Kamis, 27 Oktober 2011

AL-MUHKAMAT DAN AL-MUTASYABIHAT


AL-MUHKAMAT DAN AL- MUTASYABIHAT
 Ummi Kalsum Khairani : 10 PEDI 1817
A.                Pendahuluan
Islam adalah agama yang syumul, ajarannya mencakup seluruh kehidupan manusia, yang terangkum secara utuh di dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an bukan hanya sekedar kitab suci bagi ummat islam, tapi ia juga merupakan tuntunan, pedoman, landasan hukum bagi manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia dan akhirat.
Untuk memahami Al-qur’an, bukanlah sebuah permasalahan yang mudah, karena seorang muslim harus menguasai berbagai bidang ilmu, terutama menguasai Bahasa Arab, di dalam Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang ada kalanya berbentuk lafadz dan ungkapan yang berbeda tetapi artinya memiliki persamaan dan sebagian besar Al-Qur’an mengandung pengertian yang jelas dan tidak perlu diterangkan lagi maknanya, terutama masalah hukum yaitu tentang kewajiban, halal dan haram, dan lain-lain.
Seluruh ayat-ayat Al-Qur’an pada dasarnya adalah muhkam, hal ini mengandung maksud bahwa Al-Qur’an itu itqan (kokoh, indah), yang berarti ayat-ayat yang serupa dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain.
Sebagai seorang muslim, tidak dibenarkan untuk mentakwilkan pengertian ayat-ayat yang mutasyabihat walaupun ia seorang ulama besar yang memiliki pengetahuan dan keilmuan tinggi dalam keagamaan. Dan justru orang-orang yang mendalam ilmunya dibatasi untuk mentakwilnya, hal ini dimaksudkan agar manusia dapat menundukkan akalnya dan membatasi hawa nafsunya untuk melangkah lebih jauh dalam penafsiran Al-Qur’an.
Namun, permasalahan dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat menimbulkan perbedaan pendapat sehingga melahirkan dua kelompok juga memiliki landasan dalam pemikirannya.
Untuk lebih jelasnya tentang muhkamat dan mutasyabihat, akan dibahas pada materi selanjutnya.


B.                 Pengertian Al-Muhkamat dan Al-Mutasyabihat
Menurut etimologi (bahasa), muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud makna lahinya tidak mungkin diganti atau diubah ( ma ahkam al-murad bib, an altabdil wa at-taghyir). Adapun mutasyabih adalah ungkapan yang maksud makna lahirnya samar  (ma khafiya bi nafs Al-Lafzh).  1)
Kadar M. Yusuf (2010), Kata muhkam merupakan isim maf’ul dari ahkama yang secara harfiah semakna dengan atqana atau mutqan yang berarti kuat atau dikuatkan. Selain itu muhkam secara bahasa juga berarti wadhih (jelas). Sedangkan mutasyabih adalah isim fa’il tasyabaha, yang semakna dengan mumathaalah yang berarti serupa, samar-samar atau tidak jelas. 2)
Allah Swt menjelaskan pengertian muhkam dalam beberapa firman-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an, antara lain :
1.      QS. Hud (11)  ayat 1 :


Alif laam raa. (Inilah )suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci. Yang diturunkan dari sisi (Allah)  Yang Maha Bijaksana lagi Maha  Tahu .” 3)
2.      QS. Yunus (ayat 1, yaitu :

“ Alif lam Ra’. Inilah ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung hikmah. “4)
Kedua ayat di atas mengandung pengertian bahwa Al-Qur’an itu seluruhnya muhkam, maksudnya adalah seluruh kata-katanya kokoh, fasih, dan membedakan antara yang haq dan yang bathil, serta antara yang benar dan yang dusta.
Kemudian M. Nasib Ar-Rifa’i (2007), menerangkan pengertian              “ Sebuah  kitab   yang   yang  ayat- ayatnya di tetapkan kemudian dijelaskan “
yakni,  yang ditetapkan  lafalnya,  diterangkan   maknanya,   karena  kitab ini
1)       Rosihan Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung, Pustaka Sedia.  2008), h.120-121
2)       Kadar M. Yusuf, , Studi Al-Quran, (Jakarta, Amzah, cet ke – 2, 2010), h.92-93
3)       Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , (Arab Saudi, Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at Al-Mush-haf, 1990)  h. 326
4)       Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , h. 305
sempurna baik penampilannya maupun maknanya. Demikianlah penafsiran mujahid, Qatadah, dan dipilih oleh Ibnu Jarir. 5)
Sedangkan mutasyabih yang secara bahasa berarti tasyabuh, yang berarti  bila satu dari dua hal serupa dengan yang lain, atau syubhah yaitu keadaan yang tidak dapat dibedakan antara satu dari dua hal karena adanya kesamaan di antara keduanya baik secara konkrit ataupun abstrak.
Dalam hal ini, Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah (1) : 25 ;







Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rizki buah-buahan dalam surga-surga itu mereka mengatakan : “ Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”. Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya. “ 6)

            Sayyid Qutb (2000) ,  menuliskan ;
Berbagai macam kenikmatan yang sangat menarik perhatian. Di antaranya – di samping pasangan-pasangan yang suci – buah-buahan yang nyaris serupa, sehingga terbayangkan bahwa buah-buahan itu pernah dikaruniakan kepada mereka sebelumnya – mungkin buah-buahnya yang sama nama atau bentuknya, atau buah-buahan sorga yang telah dikaruniakan kepada mereka sebelumnya. Mungkin di dalam kemiripan bentuk zhahir tetapi berbeda isi itu terdapat kejutan (surprise) istimewa di setiap saat. Ia menggambarkan suasana riang gembira, kepuasan yang serupa, dan kesenangan yang fantastis, dengan suguhan kejutan demi kejutan, karena setiap kemiripan bentuk itu terungkap sesuatu yang baru ! 7)

Dalam surah Az-zumar (39) : 23, Allah  SWT berfirman :




 

5)       M.Nasir Ar-Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid II, (Jakarta, Gemas Insani, 2007) h. 764
6)       Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan ,  h. 12
7)       Sayyid Qutb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an Jilid 1,(Jakarta, Robbani Press, 2000), h. 89.




Allah  telah  menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran  yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang – ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya,kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun yang memberi petunjuk baginya. 8)

M. Nasib Ar-Rifa’I (2007), dalam Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir :
Ini pujian dari Allah SWT terhadap kisah-Nya yang agung, Allah berfirman, “ Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik. Al-Qur’an yang mutasyabih dan matsani. ‘, sebagian ulama, di antar mereka adalah Sufyan bin Uyainah, berkata, “ Sesungguhnya beberapa redaksi bahasa Al-Qur’an itu terkadang memiliki satu makna, maka redaksi semacam ini termasuk mutasyabih. Terkadang ia hanya menyebutkan satu perkara dan lawannya,seperti menyebutkan orang-orang beriman, kemudian orang-orang kafir. Dan seperti menerangkan tentang surga kemudian menerangkan tentang neraka. Redaksi seperti ini disebut matsani, sebagaimana firman-Nya, “ Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh dengan kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.”  9)

Maka kedua ayat di atas memperkuat pengertian mutasyabih yaitu serupa, atau memiliki makna yang sama, atau adanya kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagiannya membenarkan sebagian yang alin serta sesuai pula maknanya.
Selanjutnya pengertian Al-Muhkamat dan Al-Mutasyabihat secara istilah, dapat dilihat dari penjelasan berikut :
Hasbi Ash-Shiddieqy  (2002), Terhadap muhkam dan mutasyabih ada beberapa pendapat ulama :
a.             Muhkam ialah yang disepakati oleh segala syari’at langit, sedangkan mutasyabih ialah sesuatu yang berlawanan dengan hukum-hukum syari’at- syari’at yang telah lalu.
b.            Muhkam ialah yang menasakhkan sesuatu hukum,sedangkan mutasyabih yang di-mansukh-kan
c.             Muhkan, ialah  yang  dalilnya terang, sedangkan mutasyabih yang hanya diketahui dalilnya oleh orang-orang yang dalam ilmunya.
8)     Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , h. 749
9)     Lihat M.Nasir Ar-Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid IV,  h. 704
d.            Muhkam, ialah yang mungkin dicari dalilnya baik terang ataupun tidak, sedangkan yang mutasyabih yang tidak mungkin dicari dalilnya.
e.             Muhkam, ialah yang menerangkan halal dan haram, sedangkan yang mutasyabih adalah yang selainnya.
f.             Muhkam, ialah yang hanya menerima suatu penafsiran saja, sedangkan mutasyabih yang menerima beberapa takwil.
g.            Muhkam, ialah kisah – kisah yang dijelaskan, sedangkan mutasyabih adalah kisah-kisah yang tidak dijelaskan. 10)

Rosihan Anwar (2008), Adapun menurut pengertian termiologi (istilah), muhkam dan mutasyabihat diungkapkan para ulama sebagai berikut :
a.             Ayat – ayat muhkam adalah yang maksudnya dapat diketahui dengan gamblang, baik melalui takwil (metafora) atau tidak. Sementara itu ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya dapt diketahui Allah, seperti saat kedatangan hari kiaat, kelaurnya Dajjal, dan huruf-huruf muqaththa’ah. Defenisi ini dikemukakan kelompok ahlusunnnah.
b.            Ayat – ayat muhkam adalah ayat yang maknanya jelas, sedangkan ayat-ayat mutasyabihat sebaliknya.
c.             Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang tidak memunculkan kemungkinan sisi arti lain, sedangkan ayat-ayat mutasyabih mempunyai sisi arti banyak. Defenisi ini dikemukakan Ibn ‘Abbas.
d.            Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maknanya dapat dipahami akal, seperti bilangan rakaat shalat, kekhususan bulan Ramadhan untuk pelaksanaan puasa wajib, sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Mawardi.
e.             Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang dapat berdiri sendiri (dalam pemaknaannya), sedagkan ayat-ayat mutasyabih bergantung pada ayat lain.
f.             Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui tanpa penakwilan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih emerlukan penakwilan untuk mengetahui maksudnya.
g.            Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang lafazh-lafazhnya tidak berulang-ulang sedangkan ayat-ayat mutasyabihat sebaliknya.
h.            Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang berbicara terntang kefardhuan, ancaman dan janji, sedangkan ayat-ayat mutasyabih berbicara tentang kisah-kisah dan perumpamaan-perumpamaan.
i.              Ibn Abi Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib dari Ibn ‘Abbas yang mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang menghapus (nasikh), berbicara tentang halal-haram, ketentuan-ketentuan (hudud), kefardhuan, serta yang harus diimani dan diamalkan. Adapun ayat –ayat mutasyabih adalah ayat yang dihapus (mansukh) yang berbicara tentang perumpamaan-perumpamaan (amtsal), sumpah (aqsam), dan yang harus diimani tetapi tidak harus diamalkan.

10)    Hasbi Ash Shiddieqy,  Ilmu  Al-Quran & Tafsir, (Semarang, Pustaka Rizki Putra,  cet ke – 2, 2009), h.170
j.              Abdullah bin Hamid mengeluarkan sebuah riwayat dari  Adh-Dhahak bin Al-Muzahim (w.105 H.) yang mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat tidak dihapus, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang dihapus.
k.            Ibn Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari Muqatil bin Hayyan yang mengatakan bahwa  ayat-ayat mutasyabih adalah seperti alim lam mim,alif lam ra’, dan alim lam mim ra’.
l.              Ibn Abi Hatim mengatakan bahwa ‘Ikrimah (w. 105 H.). Qatadah bin Di’amah (w.117 H), dan yang lainnya mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang harus diimani dan diamalkan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang harus diimani, tetapi tidak harus diamalkan. 11)

Dengan demikian , muhkam dan mutasyabih memiliki pengertian secara mutlak dan umum, antara ayat-ayat yang terdapat di dalamnya tidak ada yang saling menafikkan ataupun mengandung pengertian yang  kontradiktif. Jika Al-Qur’an memerintahkan atau melarang sesuatu, maka ia tidak akan memerintahkan hal yang berbeda di tempat lain, tetapi akan dijumpai bahwa perintah dan larangan itu mungkin saja berulang pada tempat yang lain atau ada ayat yang serupa dengannya. Ini berarti  tidak ada pertentangan dan perselisihan dalam Al-Qur’an.
Dalam masalah defenisi muhkam dan mutasyabih yang sudah banyak dijelaskan pada halaman sebelumnya, secara khusus yang penting dari pengertian keduanya adalah :
1.             Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, yang hanya mengandung satu pengertian, dan maksud ayatnya dapat diketahui secara langsung.
Adapun contoh ayat-ayat muhkam, yakni ayat-ayat nasikh, tentang halal, haram, hudud, kewajiban, janji dan ancaman.
2.             Mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya diketahui oleh Allah Swt, mengandung banyak pengertian, dan ayat yang memerlukan penjelasan dengan merujuk pada ayat-ayat yang lain.
Contoh ayat-ayat mutasyabih 12) adalah ayat-ayat mansukh, asma’ Allah dan sifat-Nya, seperti :

11)    Lihat Rosihan Anwar, Ulum Al-Quran,  h.120-121
a. QS. Thaha : 5

    “(Yaitu)Tuhan Yang Maha Pemurah. Yangbersemayam di atas Arsy“
b. QS. Al-Qashash : 88

    “ … Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya. (Allah) …“
c. QS. Al-Fath : 10

    “ … Tangan Allah ada di atas tangan mereka…. “
d. QS. Al-An’am : 18

     “ Dan Dia-lah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. “
e. QS. Al-Fajr :22

   “ Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris“
f. QS. Al-Fath : 6

   “ … Dan Allah memurkai dan mengutuki mereka. …“
g. QS. Al-Bayyinah : 8

   “ … Allah ridha terhadap mereka… “
h. QS. Ali Imran : 31

   “ …  ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu... “
Dan masih banyak lagi ayat – ayat yang lain, termasuk di dalamnya adalah permulaan surah yang dimulai dari huruf-huruf hijaiyah, dan tentang pengetahuan Hari Kiamat.
C.                Bentuk Ayat Al-Muhkamat dan Al-Mutasyabihat
Secara umum ayat-ayat muhkam dikelompokkan ke dalam dua bagian :
1)      Ayat-ayat yang sangat jelas maksudnya, sehingga orang biasapun dapat
12)    Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , h. 476,625,838,188,1058,838,1085,80
mengetahuinya. Allah SWT berfirman dalam QS: Al-Baqarah (2) :183 ;



Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa…. “ 13)
Perintah puasa (ash-shiyam),  dalam  ayat ini sudah jelas maksudnya yaitu
tentang hukum kewajiban berpuasa.
2)        Ayat-ayat yang hanya dapat dipahami oleh para ulama berdasarkan ilmu alat yang mereka kuasai, seperti ushul fiqh, dan kaidah-kaidah ilmu balaghah.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman pada QS. Al-Baqarah (2):261






Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui14)

Yang dimaksud dengan perumpamaan orang-orang yang berinfak pada ayat ini adalah perumpamaan pahala bagi orang yang menginfakkan hartanya. Jadi ada kata yang dibuang yaitu shawab (pahala) atau ajr (balasan), hal ini disebut dengan majaz nuqshan.
Kemudian ayat-ayat mutasyabih mempunyai tiga bentuk, yaitu :
1.      Mutasyabih dari aspek lafal saja, maksudnya terdapat lafal tertentu dalam satu ayat yang tidak pasti maksudnya, hal ini disebabkan oleh :
a.       Mutasyabih karena asing (gharib) atau jarang digunakan.
Contoh : Firman Allah SWT pada QS. ‘Abasa (80) : 27-31 :
13)    Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , h. 44
14)    Ibid, h.65



Lalu kami tumbuhkan biji-bijian di muka bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan.15)
Kata          jarang digunakan, sehingga maknanya tidak jelas atau tidak
begitu popular, dalam ayat ini kata       diartikan rumput-rumputan. Ash-Shabuni memberi makna kata           adalah “ segala sesuatu yang tumbuh di bumi yang dimakan oleh binatang, seperti rumput.”
a.       Mutasyabih disebabkan suatu lafal memiliki makna yang ganda.
Contoh : Firman Allah SWT pada QS. Al-Baqarah (2) : 228 ;



Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. 16)

Kata Quru’ secara harfiah berarti suci dan haid. Karena tidak ada kejelasan tentang maksud quru’ ini, maka terdapatlah perbedaan pendapat dari kalangan ulama, ada yang mengatakan artinta suci dan ada yang mengatakan bahwa quru’ berarti haid.
b.      Mutasyabih dari segi susunan lafalnya.
Contoh : Allah SWT, berfirman dalam QS. An-Nisa’ (4) : 3 ;



Dan jika kamu takut  tidak akan dapat berlaku adil terhadap  (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat….”17)

Ayat    ini    memberi   maksud    apabila   di   antara  kamu   ada yang
memelihara  anak  yatim  dan  ingin menikahinya, tetapi merasa takut
15)    lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , h. 1025-1026
16)    Ibid,  h. 55
17)    Ibid, h. 115
dan enggan dalam hal memberi mas kawin, maka janganlah menikah dengannya. Dan nikahilah  perempuan lain yang kamu tidak enggan untuk memberi mas kawin padanya.
2.    Mutasyabih dilihat dari aspek makna saja, contohnya adalah ayat-ayat yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah, keadaan hari kiamat, surga dan neraka.
3.    Mutasyabih   dilihat   dari    aspek    lafal  dan  makna.  Hal ini mencakup
beberapa hal, yaitu :
a)        Kuantitas
Yaitu dipandang keumuman dan kekhususannya. Artinya lafal-lafal yang bersifat umum yang terdapat ayat dimasukkan dalam kategori ayat mutasyabih, karena mengandung ketidak jelasan makna, sehingga ia bisa saja diperlakukan secara umum atau ditakhsiskan oleh ayat yang lain.
b)          Kualitas
Yakni kualitas yang dikandung ayat apakah ia wajib atau sunnah. Pada dasarnya seperti kaidah ushul fiqh
yaitu perintah itu menunjukkan kepada yang wajib. Namun, tidak semua perintah bermuatan wajib. Karena amar dapat juga diartikan irsyad, sunnah, taswiyah, tahdid, dan lain-lain. Maka perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an memiliki kemungkinan beberapa makna, dengan demikian perintah  termasuk kategori mutasyabih, kecuali perintah tertentu yang telah disepakati maknanya, seperti wajibnya shalat dan berwudhu’ sebelum shalat.
c)          Masa, seperti nasakh dan mansukh.
d)         Syarat sah melakukan perintah yang dikandung oleh suatu ayat
D.                Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyabihat
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyabih hanya Allah SWT saja yang mengetahui artinya atau manusia juga dapat mengetahuinya. Perbedaan pendapat itu terjadi berasal pada cara menjelaskan struktur kalimat QS. Ali Imran (3) : 7, berikut ini :







Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat – ayat muhkamat) itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat ). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : “ Kami telah beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. 18)

            Rosihan Anwar (2008),
Apakah ungkapan wa Al-rasikhuna fi al’ilm di athafkan pada lafaz Allah, sementara lafazh yaquluna sebagai hal. Ini artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih pun diketahui orang-orang yang mendalam ilmunya. Atau apakah ungkapan wa Al-rasikhuna fi al’ilm sebagai mubtada’, sementara lafazh yaquluna sebagai khabar ? Ini artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih itu hanya diketahui Allah, sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya hanya  mengimaninya. 19)

            Dari ungkapan di atas, perbedaan pendapat para ulama terbagi dua, yaitu ;
1.        Orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui arti-arti ayat mutasyabih, Hal ini berdasarkan :
a.       Ibn Al-Mundzir mengeluarkan sebuah riwayat dari Mujahid, dari Ibn Abbas, mengenai surat Ali Imran ayat 7. Ibn Abbas mengatakan “ Aku di antara orang yang mengetahui ta’wilnya.”
Dalam syarah Muslim, Imam Nawawi berkata : “ Pendapat inilah yang paling shahih, karena tidak mungkin Allah meng-khitab-i hamba – hamba - Nya dengan  uraian  yang  tidak  ada  jalan  mengetahuinya.
16)    Lihat Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , h. 76
17)    Lihat Rosihan Anwar, Ulum Al-Quran, h.123
b.      Asy-Syirazi berkata : “ Tidak satu ayatpun yang maksudnya diketahui Allah. “ Para ulama sesungguhnya juga mengetahuinya. Jika tidak apa bedanya mereka dengan orang awam. “
2.        Orang-orang yang mendalam ilmunya hanya mengimani ( tidak mengetahui arti ayat-ayat mutasyabih )
Hal ini diperkuat oleh beberapa riwayat, yaitu :
a.       Riwayat yang dikeluarkan ‘abd Razzaq dalam tafsirnya Al-Hakim dalam Mustadrak-nya dari Ibn Abbas. Ketika membaca surah Ali Imran (3):7, Ibnu Abbas memperlihatkan bahwa huruf wawu pada ungkapan wa arrasikhuna berfungsi sebagai isti’naf (tanda kalimat baru). Riwayat ini walau tidak didukung satu raqam qira’ah, derajatnya-serendah-rendahnya- adalah khabar dengan sanad shahih yang berasal dari Turjuman Al-Qur’an (julukan Ibn Abbas). Oleh karena itu pendapatnya di dahulukan daripada pendapat selainnya.
b.      Ibn Abu Dawud, dalam Al-Mashahif, mengeluarkan sebuah riwayat dari Al-‘Amasy. Ia menyebutkan  bahwa diantara qira’ah Ibn Mas’ud disebutkan :




Sesungguhnya penakwilan ayat-ayat mutasyabih hanya milik Allah semata, sedangkan orang-orang yang mendalamilmunya berkata ,     “ Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih.”
c.       Al-Bukhari, Muslim dan lainnya mengeluarkan sebuah riwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda ketika mengomentari surat Ali Imran (3) ayat 7 , yang artinya sebagai berikut :
“ Hadits Bukhari : Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a ; Rasulullah Saw. Membaca ayat suci berikut : Dialah yang menurunkan kepadamu kitab Al-Qur’an. Di dalamnya terdapat ayat-ayat muhkamat (yang maksudnya jelas dan terang). Itulah pokok-pokook Al-quran (di antaranya ayat-ayat tentang Al-Ahkam, Al-Faraid dan Al-Hudud, dan lainnya adalah ayat-ayat mutasyabihat ( berarti banyak atau kiasan). Adapun orang yang hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat, karena ingin mencari peselisihan dan mencari-cari takwilnya. Tetapi tiada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya (al-rasikhun fi al-‘ilm) berkata, Kami beriman kepada Al-Qur’an. Seluruhnya dari Tuhan  kita. Dan tiada yang mau memetik pelajaran kecuali Ulul Albab (QS. Ali Imran (3):7) ‘ Aisyah menambahkan : “ Kemudian Rasulullah SAW, bersabda, “ jika kamu melihat mereka yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat, maka mereka itulah yang disebutkan Allah (sebagai  orang yang cenderung kepada kesesatan), maka bersikap hati-hatilah terhadap mereka. “ 18)
d.      Ath-Thabrani, dalam Al-Kabir, mengeluarkan sebuah riwayat dari Abu Malik Al-‘Asy’ari. Ia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda :








Ada tiga hal yang aku khawatirkan dari ummatku, yaitu pertama menumpuk-numpuk harta sehingga memunculkan sifat hasad dan menyebabkan terjadinya pembunuhan. Kedua mencari-cari takwil ayat mutasyabih, padahal hanya Allah lah yang mengetahuinya…”
 e.   Ibn Ali Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari ‘Aisyah bahwa yang dimaksud dengan kedalaman ilmu pada surat Ali Imran (3) ayat 7 adalah mengimani ayat-ayat mutasyabih, bukan berusaha untuk mengetahuinya.
 f.  Ad- Darimi, dalam musnadnya, mengeluarkan sebuah riwayat dari Sulaiman bin Yasar yang menyatakan bahwa seorang pria yang bernama Shabigh tiba di Madinah. Kemudian, ia bertanya-tanya tentang takwil ayat-ayat mutasyabih. Ia lalu diperintahkan untuk menemui ‘Umar. ‘Umar sedang memasang tangga ke pohon kurma ketika orang itu menemuinya. “ Siapakah engkau”, Tanya ‘Umar. “ Saya adalah ‘Abdullah bin shabigh.” Umar lalu memukul orang itu dengan beberapa kayu dari tangga sehingga kepala orang itu berdarah. Dalam riwayat lain di sebutkan bahwa ‘Umar memukul orang itu dengan cambuk sehingga meninggalkan bekas pada punggungnya. 19)

Dari kedua pendapat di atas, pendapat pertama sangat sedikit yang mendukungnya.   Berbeda    dengan   pendapat   kedua,  pendapat   ini  sebagian besar diikuti oleh sahabat, tabi’in, dan generasi sesudahnya.
Berkaitan dengan permasalahan ini, M. Quraish Shihab (1998), menuliskan ;
Dari segi materi terlihat bahwa ada ayat-ayat Al-Qur’an yang tak dapat diketahui kecuali oleh Allah atau Rasul bila beliau menerima penjelasan dari Allah. Pengecualian ini mengandung beberapa kemungkinan arti, antara lain : (a) ada ayat-ayat yang memang tidak mungkin dijangkau pengertiannya oleh seseorang, seperti ya sin, alif lam mim dan sebagainya. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah yang

18)      Az-Zabidi, Ringkasan Shahih Al-Bukhari, (Bandung,, Mizan Media Utama, 2009), h.729 
19)      Lihat Rosihan Anwar, Ulum Al-Quran, h.120-121

membagi ayat-ayat Al-Qur’an kepada muhkam (jelas) dan mutasyabih (samar), dan tidak ada yang mengetahui talwil (arti) nya kecuali Allah, sedang orang-orang  yang dalam ilmunya berkata kami beriman kepada  ayat-ayat yang mutasyabih (QS 3:7) Atau (b) ada ayat-ayat yang secar umum diketahui artinya, atau sesuai dengan bentuk luar redaksinya, tetapi tidak dapat didalami maksudnya, seperti masalah-masalah metafisika, perincian ibadah, dan sebagainya, yang tidak termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal manusia. 20)

Ar-Raghib Al-Asfahani mengambil jalan tengah dengan membagi ayat-
ayat mutasyabih  di  pandang  dari  segi kemungkinan mengetahui maknanya, yaitu ;
                       a.     Bagian yang tidak ada jalan sama sekali untuk mengetahuinya, seperti saat terjadinya hari kiamat, keluar binatang dari bum, dan lain-lain.
                       b.     Bagian yang menyebabkan manusia dapat menemukan jalan untuk mengetahuinya, seperti kata-kata asing dalam Al-Qur’an.
                       c.     Bagian yang terletak di antara keduanya, yakni yang hanya dapat diketahui orang-orang yang mendalam ilmunya.
Keterangan mengenai perbedaan pendapat dalam memahami QS. Ali Imran ayat 7, berpangkal pada masalah meletakkan waqaf (tanda berhenti) dalam ayat. Hal ini menimbulkan dua perbedaan pendapat, yaitu :
1.         Pendapat yang menyatakan kedudukan lafazh sebagai huruf isti’naf (permulaan) dan waqafnya di letakkan pada lafazh “ Wama ya’lamu ta’wilahu illa Allah, “ 
Pendapat ini didukung oleh Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas.ud, Ibnu Abbas, dan sahabat serta tabi’in lainnya. Alasannya adalah keterangan yang diriwayatkan Al-Hakim dalam Mustadrak-Nya bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa ia membaca “ Wa ma ya’lamu ta’wilahu illa Allah, wa ar rasikhuna fi’ilmu yaquluna amanna bihi “ . Maka ayat ini yang menyatakan celaan terhadap orang-orang yang mengikuti hal-hal yang mutasyabih dan menyifatinya sebagai orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan dan berusaha menimbulkan fitnah.
2.         Pendapat kedua yang menyatakan kedudukan lafazh sebagai ma’thuf dan
waqafnya diletakkan pada lafazh “ War rasikhuna fil ‘Ilmi
20)      M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung, Mizan, 1998) h. 78 
Pendapat ini mengatakan bahwa huruf “wawu” sebagai huruf athaf, dan yang mendukung pendapat ini adalah segolongan ulama dan dipelopori oleh Muhajid. Dengan alasan ; riwayat yang disampaikan Mujahid, katanya : Saya telah membacakan mushaf kepada Ibnu Abbas mulai dari Fatihah sampai selesai, dan saya mempelajarinya sampai saya memahami setiap ayatnya dan sayapun mempertanyakan padanya tentang tafsirnya. Pendapat ini juga didukung oleh Nawawi dalam Syarah Muslimnya, ia berpendapat bahwa pendapat ini paling shahih, karena Allah Swt tidak mungkin menyeru kepada Hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak diketahui makna dan maksud Allah terhadap mereka.
Namun, walaupun ada perbedaan pendapat. Para ulama mencari kompromi terhadap dua pendapat ini dengan memahami makna takwil, dengan menjadikan takwil sebagai rujukan maka tidak akan ada pertentangan dari kedua pendapat tersebut, hal ini didasari karena lafazh takwil digunakan untuk menunjukkan tiga makna, yaitu :
1.         Memalingkan sebuah makna yang rajah kepada makna yang marjuh, karena ada suatu dalil yang menghendakinya.
2.         Takwil dengan makna tafsir yaitu menerangkan atau menjelaskan. Hal ini bermaksud takwil untuk menafsirkan lafazh-lafazh agar maknanya dapat dipahami.
3.         Takwil adalah pembicaraan tentang substansi atau hakikat suatu lafazh.
Maka dari kompromi tadi, pendapat pertama menjelaskan makna takwil dari segi substansi atau hakikat suatu lafazh, sedangkan pendapat kedua menjelaskan makna takwil dari sisi penafsiran lafazh-lafazh agar maknaya dapat dipahami.
E.                 Fawatih As- Suwar
Dalam Al-Qur’an terdapat 29 surat sekelompok huruf, kadang-kadang huruf tunggal setelah kata basmallah. Hal inilah yang menjadi diskusi panjang dalam sejarah pemikiran umat Islam. Rosihan Anwar (2008), “ huruf Al-Muqaththa’ah (huruf yang terpotong-potong) di sebut dengan fawatis suwar (pembuka surat), menurut Asy-Suyuthi, tergolong dalam ayat mutasyabihat.
Berikut adalah redaksi fawatis as surah di dalam Al-Qur’an
1.        Terdiri dari satu huruf , dapat ditemukan dalam Al-Qur’an surah (38:1, 50:1, 68:1 ) yang diawali huruf nun.
2.        Terdiri dari dua huruf, dapat di temukan pada Al-Qur’an surah (40:1, 41:1, 42:1, 43:1, 44:1, 45:1, 46:1) yang diawali  huruf ha mim, kemudian (20:1), yang diawali huruf thaha, 36:1 yang diawali  huruf yasin.
3.        Terdiri dari tiga huruf, dapat di temukan pada Al-Qur’an surah (2:1, 41:1, 3:1, 29:1, 30:1, 31:1, 32:1) .
4.        Terdiri dari empat huruf dapat di temukan pada Al-Qur’an surah (7:1,  13:1)
5.        Terdiri dari lima huruf dapat di temukan pada Al-Qur’an surah 19:1.
F.                 Sikap Ulama Terhadap Ayat-Ayat Mutasyabihat
Dalam menanggapi ayat-ayat mutasyabihat, pendapat ulama terbagi dua :
1.        Mazhab Salaf.
Pada mazhab ini para ulama mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri.
2.        Mazhab Khalaf
Para ulama dalam mazhab ini berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah.
Muhammad Bin Alawi (1999),
Sekelompok Ahlussunnah berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat itu sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah, inilah mazhab khalaf. Imam Haramain pada mulanya masuk mazhab ini, kemudian ia menrik dirinya. Dalam Risalah An-Nizdamiyah, ia menuturkan bahwa perinsip yang dipegang dalam beragama adalah mengikuti mazhab salaf, sebab mereka memperoleh derajat dengan tidak menyinggung ayat-ayat mutasyabihat.
Ibnu Ash-Shalah mengatakan bahwa madzhab salaf ini dianut oleh generasi dan para pemuka umat Islam yang pertama. Madzhab ini pulalah yang dipilih oleh imam-imam dan para pemuka fiqh. Kepada madzhab ini pulalah, para imam dan para pemuka haditsnya mengajak para pengikutnya.
Ibnu Daqiq Al-‘id menengahi persoalan ini dengan mengatakan bahwa apabila penakwilan dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyabih di kenal oleh lisan Arab, penakwilan itu tidak perlu diingkari. 21)

G.                Takwil yang tercela
Takwil yang tercela adalah takwil dengan memberikan pengertian yang memalingkan lafazhnya dari makna rajah kepada makna marjuh karena ada dalil yang menyertainya.  Takwil ini digunakan sebagian besar para ulama mutaakhirin dengan bermaksud mensucikan Allah SWT dari keserupaan terhadap makhluq, seperti mentakwilkan “tangan” (al yad) dengan kekuasaan (al-qudrah). Apabila qudrah yang mereka tetapkan itu betul dan mungkin, maka penetapan tangan bagi Allah pun tidak salah dan mungkin. Sebaliknya, jika penetapan tangan dianggap batil dan terlarang karena menimbulkan keserupaaan menurut dugaan para ulama, maka penetapan kekuasaanpun juga batil dan terlarang.
Celaan ini ditujukan terhadap mereka yaitu para penakwil yang mentakwilkan lafazh-lafazh yang kabur maknanya bagi mereka (hal ini mungkin tidak berlaku pada orang lain ), tetapi dengan tidak mengikut makna takwil yang sebenarnya,
H.                Hikmah Ayat Mutasyabihat
1.             Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabihat sebagaimana Allah memberi cobaan kepada badan untuk beribadah. Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal karena kesadaran akan ketidakmampuan akal dalam mengungkapkan ayat-ayat mutasyabihat.
2.             Pada QS. Ali Imran ayat 7, Allah SWT mencela orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasyabihat dan memberikan pujian kepada orang-orang yang mendalam ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti   hawa   nafsunya  untuk   mengikuti  ayat-ayat mutasyabihat,
mereka termasuk orang yang tidak menempatkan akalnya pada tempat yang layak, yang tidak  berfikir   sebagaimana seharusnya ia mengguna-
kan akal pikirannya.
21)      Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,  h.270
SIMPULAN

            Muhkam secara etimologi berarti suatu ungkapan yang maksud makna lahirnya tidak mungkin digangti atau diubah, sedangkan mutasyabih adalah ungkapan yang maksud makna lahirnya samar. Sedangkan secara istilah terdapat beberapa pendapat, antara lain adalah yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas “ Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang tidak memunculkan kemungkinan sisi arti lain, sedangkan ayat-ayat mutasyabih mempunyai sisi arti banyak. “ dan Al-Mawardi “ Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maknanya dapat dipahami akal, seperti bilangan rakaat shalat, kekhususan bulan Ramadhan untuk pelaksanaan puasa wajib, sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya”.
            Bentuk-bentuk ayat muhkamat dan mutasyabihat dapat dibedakan seperti ;
Muhkamat yang terbagi kepada dua yaitu ayat-ayat yang jelas aksudnya sehingga orang-orang biasa mampun memahaminya, dan ayat yang dipahami oleh para ulama berdasarkan ilmu yang mereka miliki. Sedangkan mutasyabih dapat dilihat bentuknya dari aspek lafal, makna, dan aspek lafal dan makna.
            Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam memahami ayat-ayat mutasyabih berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran ayat 7, sebagian kecil mengatakan bahwa orang-orang yang dalam ilmunya mengetahui makna dari ayat-ayat mutasyabihat. Namun, sebagian besar mengatakan bahwa tidak boleh mentakwilkan ayat-ayat mutasyabih, walaupun kedua pendapat di atas memiliki landasan fikir masing-masing. Dan sikap ulama terpecah menjadi dua, ada yang disebut dengan mazhab salaf yaitu yang mengimani secara penuh ayat-ayat mutasyabihat tanpa mentakwilkan ayat, dan ulama khalaf yang mengatakan boleh menakwilkan ayat yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah. Namun, jika terjadi penakwilan yang memalingkan lafazh dari makna rajah kepada makna marjuh, maka penakwilan ini dianggap tercela.
            Adapun hikmah yang utama dalam keberadaan ayat-ayat mutasyabihat ini adalah sebuah sarana penundukan akal terhadap Allah SWT karena kesadarannya akan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabihat.

DAFTAR PUSTAKA



Hasbi Ash Shiddieqy,  (2009), Ilmu  Al-Quran & Tafsir, Semarang, Pustaka Rizki Putra,  cet ke – 2.

Kadar M. Yusuf, (2010), Studi Al-Quran, Jakarta, Amzah, cet ke – 2.

Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , (1990),  Arab Saudi, Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at Al-Mush-haf.

Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (2010) Terjemahan Aunur Rafiq El-Mazni, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, cet ke-5.

M.Nasir Ar-Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid IV, (2007), Jakarta, Gemas Insani.

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran,  (1998), Bandung, Mizan.

Rosihan Anwar, Ulum Al-Quran, (2008), Bandung, Pustaka Sedia.

Sayyid Qutb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an Jilid 1,( 2000), Jakarta, Robbani Press.
.
Zabidi, Ringkasan Shahih Al-Bukhari, (2009), Bandung,Mizan Media Utama.

1 komentar: