dunia adalah
manusia yang seluruhnya merupakan keturunan Adam, yang berarti memiliki
persamaan hak secara, harkat, dan martabat kemanusiaan.
- Penciptaan manusia
Dalam Al-Qur’an banyak sekali kita temukan ayat-ayat yang berkaitan
dengan penciptaan manusia, di antaranya :
A.
Q.S. Al- Mukminuun (23) : 12 – 14, yaitu :
“
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan
saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian
air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, dan
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka maha suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik. [3]
B.
Q.S. As-Sajdah (32) : 9, yaitu :
“
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)
nya roh (ciptaan) – Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati ;
(tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. [4]
Dari kedua ayat di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa manusia
bukanlah makhluk yang diciptakan asal
jadi, tapi manusia tercipta dengan proses yang sistematis, yang di mulai
dari saripati tanah sampai ditiupnya roh ke dalam diri manusia, kemudian kedua
surah di atas menjelaskan dua hal yaitu : manusia adalah makhluk materi dan non
materi, maksudnya adalah manusia sebagai makhluk materi atau disebut dengan
jism dapat dibuktikan dengan isi Al-Qur’an surah Al-An’am :2, Al-Hijr : 26,28,
Al-Mukminuum : 12, dan lain-lain, dan pada bagian ini jism merupakan ciptaan
yang tidak kekal, ia dapat berubah, rusak, bahkan hancur dan musnah. Sedangkan
non materi adalah ruh, dan berbeda dengan jism, ruh bersifat khald
(kekal) dan akan kembali menghadap Allah SWT. Dengan ruh, manusia dapat hidup
dan menjalani kehidupannya.
Menurut
Nasution, baik dimensi material maupun non material manusia (al-jism wa
al-ruh), keduanya memiliki energi atau daya (al’quwwah). Dimensi material
manusia memiliki dua energi atau daya, yaitu : (1) daya-daya fisik atau
jasmani, seperti mendengar, melihat, merasa, merada, mencium, dan (2) daya
gerak, yaitu : (a) kemampuan untuk menggerakkan tangan, kepala, kaki, mata, dan
sebagainya. Dan (b) kemampuan untuk berpindah tempat, seperti pindah tempat
duduk, keluar rumah dan sebagainya. Sementara itu dimensi non material manusia
jua memiliki dua daya, yaitu : (1) daya berpikir yang disebut ‘aql, yang
berpusat di kepala dan (2) daya rasa yang disebutkan qalb yang berpusat di
dada. [5]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia secara non materi (jism),
adalah hal yang tampak terlihat dengan jelas melalui melalui daya fisik dan
daya gerak, sedangkan ruh adalah aql dan qalbu. Dan jika dipandang dari sudut
peranannya, maka ruh memegang peranan utama disbanding dengan jism. Atlas
mengatakan “ … Ketika ruh bergelut dengan sesuatu yang berkaitan dengan intelektual dan
pemahaman, ia disebut “intelek” atau “aql” amal perbuatannya; ketika
mengatur tubuh ia disebuut dengan ‘jiwa’ (nafs); ketika mengalami
pencerahan intuisi, ia disebut dengan ‘hati’ (qalb); dan ketika kembali
kedunianya yang abstrak ia disebut ‘ruh’. [6]
Senada dengan hal ini, Al-Rasyidin mengatakan ;
“… Maka
al-ruh memiliki peran yang sangat menentukan dalam mengarahkan manusia untuk
memilih dan menampilkan suatu perilaku atau tindakan. Sebab al-ruh memiliki
fakultas : (1) al-‘aql, yaitu entitas ruhani yang memiliki energi atau daya
untuk melakukan penalaran dan pemahaman, (2) al-nafs, yaitu entitas ruhani yang
memiliki energi atau daya untuk mengatur atau mengendalikan diri. Ketika
an-nafs ini cenderung pada hal-hal yang bersifat material, ia disebut dengan al-nafs
al-hayawaniah dan ketika cenderung kepada al-ruh disebut al-nafs
muthmainnah ( ),
dan (3) al-qalb, entitas ruhani yang memiliki energi atau daya untuk melakukan
pensucian dan meraih pencerahan diri. . [7]
MANUSIA
Dimensi Materi/ al-jism Dimensi Non Materi/ al – Ruh
Daya
Fisik Daya Gerak al-‘aql al-qalb al-nafs
Gambar
: Skema dimensi kedirian manusia[8])
- Sisi positif dan negatif yang dimiliki manusia
Murtadha Muthahhari dalam buku “ Manusia dan Agama “, menuliskan :
a.
Segi-segi positif manusia
1.
Manusia adalah khalifah Tuhan di bumi. ( 2:30, 6:165 )
2.
Dibandingkan dengan makhluk yang lain,manusia mempunyai
kapasitas intelegensi yang paling
tinggi. (2:31-33).
3.
Manusia mempunyai kecendrungan dekat dengan Tuhan.
Dengan kata lain, manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh di dasar
sanubari mereka. Jadi segala keraguan dan keingkaran kepada Tuhan muncul ketika
manusia menyimpang dari fitrah mereka sendiri. ( 7:172, 30:43 )
4.
Manusia, dalam fitrahnya, memiliki sekumpulan unsur surgawi
yang luhur, yang berbeda dengan unsur-unsur badani yang ada pada binatang,
tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa. Unsur-unsur itu merupakan suatu senyawa
antara alam nyata dan metafisis, antara rasa dan non rasa (materi), antara jiwa
dan raga. ( 3: 7-9 )
5.
Penciptaan manusia benar-benar telah diperhitungkan
secara teliti ; bukan suatu kebetulan. Karena itu, manusia merupakan makhluk
pilihan. ( 2:122 )
6.
Manusia bersifat bebas dan merdeka. Mereka diberi
kepercayaan penuh oleh Tuhan, diberkahi dengan risalah yang diturunkan melalui
para Nabi, dan karunia rasa tanggung jawab. Mereka diperintahkan untuk mencari
nafkah dimuka bumi dengan inisiatif dan jerih payah atau kesengsaraan bagi
dirinya. ( 33: 72, 76:2-3 ).
7.
Manusia dikaruniai pembawaan yang mulia dan martabat.
Tuhan, pada kenyataannya, telah menganugerahi manusia dengan keunggulan atas
makhluk-makhluk lain. Manusia akan menghargai dirinya sendiri hanya jika mereka
mampu merasakan kemuliaan dan martabat tersebut, serta mau melepaskan diri
mereka dari kepicikan segala jenis kerendahan budi, penghambaan, dan hawa
nafsu. ( 17:70 )
8.
Manusia memiliki kesadaran moral. Mereka dapat
membedakan yang baik dari yang jahat melalui inspirasi fitri yang ada pada
mereka.
9.
Jiwa manusia
tidak akan pernah damai, kecuali dengan mengingat Allah. Keinginan
mereka tidak terbatas, mereka
tidak pernah puas dengan apa yang mereka peroleh. Dilain pihak, mereka
lebih berhasrat untuk ditinggikan ke arah perhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Abadi.
10.
Segala bentuk karunia duniawi diciptakan untuk
kepentingan manusia. Jadi, manusia berhak memanfaatkan itu semua dengan cara
yang sah. (2:29, 45:13),
11.
Tuhan menciptakan manusia agarmereka menyembah-Nya dan
tundukpatuh kepada-Nya menjadi tanggung jawab utama mereka. (51:56)
12.
Manusia tidak dapat memahami dirinya, kecuali dalam
sujudnya kepada Tuhan dan dengan mengingat-Nya. Jika mereka melupakan Tuhan,
merekapun akan melupakan dirinya. Dalam keadaan demikian, mereka tidak akan
tahu siapa diri mereka, untuk apa mereka ada, dan apa yang harus mereka
perbuat. (59:19
13.
Setiap realitas
yang tersembunyi akan dihadapkan kepada manusia semesta setelah mereka
meninggal dan selubung ruh mereka disingkapkan. (50:22)
Manusia tidaklah semata-mata tersentuh oleh motivasi-motivasi duniawi
saja. Dengan kata lain, kebutuhan bendawi bukanlah satu-satunya stimulus
baginya; lebih dari itu, mereka selalu berupaya untuk meraih cita-cita dan
aspirasi-aspirasi luhur dalam hidup
mereka. Dalam banyak hal, manusia tidak satupun mengejar tujuan kecuali
mengharap keridhaan Allah. (89:72-28, 9:72)
[9]
b.
Segi-segi
negatif manusia
a.
Manusia memiliki
sifat zholim dan amat bodoh (33:72)
b.
Manusia suka mengingkari nikmat (22:66)
c.
Manusia suka melampuai batas (96:6-7)
d.
Manusia bersifat tergesa-gesa (17:11)
e.
Manusia suka lupa kepada Allah SWT, dan kembali ke
jalan kesesatan. (10:12).
f.
Manusia sangat kikir (17:100)
g.
Manusia makhluk yang paling banyak membantah (18:54)
h.
Manusia bersifat keluh kesah (70:19-21)
Paparan tentang segi positif dan negative yang dimiliki
manusia, memberi penjelasan bahwa
dalam diri manusia tertanam sifat mengakui Tuhan, memiliki kebebasan, rasa
percaya dan tanggung jawab terhadap diri dan lingkungannya, serta kecenderungan
manusia terhadap perbuatan baik dan buruk.
Kelebihan yang dimiliki seorang
manusia hingga ia sukses dalam menjalani kehidupan dunianya, tidak akan mampu
mengatasi kegelisahan hatinya, jika ia tidak
menjalin kedekatan kepada Tuhannya. Hal ini menunjukkan secara naluri,
manusia tidak bisa jauh dari Tuhan, dan untuk membangun motivasi hidup dijalan
yang lurus , dengan keluhuran budi pekerti, meraih kesuksesan hidup dunia dan akhirat. hanya dapat tercapai dari faktor kedekatan
manusia dengan Tuhannya.
c.
Keistimewaan Manusia
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT, yang bukan saja memiliki
keistimewaan bentuk bahkan sangat istimewa jika dibandingkan dengan makhluk
lain.
Adapun keistimewaan manusia, dapat digolongkan menjadi empat :
b.
Potensi naluriah atau hidayah al-ghariziyah
yaitu dorongan primer yang berfungsi memelihara keutuhan dan kelanjutan hidup
manusia. Dorongan ini diperoleh tidak
melalui proses belajar, karena bersifat naluri ataupun instink. Contoh naluri
untuk memelihara diri yakni makan, minum, beradaptasi dengan lingkungan.
c.
Potensi indrawi atau hidayah al-hissiyah yaitu
potensi yang erat kaitannya dengan kemungkinan bagi manusia untuk mengenal
sesuatu di luar dari dirinya. Potensi ini lebih dominant menggunakan alat
indera manusia, yaitu mata dengan
melihat, tangan dengan meraba, telinga dengan mendengar, dst.
d.
Potensi menalar atau hidayah al-‘aqliyah yaitu
potensi yang memungkinkan manusia untuk mampu memahami simbol-simbol, hal yang
ghaib, memberikan analisa dan perbandingan, hingga dapat mengambil keputusan
secara tepat dengan pertimbangan benar atau salah, yang pada akhirnya keputusan
itu akan mempengaruhi tindakan yang akan diambil manusia.
e.
Potensi beragama atau hidayah al-diniyyah yaitu
potensi yang mendorong manusia untuk mengabdi pada satu Zat yang diyakini
memiliki kekuatan yang sangat besar. Potensi ini merupakan potensi khusus yang
diberikan Allah kepada manusia
d.
Jati diri manusia
Din Zainuddin dalam
buku “ Pendidikan Budi Pekerti “, menyatakan bqahwa “ Jati diri
adalah sifat – sifat dasar manusia asli pemberian Tuhan. “[10]Adapun
maksudnya sifat – sifat dasar ini merupakan sifat terpuji yang sudah dimiliki
manusia, ia akan tetap tumbuh walau di lahan tandus, dengan pengertian walau
lingkungan yang didiami seseorang adalah lingkungan yang rusak, jika ia mampu
menjaga dan merawatnya, maka sifat dasar
ini tidak akan hilang. Sifat dasar manusia melekat dengan hati nuraninya, dan
hati nurani tidak akan pernah berdusta. Allah berfirman dalam surah An-Najm
ayat 11 :
“ Hatinya tidak mendustakan apa yang telah
dilihatnya. “ [11]
Namun, jika manusia tidak menjaga hati nuraninya, maka kecendrungan akan
kehilangan rasa kemanusiaan dan kepekaan terhadap hidup akan terbuka lebar,
yang pada akhirnya dapat mematikan hati. Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah
ayat 7 :
“ Allah
telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka
ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” [12]
Menurut Din Zainuddin, sifat dasar jati diri manusia adalah :
Jujur, adil, benci keburukan, berani dalam kebenaran, sabar, keteguhan
hati/komitmen, rasa bangga, toleransi/tenggang rasa, tanggung jawab, takut pada
Tuhan, rasa malu, mawas diri, kepedulian
social dan kepatuhan.
1.6
Tujuan,
Fungsi, dan Tugas Penciptaan Manusia.
a.
Tujuan Penciptaan Manusia
Tujuan penciptaan manusia tertuang pada QS.
Adz-Dzariyat :56
“ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya
mereka menyembah-Ku. “[13]
b.
Fungsi Penciptaan Manusia
Manusia berfungsi sebagai makhluk ibadah yang diperintahkan untuk
mengabdi secara total, dan menghambakan diri secara kontiniu dengan dasar
keikhlasan hanya kepada Allah SWT.
c.
Tugas Manusia
Manusia bertugas sebagai khalifah di muka bumi. Menurut Al-Maraghi, kata
khalifah memiliki dua makna, yaitu :
1.
Pengganti, yaitu pengganti Allah SWT dalam melaksanakan
titah-Nya di muka bumi.
2.
Pemimpin, yaitu orang yang diserahi tugas untuk
memimpin diri dan makhluk lainnya serta memakmurkan dan mendayagunakan alam
semesta untuk kepentingan umat manusia.
Maka manusia jika dipandang dari prespektif agama adalah makhluk pilihan
yang diciptakan Allah SWT dengan sebuah proses yang menggambarkan pelajaran
tentang awal suatu kehidupan dengan ketetapan tujuan hanya untuk menyembah
Allah SWT semata, dan seluruh kelebihan dan kelemahan manusia merupakan
gambaran keseimbangan hidup, bahwa tiada yang sempurna selain Allah SWT.
f.
Manusia
dari perspektif pendidikan
Untuk menjelaskan tentang pribadi manusia, terdapat tiga perbedaan
pendapat, yaitu :
1.
Kelompok
empirisme yang dipelopori oleh Jhon Locke dengan teori tabularasa menyatakan
bahwa anak sejak lahir masih bersih seperti tabularasa, dan baru akan berisi
bila ia menerima sesuatu dari luar lewat alat drianya. Pendapat yang sama
dikemukakan ole J.F. Herbart dengan teori asosiasi berpendapat bahwa jiwa
manusia itu sejak lahir adalah kosong. Karena
itu yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan manusia adalah
lingkungannya.
2.
Kelompok
Nativisme yang dipelopori oleh Schupenhouer berpendapat bahwa faktor
pembawaanlah yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pribadi manusia.
Pendapat ini di dukung oleh aliran
Naturalisme yang dipimpin oleh
J.J.Rousseau yang berpendapat
bahwa
segala yang suci di tangan Tuhan rusak ditangan manusia.[14]) Jadi pribadi manusia ditentukan oleh faktor bawaan atau potensi insaniah.
3.
Teori
korvengensi yang dipelopori oleh W.Stren,
yang berpendapat bahwa kedua kekuatan itu berpadu dalam membentuk pribadi
manusia. Jadi pribadi manusia dibentuk oleh dua faktor yaitu faktor bawaan dan
faktor lingkungan. Adapun faktor bawaan adalah segala sesuatu yang dibawa sejak
lahir, baik yang bersifat rohani dan jasmani. Sedangkan faktor lingkungan
adalah segala sesuatu yang ada di luar diri manusia.
Mohammad Irfan dalam buku
Teologi Pendidikan menulis :
Berbeda
dengan pandangan di atas, Islam menawarkan konsep yang positif-optimistik
tentang manusia. Pertama, Al-Qur’an secara kategorikal mendudukkan manusia ke
dalam dua fungsi pokok, yaitu sebagai ‘abd Allah (hamba Tuhan) dan khalifat Allah fil ard ( duta Tuhan di
muka bumi ). Pandangan kategorikal ini tidak mengisyaratkan suatu pengertian
yang bercorak dualisme dikotomik. Dengan penyebutan kedua fungsi ini, AL-Qur’an
ingin menekankan muatan fungsional yang harus diemban oleh manusia dalam
melaksanakan tugas-tugas kesejarahan dalam kehidupannya di muka bumi. 15)[15]
g. Manusia
dari perspektif psikologi
Ada empat
sudut pendekatan yang dilakukan untuk mengkaji psikologi manusia secara
mendalam yang akan melahirkan pemahaman sesuai dengan sudut pandang
masing-masing.
1.
Pendekatan psikoanalisa yaitu pandangan yang
menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk homovolens. Dalam prespektif ini
manusia dipandang sebagai makhluk yang berkehendak, berkemauan, berkeinginan,
bersyahwat atau berhawa nafsu.
Perilaku manusia digerakkan oleh keinginan-keinginan yang terpendam yang
terdapat dalam tiga unsur utama :
A.
Id ( das es),
artinya bagian kepribadian yang menyimpan dorongan – dorongan biologis. Id
adalah pusat instink atau pusat hawa nafsu, nafsu hewani. Menurut Sigmund
Freud,
tokoh
pendiri psikoanalisa, ada dua instink yang dominan dalam Id, yaitu :
1)
Libido artinya dorongan untuk hidup memenuhi
kenikamatan atau kepuasan, seperti seks, pemujaan Tuhan, kasih ibu dan
sebagainya. Menurut teori ini, tingkah laku mausia seperti memakai baju,
menyisir rambut, merapikan diri adalah termasuk dorongan Libido seks.
2)
Thonatos, dorongan untuk mati, agresif, dan destruktif,
seperti mengganggu orang lain, berkelahi, berperang, anarkhis, dan sebagainya.
Dengan demikian, sebenarnya dorongan-dorongan yang ada dalam diri manusia
adalah merupakan gabungan instink kehidupan dan instink
kematian.
Namun prinsipya tetap untuk kesenangan dan kepuasan.
B.
Super ego (uber
ich) adalah kebalikan dari Id, super ego ini dapat dikatakan mewakili
hal-hal yang ideal, menyerap norma-norma sosial dan cultural masyarakat. Super
ego bukan hanya rasional tapi juga bekerja atas prinsip-prinsip nilai yang
normative. Karena itu super ego dapat disebut sebagai hati nurani dan sebagai
pengawas kepribadian manusia.
C.
Ego (das ich)
adalah instink yang berfungsi menjaga keseimbangan antata dorongan-dorongan
super ego, sehingga id tidak terlalu dominan dan super ego tidak terlalu
berkuasa. Ego menjalankan prinsip kenyataan (realuty principle). Ego secara
langsung berhubungan dengan dunia luar, karena ego itu menyesuaikan
dorongan-dorongan id atau super ego dengan kenyataan dunia luar. [16]
2.
Pendekatan koginitif yaitu pandangan yang mengatakan
bahwa manusia adalah homo sapiens, yang artinya bahwa manusia adalah makhluk
berfikir. Manusia dengan kelebihan “berfikir” yang dimikilinya, ia akan cepat
memahami dan memberikan respon balik
terhadap sesuatu. Dengan berfikir, manusia dapat menerima atau menolak
sesuatu, terpengaruh atau tidak
terpengaruh. Karena itu teori kognitif adalah teori yang menepatkan manusia
kembali kepada makhluk mulia yang memiliki potensi dan jati diri.
3.
Teori psikodinamik yaitu pandangan yang menyebutkan
bahwa manusia adalah homo mechanius, yang berarti manusia mesin. Maksudnya
adalah manusia dipandang sebagai makhluk yang potensial dalam bergerak dan
menggerakkan.Teori ini disebut dengan pendekatan behaviorisme, yaitu pendekatan
yang mengatakan bahwa manusia dipandang sebagai kertas putih yang dapat
diwarnai dan diukir. Bagi behaviorisme persoalan yang mendasar bukanlah masalah
baik atau buruk, tetapi bagaimana menciptakan lingkungan yang baik dan akhirnya
akan berpengaruh kepada orang-orang yang berada di dalamnya sehingga menjadi
baik.
4.
Pendekatan teori humamisme yaitu pandangan yang
menyebutkan manusia adalah homo ludens, yaitu pandangan terhadap manusia sebagai makhluk yang
mengerti akan makna kehidupan, menyadari untuk apa hidup, dan cara-cara dalam
menjalani kehidupan.
Menurut teori ini, manusia berorientasi terhadap konsep
diri, yaitu suatu konsep yang terbangun
dengan cara pandang orang lain terhadap dirinya yang selalu berubah dan
fleksibel, yang disesuaikan dengan pengalaman orang lain. Atau dengan kata
lain manusia memiliki kecendrungan untuk
hidup lebih bermakna. Contoh, seorang yang
merasa dirinya manusia yang paling cantik di kelas membangun sikap sombong dihadapan
teman yang berwajah biasa saja. Namun, perilaku ini akan berubah ketika ada
orang lain yang lebih cantik, lebih kaya, dan lebih baik hati terhadap semua
orang, termasuk terhadapnya, maka hal ini akan mempengaruhi perilakunya.
II.
Potensi
afektual dalam diri manusia : emotion, feeling, taste, willing,
loving,attitude, value system, belief system.
A.
Emotion
Emosi adalah perasaan kuat yang melibatkan pikiran, perubahan fisiologis,
dan ekspresi pada sebuah perilaku. [17]
Beberapa teori tentang terjadinya emosi, yaitu :
1.
Teori James-Lange Theory
Teori berpendapat bahwa sebuah peristiwa menyebabkan rangsangan
fisiologis terlebih dahulu dan kemudian seseorang menafsirkan rangsangan ini.
Setelah interpretasi dari rangsangan
terjadi seseorang mengalami emosi.
Teori ini digambarkan sebagai berikut
:
Peristiwa menimbulkan gejala fisik penafsiran emosi
2.
Teori Meriam Bard
Teori ini berpendapat bahwa seseorang mengalami rangsangan fidiologis dan
emosional pada saat yang sama, tetapi tidak melibatkan peran pikiran atau
perilaku lahiriah.
Teori ini digambarkan sebagai berikut
:
Gejala
fisik
Peristiwa
Emosi
3.
Teori Schachter-Singer
Menurut teori ini, suatu peristiwa pertama menyebabkan rangsangan
fisiologis, kemudian seseorang harus mengidentifikasi alasan untuk stimulus ini
dan kemudian ia mendapatkan pengalaman yang disebut emosi.
Teori ini digambarkan sebagai berikut
:
Peristiwa menimbulkan gejala fisik alasan emosi
4.
Teori Lazarus
Teori ini berpendapat bahwa pikiran harus dating sebelum emosi atau
rangsangan fisiologis. Dengan kata lain, seseorang harus terlebih dahulu
berfikir tentang situasi sebelum dia mengalami emosi.
Teori ini digambarkan sebagai berikut :
Gejala fisik
Peristiwa Pikiran
emosi
5.
Teori facial feedback (umpan balik wajah)
Menurut teori ini emosi adalah pengalaman perubahan pada otot wajah
seseorang. Hal ini dapat dilihat dari senyuman atau wajah cemberut yang
ditampilkan seseorang yang menggambarkan keadaan hatinya.
Teori ini digambarkan sebagai berikut
:
Peristiwa Perubahan wajah emosi
Berikut ini adalah jenis – jenis emosi yang dimiliki
manusia :
-
Bangga diri -
Takut
-
Sedih -
Bahagia
-
Senang -
Cemas
-
Marah -
Cinta
-
Benci -
Cemburu
a.
Feeling
Feeling adalah perasaan yang
sangat erat kaitannya dengan penginderaan. Hal ini dapat dilihat pada saat
seseorang mengarahkan pandangannya melalui indera yang ia miliki terhadap suatu
objek, dan saat itu juga seseorang merasakan adanya perasaan tertentu terhadap
objek, maka peristiwa ini membuktikan bahwa perasaan memiliki hubungan yang
erat dengan penginderaan.
Perasaan terbagi kepada dua :
1)
Perasaan-perasaan jasmaniah
-
Perasaan sensoris :
perasaan yang berhubungan dengan stimulus terhadap indera.
-
Perasaan vital
: perasaan yang berhubungan
dengan kondisi jasmani.
2)
Perasaan-perasaan rohaniah
-
Perasaan intelektual : perasaan yang berhubungan
denngan
kesanggupan intelektual dalam mengatasi
sesuatu masalah.
-
Perasaan etis :
perasaan yang berhubungan dengan baik dan
buruk atau norma
-
Perasaan estetis : perasaan yang berhubungan dengan
penghayatan dan apresiasi
tentang suatu
yang indah dan tidak indah.
-
Perasaan sosial
: perasaan yang cenderung untuk
mengikatkan diri dengan
orang-orang lain.
-
Perasaan harga diri :
perasaan yang berhubungan dengan
penghargaan diri seseorang. [18]
b.
Taste
Taste ( penginderaan) terjadi apabila objek -objek eksternal berinterkasi
dengan organ-organ indera.
c.
Willing
Willing atau keinginan memiliki
kaitan erat dengan perasaan, seperti perasaan senang atau tidak senang atau
perasaan lainnya. Keinginan adalah kekuatan untuk mendapatkan objek yang
menurut idenya menyenangkan dan menolak objek yang menurut idenya tidak menyenangkan. [19]
d.
Loving
Loving atau cinta, yaitu suatu perasaan yang terlalu sulit diungkapkan
melalui kata-kata, tetapi semua makhluk dapat merasakan cinta. Karena cinta
memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan terkhusus kehidupan manusia. Hal ini
disebabkan cinta adalah landasan dari suatu ikatan, dan diimplementasikan dalam
berbagai bentuk untuk melambangkan perasaan terhadap sesama makhluk.
e.
Attitude
Attitude atau sikap adalah pandangan atau kecendrungan mental. Menurut
Bruno (1987), sikap (attitude) adalah kecendrungan yang relative menetap untuk
bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barag tertentu. [20]
f.
Value System
A set of standart that guides and
determines action, attitudes toward objects and situations, ideology
presentations of self to other, evaluations, jugdements, justification,
comparison of self with other’s.
g.
Belief System
Milton Rokeach dalam bukunya The
Nature of Human Values, menuliskan :
“ Three types of beliefs have
previously been distinguished : descriptive or existential belief, those
capable of being true or false; evaluative beliefs, wherein the object of
belief is judged to be good or bad; and prescriptive or proscriptive beliefs,
wherein some means or end of action is judged to be desirable or undesireable.
A value is belief of the thirs kind – a prescriptive or proscriptive belief. “
A value is a belief upon which a man acts by preference “ )[21]
2.
Nilai –
nilai personal dan sosial
A value is personally and social
norm
Milton Rokeach dalam bukunya The
Nature of Human Values, menuliskan :
If a person’ values represent his
“conception of the desirable” the question arises : desirable for whom ? for
him self ? for others ? when a person tells us about his values, it cannot be
assumed that he necessarily intends them to apply equally to himself and to
others.
Indeed, one of the most interesting
properties that values seem to have is that they can be employed with such
extraordinary versasility in everyday life. They may be shared or not shared
and thus employed as single or double (or even triple) standards. They may be
intended to apply equally to oneself, and to others, to oneself more than to others, or to others
more than to oneself.
There are three ways in which
values differ from social norms. Fisrt, a value may refer to a mode of behavior
or end state of exixtence whereas a social norm refers only to a mode of
behavior. Second, a values transcends specific situations; in contrast, a
social norm ia a prescription or proscription to behave ia a specific way in a
specific situations. Third, a value is more personal and internal, whereas a
norm is concensual and external to
the person.[22])
3.
Konflik dan
perubahan nilai
a.
Konflik Nilai
Berdasarkan fenomena masyarakat saat ini, maka tidak akan sedikit kita
temukan hal-hal yang bertolak belakang dengan nilai yang sudah seharusnya
dimliki oleh manusia yang secara nyata memiliki hati nurani. Terlalu besar
permasalahan yang kontradiktif, bahkan secara sadar hal yang kontradiktif
tersebut sudah menjadi kebiasaan yang tidak ada rasa malu lagi saat
melakukannya. Contohnya, jika dipandang dari prespektif nilai maka jujur adalah
sifat mulia. Namun, saat ini kejujuran seperti benda asing yang tidak disukai.
Ketika ujian, ada siswa yang jujur dengan tidak melihat catatan, ditertawakan oleh rekan sekelasnya, begitu
juga saat penerimaan CPNS, kejujuran tidak memiliki arti sedangkan uang dan
koneksi, menjadi jalan utama untuk meraih kelulusan. Dan contoh-contoh lain
yang menggambarkan terjadinya konflik terhadap nilai, sehingga antara benar dan
salah, baik dan buruk, yang pada dasarnya memiliki batas yang jelas, sekarang
hanya sekedar pengertian yang tertulis di atas kertas.
b.
Perubahan
Nilai
Gambaran tentang konflik nilai memberikan penjelasan bahwa telah terjadi
pergeseran terhadap nilai. Perubahan ini disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan ekstrenal
baik terhadap individu ataupun masyarakat.
Namun, untuk mengatasi masalah di atas, Al Rasyidin dalam buku Percikan
Pemikiran Pendidikan menuliskan langkah – langkah edukatif :
i.
Menggali dan merumuskan kembali secara eksplisif
prinsip-prinsip dan ajaran Islam tentang al-akhlaq al-karimah yag bersumber
pada kandungan pokok Al-Qur’an dan Sunnah.
ii.
Kita perlu merubah kebiasaan mendidik yang terlalu
menekankan aspek ingatan dan hafalan,
iii.
Merubah kesan dan pandangan sebagian pendidik yang
beranggapan bahwa tugas dan tanggungjawab kependidikan hanyalah terbatas pada
ruang kelas dan madrasah/sekolah belaka.
iv.
Membangun dan membangun relasi yang konkrit antara
kehidupan dalam madrasah dan perguruan tinggi dengan kenyataan-kenyataan
empiric di masyarakat. [23]
4.
Peran nilai
dalam kehidupan manusia.
Pendidikan nilai adalah proses pemberi bantuan kepada peserta didik agar
mereka menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral
dalam keseluruhan kehidupanya, karenanya pengenalan terhadap nilai dan system
nilai yang dianut di masyarakat perlu di
lakukan, dengan menghayati, mengapresiasi, mengklarifikasi, mensosialisasikan dan
melakonkan nilai-nilai tersebut sepanjuang kehidupannya, sesuai dengan tujuan
pendidikan nilai itu sendiri, yaitu : “ membantu individu-individu dalam
berfikir dan merealisasikan nilai-nilai; membantu individu memahami
implikasi-implikasi praktikal eksprisi nilai dalam hubungannya dengan diri
sendiri, orang lain, masyarakat dan dunia secara keseluruhan; membantu individu
agar memiliki pemahaman, motovasi, dan tanggungjawab dalam membuat pilihan
nilai personl, sosial, moral serta memahami metode-metode praktikal untuk
mengembangkan dan mendalami nilai-nilai. [24]
KESIMPULAN
1. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang telah
dibekali dengan potensi-potensi insaniah yang harus dikebangkan dengan cara
ilmiah, sehinga tercapai tujuan penciptaan manusia itu sendiri sebagai khalifah
di bumi.
2. Melalui
proses pendidikan, manusia diharapkan dapat memperoleh ‘kemanusiaannya’,
sehingga dapat menyadari realitas sosial yang terjadi disekitarnya dan
menyadari perannya untuk berperilaku sebagaimana mestinya atas realitas sosial
tersebut, Manusia saling membutuhkan sesamanya baik jasmaniah (segi-segi ekonomis) maupun
rohaniah (sosial dan cinta).
3. Penanaman
terhadap mendidikan nilai seyogyanya dilaksanakan sejak usia dini, harapannya agar tidak timbul konflik atau
pergeseran nilai yang pada akhirnya akan menimbulkan pengaruh yang negative bagi kehidupan baik
secara pribadi maupun sosial.
4. Pentingnya
penanaman pendidikan nilai bagi manusia adalah menjadi tugas semua lapisan
pribadi mupun sosial untuk membantu manusia dalam memahami keistimewaan dirinya
sehingga akan menciptakan pribadi yang memiliki kemulian akhlaq.
[1] Al-Rasyidin,
“ Falsafah Pendidikan Islami, (Bandung,
Cita Pustaka Media Perintis, 2008), h.13
[2]
Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , (Arab Saudi, Mujamma’ Al-Malik Fahd Li
Thiba’at Al-Mush-haf, 1990) h. 527.
[3] Kementrian
Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan
Terjemahan , (Arab Saudi, Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at Al-Mush-haf,
1990) h. 527.
[4] Kementrian
Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan
Terjemahan , (Arab Saudi, Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at Al-Mush-haf,
1990) h. 661.
[5] Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami, (Bandung, Cita Pustaka
Media Perintis, 2008), h.17
[6]
Al-Rasyidin, Falsafah
Pendidikan Islami, (Bandung, Cita Pustaka Media Perintis, 2008), h.18
[7]
Ibid
[8]
Ibid
[9]
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama, , (Bandung, Mizan,
2007), h.129-133
[10] Din
Zainuddin, Pendidikan Budi Pekerti, ( Jakarta, Al-Mawardi Prima, 2004),h. 115.
[11]
Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , h. 871.
[12] Ibid, h. 9
[13]Kementrian
Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan
Terjemahan , h. 862
[14]
Al-Rasyidin (Ed) ,
Kepribadian & Pendidikan , (Bandung, Cita Pustaka Media
Perintis, 2006), h.23-24
[15] Mohammad
Irfa, et.al, Teologi Pendidikan,
(Jakarta, Friska Agung Insani, 2000), h.133
[16]
Al-Rasyidin (Ed) , Pendidikan Psikologi Islami , ,
h.255
[17]
Masganti Sit , Perkembangan Peserta Didik ,
(Bandung, Cita Pustaka Media Perintis, 2010), h.102
[18]
Wasty Soemanto , Psikologi Pendidikan , (Jakarta,
Rineka Cipta, 1998), h.15
[19]
Ibid, h. 37-38
[20] Muhibbn
Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta,
PT.Logos Wacana Ilmu, 2001) h.111
[21]
Milton Rokeach, The
Nature of Human Values, (New York, The Free Press, 1973) h.6
[22]
Milton Rokeach, The
Nature of Human Values, (New York, The Free Press, 1973) h. 10 & 18
[23]
Al-Rasyidin, Percikan
Pemikiran Pendidikan , (Bandung, Cita Pustaka Media Perintis, 2009),
h.102-104
[24]
Ibid, 91-92
Tidak ada komentar:
Posting Komentar